SHALAWAT WAHIDIYAH
Cara Pengamalan Shalawat Wahidiyah.
A.
Pengertian Shalawat
Wahidiyah.[1]
a.
Shalawat Wahidiyah adalah seluruh rangkaian doa-doa shalawat yang
tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah, segala kandungan yang terdapat didalamnya dan cara
pengamalannya termasuk bacaan surat al-fatihah.
b.
Shalawat Wahidiyah adalah rangkaian redaksi shalawat Nabi Saw, yang alhamdulillah oleh
Allah Swt dikaruniai berbagai faedah antara lain dan terutama berupa kejernihan hati ketenangan batin dan ketentraman jiwa serta peningkatan daya ingat sadar/ ma’rifat kepada
Allah Swt Yang Maha Esa wa Rasulihi Saw.
c.
Shalawat Wahidiyah mempunyai kandungan makna
berupa suatu sistem bimbingan
praktis untuk meraih iman, Islam dan ihsan yang kemudian disebut “AJARAN WAHIDIYAH”
d.
Shalawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah telah diijazahkan secara
mutlak oleh Muallifnya yaitu Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Pengasuh Pondok Pesantren Kadunglo kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Propinsi Jawa Timur Indonesia, untuk diamalkan oleh siapa saja
dan agar disiarkan kepada masarakat luas tanpa pandang bulu dengan
ikhlas tanpa pamrih dan dengan cara bijaksana.
e.
Pengamalan shalawat Wahidiyah termasuk bagian dari amal “sunnah” dalam Islam.
f.
Shalawat Wahidiyah mulai disiarkan pada awal tahun 1963
M.
B. Thariqah Dalam al-Qur’an Dan Hadis.
Asal
makna “thariqah” adalah jalan jalan untuk meraih atau menuju kepada
sesuatu baik duniawi maupun ukhrawi. Kadang kata thariqah
diartikan dengan kaifiyah atau manhaj
(cara,
system atau metode). Kemudian dalam kaidah tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti
ini, setiap
jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat dijadikan thariqah. Dengan demikian, Shalawat
Wahidiyah dapat juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem,
metode atau kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang berkaitan dengan
sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan sebagaimana makna sanad/
silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan dalam tarekat Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan sebagainya yang memerlukan bai’at langsung (antara murid dan guru) serta adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan pemaknaan shalawat sebagai
thariqah,
sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah
yang utama dan dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi
Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana
penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah
at-Tammah -, terbagi kedalam dua bagian; umum dan khusus.
1.
Thariqah umum, adalah
segala amal shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara
sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang
terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya
diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung didalam
setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji).
Para ulama salafus shalih (ulama
terdahulu yang shalih) mengatakan : tahriqah (amalan yang
baik) adalah jalan kebaikan yang diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah
Saw baik secara tersurat atau tersirat.
وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ
Thariqah (jalan) yang
diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara
langsung/ tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat yang digali
dari dari nash tersurat.[2]
2.
Thariqah khusus adalah
jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak hati (sabar, ridla, tawakkal,
mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun
urutan cara pengamalannya oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus
ini memiliki persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas berat.
Pada
umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak dalam urutan tatacara
pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla, qana’ah dan seterusnya). Atau
pensimpelan beberapa jenis akhlak yang sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan
qana’ah, yang dijadikan satu dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya,
kemampuan perjuangan orang awam dalam mencapai akhlak hati,
tidak setinggi kemampuan para arifin. Jika para ulama Arif
billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara keseluruhan dari macam-macam
jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah rasul. Sedangkan orang awam hanya
mampu mencapai beberapa jenis akhlak saja, dan itupun
secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis tarekat tersebut adalah
sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat tergantung pada
kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil Mukammil Ra, serta fadlal
dari Allah Swt.
Secara global, pengertian tarekat, adalah jalan untuk meraih
akhlakul karimah, yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama
sufi menyusun rinciannya. Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar,
bila memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan
pengamalnya bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan
berhakikat.
a.
Qs. al-Ankabut
: 69 :
وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.:
Dan orang-orang yang senantiasa
bermujahadah (berjuang bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya
Kami akan menunjukkan (lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan).
Para ulama kaum
sufi, mengartikan kata “subul”
dalam ayat 69 surat al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan. Sedangkan
makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk (nafsu) secara
sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang baik.[3]
Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya
(tafsir al-Qurthubi) :
وَمِنْهُ
مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر :
Dan diantara
berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang
terbesar.
b.
Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 :
وَأَنْ لَوِ
اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
: Dan jika
sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah, niscaya Kami
akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar. [4]
Ayat
16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah dalam melaksanakan suatu
amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya fadlal dari Allah Swt yang
digambarkan dengan air yang segar.
Diantara kesimpulan yang
dapat diambil dari :
1. Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah
jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat ihsan
[5]
(sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan kata lain, membawa
mukmin kepada praktek trhadap sunnah
rasul secara syariat dan hakikat.
2. Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati mukmin akan terpancari
oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat menghayati makna yang terkandung
didalam ritual ibadah (yang diwajibkan atau disunnahkan) baik ucapan atau
perbuatan.
1.
Sunnah ulama.
Banyak manusia
dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka,
agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan
hakikat), para ulama yang ahli
diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/
thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan
diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي
الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ
سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa
saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya
pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa
mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah
dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang
mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari
pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus
shalih) berpendapat :
thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan
yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari
sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ
طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ
بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya
tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna
tersirat).[7]
Bahkan
dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat
360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ
شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ
أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya
syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak
seorang-pun mengambil dari salah
satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan
jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
jumlah thariqah yang
masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang
tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman
kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny
yang mu’tabar.[9].
Sebagaimana
lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya,
terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt
menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang
dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan
Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara
sunnah para ulama :
a.
Pembersihan
dari pemalsuan hadis.
Dicatat
dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar,
Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya
para ulama tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang
mu’tabar.[10]
b.
Pembersihan
dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian
mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara
harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks (tafsir isyari).
c.
Pembersihan
dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan
iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para
ulama kaum sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam
bidang pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw,
pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’, takabbur
dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan,
sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d.
Pembersihan
dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa
memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. keduanya merupakan
ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib
memadukan keduanya. [11]
e.
Menta’lif redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu
maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang
mudah serta jelas. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para
ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai
dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau
thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan.
Memahami
keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan
cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan
yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui
Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f.
Menta’lif
redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang
pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan
hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan
ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
1.
Firman Allah
Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah.
Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan
sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua
memperoleh keberuntungan.
الوَسِيْلَةُ
دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي
الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagi. Maka
mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi
mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam
ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat
adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda :[13]
إِذَا
سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا
اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ
لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ
الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika
kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian
bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat
kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya
tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”.
Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat
itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya.
Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat
(dariku).
Syekh as-Sindi,
dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan :
لاَيُخْرَجُ
رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ
: Tidak keluar (dari Allah) rizki
dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (Sunan Nasa’i bi Hasyiyah as-Sindi juz II, bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih
Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ
فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ
الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam
surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap
sebagai lelaki tersebut.
Sebagaimana
ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada
makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat
menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan.
Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya
adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin
mendekati air atau nasi, serta
menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian
pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk
mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini,
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M),
menjelaskan : [14]
وَأَمَّا
النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ
اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan
Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta
pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul
Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan
oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap
kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan
kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah
:
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw,
Nabi pembawa rahmat.[15] Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap
Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah
syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli
dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw
pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan
dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra,
Rasulullah Saw
bersabda : [16] إِنَّ مِنَ
النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ :
Sesungguhnya
diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah.
Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا
: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah
kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab
: Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang
yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah
dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat
al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi
Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang
diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya
perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah,
bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang
(Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan.
Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat dinamakan pengamalan
thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid
yang kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada
Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ
هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي
يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [19].
قَلْبُ
العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ
المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah
itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya.
Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya,
maka akan terbuka baginya pintu hadlrah
Allah Swt. [20].
Demikian pentingnya peranan Guru
Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua
pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau
membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari
pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/
nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta
mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang
Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari
setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs.
an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah :
208
: وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
: Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia
merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas,
mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan
bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi
melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya.
Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ
أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ
وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ
وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا
يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ
الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ
الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار
النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ
مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ
مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ
بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا.
حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ
الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ
يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى,
بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami
mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung
dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram),
khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir
atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat
bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan
ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para
pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun,
setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan
manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat
kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang
yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa
yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid)
sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta
kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk
memperolehnya.
Hingga
aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang:
“Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?. Jawab pedagang : Jika ia guru
mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia
lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia
lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan
kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang
menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa
kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh
tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat
dalam jiwa setiap manusia :[24].
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh
yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan
aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat
Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia
memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau
Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya,
akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah
Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
B.
Shalawat Sebagai Thariqah.............bersambung .....
[2] Kitab
Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi,
juz I/ 442.
[3]. Istilah yang
masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli (membersihkan hati dari
sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan sifat terpuji) dan tajalli
(Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat melihat kebesaran-Nya_.
[4]. Terlepas
setuju atau tidak, ayat diatas dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam
mengamalkan amalan sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan
alhamdulillah setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang
didapatkan dari Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari
Allah Swt, berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt
wa Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya
kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5]. Kata “MUHSIN”
sebagai akar dari kata “ihsaan” yang
memiliki arti : orang yang imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat
diartikan sebagaimana keterangan dalam
sabda Rasulullah Saw: الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ
لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ : Ihsan adalah
sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan engkau melihat-Nya.
Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari) .
[6]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
[7] Kitab
Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[8]. Kitab Syawahid
al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9]. Kitab Sunny
yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam
Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah
as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat
ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah
thariqah Indonesia), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item
keputusan ketujuh, pada bahasan ke 161
dan 162.
[10]. Dalam menentukan
derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah terbukukan dalam kitab
Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu
lagi mengadakan takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah
menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering
mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh
ulama dahulu.
[11]. Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil”
Bairut, tahun 1974,
menjelaskan :
فَقِيْهًا
صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ
أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ
يَذُقْ تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah
kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku
dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli
fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli
tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
Disini perlu diperhatikan, teks syair
Imam Syafii tersebut, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan
dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama
Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl.
Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
Dalam buku ini, diterangkan juga
bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya,
mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang
bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak
ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang
terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan
dipalsukan.
[12]. Hadis shahih
riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam
jalaluddin Suyuthi pada juz II dalam bab
“wawu”.
[13]. HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii
Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[14]. Kitab
Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya
Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah
kepada Nabi Saw”.
[15]. Hadis
ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ :
107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali
sebagai rahmat kepada alam.
[16]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab
“alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[17]. HR.
Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[18]. Kitab
as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I
pada pasal 1.
[19]. Kitab al-Ghunyah
dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab
“al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[21]. Kitab al-Anwarul
Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”.
Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi
dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika
al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah
al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis
kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya
penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum
fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan dalam Islam.
Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif
Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana
yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah
(sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai
keluhuran budi).
[22]. Ibid.
Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru
mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya
seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Beliau Ra memiliki amalan yang
sanadnya (sambungan jiwa) dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2
orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah
Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra
mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli
Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah
wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari
Rasulullah Saw.
[23]. Diantara tanda benar dan
sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya dekat
dengan sedekat mungkin kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah
dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat
tersebut dinilan batal. Lihat kitab al-Anwarul Qudsiyah al-Ghauts fii
Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[24]. Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi,
juz I bab alif. Atau kitab Kasyful
Khifa’ juz I, bab alif.
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
No comments:
Post a Comment