Saturday, April 16, 2016

D. ULAMA' WAROTSATUL ANBIYA'



D.      Ulama Waratsatul Anbiya

Setiap orang (lebih-lebih yang telah dianggap masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai pengkhianat sunnah rasul. Mereka mendakwakan dirinyalah orang (ulama) yang paling sesuai dengan sunnah rasul. Eronis sekali, kenyataan yang terjadi dalam kehidupam ummat era dewasa ini. Namun, sebagai mukmin, kita tidak boleh berputus asa. Sebab Rasulullah Saw memberitahukan, bahwa Allah Swt senantiasa menurunkan seorang ulama sebagai pengganti dan penerus risalah Islam. Hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda   : [1]
وَإِنَّهُ لاَ نبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَائِي 

Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudah-Ku, dan yang akan ada para khalifah-Ku
Ulama yang yang ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifatur rasul senantiasa bertaqwa dan benar-benar takut kepada-Nya.
Firman Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
 إنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء 

 Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah para ulama.   
Tentang makna ulama yang dimaksud dalam  surat Fathir ini, al-Ghauts fi Zamanihi Imam al-Qusthalani Ra (w. 858 H) menjelaskan  :

الذِينَ عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ أَخْشَى اللهَ. وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ

Orang-orang yang alim tentang kekuasaan dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah lebih takut. Dan karenanya Rasulullah Saw bersabda : Akulah orang  yang paling takut kepada Allah diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya. [2]
Malu dan takut merupakan sifat reflek dari manusia. Dan iman yang telah tertanam didalam hati, akan menumbuhkan rasa malu dan takut secara reflek pula. Ulama bukan malaikat. Dia adalah manusia, yang dapat terpeleset dalam kekeliruan. Diantara ukuran keulamaan seseorang terletak pada perasaan malu dan takut kepada Allah Swt ketika terperosok pada kemaksiatan. Seorang ulama yang hakiki, adalah seseorang yang didalam hatinya akan muncul perasaan malu dan takut kepada Allah Swt, ketika terpeleset kepada kemaksiatan.  Dan kemudian segera bertaubat dan membenahi diri. Ulama seperti inilah yang disifati oleh Rasulullah Saw sebagai pelita dunia.
HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda  :

العُلَمَاءُ سِرَاجُ الدُنْيَا.  العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ العَالَمِ

Ulama adalah pelita dunia.  Ulama adalah pelita alam.
Hadis ini dapat juga dipahami dengan makna lain. Yakni, ulama yang menjadi penerus risalah Islam, akan diberi karamah oleh Allah Swt sebagai pelita dunia. Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu untuk menjelaskan halal dan haram. Dengan ilmunya ulama ini, ummat tersinari dan kemudian dapat memahami hukum-hukum Allah Swt yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para waliyullah (al-Ghauts Ra) diberi karamah berupa radiasi batin yang bermanfaat untuk mengantar dan membimbing manusia sadar kembali serta makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw.
Pengertian ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (pendiri madzhab fiqih, ulama sufi dan ahli dalam bidang hadis) membaginya kedalam 3 (tiga) bagian  : [3]

العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ

Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka. [4]
Penjelasan Imam Sufyan Tsuary Ra  (guru Imam Syafi’i) tentang ukuran waratsatul anbiya’, ditentukan oleh tiga hal. Pertama; dari sifat khasy’yah (benar-benar takut) seseorang kepada Allah Swt. Kedua, dari kemampuan memahami dan mengetrapkan ilmu LILLAH dan BILLAH. Ketiga, dari penguasaan terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah maupun batinyah. Seorang ulama yang memiliki dan menguasai ketiga ilmu diatas, dialah ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
Sayyidina Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalaib Ra bersabda  : [5]

العِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمٌ فِي القَلْبِ فَذَاكَ العِلْمُ الناَفِعُ وَعِلْمٌ عَلَى اللِسَانِ فَذَاكَ حُجَّةُ اللهِ عَلَى ابْنِ أَدَمَ

Ilmu itu ada dua : ilmu yang ada dalam hati dan itulah ilmu yang manfaat, serta ilmu yang ada diatas lisan dan itulah hujjah (bukti kebenaran) untuk anak Adam.
Para ulama waratsatul anbiya tersebut, membawa “Nur Ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah Saw. Mereka diberi kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagai sarana, tempat dan pintu untuk menghormat Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Hadis riwayat Abu Daud Rasulullah saw bersabda  :[6]

  مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا أَكْرَمَنِي وَمَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمَ الله

Barang siapa menghormat orang yang alim berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan barang siapa menghormat aku berarti ia telah menghormat Allah.
Hadis riwayat al-Khathib al-Bagdadi, Rasulullah Saw bersabda  : [7]

أَكْرِمُواالعُلَمَاءَ فَإِنَّهُم وَرَثَةُالأَنْبِيَاءِ فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقََدْ أَكْرَمَ اللهَ وَرَسُولَهُ

Mulyakanlah para ‘ulama, karena sesungguhnya mereka itu pewaris para nabi. Barang siapa yang memulyakan mereka berarti memulyakan Allah dan Rasul-Nya.


Dalam al-Qur'an dan hadis telah dijelaskan, bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan dari semua mahluk, dan sekaligus - dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya -, sebagai penjaga kelestarian alam semesta. Dan atas izin dan perintah Allah Swt semata, setelah kepulangan Rasulullah Saw kehadirat Allah Azza wa Jalla, nur ilahiyah tersebut diwariskan kepada para ulama penerus risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada ulama pewaris ilmu lahir, dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin. Sedangkan yang kita bahas dalam makalah ini, hanya berkaitan dengan ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin, yakni para auliyaillah, dan khsusnya al-Ghauts Ra.
Mereka Tanda-tanda ulama pewaris sirri (kemampuan batin) rasul, antara lain :
a.                 memiliki tugas – dengan doa dan karamahnya - sebagai penjaga kelestarian bumi dan isinya. Allah Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Anbiya’: 106 :

إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه

 Sesungguhnya bumi itu milik Allah, yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya (Qs. al-Anbiya’ : 106).

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ 

Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur, setelah (tertulis) dalam lauh mahfudz, sesungguh-
nya bumi ini diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih.
Para pembesar ulama kaum sufi dan para auliyaillah, mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan dalam ayat ini, adalah pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah. Mereka dibekali oleh Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam (lahu sirrun yasri fil alam).
Dalam ayat al-Qur’an yang lain, diterangkan Nabi Zakaria As – dengan izin Allah Swt -, mewariskan jabatan kenabian kepada Nabi Yahya As. Allah Swt berfirman, Qs.Maryam : 5 – 6  :

 فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَاضِيًّا

 (Nabi Zakariya As berdoa) : [8] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku dan dari keluarga Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, orang yang ridlai (kepada-Mu).
b.            Mewarisi ilmu Rasulullah Saw. Hadis riwayat Imam Bukhari sabda Rasulullah Saw :

زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي

Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.

Rasulullah Saw  bersabda:

     اِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ فَاِذَا نًطَقُوا بِهِ لَمْ يُنْكِرْهُ اِلاَّ اَهْلُ الاِغْتِرَارِ بِاللهِ
 Sesungguhnya  ada  sebagian  ilmu  yang  dirahasiakan, tidak dapat mengetahuinya kecuali oleh ‘Ulama Billah. Maka apabila mereka (ulama Billah) mengungkapkannya, tidak seorang-pun  yang membantahnya,  kecuali  orang-orang yang tidak paham tentang Allah.[9]

Sahabat Abdullah bin Masud Ra menjelasakan : [10]

      لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا العِلْمُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي القَلْبِ

Ilmu itu, bukan karena banyaknya bercerita. Sesungguhnya ilmu adalah “nur” (ilahiyah) yang diletakkan didalam hati.
c.             Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya.

ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا

Kemudian Kami (Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami”.  (Qs, Fathir : 32).

Setelah Rasulullah Saw pulang kerahmatullah, kandungan al-Qur’an diwariskan kepada hamba yang dipilih oleh Allah Swt sendiri.

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan tentang hamba yang terpilih adalah :

هُمْ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ كِتَابٍ أَنْزَلَهُ 

Mereka itu adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah mewariskan kepadanya seluruh kitab yang diturunkan.

Sedankan Imam Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan; [11] bahwa terjadinya pewarisan setelah kematian :
 وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ

 Pewarisan sebagaimana yang terjadi pada manusia, terjadinya setelah kematian.
Dan Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya menjelaskan makna “kitab” dalam ayat ini  :

 هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ وَأَحْكَامِهِ وَعَقَائِدِه

Disini, yang dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu, hukum dan aqidah yang terkandung didalamnya. Sedangkan untuk makna hamba-hamba Kami, adalah : [12]

تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ وقَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ دَاوُدَ, وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِيْنُ

Mereka mewariskan kitab suci. Artinya, Perpindahan warisan tersebut dari orang kepada orang  lain (secara estafet). Allah berfirman (Qs. an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud dan Sulaiman sebuah ilmu. Dan mereka berdua mengatakan :”segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.  Dan  Sulaiman mewarisi (ilmu, kerajaan dan kenabian) dari Daud.  Sulaiman berkata : Wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini suatu karunia yang nyata.
Dan dalam keterangan selanjutnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan :

فَإِذَا أَجَازَ النُبُوَّةُ لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ 

Jika (rahasia) kenabian saja dapat diwariskan, apalagi (kandungan) kitab al-Qur’an.   
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan beberapa hadis dan ayat al-Qur’an diatas, antara lain  :
1.            Sepeninggal Rasulullah Saw, kandungan dan sirri al-Qur’an diwariskan kepada salah satu hamba Allah Swt yang terbaik pada masanya, dan yang dipilih oleh Allah Swt sendiri (bukan pilihan manusia/ rakyat).
2.            Penerimaan warisan tersebut secara spontan antara pewaris (al-Ghauts Ra) dan pemberi warisan (Rasulullah Saw).
3.            Para pewaris kandungan al-Qur’an tidak perlu susah payah dalam memperolehnya. Atas kehendak Allah Swt, mereka dapat memahami al-Qur’an secara spontan, atau diinstal secara langsung,  dalam istilah computer. Meski demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan kemampuannya tersebut.
4.            Dan ulama pewaris al-Qur’an dan sirri Rasulullah Saw inilah yang dimaksud dengan ulama waratsatul anbiya’.
5.            Karena Rasulullah Saw hanyalah satu orang, maka penerima warisan seperti ini juga hanyalah satu orang. Yang mana setiap beliau Ra al-Marhum, Rasulullah Saw mencari satu ummatnya yang terbaik untuk menerima warisan tersebut.

Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda  : 10

   إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ

Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan Allah.
          Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w. 1070 H) dalam kitab Siraj al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir,  memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut  :

       هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ

Merekalah (para ulamapen) sebagai perantara antara kamu semua dan  Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris Rasulullah Saw.

F.      Awal   Pembahasan  Al Ghouts Ra  ......bersambung.......


CATATAN  : 


[1].     Kitab Jawahir al-Bukhari, nomer hadis : 464
[2].     HR. Imam.Bukhari dalam kitab Jawahir al-Bukhrai ala Syarhil Qusthalani”.
[3].     Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[4].     Dalam kitab Muhtashar Ihya’-nya Imam Ghazali, pada bab I, (tentang Ilmu) pasal ulasan “afat ilmu”, Imam Hasan al-Bashri berkata  : 

 عُُقُوبَةُ العُلمَاءِ مَوْتُ القَلْبِ وَمَوْتُ القَلْبِ طَلَبُ الدُنْيَا بِعَمَلِ الاخِرَةِ

 Siksaan bagi para ulama itu matinya hati. Matinya hati itu mencari dunia dengan amalan akhirat.
[5].     Sunan ad-Darimiy,  juz I/ 360.
[6].     Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74. kitab Lubb al-Lubab Fii Tahrir al-Insan-nya  imam Suyuthi).
[7].     Lihat kitab Siraj at-Thalibin nya Syeh Dahlan al-Kadiri, (penerbit “dar al-fifri” Beirut Libanon, tt. Kemudian disebut Siraj at-Thalibin), juz I, hlm  : 74 
[8].     Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka ia berdoa kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat melanjutkan dan mewarisi perjuangan. 

[9].     Untuk lebih jelasnya dalam memahami makna hadis ini lihat  buku : Tafsir  Ayat-Ayat  Cahaya  bagian kedua (penerbit Pustaka Progressif, tahun 1998) hlm 33. Atau kitab Misykatul Anwar-nya Imam al-Ghazaliy, dalam Majmu’ah Rasail lil-Ghazali. Atau buku Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf-nya Dr. Mir.Valiuddin – ilmuawan dan sufi dari Pakistan , terbitan Pustaka Hidayah, dalam bab I dan  bab II. Atau kitab ‘Awarif al-Ma’arif-nya Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra dalam bab 62. Iqadul  
[10].    Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “adabul muta’allim”
[11].    Syeh Jalaluddun as-Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, menjelaskan  kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti dengan kata  أَعْطَيْنَا = Kami berikan. Syeh Ahmad as-Shawi dalam b tafsir Shawi juz III, hlm 313, menjelaskan;

وَوَجْهُ تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ نَصبٍ وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب حَاصِلٌ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ 

alasan penggunaan pewarisan disini adalah perolehannya tanpa susah payah. Begitu pula, pewarisan al-Qur’an kepada penerimanya, tanpa susah payah.

[12].    Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, pada surat an-Naml ayat 16, menjelaskan makna pewarisan, dengan sabda Rasulullah Saw  :  العُلمَاء وَرَثة الانْبيَاء   : ulama itu pewaris Nabi.
10 .   Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Mu’jam al-Kabiir



SUMBER : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH
OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
Diposkan oleh AHMAD DIMYATHI, S. Ag di 06.34

Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

No comments:

Post a Comment