Makna
Waliyullah
1.
Apa Dan Siapa
Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal
dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan
secara sempit saja. Bahkan sering diberi
arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada
orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui
sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan
bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para
auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang
tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu,
perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ
اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan
barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman)
yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam
memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar
kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan
sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum,
kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja.
Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi,
serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang
ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnya Jami’
Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa
karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan
karomah maknawi (batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya,
kecuali karamah hissiy. Misalnya,
jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang
akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada
dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat
diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [1]
اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا
فَأْعْطَاهُ اللهُ مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ
ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله
تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya.
Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan
Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai
istidraj. [2]
Kata Waliy merupakan kata
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang
memiliki arti ganda (musytarak) :
1. Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungi. Dalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah
Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2. Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi,
yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi. Dalam artian ini , kata wali
ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar
bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan
karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts
Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi
Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat
menghayati dan menerapkan makna :
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ
المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah
paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung
serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ
الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui
wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini
dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia. Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan
: tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain.
Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : “Tidak ada yang mengetahui wali (manusia),
kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri.
Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [3]
اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا
َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh
wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara
hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas
kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat
tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang
lain, antara lain : [4]
a. Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya
sebagai waliyullah.
Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak
berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ
لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا
لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ
إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا
أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ
وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau
dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika
menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah)
mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya
Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak
akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan
sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b. Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali
ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ
َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ
الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ
في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور
الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui
kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua
pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai
dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam
dalam nur hakikat.
مَعْرِفَةُ
الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ
بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا
تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
d. Syeh Jalaluddin
as-Suyuthi, dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bab
وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ
وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ
العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَكَشَفَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan
al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian
juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun
orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama
Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk
mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya
melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).
3.
Pengalaman
Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai
agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai
jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar
pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi
manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah
satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah
Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis
serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum
alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan
ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan
tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak.
Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin
menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang
yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam,
hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara
esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[7]
dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu
atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang
masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam
penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya,
hanyalah berupa prasangka yang tidak pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak
dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs.
an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ
إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak
ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali
hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran
sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang
sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika
tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki,
apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah
Swt dan sabda Rasulullah Saw :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin
oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ
يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya
orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh
akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran
batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/
terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah
Saw : [8]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ
لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ
إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya
dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya
kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak
seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin.
Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara
yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki
yang mengatasi kesimpulan akal (pasca
rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai
dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap
individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat
ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga
membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa
Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang
munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan
dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan
kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am
: 33 – 34 :
قَدْ
نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ.
وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh
Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan
oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu
(Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu,
berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan
setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw
bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ
السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ
المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ
يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir
zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya
orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan
cahayat Allah. [10]
Dikatakan
mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan
fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh
al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang
dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan
fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah
Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh
pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan
bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat
bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan
pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah
Saw.
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ, وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ
سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang
bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya
sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat
dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari
hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta
kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna
Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya
dari bisikan iblis.
Sedangkan
perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada
Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda
: [12]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ
مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ
وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya
shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan
carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya
wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu
semua.
Makna sebagai
ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang
yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar
dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti
pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah
bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah
melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat
bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan
cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta
menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai
wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan
iblis.
إنَّ
الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ
الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ
التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia
merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus,
pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya
bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [13]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat
menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati
mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ
صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
Bershalawatlah kamu semua
kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/
kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah
bershalawat kepadanya.[14]
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى
مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari
1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ
يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya
setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain :
tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain :
tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku, -
dan dalam riwayat lain : tidak
dapat membentuk diri sebagai aku. [15]
Kesimpulan
makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak
mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti
diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[16]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَقْبُولَةٌ.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima
(oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim
al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat
dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan
ke 7).
وَبِالْجُمْلَةِ
أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى
عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا.
بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ
الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli
kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada
alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah
pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat,
misalnya dari macam-macam dzikir lafadz
jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya.
Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid
tersebut.
Sebagian
pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan
shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1.
Adalah Abu Jahal.
Suatu hari Abu Jahal [18]
berkata : Sekiranya aku
bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat
Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu
Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak
melihatnya dan bertanya : Mana
Muhammad… mana Muhammad ?.
2.
Adalah
Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi
bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara
orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ : Salam
sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa
kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut
keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang
ada disekeliling mereka. [19]
3.
Adalah Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah membaca surat
as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa
Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat.
Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami
sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah
mereka. [20]
4.
Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu
dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M).
Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan –
direktur rumah sakit “Ain Syams” Kairo
Mesir), berkata kepada saya : “aku berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun
suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku
sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali.
Kepada Beliau Saw aku
bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak
bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan
ditanganmu ada kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab في الرد على النبهاني
نيل الاما ني (Nailul Amani
Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah
Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum
sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani
tersebut. Dan setelah aku membakarnya, malam
harinya aku bermimpi bertemu
Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [21]
5.
Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok,
Kudus Jawa tengah.
Kawan
kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara
yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah
Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab:
Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo
Yahi Ra, sambil berkata : Kanjeng Romo Yahi, doakan kami.
Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra
mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah
kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan ia melihat cahaya yang sangat terang yang
terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH.
Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA,
cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya
seberapa jauhnya.
6.
Abdullah
bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang
mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam
bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang
demikian ?. Imam
Syafi’i menjawab : “Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah
Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab
apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i
: “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[22]
7.
Al-Hafidz
Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang
sastra arab, sejarah dam seleksi
hadis.
Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam
barzah. Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab
apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena
aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun
mempraktekkannya”.[23]
8.
Syeh
Abul Qasim al-Qari. [24]
Beliau bermimpi melihat sefdc buah
pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara
dimulai, trdengar lantunan ayat al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas
penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?. Pelantikan
Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub, jawab petugas.
9.
Para
murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu
Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin
(paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat
kepada-Nya).[25]
10.
Syeh
Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara
jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab
Nabiyullah : diantara wali autad.[26]
11.
Mbah KH.
Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah
untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif
Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir
mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts …al-Ghauts) dari arah
langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12.
Bapak
Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan
mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra,
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13.
Syeh
Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga,
yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani
Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[27]
14.
Syeh
Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh
menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh
Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15.
Imam
al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra
terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh
Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada
Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka
berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya
: Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan
waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia
?. Al-Haitami menjawab : Ini orangnya (sambil menunjuk kepada
al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan
al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan
tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini gemetar,
dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria,
saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16.
Syeh
Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya,
Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid
Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17.
Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung
halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada
dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan.
Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil
membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian
pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada
seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi
perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi
tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah
Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18.
Bapak
Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta
dan Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan
kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri
pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat
duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia
melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris
dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan
barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta
bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang
Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan,
tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian
layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadldlarah”.
19.
Syeh
Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman
ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul
Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada
diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh
al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa),
tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh
Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [28]
Sebagaimana keterangan diatas, kata Waliy berasal dari al-qur’an dan al-hadits. Dan
mulanya kata ini diperuntukkan kepada orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.
Namun, dalam pengembangan bahasa, kata ini dipakai dalam kehidupan sehari-hari
dengan artian yang umum. Misalnya, walimurid, walikota, walikelas,
walipengantin atau wali yang lain.
Diantara manusia, terdapat mereka yang memilih jalan lurus,
sehingga menjadi Waliyyullah. Dan ada pula yang memilih jalan hidup
yang menyimpang, dan kemudian mereka menjadi
Waliyyusy syaithan. Memang,
manusia hanya ada dalam dua posisi. Kalau tidak sebagai waliyullah, berarti
sebagai waliyussyaithan, atau sebaliknya.
Banyak orang yang gemar membahas keberadaan waliyullah. Namun
jarang sekali yang memperhatikan kriteria waliyullah dan waliyus
syaithan. Padahal, menurut sunnah Rasulullah Saw, jika seseorang tidak
menjadi waliyullah, pasti menjadi waliyus syathan. Tidak ada
manusia setengah waliyullah dan setengah waliyus syaithan. Yang
ada hanya waliyullah atau waliyus syaithan. Perjuangan Wahidiyah bertujuan
mengentaskan manusia dari belenggu setan, agar tidak menjadi waliyus
syaithan.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt
menjelaskankan bahwa waliyus
syaithan adalah orang yang hatinya tertutup dari Allah Swt (tidak
sadar billah), dan tidak mau menjadikan Allah Swt sebagai kekasih, penolong,
penguasa dan pelindung bagi dirinya. Mahluk - menurut mereka -, meskipun tanpa
izin Allah Swt juga dapat memberi pertolongan baik kepada dirinya atau kepada
yang lain.
اِنَّاجَعَلْنَاالشَيَاطِيْنَ
اَوْلِيَاءً لِلَّذِ يْنَ لاَيُؤْمِنُوْنَ .
Sesungguhnya Kami
menjadikan setan sebagai wali (penguasa, pelindung, kekasih dan penolong) bagi orang-orang yang tidak
beriman. (Qs. al-A’raf : 28).
وَمَنْ
يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُ وْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِيْنًا
Barang siapa yang menjadikan setan sebagai wali (pelindung,
penolong, kekasih) selain Allah, maka sungguh rugi dengan kerugian yang nyata.(Qs, an-Nisa’ 119).
Ciri-ciri Waliyullah antara lain:
1).
Jiwanya senantiasa tidak memiliki rasa kawatir dan susah hati. Firman Allah Swt, QS. Yunus, 62 – 63
: اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ, الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُوْن
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan
mereka tidak pula bersedih hati. Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan
mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, memberi penjelasan makna auliyaillah
dalam ayat ini : مَنْ
تَوَلاَّهُ اللهُ تعالَى وَتَوَلَّى حِفْظَهُ وَحِيَاطَاتُهُ وَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ: Waliyullah
adalah hamba yang Allah Swt telah menguasainya, menjaga kehormatannya,
membimbing kewaspadaannya dan meridlainya.
Kebanyakan para ulama, segabai
penghormatan, setelah menuliskan atau menyebutkan nama para waliyullah Ra,
menulis atau mengucapkan doa RADLIYALLAHU ANH.
2).
Memahami dan menerapkan prinsip Lillah – Billah. HR. Imam Bukhari, Rasulullah Saw bersabda : [30] Allah Swt bersabda :
قَال الله تَعالَى : فَاِذَا
اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الذِي يُبْصِرُبِهِ
وَيَدَهُ الذِي يُبْطِشُ بِهِ وَرِجْلَهُ الذِي يَمْشِي بِهَا اِنْ سَاَلَنِي
اَعْطَيْتُهُ وَاِنْ اسْتَعَاذَ نِي اعَذْ تُهُ.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang digunakan
untuk mendengarkan, menjadi penglihatannya yang digunakan untuk melihat,
menjadi tangannya yang digunakan untuk menggenggam, menjadi kakinya yang
digunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-KU niscaya Aku
memberinya, dan jika ia meminta perlindungan-Ku niscaya Aku melindunginya.
4).
Memiliki kesadaran makrifat kepada Rasulullah Saw
(istilah Wahidiyah, Lirrasul - Birrasul). Sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an,
hadis dan qaulul ulama, antara lain :
a.
Qs. al-Maidah : 55 : إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ
اللهُ وَرَسُوْلُهُ: Sesungguhnya
pelindungmu adalah Allah dan rasul-Nya.
b. Rasulullah Saw
bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak
sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari
pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR.
Bukhari dan Muslim).
c.
Beberapa fatwa para Ulama Arif Billah Ra :
·
Dalam kitab Sa’adatud Daraini, Syeh Yusuf
Ismail An Nabhaniy halaman 431 [32]
menerangkan bahwa, waliyyullah itu seseorang yang telah memiliki kesadaran ma’rifat
Birrasul Saw.
لَمْ
تَكُن الاَقْطَابُ اَقْطَابًا وَالاَوْتَادُ اَوْتَادًا
وَالاَوْلِيَاَءُ
اَوْلِيَاءً الاّ بِمَعْرِفَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّم
Tidak dapat
dinamakan wali quthub, wali autad dan waliyuulah, kecuali telah ma’rifat kepada Rasulullah Saw
(Birrasul).
Dan pada bab 3
dalam bahasan “lathifah ke 110”, Syeh Nabhani Ra menuliskan fatwa dari
لايَحِقُّ
لأَحَدٍ قَدَمُ الوِلاَيَةِ المُحَمَّدِيَةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَ يَكْمَلُ
مَقَامُ فَقِيْرٍ إِلاَّ أَنْ صَارَ أَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وسلَّمَ وَيُرَاجِعُهُ
فِي أُمُورِهِ كَمَايُرَاجِعُ التِلْمِيْذُ شَيْخَهُ
Tidak sempurna
maqam seseorang, kecuali ia dapat bersama Rasulullah Saw serta mengembalikan
perkaranya kepada Nabi Saw sebagaimana murid mengembalikan kepada guru.
·
Al-Ghaus
fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra (w. 686 H) :
لَوْ
حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْظَةً فِي
سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ مَا
أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ المُسْلِمِيْنَ
Jika aku terhijab dari Rasulullah Saw sedetik saja dalam setiap satu
jam baik dalam waktu siang malan atau malam hari, maka tidak berani menghitung
diriku bagian dari golongan orang Islam.
·
Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758
H) dalam menjelaskan hadits riwayat Bukhari (tentang cinta kepada Rasulullah
Saw) mengatakan :
حَقِيْقَةُ
الاِيْمَانِ لا
تَتِمُّ
وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ
بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ
عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ
يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ
بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ
مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikinya iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat
disempurnakan kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah
qalbu) diatas setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad
(kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya
Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin, tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada
Rasulullah Saw. [33]
·
Syeh Abul Fadlol ‘Iyadl, dalam kitabnya
As-Syifa’, saat memberi penjelasan tentang makna hadits yang membahas
mahabbah kepada Rasulullah Saw, yang menukil fatwa (al-Ghauts fi
Zamanihi, w. 284 H, Syeh Sahal at-Tustari), menjelaskan
:
مَنْ
لَمْ يرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي
جميْعِ الاَحْوالِ ولاَ َيرَى نَفْسَهُ فِي مُلْكِهِ صَلى
اللهُ
عَليْهِ وَسَلَّمَ لاَيَذُوقُ حَلاَوَةَ
سُنَّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله
عَلَيْه
وَسَلَّمَ
قَالَ : لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكمْ حَتَّى أنْ أَكُونَ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa
tidak mengetahui, bahwa Rasulullah menguasai dirinya dalam segala hal, dan
tidak mengetahui dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan
merasakan manisnya sunnah Rasulullah Saw. Karena Nabi Saw. bersabda : Tidak
iman kalian sehingga Aku (Rasulullah) lebih dicintainya dari pada dirinya
sendiri.
·
Fatwa Imam al-Ghazali (w. 501 H) Qs. wa Ra. :
قَدْ
مَنعَ كَمَالُ الاِيْمَانِ بِشَهَادَةِ التَوحيْد لاَاِلَهَ اِلاَ الله مَا لَمْ
تَقْتَرِن بِشَهَادة الرَسُولِ مُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang menyempurnaan iman hanya dengan kesaksian
kepada Allah saja, (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai kesaksian kepada
Rasulullah (Muhammad utusan Allah).[34]
5).
Dapat memahami semua karomah dan sirri yang dimiliki oleh para nabi As serta para auliyaillah
Ra memancar dari
Rasulullah Saw.[35]
وَكُلُّ نَبِيٍّ وَرَسُولٍ مَادَتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ
صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Setiap nabi dan rasul, kehebatannya berasal dari Rasulullah Saw.
Disamping
tugas dalam urusan
lahiriyah (seperti membimbing dan menuntun ummat menuju kesadaran kepada Allah
Swt wa Rasulihi Saw), al-Ghauts Ra memiliki tugas lain
yang bersifat
batiniyah.
Tugas-tugas
batiniyah para Waliyullah Ra, antara lain:
a.
Penjaga dan penegak kebenaran Islam (syariah dan
hakikat), baik secara lahir maupun secara berdoa. HR. Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah",
bab "laa tazaalu"). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ
اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ
اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak sepi
dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang
menghinanya dan membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan
Allah. Mereka senantiasa berada di tengah-tengah masyarakat.
b.
Menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah
banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat
Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As
Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ
بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ
يُنْصَرُون
Tidak
sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak,
manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [36]
c.
Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Muad ibnu Jabbal,
Rasulullah Saw bersada :
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِمْ مِنَ الاَبْدَالِ بِهِمْ قِوَامُ الدُنْيَا
وأَهْلِهَا
Tiga
hamba. Barang siapa ada diantaranya, merekalah wali Abdal. Sebab (sirri radiasi batin dan doa) mereka dunia dan seisinya tetap
tegak.
d.
Sebagai penyalur (melaui doa) pemberian Allah Swt kepada
mahluk-Nya.
Dalam
kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani pada bab “qaf” dijelaskan, tugas
rohani al-Ghauts Ra adalah
penyalur pemberian Allah Swt kepada mahluk :
وَمِنْ هَذَا القُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الإمْدَادِ الإلَهِيَّةِ عَلى
جمِيْعِ العالَمِ العُلْوِيِّ والسُفْلِيِّ
Dari al-Quthbu, Allah memancarkan dan
menyebarkan sinar pemeliharaan-Nya kepada alam semesta, baik alam atas maupun
alam bawah.[37]
e.
Mewarisi tugas Rasulullah Saw, sebagai pembersih jiwa
manusia dari syirik, baik khafi (samar) atau jaly (jelas).
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan
diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis
riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ
لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan
ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi
dilipat untuk-ku.
d.
Kelemahan Para Waliyullah Ra
Memahami
pribadi al-Ghauts Ra merupakan jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu
yang senantiasa mengarah kepada kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal)
kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau
Ra, jalan pengenalan kepada Allah Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa
bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan
musyrik yang dianggap perbuatan tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
Sebagaimana umumnya manusia lain, disamping
memiliki kelebihan, para Ghauts Ra juga memiliki kelemahan. Beliau Ra juga
mengalami lapar, haus, sakit, membutuhkan pertolongan orang lain dan
sifat-sifat manusia lainnya. Demikian pula Rasulullah Saw, juga memiliki
kelemahan sebagaimana umumnya manusia. Sebagaimana yang tercermin dalam
keterangan dari :
d.1. Firman
Allah Swt, Qs. al-A’raaf : 108 :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ
لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
Katakanlah
(Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan
untuk diriku, kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah.
Kelemahan yang ada pada
Rasulullah Saw, inilah yang sering disalah artikan oleh orang-orang yang
mengingkari kelebihannya sebagai tempat bertawassulnya mukmin kepadanya. Dengan
dalih, bahwa Rasulullah Saw, dalam satu hal tidak dapat menolong dirinya,
apalgi menolong orang lain. Padahal semestiya, kelemahan Rasulullah Saw, tidak
menghilangkan kelebihan yang ada padanya. Kerana semua itu terjadi dan
terlaksana atas kehendak Allah Swt semata.
Diantara kelebihan
Rasulullah Saw, sebagai pebersih jiwa dari kekafiran dan kemunafikan. Firman Allah swt, Qs. Ali imran : 164 : [39]
لَقَدْ مَنَّ اللهُ الذِيْنَ أَمَنُوا اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُولاً
مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِم
وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتَابَ
وَالحِكْمَةَ
Sesungguhnya Allah telah memberi
nikmat kepada orang-orang mukmin ketika (Allah) mengutus didalam kelompok
mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Nya, dan membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka
al-Quran dan hikmah.
أَنَاالمَاحِي
الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْرَ أَنَاالحَاشِرالذِي يُحْشَر النَاسِ عَلَى قَدَمِي
Aku adalah pembasmi,
yang mana Allah membasmi kekufuran dengan-ku, Aku adalah Pengumpul, yang
manusia dikumpulkan diatas tapak
kaki-Ku.
Allah swt berfirman, Qs,
an-Nisa’/ 49 :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ
يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلْ اللهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
Apakah tidak kamu memperhatikan
orang-orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah-lah membersihkan
siapa yang dikehendakinya. [41]
أَتَانِي جِبْرِيْلُ
وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ : لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ
وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad,
Allah telah berfirman: Kalau
bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau
bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
d.2. Hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibn
Khatthab, Rasulullah Saw bersabda :[43]
وَلَمَّا
اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ
اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ
أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا
خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ
العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ
أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ
أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِ ذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ
مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam
terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak
dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda :
Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum
menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan
kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat
pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad
Rasulullah. Oleh karenanya aku mengerti
bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk
yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda : Benar kamu (Adam). Ia
(Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon
kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi
ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu.
Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, tugas tersebut dilanjutkan oleh para ulama, kiyahi dan
tokoh masarakat serta
waliyullah Ra, yang secara kemanusiannya memiliki kelemahan.
إِنَّ للهِ تَعَالَى عِبَادًا يُعْرِفُونَ
النَاسَ بِالمُوسِمِ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang mengetahui getaran hati manusia
Makna
Ya,rifuuna = yang mengetahui dalam hadis diatas, para ulama tasawuf
memberikan penjelasan :
يَطْلَعُونَ عَلَى مَا فِي
ضَمَا ئِرِهمِ وَأَحْوالِهِمْ
Ditampakkan kepada mereka bisikan dan getaran
hati manusia serta haliyah manusia.
أَيْ بِالنُفوسِ. قَالَ المُنَاوِي
غَرِقُوُا فِي بَحْرِ شُهُودِهِ فَجَادَ عَلَيْهِمْ بِكَشْفِ الغِطَاءِ عَنْ
بَصَائِرِهِمْ فَاَبْصِرُوا بِهَا
بَوَاطِنَ النَا سِ
Yakni: dengan jiwa. Al-Munawi berkata : mereka semua
tenggelam (istighroq) didalam lautan musyahadah Tuhan, sehingga mereka terbuka
penutup jiwanya dari beberapa bashirahnya, sehingga tampak bagi mereka (dapat
melihat) batiniyah manusia
إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ
تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
Sesungguhnya
rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kepada kamu semua ulama’
kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu
dan antara Allah.
Tanpa sinar radiasi batin Rasulillah Saw wa Ghautsi
Hadzaz Zaman Ra, manusia tidak dapat mengetahui jenis- jenis nafsu, alagai
menghilangkannya. Hanya dengan kontak
batin (ta’alluq bihasabir ruhaniyah) kepada Beliau Ta secara terus menerus,
manusia dapat mengetahui dan menghilangkan nafsu- nafsunya, dan makrifar kepada
Allah secara sempurna. Syeh
Muhammad Amin al-Kurdi menjelaskan :
تَزْكِيَةُ النَفْس لاَ تَتَيَّسَراِلاَ
بِنَظْر نَبِيٍّ اَوْ وَلِّيٍ ذِي
تجْربَةٍ فِي هَذَاالشَأْ نِ
Pembersihan jiwa tidak akan mudah, kecuali dengan nadzrah
Nabi atau wali (al-Ghauts – pen) yang memiliki keahlian tersebut. [47]
e.
Laknat Allah Bagi Mereka Yang Memusuhi Waliyullah
Allah
Swt tidak menghendaki kaum muslimin keluar dari barisan Sulthanul Auliya'. Dan
Allah Swt sangat murka kepada orang yang membenci atau memusuhi waliyullah.
Seseorang yang dalam hatinya terdapat rasa permusuhan atau kebencian terhadap
waliyullah apalagi al-Ghauts Ra, dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya
orang kafir jahiliyah. Sebagaimana tercermin dalam hadis dibawah ini :
1.
Hadits
riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda
:
اِنَّ
اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى
لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ
بِالحَرْبِ
Sesungguhnya
Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
Barangsiapa
menghina Sultan, maka Allah akan
menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan hadis ini, kitab “Dalil al-falihin”, juz III menjelaskan, hal-hal
yang dapat dikatakan menghina antara lain,
menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan
menghinakanya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan
terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang
pedih.
3.
Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih
Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"), Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ
لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ
إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan
dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan
sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir) jahiliyah.
Kata “amir” dan “sultan” dalam hadis ini dapat diartikan umum
(semua orang yang menjadi pimpinan), dan arti khusus (Amirul khalqi (pimpinan
para waliyullah, dan semua makhluk, atau Guru ruhani yang berpangkat al-Ghauts
Ra). Dan Para kaum sufi dan waliyullah,
mengartikannya dengan arti khusus.
Pendapat
ini didasarkan kepada : [49]
1.
Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ
اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah
dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah.
2.
Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa
mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
Kedua hadis ini, menujukkan sultan,
selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.
[1]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya’ Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[2]. Kitab Jami’ Karamah
al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[4]. Lihat kitab Jami’
karamah al-Auliya’ nya Syeh
an-Nabhani juz I, dalam bab “
[5]. Kitab Taqriib al-Ushuul,
karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit
wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau
kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan –
Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[6]. Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II
dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf
an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[7]. Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum
pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis,
karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3
pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
1.
Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.
kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi
Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit
Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.
Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky
(w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[10]. Hadis masyhur
yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[11] Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan,
nh : 523), Nasai (Amalul Yaum wal
Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih,
nh : 384). Jala’ al-Afhaam, nh :
104.
[12]. Kitab Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain
(Jala’ al-Afha dalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw
bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ
لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat
kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR.
Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah
kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa
bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu
Hurairah Ra).
[13]. Kitab Khazinatul Asraar,
Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[14]. Kitab kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[15]. Ibid,
riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahih, sunan dan musnad).
[16]. Kitab Afdlalus
Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab
ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts
yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[17]. Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam
bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada
penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ
فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada
segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai
tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).
[18]. Hadis riwayat Abu Nuaim dari
sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya
Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[19]. Kitab Dalail
an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[20]. Kitab Lubab
an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.
[21]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993, jilid I hlm 16-17.
[22]. Kitab Jalaul
Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian
ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[23]. Ibid, Jalaul
Afham.
[24]. Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh
Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes
Lirboyo Kota Kediri.
[25]. Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh
an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[26]. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya
Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah.
Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II,
dalam bahasan 69. Atau kitab al-Yawaqit
wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[27]. Kitab al-Insan
al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[28]. Kitab Saadatud
Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman
422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi
Ra, juz II dalam bab tasawuf.
[29]. Syeh
Al-Arif Billah wa Ahkamillah Ra, Beliau Hadlratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif
Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam
suatu fatwa amanat-Nya menjelaskan : Seorang Waliyullah belum tentu al-Arif,
tetapi al-Arif itu pasti Waliyullah.
[30]. Lihat kitab
Jami’u Karamatil Auliya’ oleh Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani,
percetakan Darul Fikri, Bairut Libanon,
tahun 1414 H/ 1993 M, juz I halaman 23.
[31]. Didalam kitab Kifayah al-Atqiya hlmn
9, diterangkan bahwa makna lillah dan billah adalah terpadunya antara syari’ah dan hakikah. فَالشَرِيْعَةُ
وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ
: Syariah adalah wujudnya
perbuatan yang disertai niat lillah, dan hakikat adalah perasaan menyadari
bahwa wujudnya semua perbuatan lahir dan
batin mahluk itu, atas titah Allah .
Imam Sya’rani dalam kitabnya ‘al-Yawaqit wal Jawahir, juz
I halaman 26 juga menjelaskan :
اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ
هِيَ عَيْنُ الحَقِيْقَةِ, اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا
وَسُفْلَى, فَالعُلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا
فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَلَمْ يَجِدُوهُ فِي
دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ
الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ
ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ .
Ketahuilah bahwa kenyataan
syari’ah adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi.
Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli
kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir. Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu
yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak
menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah
keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu
yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf
tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa
menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah Hakimuz Zaman (al-Ghauts
Ra).
[32]. Radaksi kalimat
ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin
Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70.
[33]. Rasulullah Saw
bersabda : لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya
daripada bapaknya, anaknya
dan seluruh menusia. Lihat
kitab Jawaahir al-Bukhaari -nya Mushthafa Muhammad, hadis nomer: 11,
kitab Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
[34]. Lihat kitab Muhtashar Ihya’ ‘Ulum ad-Din bab
II aqidah dan kitab Qawaid al-‘Aqa’id nya al-Ghazali.
[35]. Kitab Jami’
al-Ushul-nya Syeh Kamasykhanawi, dalam bab "bayan al-umum wa
al-khusus”.
[36]. Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm
: 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud
al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[37]. Lihat juga
kitab al-Yawaqit wa alJawahir, juz
II/ 80.
[39]. Firman Allah yang sepadan arti juga tedapat
dalam Qs : 2/129 dan 151, Qs : 62/2
[40]. Hadis
riwayat Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi
(Syamaail al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan
Timidzi, nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir),
Muslim (Shahim Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham, bab asma Nabi Saw, kitab As-Syifa bab
“asma rasul”, kitab Dalil
al-Falihin bab “asma Rasulullah”,
dan kitab Siraj al-Munir II/18.
[41]. Dalam kitab Lubab
an-Nuqul-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa ayat ini
diturunkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang merasa hatinya sudah
bersih, tanpa melalui Rasulullah Saw .
[42]. Hadis riwayat
ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus.
[43]. Hadis riwayat
: 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak,
2. Imam Baihaqi dalam Dalaa-ilun
Nubuwwah, 3. Imam Thabrani dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim
al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’,
4. Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam
kitabnya al-Lailil Masnunah, 6. An-Nabhani dalam kitab Syawahid Al Haq
Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh Abul Fadlol
‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[44]. Hadis riwayat
Hakim dan Bazzar dari sahabat Anas, kitab Siraj al-Munir Syarh al-Jami’
as-Shaghiir-nya Syeh ‘Ali Ibn Ahmad al-Azizi (darul fikri, Beirut-Libanon
: I/ 517).
[45]. Dalam kitab Siraj
al-Munirr, juz I, halaman 517.
[46]. Hadis
riwayat Thabrani dalm kitab nya Al-Kabiir,
dalam kitab Siraj al-Munir, juz
I, halaman 517, dan dalam juz II/ 61, memberi penjelasan makna ulama dalam
hadis ini, sebagai berikut :
هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ
الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ
وَرَثَتُهُ
Merekalah
perantara antara kamu semua dan antara Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang
asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris-Nya.
[47]. Kitab Tanwir
al-Qulub nya Syeh Muhammad Amin al-Kurdi
(Beirut, “dar al-fikri” cetakan tahun 1414 H) halaman : 410.
[48]. Lihat kitab Dalil
al-Falihin juz III, bab ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer : 10.
[49]. Tentang ulasan
tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam
kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan
penguasa yang dlalim”
No comments:
Post a Comment