E. Kedudukan Al-Ghauts Ra
Paling
tidak terdapat tiga alasan, mengapa manusia perlu memahami keberadaan,
keagungan, kedudukan dan tugas al-Ghauts Ra. Pertama, secara batiniyah
Beliau Ra memiliki sirri yang menembus keseluruh alam, kedua, untuk
meneladani perikehidupannya, dan ketiga, untuk membebaskan jiwa salik dari
kemusyrikan.
Dan - dalam istilah Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra
-, al-Ghauts Ra atau Sufi Yang Sempurna, bagaikan tempat untuk menyimpan ilmu
dan hikmah Rasulullah Saw, kediaman yang aman dari gangguan setan, tempat
kebahagiaan yang pasti dan gua bagi para arifin dan waliyullah. Karena dalam
jiwa beliau terpancar takdir Tuhan untuk mahkuk-Nya. [1] Setiap waliyullah berada dalam gua
naungannya, yang mana naungannya adalah terpancar dari Rasulullah Saw. Dan naungan
Rasulullah Saw adalaha naungan Allah Swt.
a.
Secara
Jasmani dan Rihani.
Dapat dimaklumi pemahaman yang berkembang
ditengah-tengah masyarakat muslim tentang keberadaan Ghauts Ra, masih sangat
minim. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa al-Ghauts itu hanya Syeh
Abdul Qadir, Syeh Syadzili, Syeh Naqsyabandi, Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef
Muallif Shalawat Wahidiyah (Qs wa Ra), dan tidak ada al-Ghauts lagi setelahnya.
Padahal kesimpulan semacam ini tidak memiliki dasar dari kaidah yang benar, dan
hanya sebuah persepsi atau bahkan hanya sebuah opini.
Diantara tujuan dita’lifnya Shalawat Wahidiyah oleh
Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra untuk memahami dan membuktikan – melalui
pengalaman ruhani (rukyah shalihah) – kebaradaan al-Ghauts Ra secara kassyaf
dan musyahadah. Dan alhamdullah – sebagai tahaddus binni’mah - banyak diantara
pengamal Wahidiyah mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw dapat
memahami kebaradaan al-Ghauts Ra.
Keberadaan al-Ghauts Ra – sebagaimana
keterangan dalam hadis shahih -, secara jasmani dan ruhani. Dan tidak ada
al-Ghauts ra menjalankan tugas sebagai khalifah Rasulullah Saw dari alam barzah
atau alam kubur. Rasulullah Saw bersabda : [2]
إِنَّ فِيِ
الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ اَدَمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ
عَلَى قَلْبِ مُوسَى.
وللهِ سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى
قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ
جِبْرِيْلَ. ولله
فِيِ
الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ. وَلله فِي الخَلْقِ
وَاحِدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل. فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال
َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ
مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ
مَكَا نَهُ مِنَ الخَمْسَة .َاذَا مَاتَ
مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ .فَاذَا
مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ اَبْدَال َاللهُ
مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ. فَاذَا مَاتَ
مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ اَبْدَال
َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ. فَبِهِمْ
يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيُمْطِرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
Sesungguhnya
didalam makhluk (alam) terdapat 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam.
Dan Allah memiliki 40 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Musa. Dan Allah
memiliki 7 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Ibrahim. Dan Allah memiliki 5
orang, yang hatinya seperti hati Jibril. Dan Allah memiliki 3 orang, yang
hatinya seperti hati Mikail. Dan Allah memiliki 1 orang, yang hatinya seperti
hati Israfil.
Ketika
1 orang ini mati, Allah menggantikannya dari salah satu 3 orang. Ketika mati/
berkurang (salah satu) dari 3 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 5
orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 5 orang, Allah menggantikannya
dari salah satu 7 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 7
orang, Allah menggantikannya dari salah satu 40 orang. Ketika mati/ berkurang
(salah satu) dari 40 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 300 orang.
Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 300 orang, Allah menggantikannya dari
orang awam.
Sebab mereka kehidupan
atau kematian. Sebab mereka hujan turun dan tamanam tumbuh. Dan sebab mereka
bala/ musibah tertolak.
Kalimatمَاتَ
/ maata : mati, yang dirangkai dengan, اَبْدَال
َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ = Allah menggantikan kedudukannya dari salah satu 3 orang, dalam hadis riwayat Abu Nuaim
al-Isfahani dan Ibnu Asakir dari Ibnu
Mas’ud Ra diatas, dengan menjelaskan keberadaan al-Ghauts Ra, bukan secara
ruhani dari alam barzah, akan tetapi secara jasmani dan ruhani.
وَمِنْ
شُرُوطِهِ اَنْ يَكُونَ ذَا جِسْمٍ طَبِيْعِيٍ وَرُوْحٍ , وَيَكُونُ مَوْجُودًا
فِي هذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَحَقِيْقَتِهِ فَلاَبُدَّ اَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي هَذِهِ
الدَارِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ مِنْ عَهْدِ اَدَمَ اِلَى يَوْمِ القِيَا مَةِ
Dan
diantara persyaratan (keberadaan) Al Ghauts Ra : Wujud dengan rohani dan perwatakan
jasmani pula . Dan dalam kehidupan nyata (sejak zaman Nabi Adam sampai
hari qiyamat) .
Telah banyak kitab tasawuf yang
menerangkan, bahwa para al-Ghauts Ra
memohon kepada-Nya, jika sekiranya Beliau Ra wafat, Allah Swt berkenan mengangkat putranya atau
keluarga yang lain sebagai al-Ghauts untuk menggantikannya. Dan sebagai calon pengganti, mereka
berada dalam asuhan al-Ghauts sebelumnya.
b.
Jumlah
al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw juga hanya
satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak keterangan dari
hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang menjadi
tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.
Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam
kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juz II halaman 81.
menjelasan :
فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ
مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ
Dan diantara mereka, dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba
Allah. Dialah al-Ghauts.
Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :
فَلاَ
يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ
يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ
هُوَالقُطْبُ
الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ
تَعَالَى
مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ
جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ
العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي
c.
Gelar Bagi Al-Ghauts Ra
Berbagai
macam gelar dan sebutan yang diberikan oleh para kaum sufi dan para auliyaillah
kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan
fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra
karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Banyak
sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan
kepada al-Ghauts Ra. Dan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain :
1. Insan Kamil. (Manusia Sempurna).[4]
Dalam kitab Misykat al-Anwar[5]
pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan
al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ
الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ
Barang siapa dapat
mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah
manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau
al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai
fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Sebagaimana
penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang ahli hadis) – yang berdasar
pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian : [6]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ
بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ
بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga
kelompok;
Ulama yang memahami tentang ilmu
BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum
Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta
alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang
alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi
tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
2.
Al-Quthbu (wali
quthub) atau Quthbul Wujud (Poros
Wujud).[7]
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya
dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.
اِعْلَمْ
حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ
عَلَيْهِ أَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ
اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ
كَانَ
الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس
وَاسْمُهُ
الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ
بِلِبَاسِهِ
Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul
Wahhab As-Sya’rani, halaman 82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ
اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ
يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah,
sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),
Allah menjaga alam wujud ini secara keseluruhan. Barang
siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah
menjaga wujud alam.
Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya [8]
Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi,
bab “wawu” dan bab “qaf”,
dijelaskan :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا
وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه
الطَلسم الآَعْظَمُ, يُفِيْضُ رُوحُ
الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat
memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada
alam baik bawah maupun atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ
مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ
السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ
بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ
عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali
Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah
Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw.
Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para
wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123,
diterangkan tentang kaidah
yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi
kedudukan quthub kedalam 3 bagian. Pertama, quthbul ilmi, seperti
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra. Kedua, quthbul ahwal, seperti Syeh
Abu Yazid al-Bushthami Ra. Ketiga, quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul
Qadir al-Jailani.[9]
Dan
– sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu
Rasulullah Saw yang memberitahukan, bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul
Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki ketiga-tiganya.
Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan makrifat dari seluruh Ghauts
sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai derajat mujtahid dalam bidang
tasawuf dan tarekat.
3 Wahiduz Zaman (satu-satunya
hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada
al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan
kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga
menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani,
dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menukil
fatwa Muhammad Wafa :[10]
لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ
لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي
زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ
لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَاسِ
Untuk setiap zaman
terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya,
dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari
hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya : Engkau adalah ummat manusia terbaik yang
diturunkan kedunia.
لاَبَنْبَغِي
لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ
اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ
عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ
الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك
(كُدُورَاتِ
الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ
شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ
يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
Tidak patut
bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan
ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi
mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan
yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta
lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan
dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila
didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi
menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.
4. Sulthanul
Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada
al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan, juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan
para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.
5. Al-Mujaddid =
Pembaharu / Reformer .
Gelar ini
diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus
sebagai pembaharu dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti semula. Gelar
Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/
atau al-Murabbi (Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak
berpangkat al-Ghaus Ra. Diantara al-Ghauts yang sekaligus
seorang mujaddid :
1). Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).
Beliau
Ra adalah penulis kitab Quut al-Quluub. Kitab
ini menjadi rujukan kaidah
tasawuf oleh para pembesar sufi pada masa
berikutnya. Dan banyak ulama yang mengatakan, bahwa kitab inilah yang
mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam
Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.
Dalam kitab al-Munqid
min al-Dlalal (jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan
pengalaman batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam
beribadah dan berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata
niatan hati tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan
kehormatan dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan
tetapi menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling
dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan
kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah”. Beliau mengasingkan diri. Namun,
ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya berbisik : kasihan ummat dididik
oleh orang-orang yang tidak mengerti agama. Dan kembalilah Imam kebangku
perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang dan mengajar, dikoreksinya
niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa dirinya berjuang bukan
karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan ketenaran diri. Merasa
usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang kerahmatullah, Imam mengasingkan
diri kembali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh
untuk memohon hidayah-Nya.
3). Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w.
896 H).
Ketika kurang 1
minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada waktu itu,
berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah dewasa, nantinya
dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah bayi kecil yang
diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan kepada Syeh Baba
untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut sowan, Syeh
berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak ini, ikutilah
dia.
4). Syeh Abdullah Umar al-Ahdali
as-Sirhindi (w. 1035 H).
Dalam syarahnya kitab “Faraidul
Bahyah”, yang sering disertakan oleh para penerbit, dalam kitab “al-Asybah
wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/ hamisy,
dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah
yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.
5). Syeh Abdullah Alwi al-Haddad (w.
1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri tarekat Haddadiyah.
Beliau Ra ini mengalami
buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil dia tekun
menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah satu
kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh,
banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab
tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa
at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah, Adab Sulukil Murid,
Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah
fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan
bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah)
dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab
yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu
al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan
bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.
6). Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa
Ra).
Mbah KH. Muhammad Ma’ruf Ra,
Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, pernah mimpi mengitari dunia
sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi subur, padahal sebelumnya
tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH. Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan
nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya dapat menyadarkan ummat manusia
jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau Qs wa Ra tidak meninggalkan
sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan hanyalah Shalawat Wahidiyah,
yang jika mau memandang dengan hati yang jernih, bebas darirasa iri, dengki dan
ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang merupakan inti dari kesempurnaan
keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu pula didalam shalawat Wahidiyah
mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra, dan sekaligus memberikan jalan
untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum dilakanakan oleh para al-Ghauts
sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah menyelesaikan permasalahan
keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa pengamalnya mudah bertemu
Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.
* *
Catatan
Penting.
Diantara
al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu
pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana
keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204
H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324
H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam
kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al
Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid
abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke
3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban
ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah, Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal
murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh
Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab
al-Insan al Kamil juz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly
w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak
sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir
Jailani, Imam Nawawi, Syeh Muhammad
Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag,
Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani.
7.
Khatmul Auliya
.
Al-Ghauts
berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul
Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan
setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy,
bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat
dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam, yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah
Swt dalam setiap zaman.
8. Murabby
al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar,
dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan :
وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ
لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ
المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ,
وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur
al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari
Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab
Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam
semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).
9. Al-Jami’ul Khalqi.
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat
sandaran mahluk secara batiniyah. [13]
اِعْلَمْ
اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ
اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع
نَظْرِاللهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ. وَمِنْ
لَدُنْهُ يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ
الرُوْحِ فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ. هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ
الاَعْلَى
وَالاَسْفلِ. فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم
Ketahuilah sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat
pengungsian mahluk. Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai
pengumpul mahluk. Beliau juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zaman. Dari diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan
lahir sebagaimana mengalirnya ruh
kedalam seluruh jasad. Dari diri
Beliau, Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun
alam bawah. Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi
Muhammad Saw.
Dalam kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii
Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat
dinamakan Abdul Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan
sari makna kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri
Rasulullah Saw.
لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا
بِبَقَاَءِ الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا
يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ
وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ
Karena
al-Ghauts ketika sudah berada pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari
maqam fana’[15] dari dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/
universal. Dan Beliau mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu
diperolehnya setelah memasuki maqam jiwa
kulliyat.
Dalm kitab
Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman
414 diterangkan, setelah Nabi Muhammad
Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts
Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali
Ra (pendiri tarekat syadzaliyah)
وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ
Pewaris sirri pimpinan rasul yang
paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.
11. Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan
Menyempurnakan).
Dalam
kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”, (Majmu’ah
Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173), Imam al-Ghazali menerangkan tentang
keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.
اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ
مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ
عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ
وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ المُصْطَفَى
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل
خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَى طَرِيْقِ اللهِ. وَهَكَذَا
اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ
Sesungguhnya bagi setiap salik harus adanya mursyid yang
membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As kepada mahluk, sebagai
bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan yang lurus. Sebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat,
Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya,
agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah.
Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Maka, setiap salik
wajib memiliki seorang mursyid.
Dan Imam Ghazali menjelaskan bahwa
mursyid yang hakiki, mendapat limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara
langsung.
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَر سَيِّدِنَا
ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فَإِنْ
تَحَصَّلَ أَحَدٌ عَلَى مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ
اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi
Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini,
wajib baginya menghormatnya secara lahir
dan batin.
Orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan
senantiasa bersama dengan orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun
batiniyah, dalam iman, islam maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman
Allah Swt :
يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا
اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama
dengan orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah
: 119).
Seseorang bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang
benar) sebagaimana keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia
terus bersamanya, maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan
lurus. Sebagaiman tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [16]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.
kamu
semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu
bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu
bersamanya.
Rasa jenuh sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu
keadaan secara terus menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi.
Demikikian pula, seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang
Kamil, setan/ nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan
dalam hati murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat
perhatian atau doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan
secara ruhani) kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI
tersebut. Dalam hal ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti
mukmin agar tetap dan sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah
Swt, Qs. al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ
الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Sabarlah
kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi
dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan
pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku,
mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar
bersama guru, meskipun merasa kurang
senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak
segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا
فَلْيَصبِرْ,فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang
dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya
sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir
jahiliyah.
Bersabar dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil
Mukammil merupakan hal pokok untuk meluruskan keimanan. Jika seseorang keluar
dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang
kafir jahiliyah.
Dalam mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra),
mengatakan :
Barang
siapa yang memasuki dunia sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna
yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar
(syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari
kelompok jin dan manusia.[17]
Para ulama yang Arif Billah,
mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin)
Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut
dan yang telah teruji.[18]
لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ بِنَظْرِ نَبِيٍّ أَوْ
وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.
Kotoran hati tidak akan hilang
kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang memiliki keahlian yang
teruji dalam bidang ini.
Dan
jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada
Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan
penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta
batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah
kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ
أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Pada hari itu (kiamat) tidak dapat
memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali orang-orrang yang datang (menghadap)
kepada Allah dengan hati yang selamat (bersih).
Sebagai pengamal dan khadimul
Wahidiyah, mari kita tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau
Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah
Dan Pondok Pesantren Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar
dapat beristiqamah bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.
Sirri dan kemampuan Mursyid
Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا
فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada
seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan
kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya.
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan
diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis
riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ
لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah
dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian
pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Hadits riwayat Imam Ahmad,
Thabrani dan Abu Nuaim dari
sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ
يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ
الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh
orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan,
dan sebab mereka manusia tertolong.[19]
Dengan demikian, mengetahui pribadi
hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu
yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra
sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya
sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali
hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan
alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat
Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya
menuju kepada jalan tersebut.
1.
Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti umumnya
manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana keterangan
tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali
Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal “ajaib al-qalbi”,
menjelaskan :
وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ) لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ
Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi
Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.
Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat
dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :
رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ
صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ
وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.
Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan
cara yang benar. Dan keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan
jadikan untuk kami pimpinan yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran
dan akan hancur kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.
Dengan
demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/
isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh,
seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya
dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang dengan Sultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun
ukhrawi.
D.
Sikap
Dan Kawajiban Salik
Agar berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa
Rasulihi Saw,
[1]. Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam
kitabnya al-Ghunyah juz II dalam “kitab adabul muridin” pasal II
menjelaskan :
مَحْمُولُ القُدَرِ كُرَّةُ
المَشِيْئَةِ, منْبَعُ العُلُومِ وَالحِكَمِ, بَيْتُ الأَمْنِ وَالفَوْزِ, كَهْفُ
الأَوْلِيَاءِ وَالأبْدَالِ, مَنْظَرُ الرَبِّ
(Sufi Sempurna) adalah tempat
menyimpan qadar, dan bola (bergulirnya) kehendak, memancarnya ilmu dan hikmah,
rumah kemanan dan kemulyaan, guanya para wali dan abdal, dan tempat pancaran
cahya cinta Tuhan.
[2]. HR. Abu Nuaim
al-Isfahani dalkam kitab al-Hilyah, dan Imam Abul Yaman Ibn Asakir dalam
kitab Tarikh Madinah Damsyiq juz
I pada bab “maa ja,a anna bis-syaam yakuunu al-abdaal” dari sahabat Ibnu Mas’ud
[3]. Keterangan yang sepadan juga
terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,
Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh
Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra),
Jami’ul Ushul fil Auliya’ (Syeh
Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[4]. Lihat kitab Misykatul Anwar-nya
al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra, dalam pasal kedua. Atau buku Insan
Kamil Dalam Islam-nya M. Dawam
Raharjo. Atau buku Manusia sempurna, Pandangan Islan Tentang Hakikat Manusia,
Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera tahun 2001, hal 9–17. Dan buku Manusia
Citra Ilahi Oleh Dr. Yusnaril Ali, penerbit Paramadina Jakarta, tahun 1997
halaman 111–128. Dan kitab Kimya’us
Sa’adah nya al-Ghazaliy. Dan juga dalam buku Tasawuf antara agama
dan filsatfat, Dr Ibrahim Hilal. Lihat juga dalam kitab Jami’ul Ushul
Fil ‘Auliya’ , hlm 110 – 111.
[5]. Lihat Majmuah Rasail lil Ghazali (cet.
I/ tahun 1416. Darul Fikri, Bairut, Libanuon, halaman 283).
[7]. kitab Insanul Kamil juz II bab 45,
dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bab IX tentang “ru’yatun nabi”, halaman 429.
[8] . Kitab at-Ta’rifat-nya Syeh
Ali al-Jurjani, percetakan “Dar al-Kutuub al-Ilmiyah” Beirut – Libanon, cetakan
ke 3, tahun 1404 H, bab “qaf”, hlm : 177 – 178.
[9]. Karya Muhammad Ibn Zain
Ibn Shamit, perc. Dar al- Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Bairut, yang dinukil oleh
Idrus Abdullah al-Kaf, dalam buku “Bisikan Bisikan Ilahi”, pada bab I, terbitan
Pustaka Hidayah Bandung
[10]. Syeh Muhammad
Wafa, adalah diantara 4 wali al-Ghauts yang tidak dapat membaca dan menulis.
[11]. Kitab Tanwir
al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul
qulub nya Syeh Amin Al Kurdi, percetakan
Bairut, halaman 36.
[12]. Kitab Bughiyatul
Mustarsyidin, oleh Sayyid Abdur Rahman bin Muhammad Al-Hadlramiy
halaman 6 dan 299. Lihat buku Transendensi Ilahi, terjemahan
dari maqhashidul asna Imam al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif ,
Surabaya tahun 1999 M, hlm 9 – 19. Penjelasan tentang seorang Mujaddid dan
sekaligus al-Ghauts Ra, dapat dilihat dalam buku “Kontemplasi Dan Dzikir
Dalam Tasawuf”-nya Dr. Mir Valiuddin, atau buku “Bisikan-Bisikan Ilahi” tulisan
Dr. Al-Idrus Al-Kaf.
[13]. Kitab Jami’
al-Ushul Auliya’ nya Syeh Kamasykhanawi, hlm 4, kitab at-Ta’rifat
nya Syeh Ali al-Jurjani, bab “qaf”, kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh
Nabhani dalam bab silsilah tarekat Syadzaliyah).
[14]. Sebelum mencapai maqam Abdul
Warits ini, setiap hamba Allah Swt yang akan dipilih menjabat wali
al-Ghauts, Beliau Ra memasuki maqam Abdul Baqi (hambanya Allah Dzat Yang
Abadi). Dalam ilmu tasawuf, setiap sufi
akan memasuki maqam dan akan mendapat hal dari Allah Swt.
[15]. Imam al-Ghazali
memandang Fana’ dan Ma’rifat sebagai “maqam”, sedangkan Imam al-Qusyairi
memandang sebagai “hal”.
[17]. Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya
Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[18]. Kitab Tanwir
al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdi dalam
juz II pada bab tasawuf .
[19]. Kitab Siraj
at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya
Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful
Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
No comments:
Post a Comment