Tuesday, February 16, 2016

MAKNA WALIYULLOH

Makna Waliyullah

1.                Apa  Dan Siapa  Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja. Bahkan  sering diberi arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum, kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja. Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi, serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnya Jami’ Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan karomah maknawi (batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya, kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [1] 
 اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ اللهُ  مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai istidraj. [2]

2.                Arti Kata Wali
Kata Waliy  merupakan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang  memiliki arti ganda (musytarak) :
1.       Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungi. Dalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2.       Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi.  Dalam artian ini , kata wali ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat menghayati dan menerapkan makna :
 حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia.  Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan : tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : Tidak ada yang mengetahui wali (manusia), kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri. Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [3]
 اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang lain, antara lain : [4]
a.     Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai waliyullah.
          Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak berkata  :
        إِنَّ  الوَلِيَّ لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ  قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah) mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b.     Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata  :
 إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ  الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam dalam nur hakikat.
c.      al-Ghauts fii Zamaanihi Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 656 H)  : [5]
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
  Mengetahui wali (Allah), lebih sukar daripada mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah itu dapat diketahui dengan Jamal-Nya dan Kamal-Nya. Bagaimana engkau dapat mengetahui wali, sedangkan ia makan sebagaimana engkau makan, dan ia minum sebagaimana engkau minum.
d.     Syeh Jalaluddin as-Suyuthi,  dalam  kitabnya  al-Hawi lil Fatawi  juz II  pada  bab
“haditsul quthbi” menjelaskan : [6]
 وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ  وَكَشَفَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).

3.                     Pengalaman Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan  al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak. Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam, hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[7] dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya, hanyalah berupa prasangka yang tidak  pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki, apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw  :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/ terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [8]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.  
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin. Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki yang mengatasi kesimpulan akal  (pasca rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am : 33 – 34 :
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ. وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu (Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu, berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
Mimpi yang baik dari Allah dan mimpi yang buruk dari setan. [9]
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan cahayat Allah. [10]
Dikatakan mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis  tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah Saw.
Sebagaimana yang tercermin dalam hadis riwayat Abdullah Ibn Amr, Rasulullah Saw bersabda : [11]
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ,  وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya dari bisikan iblis.
Sedangkan perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda : [12]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
 Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu semua.
Makna sebagai ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti  pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan iblis.
إنَّ الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus, pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [13]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
  صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
 Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/ kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah bershalawat kepadanya.[14]  
                مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari 1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain : tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku, - dan dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku. [15]
Kesimpulan makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[16]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ. 
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima (oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan ke 7).
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra menjelaskan :[17]
وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat, misalnya dari macam-macam dzikir lafadz  jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya. Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid tersebut.

Sebagian pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1.                 Adalah Abu Jahal.
          Suatu hari Abu Jahal [18] berkata : Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya : Mana Muhammad… mana Muhammad ?.
2.                 Adalah Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya.  Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ : Salam sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang  ada disekeliling mereka. [19]
3.                 Adalah Rasulullah Saw.
          Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah mereka. [20]
4.                 Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M). Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan – direktur rumah sakit  “Ain Syams” Kairo Mesir),  berkata kepada saya : aku  berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali. Kepada Beliau Saw aku bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan ditanganmu  ada  kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab  في الرد على النبهاني  نيل الاما ني  (Nailul Amani Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani tersebut. Dan setelah aku membakarnya, malam harinya aku bermimpi bertemu Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [21]
5.                Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok, Kudus Jawa tengah.
          Kawan kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab: Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo Yahi Ra, sambil berkata  :  Kanjeng Romo Yahi,  doakan kami.  Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan  ia melihat cahaya yang sangat terang yang terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya seberapa jauhnya.
6.                 Abdullah bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang demikian ?. Imam Syafi’i menjawab : Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i : “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[22]
7.                 Al-Hafidz Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang sastra arab, sejarah dam seleksi
 hadis. Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam barzah.  Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun mempraktekkannya”.[23]
8.                 Syeh Abul Qasim al-Qari. [24]
Beliau bermimpi melihat sefdc          buah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara dimulai, trdengar lantunan ayat  al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?. Pelantikan Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub,  jawab petugas.
9.                 Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin (paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat kepada-Nya).[25]
10.            Syeh Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab Nabiyullah : diantara wali autad.[26]
11.            Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts al-Ghauts) dari arah langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12.            Bapak Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13.            Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga, yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[27]
14.            Syeh Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15.            Imam al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya : Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia ?. Al-Haitami menjawab : Ini orangnya (sambil menunjuk kepada al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini  gemetar, dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria, saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16.            Syeh Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17.            Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan. Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18.            Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta dan  Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan, tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadldlarah”.
19.            Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa), tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [28]

4.                Pembagian al-Wali
Sebagaimana keterangan diatas, kata Waliy berasal dari al-qur’an dan al-hadits. Dan mulanya kata ini diperuntukkan kepada orang-orang yang dekat kepada Allah Swt. Namun, dalam pengembangan bahasa, kata ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari dengan artian yang umum. Misalnya, walimurid, walikota, walikelas, walipengantin atau wali yang lain.
Diantara manusia, terdapat mereka yang memilih jalan lurus, sehingga menjadi Waliyyullah. Dan ada pula yang memilih jalan hidup yang menyimpang, dan kemudian mereka menjadi  Waliyyusy  syaithan. Memang, manusia hanya ada dalam dua posisi. Kalau tidak sebagai waliyullah, berarti sebagai waliyussyaithan, atau sebaliknya.

a.        Waliyyus  Syaithan
Banyak orang yang gemar membahas keberadaan waliyullah. Namun jarang sekali yang memperhatikan kriteria waliyullah dan waliyus syaithan. Padahal, menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak menjadi waliyullah, pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada manusia setengah waliyullah dan setengah waliyus syaithan. Yang ada hanya waliyullah atau waliyus syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan mengentaskan manusia dari belenggu setan, agar tidak menjadi waliyus syaithan.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt  menjelaskankan  bahwa  waliyus  syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong, penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
 Sesungguhnya Kami menjadikan setan sebagai wali (penguasa, pelindung, kekasih  dan penolong) bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. al-A’raf : 28). 
 وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا 
Barang siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung, penolong, kekasih) selain Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs, an-Nisa’ 119).

b.       Waliyyullah [29]
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1).               Jiwanya senantiasa  tidak memiliki rasa kawatir dan  susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus,  62 – 63  : اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu  tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)          
        Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, memberi penjelasan makna auliyaillah dalam ayat ini :  مَنْ تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ: Waliyullah adalah hamba yang Allah Swt telah menguasainya, menjaga kehormatannya, membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.
            Kebanyakan para ulama, segabai penghormatan, setelah menuliskan atau menyebutkan nama para waliyullah Ra, menulis atau mengucapkan doa RADLIYALLAHU ANH.
2).              Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [30] Allah Swt bersabda  :

قَال الله تَعالَى : فَاِذَا اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُبِهِ وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.   

Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.

3).              Menerapkan prinsip syariah dan hakikah secara seimbang dalam segala prilakunya.[31]
4).              Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw (istilah Wahidiyah, Lirrasul - Birrasul). Sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an, hadis dan qaulul ulama, antara lain :
a.   Qs. al-Maidah : 55 :   إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ: Sesungguhnya pelindungmu adalah Allah dan rasul-Nya.
b.  Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
c.   Beberapa fatwa para Ulama Arif Billah Ra :
·          Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf Ismail  An Nabhaniy halaman 431 [32] menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat Birrasul Saw.
لَمْ تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا وَالاَوْلِيَاَءُ اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat dinamakan wali quthub, wali autad dan   waliyuulah,  kecuali  telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw (Birrasul).
Dan pada bab 3 dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra menuliskan fatwa dari
لايَحِقُّ لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Tidak benar bagi seseorang memasuki pangkat kewaliyan dalam tuntunan Nabi Muhammad , hingga (jiwanya) dapat bersama dengan Rasulullah Saw.(al-Khawash Ra).
Dan pada bab IX (tentang “ru’yatun nabi”) halaman 435 diterangkan, bahwa seseorang belum dapat dikatakan sempurna makrifatnya, sebelum jiwanya dapat bersama dan bertemu dengan Rasulullah Saw
          لاَ يَكْمَلُ مَقَامُ فَقِيْرٍ إِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada guru.
·          Al-Ghaus fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) :
لَوْ حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي سَاعَةٍ  مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik saja dalam setiap satu jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung diriku bagian dari golongan orang Islam.
·          Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam menjelaskan hadits riwayat Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah Saw) mengatakan :
حَقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا تَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) diatas setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan.  Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin,  tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw. [33]
·          Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas mahabbah kepada Rasulullah Saw, yang menukil fatwa (al-Ghauts fi Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari),  menjelaskan  :
مَنْ لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله  عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّى أنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak iman kalian sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya sendiri.
·          Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ تَقْتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang menyempurnaan iman hanya dengan kesaksian kepada Allah saja, (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai kesaksian kepada Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[34]
5).              Dapat memahami semua karomah dan sirri yang dimiliki oleh para nabi As serta para auliyaillah Ra memancar dari Rasulullah Saw.[35]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
Setiap nabi dan rasul, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.

c.   Tugas Waliyullah
Disamping tugas dalam urusan lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun ummat menuju kesadaran kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw), al-Ghauts Ra memiliki tugas lain yang bersifat batiniyah.
Tugas-tugas batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a.                 Penjaga dan penegak kebenaran Islam (syariah dan hakikat), baik secara lahir maupun secara berdoa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
b.                 Menjaga (dengan doa dan sirri  batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
 لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [36]
c.                  Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal, Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا وأَهْلِهَا
Tiga hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap tegak.
d.                 Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada mahluk-Nya.
Dalam kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani  pada  bab  “qaf”  dijelaskan,  tugas
rohani al-Ghauts Ra adalah penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
  وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ 
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun alam bawah.[37]
e.                  Mewarisi tugas Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas).
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.



d.                Kelemahan Para Waliyullah Ra
          Memahami pribadi al-Ghauts Ra merupakan jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu yang senantiasa mengarah kepada kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau Ra, jalan pengenalan kepada Allah Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan musyrik yang dianggap perbuatan tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
          Sebagaimana umumnya manusia lain, disamping memiliki kelebihan, para Ghauts Ra juga memiliki kelemahan. Beliau Ra juga mengalami lapar, haus, sakit, membutuhkan pertolongan orang lain dan sifat-sifat manusia lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw, juga memiliki kelemahan sebagaimana umumnya manusia. Sebagaimana yang tercermin dalam keterangan dari :
d.1.  Firman Allah Swt, Qs. al-A’raaf : 108 :
        قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
            Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah.
d.2.  Sabda Rasulullah Saw : [38] Allah Swt berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.
Hadis riwayat Imam Muslim diatas, menerangkan bahwa :
a.       Hamba yang dimaksud, adalah hamba yang membawa sirri (nur Ilahiyah) yang membuktikan keberadaan Allah Swt.  Dan pintu hadrah Allah Swt akan terbuka bagi mereka yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya.
b.       Perintah membesuk hamba tersebut, sebagai isyarah dan anjuran dan sekaligus pemberitaan tentang pentingnya setiap mukmin mencari serta mengetahui “nama pribadi al-Ghauts Ra”.
c.        Mukmin yang tidak dapat mengetahui nama dan pribadinya, sudah tentu tidak dapat melaksanakan perintah Tuhan untuk membesuk dan memberi makanan atau minuman dan sekaligus tidak dapat bertemu dengan ayat-ayat Allah Swt tersebut secara musyahadah.
d.       Allah Swt menyandarkan rasa sakit, haus dan lapar dan yang diderita oleh al-Ghauts Ra, kepada Diri-Nya. Hal ini menunjukan bahwa rasa sakit dan haus serta lapar, bukan kekauatan al-Ghauts itu sendiri, tetapi pancaran dari kekuatan Allah Swt semata. Yang sekaligus sebagai pintu-pintu hadrahnya Allah Swt.
          Kelemahan yang ada pada Rasulullah Saw, inilah yang sering disalah artikan oleh orang-orang yang mengingkari kelebihannya sebagai tempat bertawassulnya mukmin kepadanya. Dengan dalih, bahwa Rasulullah Saw, dalam satu hal tidak dapat menolong dirinya, apalgi menolong orang lain. Padahal semestiya, kelemahan Rasulullah Saw, tidak menghilangkan kelebihan yang ada padanya. Kerana semua itu terjadi dan terlaksana atas kehendak Allah Swt semata.
          Diantara kelebihan Rasulullah Saw, sebagai pebersih jiwa dari kekafiran dan kemunafikan. Firman Allah swt, Qs. Ali imran : 164   : [39] 
          لَقَدْ مَنَّ اللهُ  الذِيْنَ أَمَنُوا اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِم وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ وَالحِكْمَةَ
            Sesungguhnya Allah telah memberi nikmat kepada orang-orang mukmin ketika (Allah) mengutus didalam kelompok mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka al-Quran dan hikmah.
Rasulullah Saw bersabda  : [40]
       أَنَاالمَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْرَ أَنَاالحَاشِرالذِي يُحْشَر النَاسِ عَلَى قَدَمِي
          Aku adalah pembasmi, yang mana Allah membasmi kekufuran dengan-ku, Aku adalah Pengumpul, yang manusia  dikumpulkan diatas tapak kaki-Ku.
Allah swt berfirman, Qs, an-Nisa’/ 49   :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلْ اللهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
Apakah tidak kamu memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah-lah membersihkan siapa  yang dikehendakinya. [41]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra,  Rasulullah Saw bersabda  : [42]
        أَتَانِي جِبْرِيْلُ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ : لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad, Allah telah berfirman: Kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
d.2.  Hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibn Khatthab, Rasulullah Saw bersabda  :[43]
 وَلَمَّا اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِ ذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda :  Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad Rasulullah.  Oleh karenanya aku mengerti bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda : Benar kamu (Adam). Ia (Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, tugas tersebut dilanjutkan oleh para ulama, kiyahi dan tokoh masarakat serta waliyullah Ra, yang secara kemanusiannya memiliki kelemahan.
Rasulullah Saw bersabda   :[44]
 إِنَّ للهِ تَعَالَى عِبَادًا يُعْرِفُونَ النَاسَ بِالمُوسِمِ
Sesungguhnya Allah memiliki  hamba yang mengetahui getaran hati manusia
Makna Ya,rifuuna = yang mengetahui dalam hadis diatas, para ulama tasawuf memberikan penjelasan  :
  يَطْلَعُونَ عَلَى مَا فِي ضَمَا ئِرِهمِ وَأَحْوالِهِمْ
Ditampakkan kepada mereka bisikan dan getaran hati manusia  serta haliyah manusia.  
Dan Kata   المُوسِمadalah   :  [45]
 أَيْ بِالنُفوسِ. قَالَ المُنَاوِي غَرِقُوُا فِي بَحْرِ شُهُودِهِ فَجَادَ عَلَيْهِمْ بِكَشْفِ الغِطَاءِ عَنْ بَصَائِرِهِمْ  فَاَبْصِرُوا بِهَا بَوَاطِنَ النَا سِ
Yakni: dengan jiwa. Al-Munawi berkata : mereka semua tenggelam (istighroq) didalam lautan musyahadah Tuhan, sehingga mereka terbuka penutup jiwanya dari beberapa bashirahnya, sehingga tampak bagi mereka (dapat melihat) batiniyah manusia  
Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda   : [46]
    إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
            Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kepada kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan antara Allah.            
Tanpa sinar radiasi batin Rasulillah Saw wa Ghautsi Hadzaz Zaman Ra, manusia tidak dapat mengetahui jenis- jenis nafsu, alagai menghilangkannya.  Hanya dengan kontak batin (ta’alluq bihasabir ruhaniyah) kepada Beliau Ta secara terus menerus, manusia dapat mengetahui dan menghilangkan nafsu- nafsunya, dan makrifar kepada Allah secara sempurna. Syeh Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan :
تَزْكِيَةُ النَفْس لاَ تَتَيَّسَراِلاَ بِنَظْر نَبِيٍّ اَوْ وَلِّيٍ ذِي تجْربَةٍ فِي هَذَاالشَأْ نِ
Pembersihan jiwa tidak akan mudah, kecuali dengan nadzrah Nabi atau wali (al-Ghauts – pen) yang memiliki keahlian tersebut. [47]


e.       Laknat Allah Bagi Mereka Yang Memusuhi Waliyullah
Allah Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah. Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.                 Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw  bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
2.                 Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    :[48]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan hadis ini, kitab “Dalil al-falihin”, juz III menjelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain,  menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakanya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3.                 Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Kata “amir” dan “sultan” dalam hadis ini dapat diartikan umum (semua orang yang menjadi pimpinan), dan arti khusus (Amirul khalqi (pimpinan para waliyullah, dan semua makhluk, atau Guru ruhani yang berpangkat al-Ghauts Ra). Dan Para kaum sufi dan waliyullah, mengartikannya dengan arti khusus.
Pendapat ini didasarkan kepada : [49]
1.            Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah.
2.            Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
          Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.





[1].    Kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[2].     Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[3].     Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’nya  Syeh kamasykhanawi dalam bab muqaddimah.
[4].    Lihat kitab Jami’ karamah al-Auliya’  nya Syeh an-Nabhani  juz I, dalam bab “
[5].     Kitab Taqriib al-Ushuul, karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[6].     Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[7].     Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3 pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
[8].     Hadis tersebut tertulis dalam :
1.      Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.      kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.      Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[9].     Kitab Syamail al-Muhammadiyah-nya Imam Tirmidzi dalam bab ke 55.
[10].    Hadis masyhur yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[11]     Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan, nh : 523),  Nasai (Amalul Yaum wal Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384).  Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[12].    Kitab Jami’ as-Shagir  juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain (Jala’ al-Afha dalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Hurairah Ra).
[13].    Kitab Khazinatul Asraar, Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[14].    Kitab  kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[15].    Ibid, riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahih, sunan dan musnad).
[16].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[17].    Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
       فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
          Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).           
[18].    Hadis riwayat Abu Nuaim dari sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[19].    Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[20].    Kitab Lubab an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.       
[21].    Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993,  jilid I hlm 16-17.
[22].    Kitab Jalaul Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[23].    Ibid, Jalaul Afham.
[24].    Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes Lirboyo Kota Kediri.
[25].    Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[26].    Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah. Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II, dalam bahasan 69. Atau kitab  al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[27].    Kitab al-Insan al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[28].    Kitab Saadatud Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman  422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi Ra, juz II dalam bab tasawuf.
[29].    Syeh Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam suatu fatwa amanat-Nya menjelaskan : Seorang Waliyullah belum tentu al-Arif, tetapi  al-Arif  itu pasti Waliyullah.
[30].   Lihat kitab  Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani, percetakan  Darul Fikri, Bairut Libanon, tahun 1414 H/  1993 M, juz I halaman 23.
[31].   Didalam kitab Kifayah al-Atqiya hlmn 9, diterangkan bahwa makna lillah dan billah adalah terpadunya antara syari’ah dan hakikah. فَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ :  Syariah adalah wujudnya perbuatan yang disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa  wujudnya semua perbuatan lahir dan batin mahluk itu, atas titah Allah .
Imam Sya’rani dalam kitabnya  ‘al-Yawaqit wal Jawahir,  juz  I  halaman  26  juga menjelaskan :
  اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ عَيْنُ الحَقِيْقَةِ, اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى, فَالعُلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَلَمْ يَجِدُوهُ فِي دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ  فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ .       
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’ah adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir.  Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah  Hakimuz  Zaman (al-Ghauts Ra).
[32].  Radaksi kalimat ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70.
[33].   Rasulullah Saw bersabda :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia.  Lihat kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11, kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
[34].   Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab II aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[35].   Kitab Jami’ al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa al-khusus”.
[36].    Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[37].    Lihat juga kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz  II/ 80.
[38].    HR. Muslim (Shahih dalam bab‘Iyadatul Maridl).
[39].    Firman Allah yang sepadan arti juga tedapat dalam Qs : 2/129 dan 151, Qs : 62/2
[40].      Hadis riwayat Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi (Syamaail al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi, nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir), Muslim (Shahim Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham,  bab asma Nabi Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab  Dalil al-Falihin  bab “asma Rasulullah”, dan  kitab Siraj al-Munir  II/18.
[41].      Dalam kitab Lubab an-Nuqul-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang merasa hatinya sudah bersih, tanpa melalui Rasulullah Saw .
[42].      Hadis riwayat ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus.  
[43].      Hadis riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak,  2. Imam Baihaqi dalam  Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam kitabnya  al-Lailil Masnunah,  6. An-Nabhani dalam kitab Syawahid Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[44].      Hadis riwayat Hakim dan Bazzar dari sahabat Anas, kitab Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shaghiir-nya Syeh ‘Ali Ibn Ahmad al-Azizi (darul fikri, Beirut-Libanon : I/ 517).
[45].      Dalam kitab Siraj al-Munirr, juz I, halaman 517.
[46].      Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Al-Kabiir, dalam kitab Siraj al-Munir, juz I, halaman 517, dan dalam juz II/ 61, memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut  :
    هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah perantara antara kamu semua dan antara Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris-Nya.
[47].    Kitab Tanwir al-Qulub nya Syeh Muhammad Amin al-Kurdi  (Beirut, “dar al-fikri” cetakan tahun 1414 H) halaman : 410.
[48].    Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[49].    Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”