Saturday, April 2, 2016

SHALAWAT WAHIDIYAH

SHALAWAT  WAHIDIYAH

Cara Pengamalan Shalawat Wahidiyah.

A.           Pengertian Shalawat Wahidiyah.[1]
a.        Shalawat Wahidiyah adalah seluruh rangkaian doa-doa shalawat yang tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah, segala kandungan yang terdapat didalamnya dan cara  pengamalannya termasuk bacaan surat al-fatihah.
b.        Shalawat Wahidiyah adalah rangkaian redaksi shalawat Nabi Saw, yang alhamdulillah oleh Allah Swt dikaruniai berbagai faedah antara lain dan terutama berupa kejernihan hati ketenangan batin dan ketentraman jiwa serta peningkatan daya ingat sadar/ ma’rifat kepada Allah Swt Yang Maha Esa wa Rasulihi Saw.
c.        Shalawat Wahidiyah mempunyai kandungan makna berupa suatu sistem bimbingan praktis untuk meraih iman, Islam dan ihsan yang kemudian disebut “AJARAN WAHIDIYAH”
d.        Shalawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah telah diijazahkan secara mutlak oleh Muallifnya yaitu Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Pengasuh Pondok Pesantren Kadunglo kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Propinsi Jawa Timur Indonesia, untuk diamalkan oleh siapa saja dan agar disiarkan kepada masarakat luas tanpa pandang bulu dengan ikhlas tanpa pamrih dan dengan cara bijaksana.
e.        Pengamalan shalawat Wahidiyah termasuk bagian dari amal sunnah dalam Islam.
f.         Shalawat Wahidiyah mulai disiarkan pada awal tahun 1963 M. 
 
B.      Thariqah Dalam al-Qur’an Dan Hadis.


Asal makna “thariqah” adalah jalan jalan untuk meraih atau menuju kepada sesuatu baik duniawi maupun ukhrawi. Kadang kata thariqah diartikan dengan kaifiyah atau manhaj (cara, system atau metode). Kemudian dalam kaidah tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini, setiap jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan sebagainya yang memerlukan baiat langsung (antara murid dan guru) serta adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.

Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua bagian; umum dan khusus.
1.                  Thariqah umum, adalah segala amal shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji).

Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih) mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara tersurat atau tersirat.

 وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ 

Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]

2.                  Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla, qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin. Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil Mukammil Ra, serta fadlal dari  Allah Swt.
Secara global, pengertian tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya. Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan berhakikat.

a.                 Qs. al-Ankabut : 69  : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.

Dan orang-orang yang senantiasa  bermujahadah (berjuang bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan (lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan). 

Para ulama kaum sufi, mengartikan kata subul dalam ayat 69 surat al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan. Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk (nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) :

وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر  
Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b.                 Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 : 

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
  :  Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah, niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar. [4]

            Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar. 
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1.      Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara syariat dan hakikat.
2.      Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.

1.            Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat),  para ulama yang ahli diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [6]

مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ  وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ

Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.

Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari sunnah Rasullah Saw  :
 وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ 

Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[7]

Bahkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]

إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا

Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun  mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan.

Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
 jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9].

Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :

a.         Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b.        Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks (tafsir isyari).
c.                  Pembersihan dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d.             Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e.         Menta’lif  redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan. 
            Memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f.               Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul  kepada Nabi Saw.

Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
         1.         Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :

يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
         2.         HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]

الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ

Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.

Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda  :[13]

إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ  أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.

Ketika kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).

Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan  :

لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ : Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya(Sunan Nasa’i  bi Hasyiyah as-Sindi  juz II, bab shalawat)

Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda  : 

  إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ 

Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai lelaki tersebut.  
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin mendekati air atau  nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan  melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan  : [14]

وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.

Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
 (Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.

HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.

Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw,  Nabi pembawa rahmat.[15]  Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.

Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, 

Rasulullah Saw bersabda  : [16]   إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ

Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ

Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :

الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.

Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]

Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.    

          فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.

   Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [19].

Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :

      قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ

                Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan  terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20].

Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs.  an-Nisa’ : 38,  dan al-Baqarah : 208

:         وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ  : Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.

Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :

وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.

Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah  terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia  :[24].

 إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ 

Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.

B.           Shalawat Sebagai Thariqah.............bersambung .....





CATATAN KAKI  :

[1].   Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2]      Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz  I/ 442.
[3].     Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli (membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat melihat kebesaran-Nya_.
[4].     Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt, berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5].     Kata “MUHSIN” sebagai  akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan  sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw:  الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari)  . 
[6].     Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.  
[7]      Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I / 442.
[8].     Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9].     Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item keputusan  ketujuh, pada bahasan ke 161 dan 162.
[10].    Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[11].    Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا                  فَإِنِّـي  وَحَـقُّ اللهِ  إِيَّاكَ  أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ    تُقًى                 وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
            Disini perlu diperhatikan, teks syair Imam Syafii tersebut, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
            Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan dipalsukan.
[12].    Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada  juz II dalam bab “wawu”.
[13].      HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada  juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[14].    Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[15].    Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[16].    . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[17].    HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[18].    Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[19].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[20].    Kitab Thabaqaat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II, kisah Syeh Ibnu Makhala.
[21].    Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[22].    Ibid. Dalam  bab “sanadul qaum”,  Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya (sambungan jiwa) dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[23].    Diantara tanda benar dan sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya dekat dengan sedekat mungkin  kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat tersebut dinilan batal. Lihat kitab al-Anwarul Qudsiyah al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[24].    Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau  kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.

KETERANGAN :     MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.

No comments:

Post a Comment