Saturday, April 16, 2016

C. TAFAKKUR DAN TA'BIR



C.   Tafakkur Dan Ta’bir.
1.    Beberapa Pandangan.
Manusia merupakan mahluk yang paling misteri. Penyelidikan dan pandangan tentang keberadaannya, merupakan obyek yang sangat menarik dan paling rumit, hingga tak kunjung selesai untuk dibicarakan. Kajian tentang manusia dan prilakunya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu. Ilmu sosial, budaya, politik, ekonomi, seni, etika dan aneka ragam paham filsafat. Diantara penyelidikan yang sangat menarik dan sangat rumit, adalah menjawab pertanyaan; Apakah ada  manusia sempurna itu ?. Jika ada, berapa jumlahnya?. Serta apa ukuran untuk menentukan dan mengetahuinya ?.
Berbagai pandangan telah dimunculkan oleh para ahli. Pertama, ada yang berpandangan kesempurnaan manusia ditinjau dari kekuasaannya. Semakin luas dan besar kekuasaan seseorang, semakin sempurna jati dirinya. Manusia, dapat dikatakan sempurna, jika telah menjadi raja perkasa diatas bumi yang tidak ada yang mengalahkannya. Kedua, ada yang meninjau kesempurnaan manusia dari sisi kepuasan dan kebebasannya. Semakin bebas ia berbuat tanpa ada yang menghalangi, maka semakin puas hidupnya, dan berarti sempurna pula kemanusiaannya. Kedua paham ini dimunculkan oleh kaum kafirin (atheis).
Ketiga, kaum humanis  berpandangan bahwa  kesempurnaan manusia, ditinjau dari sisi etika, prilaku serta sikapnya terhadap sesama dan alam lingkungannya. Semakin banyak darma yang dilakukan untuk pengembangan dan kemajuan lingkungan, maka semakin sempurna kemanusiannya. Dan keempat, ada pula yang berpandangan kesempurnan manusia ditinjau dari tingkat kesadarannya kepada Tuhan Pencipta dan Penguasa Alam semesta. Seseorang, ketika berinteraksi dengan makhluk, jiwanya dapat terbebas dari ketergantungan kepada makhluk yang ada dilingkungannya maupun ego diri, dan hanya tergantung kepada Allah Swt. Semakin tinggi pendakian ruhani yang dicapai, ia akan naik ketingkat pemahaman dan kesaksian terhadap ketunggalan wujud Tuhan Yang Maha Esa (maqam Wahidiyah dan Ahadiyah, atau dalam istilah lain disebut maqam wahdatus syuhud). Dengan pencapaian ini seseorang akan mendapat anugrah paling agung dan sempurna, berupa sinar Asma dan Akhlaq Allah Swt.[1] Anugrah inilah yang diperuntukkan kepada para nabi dan rasul sejak Nabi Adam As sampai Rasulullah Saw.

2.    Strata Kehidupan
Dalam setiap sudut kehidupan terdapat tingkatan-tingkatan. Keadaan terendah, menengah dan teratas. Ada kelompok terbelakang, berkembang, maju dan paling maju. Ada orang yang terkaya, agak kaya, kaya, miskin dan termiskin. Dalam kemampuan akal, ada seseorang yang pandai, terpandai dan ada pula yang masih primitive. Dalam bidang kwalitas dan mutu, ada yang terbaik, berkembang dan ada pula yang terburuk. Begitu pula dalam sudut kehidupan lainnya.
Contoh-contoh dalam beberapa strata kehidupan berikut ini, akan lebih memperjelas adanya makhluk terbaik dalam setiap kehidupan, misalnya :
1)                Dalam sosial masarakat, ada yang manusia terbaik (karena kwalitas atau karena keturunan) yang dijadikan pemimpin, yang mana ia sebagai pusat pengaturan dan pembagian kekuasaan dalam lingkungannya.
2)                Dalam setiap lingkungan masyarakat, terdapat markas/ kantor sebagai tempat pusat pengaturan atau kekuasaan. Misalnya setiap negara, propinsi, atau daerah kabupaten memiliki tempat  pusat pemerintahan yang disebut Ibu kota.
3)                Dalam dunia olah raga juga terdapat pemain atau team yang tergolong ringking ter-bawah, bawah, menengah, atas, dan ter-atas.
a.       Dalam setiap kompetisi sepakbola dunia yang diselenggarakan 4 tahun sekali, melahirkan tim serta pemain ter-baik.
b.      Dalam setiap pergantian tahun, kita mengenal nama-nama olahragawan terbaik. Misalnya dalam tahun 1980 – 1900, kita mengenal nama Andre Agassi, Steffi Graff, Martina Navratilova, Gabrille Sabatini, Yayuk Basuki (tenis lapangan). Dalam sepak bola, kita mengenal nama Pele, Ronaldo, Romario, Digo Amandow Maradona, Josh Weach, Rutt Gullit, Fans Basten dll. Dalam dunia bulutangkis, kita mengenal Rudi Hartono, Lim Swi King, Morthen Van Hanshen, dll.
4)                Bila dibandingkan dengan planet lain, bumi merupakan planet paling lengkap komponen kimiawinya, hingga dapat memberikan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan.
5)                Bila dibandingkan dengan mahluk lain, susunan kimiawi jasmani manusia merupakan susunan yang paling lengkap dan sempurna.
6)                Dalam organ tubuh manusia terdapat saraf sebagai pusat penggerak dan pengendali organ lainnya. Gerakan tubuh, bukan muncul dari masing-masing organ, tapi dikendalikan oleh saraf yang besarnya kurang lebih 4 cm. Organ yang sangat kecil ini dapat mengendalikan organ lain yang besarnya beratus-ratus kali. Bahkan syaraf manusia ini mampu mengendalikan sebuah organisasi atau Negara yang besar.
7)                Jiwa manusia merupakan jiwa paling sempurna bila dibandingkan dengan jiwa mahluk lain (hewan, jin, setan, malaikat dan lainnya).
8)                Tingkatan iman dan taqwa seseorang kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, ada yang rendah, menengah, tinggi dan tertinggi.
D.  Jadi, kehidupan ini telah menunjukkan adanya satu mahluk yang tertbaik dan paling semurna organ tubuh dan  jiwanya, yang karenanya ia menjadi pusat dari seluruh mahluk. Dan dalam konsep Islam, pusat mahluk tersebut terdapat pada manusia yang masih hidup dalam alam fana, dan bukan pada mereka yang telah pulang kerahmatullah. Setiap manusia organ tubuhnya mengandung komponen dari seluruh kimiawi yang ada didalam alam semesta ini. Oleh Allah Swt, manusia ditempatkan pada planet bumi yang susunan kimiawinya juga meliputi seluruh kimiawi yang ada pada planet lain. Jika manusia, dapat mengembangkan jiwa spiritualnya sampai kepada tingkat kesempurnaan, maka ia akan menjadi pusat makhluk secara batiniyah.  

E.   Pembimbing Ruhani

Manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh. Ia mengenal alam dan lingkungannya setelah mendapat arahan dari orang tua, pengasuh atau orang lain. Tanpa mereka, seseorang sangat lamban dalam mengenal dirinya dan alam lingkungannya.
1.       Antara Insan Kamil atau Setan/ Nafsu.
Manusia akan lurus dan benar tindakan dan prilakuknya, bila ia memiliki ilmu yang benar. Dapat memiliki ilmu yang benar, bila manusia mendapatkan seorang pembimbing yang ilmunya benar pula. Demikian pula sebaliknya. Manusia akan terjerumus bila memiliki guru pembimbing yang ilmunya salah.
Tidak semua orang pandai dapat dijadikan guru. Setiap mukmin wajib selektif dalam memilih guru. Sebagaimana keterangan hadis riwayat Iam Muslim dan Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
Ilmu ini, adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.
Allah Swt telah menghendaki, manusia berwatak paternalistik, (membutuhkan/ mengikuti seorang tokoh sebagai panutan). Tujuan utama diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun umat dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam memahami ketuhanan Allah Swt. Semua orang sepakat, bahwa tidak seorangpun dalam memahami agama tanpa guru pembimbing. Namun, mereka berbeda dalam memahami tugas guru. Diantara mereka ada yang berpendapat, tugas guru hanyalah memperkenalkan dan menjelaskan ilmu atau ajaran agama, dan fungsi ilmu agama sebagaimana fungsi ilmu lainnya yang bersifat member informasi saja. Ada pula yang berpendapat, - disamping menjelaskan dan menginformasikan -, tugas guru yang paling adalah mengantar dan menemani manusia dalam pendekatan kepada Allah Swt.  Dan pula, yang berpendapat, guru adalah pancaran rahmat dan anugrah Tuhan untuk makhluk semesta. Jenis guru yang terakhir, adalah guru yang berpangkat ghautsiyah yang hanya satu orang dalam setiap saat. 
Rasulullah Saw merupakan nabi akhir zaman yang mana ulasan tentang ketuhanan yang dibawanya telah mencapai kesempurnan. Namun, sepeninggal Beliau Saw, diantara mukmin perbedaan terjadi penafsiran yang sangat tajam. Masing-masing saling mendakwa dirinya yang paling benar. Bahkan, kepada seseorang yang berseberangan dengan tafsirannya, dikatakan berseberangan dengan prinsip (sunnah) rasul, padahal baru bersebarangan dengan tafsirannya.
 Dalam memahami al-kalangan kaum sufi, berlaku sebuah prinsip yang sangat paten lagi teramat penting,  bahwa manusia berada antara dua penuntun, nafsu (setan yang telah menyatu dengan jiwa, ke-ego-an) atau mursyid yang kamil. Manusia, jika jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang kamil (menurut Allah Swt wa Rasulihi Saw), pasti dipandu oleh nafsu. Dan demikian sebaliknya. Tidak dua pemandu dalam jiwa dan fikiran manusia. Memiliki Guru ruhani yang Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang.
Berdasar beberapa hadis dan ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk meluruskan iman, Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[2] menjelaskan  :
  مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ 
Barang siapa tidak memiliki guru, [3] maka ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setanlah pembimbingnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra (dan penjelasan ini telah disepakati oleh pawa auliyaillah Ra) :
 مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ
            Barang siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
Dalam beragama, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar ahli. Firman Allah Swt, Qs an-Nahl :  43  :
  وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْن  
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau kecuali seorang lelaki yang Kami memberikan wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak  mengetahui.
Dan pada ayat lain dijelaskan, untuk memahami keberadaan Allah Swt, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar memahami-Nya. Qs. al-Furqan : 59 :
الذِي خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا
 Dia Dazt Yang menciptakan langit dan bumi beserta sesuatu yang ada didalmnya dalam enam masa. Kemudian Allah berberkuasa diatas arasy. (tentang) Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah kepada orang yang memahami-Nya (yakni Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Sangat sukar mencari guru yang dapat mengantarkan kepada iman, Islam dan ihsan, atau guru yang diridlai oleh Allah Swt. Karena sangat sukarnya, para waliyullah mengibaratkan, bagaikan mencari belerang merah. Mengapa demikian ?. jawaban yang tepat, karena kebanyakan manusia, dalam menuntut ilmu-ilmu agama, bukan untuk diamalkan, akan tetapi hanya untuk meningkatkan status sosial serta mencari simpati ditengah-tengah masarakat. Sebagaimana yang tersari dalam sabdaRasulullah Saw :  
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهَنمََ
            Barang siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. [4]
Rasulullah Saw menerangkan, diantara tanda-tanda orang diridlai oleh Allah Swt, ketika bertambah ilmunya, maka bertambah hidayahnya serta tidak tenggelam dalam tipuan, kehormatan dunia.
                   مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا.  مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
                        Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah kecuali jauh dari Allah. Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah zuhud-nya  maka tidak bertambah, kecuali semakin  jauh dari Allah.  [5]
Sebagai pengamal atau khadimul wahidiyah, untuk meningkatkan kemawasan diri, patut jika kita senantiasa mengingat-ingat peringatan kedua hadis diatas.
Orang yang dimurkai oleh Allah Swt tidak boleh dijadikan guru dalam agama. Yaitu orang yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan, tetapi hanya untuk mencari kehormatan  dihadapan manusia, bukan untuk memahami hakikat dunia, tetapi untuk meraihnya. Diantara tanda-tanda orang yang dimurkai-Nya,  ialah oaring yang kabaikannya hanya terdapat pada kepandaian berbicara, sedangkan prilakunya bertentangan dengan yang diucapakannya, ia membaca al-Qur,an, namun tidak menghayati maknanya.
Hadis riwayat Abu Daud, Rasulullah Saw bersabda  : [6]
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ  عَلى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu) kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an.  Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek mahluk  (a).   
قَامَ فِي النَاسِ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الدَجَّالُ فَقَالَ : إِنيِّ لآُنْذِرُكُمُوهُ مَامِنْ نَبِيٍّ إلآّ َقَدْ أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ وَلَكِنِّي سَأَقُولُ لَكُم فِيْهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِيُّ لِقَوْمِهِ إِنَّهُ أَعْوَرٌ.
Nabi Muhammad Saw berdiri ditengah-tengah manusia. Beliau menyebut nama dajjal. Beliau bersabda : Sesungguhnya Aku mengingatkan kamu semua tentang dajjal.  Tidak ada Nabi kecuali telah mengingatkan kaumnya tentang (dajjal). Sungguh Nabi Nuh telah mengingatkan kaumnya tentangnya.  Akan tetapi Aku akan menerangkan sesuatu kepadamu tentang dajjal yang belum pernah diterangkan oleh para nabi kepada kaumnya. “Ia (dajjal) itu matanya buta satu salah satu (b).
قَالَ : إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ بَعْدَ نُوحٍ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرّ الدَجَّالَ قَوْمَهُ وَإِنِّي أُنْذِرُكُمُوهُ , فَوَصَفَهُ لَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَقَالَ :  لَعَلَّهُ سَيُدْرِكُهُ مَنْ قَدْ رَأَنِي وَسَمِعَ كَلاَمِي
Sungguh tidak ada nabi setelah Nabi Nuh, kecuali ia telah mengingatkan (dengan sungguh-sungguh) tentang dajjal kepada  kaumnya.  Kemudian kepada kami Rasulullah Saw menjelaskan sifat-sifat dajjal. Kemudian Beliau bersabda  : “Semoga dapat mengetahui dajjal, orang-orang yang dapat melihat Aku dan memahami sabda (hadis)-ku” (c).
Allah Swt melarang umat Islam berguru kepada seseorang yang hatinya banyak lupa kepada-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28  :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan memang dia melampaui batas.
Mengikuti orang yang hatinya lupa kepada Allah Swt (baik melupakan Allah Swt sebagai Penguasa makhluk atau lupa kepada ancaman dan siksaan-Nya), berarti mengikuti ajakan hawa nafsu. Setiap orang, disaat hatinya lupa kepada Allah Swt, pasti setan akan datang menghampirinya, dan kemudian membelokkan pemahaman orang tersebut dari kebenaran, dan mereka mengira masih berada dalam hidayah-Nya, padahal telah berada dalam genggaman setan. Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119   :
  وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا 
Sesiapa saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong  dan   kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Seorang salik harus selektif dalam memilih guru. Al-Quran menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti adalah ulama yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah berinaabah kepada-Nya. Firman Allah Swt : [7]
 وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali. (Qs. Luqman : 15).
          Kata ثُمَّ  = kemudian, dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu berinaabah, dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali kepada Allah Swt.
Dan iman, Islam dan ihsan itu hanya diberikan oleh Allah Swt kepada orang yang terbaik dalam setiap generasi. HR. Imam Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda : [8]
يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ يَنْفَوْنَ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
Ilmu ini akan dibawa (diwarisi) oleh orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan penafsiran kaum yang bodoh.


F.       Ulama Waratsatul Anbiya
Setiap orang (lebih-lebih yang telah dianggap masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai pengkhianat sunnah rasul.



Sedangkan akhlak para waliyullah Ra didapatkan dari pancaran Rasulullah Saw. Seseorang, setelah melalui latihan (mujahadah) serta menaiki beberapa tahapan jiwa, barulah ia mendapatkan anugrah akh[1]. Kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah Saw didapatkan secara langsung dari Allah Swt. lak yang karimah. Diantara tahapan jiwa tersebut; pertama, takhalli : pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela (syirik, ujub, riya’ dan linnya). Kedua, tahalli : pengisian jiwa dengan akhlak yang terpuji (taqwa, ihsan, sabar, ridla, syukur dan lainnya). Baru kemudian memperoleh tajalli : Allah Swt menampakkan diri serta menyinarkan akhlak-Nya.
[2].    Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak karamahnya.
[3].    Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[4].     HR. Ibnu Abd Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[5].     Hadis riwayat Dailami dari sahabat Jabir Ra, kitab Siraj al-Munir Syarh al-jami’ as-Shaghir nya Syeh Ali Ibn Ahmad al-Azizi (Beriut “Dar al-fikri”, tt.)  juz III, hlm : 326, dinukil dari kitab “Musnad al-Firdaus” nya Imam ad-Dailami.  Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “afat ilmu”.
[6].     Dari sahabat Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud  juz IV  : a.   nomer hadis  : 4765.  b.   nemer hadis :  4757.   c.  nomer hadis  : 4756
[7].   Inabaah (sebagai kata jadian dari kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif).  Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti = perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
                إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ  
Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[8].     Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I dalam bab “man yaqbalu khabaruhu” pada pasal keempat. Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qusthalani dalam “muqaddimah”. Kitab Manhal al-Lathif-nya Syeh as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki pada ulasan “fadl-lu ulum al-hadits”

No comments:

Post a Comment