1.
Beberapa Pandangan.
Manusia
merupakan mahluk yang paling misteri. Penyelidikan dan pandangan tentang
keberadaannya, merupakan obyek yang sangat menarik dan paling rumit, hingga tak
kunjung selesai untuk dibicarakan. Kajian tentang manusia dan prilakunya telah
melahirkan berbagai disiplin ilmu. Ilmu sosial, budaya, politik, ekonomi, seni,
etika dan aneka ragam paham filsafat. Diantara penyelidikan yang sangat menarik
dan sangat rumit, adalah menjawab pertanyaan; Apakah ada manusia sempurna itu ?. Jika ada,
berapa jumlahnya?. Serta apa ukuran untuk menentukan dan mengetahuinya ?.
Berbagai
pandangan telah dimunculkan oleh para ahli. Pertama, ada yang
berpandangan kesempurnaan manusia ditinjau dari kekuasaannya. Semakin luas dan
besar kekuasaan seseorang, semakin sempurna jati dirinya. Manusia, dapat
dikatakan sempurna, jika telah menjadi raja perkasa diatas bumi yang tidak ada
yang mengalahkannya. Kedua, ada yang meninjau kesempurnaan manusia dari
sisi kepuasan dan kebebasannya. Semakin bebas ia berbuat tanpa ada yang
menghalangi, maka semakin puas hidupnya, dan berarti sempurna pula
kemanusiaannya. Kedua paham ini dimunculkan oleh kaum kafirin (atheis).
Ketiga, kaum humanis berpandangan bahwa kesempurnaan manusia, ditinjau dari sisi
etika, prilaku serta sikapnya terhadap sesama dan alam lingkungannya. Semakin
banyak darma yang dilakukan untuk pengembangan dan kemajuan lingkungan, maka
semakin sempurna kemanusiannya. Dan keempat, ada pula yang berpandangan
kesempurnan manusia ditinjau dari tingkat kesadarannya kepada Tuhan Pencipta
dan Penguasa Alam semesta. Seseorang, ketika berinteraksi dengan makhluk,
jiwanya dapat terbebas dari ketergantungan kepada makhluk yang ada
dilingkungannya maupun ego diri, dan hanya tergantung kepada Allah Swt. Semakin
tinggi pendakian ruhani yang dicapai, ia akan naik ketingkat pemahaman dan
kesaksian terhadap ketunggalan wujud Tuhan Yang Maha Esa (maqam Wahidiyah
dan Ahadiyah, atau dalam istilah lain disebut maqam wahdatus syuhud).
Dengan pencapaian ini seseorang akan mendapat anugrah paling agung dan
sempurna, berupa sinar Asma dan Akhlaq Allah Swt.[1] Anugrah inilah yang diperuntukkan kepada
para nabi dan rasul sejak Nabi Adam As sampai Rasulullah Saw.
Contoh-contoh dalam beberapa strata kehidupan berikut ini, akan lebih memperjelas
adanya makhluk terbaik dalam setiap kehidupan, misalnya :
1)
Dalam
sosial masarakat, ada yang manusia terbaik (karena kwalitas atau karena
keturunan) yang dijadikan pemimpin, yang mana ia sebagai pusat pengaturan dan
pembagian kekuasaan dalam lingkungannya.
2)
Dalam
setiap lingkungan masyarakat, terdapat markas/ kantor sebagai tempat pusat pengaturan
atau kekuasaan. Misalnya setiap negara, propinsi, atau daerah kabupaten
memiliki tempat pusat pemerintahan yang
disebut Ibu kota.
3)
Dalam
dunia olah raga juga terdapat pemain atau team yang tergolong ringking ter-bawah,
bawah, menengah, atas, dan ter-atas.
a.
Dalam
setiap kompetisi sepakbola dunia yang diselenggarakan 4 tahun sekali,
melahirkan tim serta pemain ter-baik.
b.
Dalam
setiap pergantian tahun, kita mengenal nama-nama olahragawan terbaik. Misalnya
dalam tahun 1980 – 1900, kita mengenal nama Andre Agassi, Steffi Graff, Martina
Navratilova, Gabrille Sabatini, Yayuk Basuki (tenis lapangan). Dalam sepak
bola, kita mengenal nama Pele, Ronaldo, Romario, Digo Amandow Maradona, Josh
Weach, Rutt Gullit, Fans Basten dll. Dalam dunia bulutangkis, kita mengenal
Rudi Hartono, Lim Swi King, Morthen Van Hanshen, dll.
4)
Bila
dibandingkan dengan planet lain, bumi merupakan planet paling lengkap komponen
kimiawinya, hingga dapat memberikan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh manusia
dan hewan.
5)
Bila
dibandingkan dengan mahluk lain, susunan kimiawi jasmani manusia merupakan susunan
yang paling lengkap dan sempurna.
6)
Dalam
organ tubuh manusia terdapat saraf sebagai pusat penggerak dan
pengendali organ lainnya. Gerakan tubuh, bukan muncul dari masing-masing organ,
tapi dikendalikan oleh saraf yang besarnya kurang lebih 4 cm. Organ yang sangat
kecil ini dapat mengendalikan organ lain yang besarnya beratus-ratus kali.
Bahkan syaraf manusia ini mampu mengendalikan sebuah organisasi atau Negara
yang besar.
7)
Jiwa
manusia merupakan jiwa paling sempurna bila dibandingkan dengan jiwa mahluk
lain (hewan, jin, setan, malaikat dan lainnya).
8)
Tingkatan
iman dan taqwa seseorang kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, ada yang rendah, menengah,
tinggi dan tertinggi.
D. Jadi, kehidupan ini telah menunjukkan adanya satu mahluk yang tertbaik
dan paling semurna organ tubuh dan
jiwanya, yang karenanya ia menjadi pusat
dari seluruh mahluk.
Dan dalam
konsep Islam, pusat mahluk tersebut terdapat pada manusia yang masih hidup dalam alam
fana, dan bukan
pada mereka
yang telah pulang kerahmatullah. Setiap manusia organ tubuhnya mengandung
komponen dari seluruh kimiawi yang ada didalam alam semesta ini. Oleh Allah Swt, manusia ditempatkan pada
planet bumi yang susunan kimiawinya juga meliputi seluruh kimiawi yang ada pada planet
lain. Jika manusia, dapat mengembangkan jiwa
spiritualnya sampai kepada tingkat kesempurnaan, maka ia akan menjadi pusat
makhluk secara batiniyah.
E. Pembimbing
Ruhani
Manusia
dilahirkan dalam keadaan bodoh. Ia mengenal alam dan lingkungannya setelah
mendapat arahan dari orang tua, pengasuh atau orang lain. Tanpa mereka, seseorang
sangat lamban dalam mengenal dirinya dan alam lingkungannya.
1. Antara
Insan Kamil atau Setan/ Nafsu.
Manusia akan lurus dan benar tindakan dan
prilakuknya, bila ia memiliki ilmu yang benar. Dapat memiliki ilmu yang benar, bila
manusia mendapatkan seorang pembimbing yang ilmunya benar pula. Demikian pula
sebaliknya. Manusia akan terjerumus bila memiliki guru pembimbing yang ilmunya
salah.
Tidak semua orang pandai dapat dijadikan guru. Setiap
mukmin wajib selektif dalam memilih guru. Sebagaimana keterangan hadis riwayat Iam
Muslim dan Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ هَذَا
العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
Ilmu ini,
adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.
Allah Swt telah menghendaki, manusia berwatak paternalistik, (membutuhkan/
mengikuti seorang tokoh sebagai panutan). Tujuan
utama diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun
umat dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam memahami ketuhanan
Allah Swt. Semua orang sepakat, bahwa tidak seorangpun dalam memahami
agama tanpa guru pembimbing. Namun, mereka berbeda dalam memahami tugas guru.
Diantara mereka ada yang berpendapat, tugas guru hanyalah memperkenalkan dan
menjelaskan ilmu atau ajaran agama, dan fungsi ilmu agama sebagaimana fungsi
ilmu lainnya yang bersifat member informasi saja. Ada pula yang berpendapat, -
disamping menjelaskan dan menginformasikan -, tugas guru yang paling adalah mengantar
dan menemani manusia dalam pendekatan kepada Allah Swt. Dan pula, yang berpendapat, guru adalah
pancaran rahmat dan anugrah Tuhan untuk makhluk semesta. Jenis guru yang
terakhir, adalah guru yang berpangkat ghautsiyah yang hanya satu orang dalam
setiap saat.
Rasulullah Saw merupakan nabi akhir zaman yang mana
ulasan tentang ketuhanan yang dibawanya telah mencapai kesempurnan. Namun,
sepeninggal Beliau Saw, diantara mukmin perbedaan terjadi penafsiran yang sangat
tajam. Masing-masing saling mendakwa dirinya yang paling benar. Bahkan, kepada
seseorang yang berseberangan dengan tafsirannya, dikatakan berseberangan dengan
prinsip (sunnah) rasul, padahal baru bersebarangan dengan tafsirannya.
Dalam
memahami
al-kalangan kaum sufi, berlaku sebuah prinsip yang sangat
paten lagi teramat penting, bahwa manusia berada antara dua
penuntun, nafsu (setan yang telah
menyatu dengan jiwa, ke-ego-an) atau mursyid yang kamil. Manusia, jika
jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang kamil (menurut Allah Swt wa
Rasulihi Saw), pasti dipandu oleh nafsu. Dan demikian sebaliknya. Tidak dua
pemandu dalam jiwa dan fikiran manusia. Memiliki
Guru ruhani yang Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang.
Berdasar beberapa hadis dan ayat
al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk
meluruskan iman, Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[2] menjelaskan :
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ
لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, [3] maka ia tidak
ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka
setanlah pembimbingnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra (dan penjelasan ini telah
disepakati oleh pawa auliyaillah Ra) :
مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ
Barang
siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
Dalam beragama, mukmin
harus bertanya kepada ulama yang benar-benar ahli. Firman
Allah Swt, Qs an-Nahl : 43 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لاَتَعْلَمُوْن
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau kecuali seorang lelaki yang
Kami memberikan wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada para ahli dzikir,
sekiranya kamu semua tidak mengetahui.
Dan pada ayat lain dijelaskan, untuk memahami
keberadaan Allah Swt, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar
memahami-Nya. Qs. al-Furqan : 59 :
الذِي خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ الرَحْمَنُ
فَسْئَلْ بِهِ
خَبِيْرًا
Dia
Dazt Yang menciptakan langit dan bumi beserta sesuatu yang ada didalmnya dalam
enam masa. Kemudian Allah berberkuasa diatas arasy. (tentang) Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah kepada orang yang
memahami-Nya (yakni Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Sangat
sukar mencari guru yang dapat mengantarkan kepada iman, Islam dan ihsan, atau
guru yang diridlai oleh Allah Swt. Karena sangat sukarnya, para waliyullah mengibaratkan, bagaikan mencari
belerang merah. Mengapa demikian ?. jawaban yang tepat, karena kebanyakan
manusia, dalam menuntut ilmu-ilmu agama, bukan untuk diamalkan, akan tetapi
hanya untuk meningkatkan status sosial serta mencari simpati ditengah-tengah
masarakat. Sebagaimana yang
tersari dalam sabdaRasulullah Saw :
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ
العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ
السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهَنمََ
Barang
siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang
bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan
memasukkannya kedalam neraka jahannam. [4]
Rasulullah Saw menerangkan,
diantara tanda-tanda orang diridlai oleh Allah Swt, ketika bertambah ilmunya,
maka bertambah hidayahnya serta tidak tenggelam dalam tipuan, kehormatan dunia.
مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ
إِلاَّ بُعْدًا. مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا
وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang
bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah
kecuali jauh dari Allah. Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak
bertambah zuhud-nya maka tidak
bertambah, kecuali semakin jauh dari
Allah. [5]
Sebagai pengamal atau
khadimul wahidiyah, untuk meningkatkan kemawasan diri, patut jika kita
senantiasa mengingat-ingat peringatan kedua hadis diatas.
Orang
yang dimurkai oleh Allah Swt tidak boleh dijadikan guru dalam agama. Yaitu
orang yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan, tetapi hanya untuk mencari kehormatan dihadapan manusia, bukan untuk memahami
hakikat dunia, tetapi untuk meraihnya. Diantara tanda-tanda orang yang
dimurkai-Nya, ialah oaring yang
kabaikannya hanya terdapat pada kepandaian berbicara, sedangkan prilakunya
bertentangan dengan yang diucapakannya, ia membaca al-Qur,an, namun tidak
menghayati maknanya.
Hadis riwayat
Abu Daud, Rasulullah Saw bersabda : [6]
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ
القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ
حَتَّى يَرْتَدَّ عَلى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ
الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu)
kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada
perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara
mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an. Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan
terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam
kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek
mahluk (a).
قَامَ فِي النَاسِ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَذَكَرَ الدَجَّالُ فَقَالَ : إِنيِّ لآُنْذِرُكُمُوهُ مَامِنْ نَبِيٍّ إلآّ َقَدْ
أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ وَلَكِنِّي سَأَقُولُ لَكُم
فِيْهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِيُّ لِقَوْمِهِ إِنَّهُ أَعْوَرٌ.
Nabi Muhammad Saw berdiri ditengah-tengah manusia. Beliau menyebut nama
dajjal. Beliau
bersabda : Sesungguhnya Aku mengingatkan kamu semua tentang dajjal. Tidak ada Nabi kecuali telah mengingatkan
kaumnya tentang (dajjal). Sungguh Nabi Nuh telah mengingatkan kaumnya
tentangnya. Akan tetapi Aku akan
menerangkan sesuatu kepadamu tentang dajjal yang belum pernah diterangkan oleh
para nabi kepada kaumnya. “Ia (dajjal) itu matanya buta satu salah satu (b).
قَالَ : إِنَّهُ لَمْ
يَكُنْ نَبِيٌّ بَعْدَ نُوحٍ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرّ الدَجَّالَ قَوْمَهُ وَإِنِّي
أُنْذِرُكُمُوهُ , فَوَصَفَهُ لَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ , وَقَالَ : لَعَلَّهُ
سَيُدْرِكُهُ مَنْ قَدْ رَأَنِي وَسَمِعَ كَلاَمِي
Sungguh tidak ada nabi setelah Nabi Nuh, kecuali ia telah mengingatkan
(dengan sungguh-sungguh) tentang dajjal kepada
kaumnya. Kemudian kepada kami
Rasulullah Saw menjelaskan sifat-sifat dajjal. Kemudian Beliau bersabda : “Semoga dapat mengetahui dajjal,
orang-orang yang dapat melihat Aku dan memahami sabda (hadis)-ku” (c).
Allah
Swt melarang umat Islam berguru kepada seseorang yang hatinya banyak lupa
kepada-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28
:
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ
قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari
dzikir kepada-Ku, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan memang dia
melampaui batas.
Mengikuti orang yang hatinya lupa kepada
Allah Swt (baik melupakan Allah Swt sebagai Penguasa makhluk atau lupa kepada
ancaman dan siksaan-Nya), berarti mengikuti ajakan hawa nafsu. Setiap orang, disaat hatinya lupa
kepada Allah Swt, pasti setan akan datang menghampirinya, dan
kemudian membelokkan pemahaman orang tersebut dari kebenaran,
dan mereka mengira masih berada dalam hidayah-Nya, padahal telah berada dalam
genggaman setan. Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36
– 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan
barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami
adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan
menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira
sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Dalam
ayat lain, Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119 :
وَمَنْ
يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِيْنًا
Sesiapa
saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong dan
kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Seorang salik harus selektif dalam memilih
guru. Al-Qur’an menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti
adalah ulama yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah
berinaabah kepada-Nya. Firman
Allah Swt : [7]
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu
kembali. (Qs. Luqman : 15).
Kata ثُمَّ = kemudian, dalam ayat
diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu berinaabah,
dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali kepada Allah
Swt.
Dan iman, Islam dan ihsan itu hanya diberikan
oleh Allah Swt kepada orang yang terbaik dalam setiap generasi. HR. Imam
Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda : [8]
يَحْمِلُ هَذَا
العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ يَنْفَوْنَ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ
وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
Ilmu ini akan dibawa (diwarisi) oleh
orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum
ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan penafsiran kaum
yang bodoh.
F.
Ulama Waratsatul Anbiya’
Setiap orang (lebih-lebih yang telah dianggap
masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai pengkhianat
sunnah rasul.
Sedangkan
akhlak para waliyullah Ra didapatkan dari pancaran Rasulullah Saw. Seseorang,
setelah melalui latihan (mujahadah) serta menaiki beberapa tahapan jiwa,
barulah ia mendapatkan anugrah akh[1]. Kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah Saw didapatkan secara
langsung dari Allah Swt. lak yang karimah. Diantara tahapan jiwa tersebut; pertama,
takhalli : pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela (syirik,
ujub, riya’ dan linnya). Kedua, tahalli : pengisian jiwa
dengan akhlak yang terpuji (taqwa, ihsan, sabar, ridla, syukur dan lainnya). Baru kemudian memperoleh tajalli : Allah Swt
menampakkan diri serta menyinarkan akhlak-Nya.
[2]. Ibid. Diterangkan dalam juz II,
bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis
karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah
tampak karamahnya.
[3]. Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan
muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As),
apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[4]. HR. Ibnu Abd
Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[5]. Hadis riwayat
Dailami dari sahabat Jabir Ra, kitab Siraj al-Munir Syarh al-jami’
as-Shaghir nya Syeh Ali Ibn Ahmad al-Azizi (Beriut “Dar al-fikri”,
tt.) juz III, hlm : 326, dinukil dari
kitab “Musnad al-Firdaus” nya Imam ad-Dailami. Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal
“afat ilmu”.
[6]. Dari sahabat
Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud juz IV
: a. nomer hadis : 4765.
b. nemer hadis : 4757.
c. nomer hadis : 4756
[7]. Inabaah (sebagai kata jadian dari
kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu
kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif). Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar
Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti =
perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan
mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi &
Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda
kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ
الإِنَابَةَ
Sesungguhnya
diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi
rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[8]. Kitab
Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I dalam bab “man yaqbalu
khabaruhu” pada pasal keempat. Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh
al-Qusthalani dalam “muqaddimah”. Kitab Manhal al-Lathif-nya Syeh as-Sayyid
Muhammad Alwi al-Maliki pada ulasan “fadl-lu ulum al-hadits”
No comments:
Post a Comment