B.
Shalawat Wahidiyah Sebagai Thariqah.
Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai THARIQAH. Hal ini sejalan dengan
keterangan dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, terbitan Khalista
Surabaya, tahun April 2011, pada bahasan ke: 116 (menekuni membaca al-Qur’an
dan lain-lain termasuk thariqah mu’tabarah) dan ke: 117 (derajat antara
thariqah) :
S. Apakah
menetapi membaca al-Qur’an, membaca Dalailul Khairat dan mempelajari kitab
Fathul Qariib atau kitab Kifayatul Awam itu termasuk thariqah Mu’tabarah ?.
J. Ya. Demikian
itu termasuk thariqah mu’tabarah.
Keterangan, dari kitab:
Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ Muhammad Nawawi al-Jawi, Salalim Fudhala’ Syarh
Hidayatul Adzkiya’ Kifayah al-Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’
S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan
mu’tabarah ? Manakah yang lebih utama ? Tharriqah Naqsyabandiyah, Syattariyah,
Qadiriyah atau lainnya ?. Apakah perbedaannya thariqah dan syariah ?.
J. Thariqah Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil) sampai kepada Rasulullah Saw dan merupakan
thariqah yang sah dalam agama Islam dan semua thariqah mu’tabarah itu tidak ada perbedaannya satu sama lain.
Semua wiridan dari tahriqah Tijaniyah itu sah (benar) seperti dzikirnya,
shalawatnya dan istighfarnya, begitu juga pernyataannya dan syarat-syaratnya
yang sesuai dengan agama (syara’). Adapun yang tidak sesuai apabila
dapat ditakwilkan, maka harus ditakwilkan pada arti yang sesuai dengan agama
dan terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan
agama dan tidak dapat ditakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh
diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan.
Keterangan, dari kitab:
1. al-Fatawa al-Haditsiyah {Ibnu Hajar
al-Haitami, Mushthafa al-Halabi, 1971 M), h. 331.}. ........
2. Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah { Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah
al-Hidayah, (Surabaya : al-Hidayah, t.th), h.4.}. ....
Syaikh al-Shawi berkata : syariat adalah hukum-hukum yang
Rasulullah Saw bebankan kepada kita dari Allah Azza wa Jalla berupa hal-hal yang wajib, sunnah, haram dan mubah.
Sedangkan thariqah adalah adalah pengamalan kewajiban-kewajiban dan
kesunahan-kesunahan, meninggalkan larangan-larangan, dan menghindari dari hal
mubah yang tidak dibutuhkan, bersikap sangat hati-hati seperti dengan wira’i
dan riyadhah antara lain ibadah tengah malam, berlapar-lapar dan membisu.
Lain itu pula terdapat hadis riwayat Baihaqi, Rasulullah Saw
bersabda : [1]
مَنْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ
صَلاَةً كَانَ أَقْرَبُهُمْ مِنِّي مَنْزِلَةً. : Barang siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku,
maka dialah yang memiliki kedudukan paling dekat dengan aku.
a.
Rasulullah Saw
bersabda :
أَوْحَى اللهُ تَعَالَى مُوسَى : يَامُوسَى أَتُرِيْدُ أَنْ
أَكُونَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كَلاَمِكَ إِلَى لِسَانِكَ وَمِنْ وَاسْوَاسِ
قَلْبِكَ إِلَى قَلْبِكَ وَمِنْ رُوحِكَ إِلَى بَدَنِكَ وَمِنْ نُورِ بَصَرِكَ
إِلَى عَيْنِكَ ؟. قَالَ : نَعَمْ يَارَبِّ.
قَالَ : فَأَكْثِرِ الصَلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ نَبِيِّي.
Allah Swt memberikan wahyu
kepada Musa : “Wahai Musa apakah kamu ingin AKU lebih dekat kepadamu daripada
pembicaraanmu dengan lisanmu, daripada bisikan hatimu dengan hatimu, daripada
ruhmu dengan badanmu dan dari pada cahaya matamu dengan matamu ?”. Jawab Musa : Ya. Allah Saw bersabda : Perbanyaklah
bershalawat kepada Muhammad Saw”. [2]
Sejalan dengan hadis wasilah riwayat Ahmad, hadis shalawat
Nabi Musa ini menjelaskan : bershalawat kepada Rasulullah Saw merupakan jalan paling
dekat untuk makrifatullah. Dalam hal ini, Syeh Nabhani Ra menjelaskan pandangan
mayoritas ulama sufi,;bahwa shalawat nabi dapat dijadikan thariqah untuk menuju
wushul/ makrifat kepada Allah Swt yang sempurna.
وَبِالجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ.
لِأَنَّ السَنَدَ وَالشَيْخَ صَاحِبُهَا لِأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ وَيُصَلِّي
اللهُ عَلَى المُصَلِّي. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ فَلاَ بُدَّ
فِيْهَا مِنَ الشَيْخِ العَارِفِ وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ وَلاَ يَنْتَفِعُ
بِهَا صَاحِبُهَا.
Dan pada intinya, sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw
dapat mewushulkan (menyampaikan/ mengantarkan) sampai kepada Dzat Yang Maha
Gaib tanpa guru. Karena sanad dan Syeh (dalam shalawat) adalah pemilik shalawat
(Rasulullah Saw). Sesungguhnya shalawat diperlihatkan kepadanya serta Allah
bershalawat kepada mushalli (orang yang bershalawat). Berlainan dengan (wirid)
yang lain dari beberapa dzikir, yang
didalamnya harus harus ada Mursyid yang Arif (Billah). Jika tidak, maka setan
masuk didalam wirid/ dzikir tersebut, dan tidak memberikan manfaat kepada
pengamalnya. (Kitab Sa’adah ad-Daraini ).[3]
Semakin banyak bershalawat, semakin dekat kepada
Rasulullah Saw (hadis). Sedangkan dekat kepada Rasulullah Saw akan
membawa dekat/ makrifat kepada Allah Swt. Karenanya, para ulama tasawuf banyak yang menggunakan shalawat
sebagai thariqah atau bagian dari wirid thariqah.
Syeh Nabhani juga menjelaskan bahwa shalawat kepada
Rasulullah Saw merupakan jalan (tarekat) yang paling cepat untuk menuju sadar/
makrifat kepada Allah Swt.
إِعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ طَرِيْقَ
الوصُولِ إِلَى حَضْرَةِ اللهِ مِنْ طَرِيْقِ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى
اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْرَبِ الطُرُقِ
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya jalan wushul
kepada hadlratullah dari shalawat kepada Nabi
Kitab Saadah ad-Daraini bab 10 “faidah shalawat”, halaman : 506 – 507, dijelaskan :
وَمَعْلُومٌ
أَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ
وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعالى, وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ, وَمِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ
بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan telah diketahui bersama (kaum ahli makrifat),
bahwa sesungguhnya, barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada
Rasulullah Saw dan Al-Nya (wali al-Ghauts- pen), maka ia akan merakan nikmatnya
wushul kepada Tuhannya Allah Swt. Dan barang siapa yang memisahkan
yang
memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat.. Diantara
agung-agungya jalan wushul adalah ta’alluq (sadar birrasul) kepada Nabi Saw
Kekash Allah Swt serta memperbanyak bersholawat kepada-Nya Saw.
Syeh an-Nabhani Ra dalam kitabnya Afdlalus Shalawat,
menjelaskan :
أَقْرَبُ
الطُرُقِ إِلَى اللهِ فِي أَخِرِ الزَمَانِ خُصُوصًا عَلَى المُسْرِفِ كَثْرَةُ
الإِسْتِغْفَارِ والصَلاَةِ عَلَى النَبي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Jalan
(thariqah) yang paling dekat kepada Allah pada akhir zaman khususnya bagi orang
yang berlumuran dosa, adalah memperbanyak istigfar dan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw.
Shalawat sebagai tarekat,
juga dijelaskan oleh Syeh Ahmad Zawawi (murid dari al-Ghauts fii Zamanihi Ra
Syeh Zakaria al-Anshari {w. 915 H}), yang mengatakan : [5]
طَرِيْقُنَا
أَنْ نُكَثِّرَ مِنَ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى يَصِيْرَ يُجَالِسُنَا وَنَصْحَبُهُ مِثْلَ الصَحَابَةِ وَيَسْأَلُهُ عَلَى
أُمُورِ دِيْنِنَا
Jalan/ thariqah kita
(untuk menuju Allah Swt) dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi (Muhammad)
Saw, hingga Nabi menjadi teman duduk kita secara jaga, dan kita bersahabat
dengannya sebagaimana persahabatan para sahabatnya, dan kita bertanya kepadanya
tentang urusan agama kita.
C.
Cara Pengamalan Shalawat
Wahidiyah
c.1. Istilah “Mujahadah”.
Shalawat Wahidiyah yang dita’lif
oleh Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, merupakan salah
satu amalan sunnah. Maziyah (sirri dan faedah) Shalawat
Wahidiyah, sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pengamal Wahidiyah, dapat
mententramkan hati, menenangkan jiwa, mudah ingat kepada Allah Swt Tuhan
semesta alam, menjernihkan hati dari penyakit munafiq dan musyrik, meningkatkan
kemampuan dan kepekaan jiwa untuk melihat dosa diri, meningkatkan rasa cinta
(mahabbah) kepada Rasulullah Saw, meningkatkan kesadaran dalam berakhlak
karimah, serta dapat mempermudah serta mempercepat tercapainya maksud dan
cita-cita, baik duniawi maupun ukhrawi. Bahkan – yang laing utama - banyak diantara pengamal
Wahidiyah mendapatkan fadlal dari Allah Swt dapat bertemu Rasulullah Saw,
secara mimpi atau dalam keadaan sadar.
Agar dapat memetik maziyah,
manfaat dan sirri shalawat Wahidiyah, Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid
Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah dan juga oleh Hadlratul Mukarram
Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok
Pesantren Kedunglo, telah memberikan tuntunan dan cara pengamalan shalawat
Wahidiyah beserta ajarannya, yang kemudian dinamakan dengan MUJAHADAH.
c.2. Cara Pengamalan
1) Boleh diamalkan oleh siapa
saja laki-laki, perempuan, tua, muda, dari golongan dan bangsa manapun juga.
Tidak panadang bulu.
2) Diamalkan selama 40 hari
(bagi pengamal baru, atau setiap pengamal Wahidiyah menjelang pelaksanaan
mujahadah kubra) secara berturut-turut dan dilaksanakan setiap hari paling
sedikit sesuai bilangan yang tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah serta
dalam satu kali duduk.
Ketentuan pengamalan shalawat Wahidiyah selama waktu 40
hari ini, sebagai tabarukan dan mengikuti terhadap cara atau sistem yang telah
dilakukan oleh para Nabi dan Rasul As serta para auliyaillah Ra.
a.
Sebelum diangkat sebagai rasul, Nabi Muhammad Saw melaksanakan
riyadlah selama 40 hari/ malam dalam gua hira’.
b.
Nabi Musa As - untuk mendapatkan makrifat kepada Allah Swt
- melaksanakan riyadlah selama 40 hari. Firman Allah Swt. Qs. al-A’raf : 142 – 144 :
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِيْنَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ
فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً. وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى
لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أُنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ
لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ
فَسَوفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دُكًّا وَخَرَّ
مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا
أَوَّلُ المُؤْمِنِيْنَ.
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan
Taurat) setelah 30 malam dan yang Kami sempurnakan dengan sepuluh malam.[6]Maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan ketika Musa datang untuk (kepada Kami)
pada waktu yang telah kami tentukan, dan Dia bersabda kepadanya. Musa berkata :
Ya Tuhanku tampakkanlah Diri Engkau agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan bersabda :
Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke bukit itu, ketika
ia tetap pada tempatnya niscaya kamu akan melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan
diri (tajalli) [7] pada
gunung, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa-pun jatuh pingsan. Dan
ketika Musa sadar kembali, berkatalah ia : Maha Suci Engkau, aku bertaubat
kepada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman.
c.
Hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ أَخْلَصَ للهِ أَرْبَعِيْنَ
يَومًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ
Barang siapa yang mengikhlaskan (amal) karena Allah selama 40 hari, [8] maka
akan lahir beberapa hikmah dari hatinya kepada lisannya. [9]]
Tentang makna hadis diatas al-Ghauts fii Zamnihi Syeh
Syihabuddin Suhrawardi Ra (w. 672 H, kitab Awarif al-Ma’arif)
menjelaskan : Syeh Sahal at-Tustari mengatakan :
مَنْ طَوَى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
ظَهَرَتْ لَهُ القُدْرَةُ مِنَ المَلَكُوتِ
Barang siapa melipat
nafsunya (riyadlah) selama 40 hari, maka akan muncul baginya kekuatan
(kemampuan) dari alam malakut
d.
Sebanyak 40 orang yang dapat menduduki jabatan wali Abdal
(waliyullah kelas berat). Rasulullah Saw bersabda : [10]\
خِيَارُ أُمَّتِي فِى كُلِّ قَرْنٍ
خَمْسُمِائَةٍ وَالأَبْدَالُ أَربَعُونَ فَلاَالخَمْسُمِائَةِ يَنْقُصُونَ وَلاَ
الأرْبًعُونَ. كُلَّمَا مَاتَ َرَجُلٌ أَبْدَالَ اللهُ مِنَ الخَمْسُمِائَةِ
مَكَانَهُ وَأَدْخَلَ فِي الأَرْبَعِيْنَ مَكَانَهُ يَعْفُونَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ
وَيُحْسِنُونَ مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِمْ.
Ummat-Ku yang
pilihan dalam setiap qurun (waktu) sebanyak 500 orang, dan wali abdal juga 40
orang.
Tidak ada pengurangan dari yang limaratus dan tidak ada pengurangan
dari empat puluh. Setiap meninggal satu orang dari mereka (baik yang berjumlah
500 orang atau yang 40 orang), Allah akan menggantikan kedudukannya dengan
orang lain. Mereka memberikan maaf kepada orang yang mendlaliminya serta
berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadanya. (HR. Abu Nuaim, Hilyah
al-Auliya’).
Dan banyak
kitab hadis yang menerangkan keutamaan jumlah 40 :
1.
Rasulullah Saw diangkat sebagai Nabi dan Rasul oleh Allah
Swt ketika telah berusia 40 tahun. Demikian pula para Nabi dan Rasul lainnya,
kecuali Nabi Isa As yang diangkat menjadi Rasulullah As pada umur 33 tahun.[11]
2.
Doa 40 orang dapat memberi syafaat kepada mayit, Rasulullah
Saw bersabda:
مَامِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ
عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَيُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ
شَفَعَهُمُ اللهُ فِيهِ
Tidaklah ada
dari sesorang muslim yang mati, dan mendirikan shalat janazah 40 lelaki yang
sedikitpun tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka Allah akan memberikan
hak pertolongan untuk meraka kepada mayit. [12]
3.1.
40 hadis
pilihan Imam Nawawi (kitab al-Arba’in an-Nawawiyah).
3.2.
40 hadis
keutamaan shalawat Nabi Saw (kitab Jam’ul Ahaadis al-Arba’iina fii
as-Shalaati’alaa an-Nabi al-Amin, Syeh Muhammad Syakur al-Mayardini).
3.3.
40 hadis
pilihan keagungan Rasulullah Saw (kitab al-Ahadits al-Arba’iin fii Fadlaaili
Sayyidi al-Mursaliin Saw) keduanya ditulis
oleh Syeh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani Ra.
3)
Boleh diamalkan secara sendirian, akan tetapi dengan
berjamaah bersama dengan satu keluarga, satu kampung sangat dianjurkan.
4)
Bagi perempuan yang yang sedang bulanan, cukup membaca
shalawatnya saja, tidak usah membaca surat al-Fatihah. Adapun bacaan “Fafirruu
Ilallah” dan Waqul Jaa al-Haqqu ….. “ boleh dibaca. Sebab disini tidak
dimaksudkan ayat al-Qur’an, melainkan sebagai doa.
5)
Bagi yang belum bisa membaca shalawat Wahidiyah secara
keseluruhan, boleh membaca bagian mana yang sudah dapat dihafalkannya dahulu.
Atau paling tidak mengamalkan kalimat nida’ “Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah”
diulang-ulang selama kira-kira dalam waktu yang diperlukan bila mengamalkan
secara keseluruhan. Atau kira-kira selama 30 menit.
6)
Dan kalaupun belum memungkinkan mengamalkan sebagaimana
pada nomer 5, boleh berdiam saja selama
waktu 30 menit dengan memusatkan segenap perhatian, mengkonsentrasikan diri
kepada Allah Swt, dan merasa benar-benar dihadapan Junjungan kita Rasulullah
Saw dengan adab lahir batin, dengan ta’dzim (memulyakan) dan mahabbah
(mencintai) setulus hati.
Dan
untuk lebih mendapatkan manfaat yang lebih banyak dari Shalawat Wahidiyah baik
untuk diri sendiri, keluarga dan ummat masyarakat, Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra
Muallif Shalawat Wahidiyah dan Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, telah memberikan
bimbingan dan tuntunan macam-macam mujahadah, antara lain : [14]
1.
Mujahadah Yaumiyah (harian) adalah mujahadah yang
dilaksanakan setiap hari oleh setiap pengamal Wahidiyah sesudah mengamalkan
mujahadah 40 hari.
2.
Mujahadah Usbuiyah (mingguan) adalah mujahadah berjamaah
yang dilaksanakan seminggu sekali oleh pengamal Wahidiyah satu desa/ satu
kelurahan, satu kelompok/ satu kampung yang diatur oleh PW Desa/ Kecamatan.
3.
Mujahadah Syahriyah (bulanan) adalah mujahadah berjamaah
yang dilaksanakan sebulan sekali oleh pengamal Wahidiyah satu kecamatan yang
diatur oleh PW kecamatan.
4.
Mujahadah Rub’us Sanah/ triwulan adalah mujahadah berjamaah
yang dilaksanakan 3 bulan sekali oleh pengamal Wahidiyah dalam satu kabupaten/
kota yang diatur oleh PW kabupaten/ kota.
5.
Mujahadah Nisfus Sanah (setengah tahun) adalah mujahadah
secara berjamaah yang dilaksanakan setengah tahun sekali oleh pengamal
Wahidiyah satu propinsi yang diatur oleh PW propinsi.
6.
Mujahadah Kubra, adalah mujahadah yang dilaksanakan
setahun dua kali (muharram dan rajab) yang diatur oleh PW Pusat, dan bertempat
dipondok Pesantren Kadunglo al-Munadzdzarah Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota
Kediri Jawa Timur Indonesia.
7.
Mujahadah Khusus, adalah mujahadah yang dilaksanakan
oleh pengamal Wahidiyah secara khusus, misalnya :
*. Mujahadah yang dilaksanakan sebelum
melaksanakan tugas.
*. Mujahadah yang dilaksanakan untuk
menyongsong pelaksanaan mujahadah syahriyah, rub’ussanah, nisfussanah, kubra
dan sebagainya.
*. Mujahadah lainnya yang dilaksanakan secara
khusus oleh khadimul Wahidiyah. Misalnya; menjelang Pemilu, hari besar Islam/
Nasional, atau karena ada hal yang dianggap penting dan sebagainya.
8.
Mujahadah Nonstop yang dilaksanakan secara
terus-menerus dalam waktu yang ditentukan secara estafet (berkesinambungan),
dalam mujahadah rub’us sanah, nisfussanah, kubra atau karena ada perintah dari
Beliau Hadlaratul Mukarram Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
9.
Mujadah Muqaddimah adalah mujahadah yang dilaksanakan
dalam resepsi acara Wahidiyah sebagai rangkaian mata acara kedua atau yang
ketiga (jika ada acara pembacaan ayat suci al-Qur’an), atau dalam
musyawarah-musyawarah Wahidiyah/ pengajian Wahidiyah. Mujahadah tersebut
dikenal dengan istilah “Muqadimah Shalawat Wahidiyah”.
D.
Adab Pengamalan Shalawat Wahidiyah
Para ulama dan
kaum sufi sangat memperhatikan adab dan akhlak ketika bershalawat kepada
Rasulullah Saw. Memang diantara makna dan tujuan yang terkandung dalam
bershalawat,[15]
adalah untuk menghormat dan mengagungkan Beliau Rasulullah Saw disisi Allah Swt
yang mengalahkan seluruh makhluk, serta untuk menunjukkan rasa sangat
membutuhkan dari orang yang bershalawat terhadap syafaat dan doa restunya.
Setiap bacaan shalawat
akan sampai kepada Rasulullah Saw. HR. Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah dari Aus
Ibn Aus, Rasulullah Saw bersabda :
فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالُوا : يَارَسُولَ اللهِ
وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ
عَلَى الأَرْضِ أَنْ يَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya shalawat kamu semua disampaikan kepadaku. Sahabat bertanya : Wahai Rasulallah bagaimana shalawat
kita disampaikan kepadamu, sedangkan engkau telah rusak (tulang dan daging). Rasul
bersabda : Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi. [16]
Setiap shalawat sampai kepada Rasulullah Saw. Karenanya,
seseorang yang bershalawat harus diserati cara dan akhlak yang baik yang sesuai
dengan kedudukan Rasulullah Saw. Sahabat
Abdullah bin Mas’ud ra berkata :[17]
إِذَا
صَلَّيْتُمْ عَلَى رسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسِنُو
الصَلاَةَ عَلَيْهِ. فَاِنَّكمْ لاَ
تَدْرُوْنَ لَعَلَّ ذَالِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ
Ketika kalian bershalawat kepada Rasulullah Saw, bagus-baguskanlah
shalawat kepadanya. Sesungguhnya kalian belum memahaminya, kalau-kalau shalawat
kalian diperlihatkan kepada rasul.
Seluruh bacaan shalawat sampai kepada Rasulullah Saw. Karenanya,
demi kesempurnaan bershalawat, sangat dianjurkan bagi para pangamal shalawat senantiasa
menjaga akhlak kepada Rasulullah Saw. Melaksanakan nida’ kepada Rasulullah Saw
tidak boleh dengan cara yang sama ketika memanggil kepada sesama manusia.
Firman
Allah Swt, Qs. an-Nuur : 61 :: لاَتَجْعَلُوا
دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Janganlah kamu
semua menjadikan panggilan kepada rasul sebagaimana panggilan antara kamu semua
kepada yang lain.
Dalam menjelaskan makna ayat ini Syeh Abul Fadlal al-Yahshubi dalam
kitabnya as-Syifa’, mengatakan : [18]
فَكَذَالِكَ
يَجِبُ الدُعَاءُ لَهُ مُخَالِفًا لِدُعَاءِ النَاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ : Dengan demikian wajib panggilan
kepada (Rasulullah Saw) berbeda dengan panggilan kepada manusia antara yang
satu kepada lainnya.
Diantara adab bershalawat atau dzikrurrasul :
1.
Memahami bahwa
shalawat yang disanjungkan, bersamaan dengan shalawatnya Allah Swt kepada
Rasulullah Saw, yang mana shalawat Allah Swt kepada Nabi Saw tidak mengenal
waktu (dulu, sekarang dan nanti). Artinya, diwaktu mukmin bershalawat nabi)
wajib meyakini bahwa Allah Swt sedang bershalawat kepada Rasulullah Saw.
2.
Memahami
ketinggian kedudukan dan keagungan Rasulullah Saw.
Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H)
dalam menjelasan hadits riwayat Imam Bukahri (ukuran cinta kepada Rasulullah Saw)
mengatakan :
حَقِيْقَةُ
الاِيْمَانِ لاتَتِمُّ
وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ
بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ
عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ
يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ
بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ
مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat
sempurna kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah
qalbu) yang mengalahkan setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan)
seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw
menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin, tergantung dari seberapa rasa
cintanya kepada Rasulullah Saw. [19].
3.
Menghormat
serta mengagungkan kepada Rasulullah Saw serta merasa rindu dan ingin berjumpa
dengannya.
وَاعْلَمْ أَنَّ حُرْمَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوْقِيْرَهُ
وَتَعْظِيْمَهُ لاَزِمٌ كَما كَانَ حَالَ حَيَاتِهِ. وَذَالِكَ عِنْدَ ذِكْرِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذِكْرِ حَدِيْثِهِ وَسَمَاعِ
اسْمِهِ وَمُعَامَلَةِ عِتْرَتِهِ.
Ketahuilah, sesungguhnya mengagungkan Rasulullah Saw setelah kematiannya
adalah hal yang wajib seperti ketika Beliau masih hidup. Penghormatan tersebut
dilakukan ketika menyebut atau mendengar asmanya, menyebutkan hadis, sunnahnya
serta sejarah hidupnya, serta sejarah kehidupan keturunannya.
وَقَالَ إِسْحَاقُ
التَجِيْبِي: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ
لاَيَذْكُرُونَهُ إِلاَّ خَشَعُوا وَاقْشَعَرَّتْ جُلُودُهُمْ وَبَكَوْا.
وَذَالِكَ كَثِيرٌ منَ التَّابِعِيْنَ. مِنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَالِكَ مَحَبَّةً
لَهُ وَشَوْقًا إِلَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُهُ تَهَيَّأً وَتَوْ قِيْرًا.
Imam Ishaq at-Tajibi berkata : Setelah kepulangan Rasulullah Saw
kehadirat Tuhan, para sahabat tidak mengingat atau menyebutnya, kecuali mereka
dengan khusyu’ dan menggigil tubuhnya serta menangis. Hal yang demikian juga
merupakan kebiasaan para tabi’in. Diantara mereka ada yang melakukannya karena
cinta dan rindu kepadanya, dan ada yang melakukannya karena menghormat dan
terbayang kepadanya.
كُلُّ مَنْ
أَمَنَ بِالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْمَانًا صَحِيْحًالاَ يَخْلُو عَنْ وِجْدَانِ شَيْئٍ
مِنْ تِلْكَ المَحَبَّةِ الرَاجِحَةِ غَيْرِ أَنَّهُمْ مُتَفَاوَتُوْنَ. فَمِنْهُم
ْمَنْ أَخَذَ مِنْ تِلْكَ المَرَتَّبَةِ بِالحَطِّ الأَوْفَى. وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَ بِالحَطِّ
الأَدْنَى كَمَنْ كَانَ مُستَغْرِقًا فِي الشَهَوَاتِ مَحْجُوبًا فِي الغَفْلاَتِ.
وَلَكِنّ الكَثِيْرَ مِنْهُمْ إِذَا ذُكِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم إِشْتِقَاقُ
إِلَى رُؤْيَتِهِ
Setiap orang
yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dengan iman yang sebenarnya, (hatinya)
tidak pernah kosong dari rasa cinta kepada rasul. Hanya saja kecintaan mereka
berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang cintanya telah mencapai tingkat yang
tinggi. Dan sebagian mereka hanya mencapai tingkat rendah, karena masih
tenggelam dengan hawa nafsunya, serta tertutup dengan kealpaan. Tapi, sebagian
besar mereka ketika disebut nama Rasulullah Saw, hasrat dan rindu mereka
untuk bertemu dengan Beliau Saw sangat besar.
قَالَ أَبُو
إِبْرَاهِيْم التَجِيْبِي : وَاجِبٌ عَلَى
كُلِّ مُؤْمِنٍ ذَكَرَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ ذُكِرَ عِنْدَهُ
أَنْ يَخْضَعَ وَيَخْشَعَ وَيَتَوَقَّرَ وَيَسْكُنَ مِنْ حَرَكَتِهِ وَيَأْخُذَ
مِنْ هَيْبَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِجْلاَلِهِ.وَقَالَ
القَاضِي أَبُو الفَضَل : وَهَذِهِ كَانَتْ سِيْرَةُ سَلَفِنَا الصَالِحِ
وَأَئِمَّتِنَا المَاضِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
Syeh Abu Ibrahim at-Tajibi berkata : Wajib, bagi setiap mukmin yang
ingat kepada Rasulullah Saw atau namanya disebut disisinya, menundukkan jiwa
dengan khusyu’, mengagungkan, diam dari berbagai gerakan serta menempatkan diri
sesuai kewibawaan dan keagungan Rasulullah Saw. Dan Qadli Abul Fadlal berkata :
Hal demikian ini merupakan kebiasaan para ulama salafus shalih (ulama terdahulu
yang shalih).
5.
Menyadari dan
merasa diri hina serta berlumuran dosa dihadapan Rasulullah Saw, kemudian mohon
ampun kepada Allah Swt, serta sangat membutuhkan doa restu dan syafaatnya.
Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 64 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ
بِإِذْنِ اللهِ, وَلَو أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ
فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَسُولَ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا
رَحِيْمًا.
Dan Kami tidak mengutus dari seorang rasul keculi untuk ditaati dengan
izin Allah. Dan jika sekiranya, sesungguhnya mereka mendlalilmi diri mereka
sendiri, mereka datang menghadapmu, kemudian mereka mohon ampun kepada Allah,
dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, maka niscaya mereka mendapatkan
Allah Dzat Yang menerima taubat serta Dzat Yang Maha Kasih.
Ayat ini menjelaskan, bahwa bagi orang yang menyadari dirinya dlalim dan
berlumuran dosa, dan ingin bertaubat, maka wajib baginya mohon ampun kepada
Allah Saw, dan merasa berada dihadapan Rasulullah Saw sangat mengharapkan doa
restu dan syafaatnya. Al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra
mengatakan : [22].
وَبِالجُمْلَةِ
وَالتَفْصِيْلِ فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْدٌ بَيْنَ
أَظْهَرِنَاحِسًّا وَمَعْنًى جِسْمًا وَرُوْحًا سِرًّا وَبُرْهَانًا
Dengan melalui
dasar yang mujmal dan rinci (pasti benarnya), wujud Beliau Rasulullah Saw
berada diantara jasmani dan ruhani kita, baik secara hissy (indrawi) atau
maknawi (metafisik), secara jasmani maupun rohani, atau secara rahasia atau
nyata.
6.
Merasa mendapat
syafaat Rasulullah Saw, serta tidak menjadikan Beliau Saw seperti gelas minuman
milik para pengendara (habis manis sepah dibuang). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَجْعَلُونِي
كَقَدَحِ الرَاكِبِ. فَإِنَّ الرَاكِبَ يَمْلَأُ قَدَحَهُ ثُمَّ يَضَعُهُ
وَيَرْفَعُ مَتَاعَهُ. فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى شَرَابٍ شَرِبَهُ أَوِ الوُضُوْءِ
تَوَضَّأَ وَإِلاَّ هَرَقَهُ. وَلَكِنْ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُعَاءِ
وَأَوْسَطِهِ وَأَخِرِهِ.
Janganlah kalian menjadikan Aku bagaikan gelasnya pengendara.
Sesungguhnya pengendara memenuhi (dengan air) gelasnya, kemudian meletakkannya
dan kemudian mengangkatnya lagi. Jika ia membutuhkannya untuk minum diminumlah,
atau untuk wudlu, maka dipakainya berwudlu. Dan jika ia tidak membutuhkannya,
maka ia melemparkannya. Dan, akan tetapi jadikanlah aku dalam awal, pertengahan
dan akhir doa (mu). [23]
Adab
merupakan hal sangat penting kepada Allah Swt, Rasulullah Saw maupun kepada
sesama manusia, bahkan kepada makhluk jamial alamin. Nilai ibadah tergantung
kepada pelaksanaan adab. Jika pelaksanaan ibadah disertai dengan adab yang
baik, itulah makna ibadah yang semestinya. Dan jika disertai adab yang buruk,
nilai ibadah akan menjadi rusak. Demikian pula dalam hubungan antara sesama
manusia, misalnya berdarma (baik moril atau materiil), jika pelaksanaanya tanpa
disertai dengan adab dalam memberikannya, bisa-bisa bernilai sebaliknya,
penghinaan atau perendahan terhadap orang yang menerima darma.
Dalam
kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifah Qawa’id as-Shufiyah,
dijelaskan, orang
yang berdzikir kepada Allah Swt tanpa disertai adab yang sempurna, hanya
sedikit manfaat yang diperolehnya, dan bahkan tidak akan sampai keharibaan-Nya. [24]
أَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ خَلَتْ عَنِ الأَدَبِ فَهُوَ
قَلِيْلَةُ الجَدْوَى. وَأَجْمَعَ الأَشْيَاخُ أَنّ العَبْدَ يَصِلُ بِعِبَادَتِهِ إِلَى حُصُولِ الثَوَابِ وَدُخُولِ
الجَنَّةِ. وَلاَ يَصِلُ إِلَى حَضْرَةِ رَبِّهِ إِلاَّ إِنْ صَحِبَهُ الأَدَبُ
فِي تِلْكَ العِبَادَةِ.
Sesungguhnya setiap ibadah yang sepi
(kosong) dari adab, maka sedikit manfaatnya. Ijma’ (kesepakatan) para Guru
Ruhani : Sesungguhnya seseorang dengan ibadahnya akan memperoleh pahala dan
masuk surga. Dan tidak dapat sampai (wushul) keharibaan Tuhannya, kecuali yang
disertai adab.
Menjaga
adab yang sebaik ketika
mengamalkan shalawat Wahidiyah,
antara lain :
a.
Hudlur : hati sowan/ menghadap/ ingat kepada Allah Swt.
b.
Memulyakan dan mengagungkan (ikraman), menghormat (ta’dzim) dan mencintai (mahabbah) Rasulullah Saw. Karena bacaan shalawat dari mukmin
(berada dimanapun) akan sampai kepada Rasulullah Saw.
Tidak
menempatkan Rasulullah Saw sebagaimana ketentuan-Nya, merupakan perbuatan
merendahkan derajatnya.
لاَ تَجْعَلُوا
بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ
تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Janganlah kamu jadikan
rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburku seperti hariraya,
kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawatmu samapi kepadaku dimanapun kamu
semua berada.
Dalam penglihatan Allah Swt dan malaikat, rumah akan tampak
seperti kuburan, jika tidak digunakan untuk bershalawat nabi. berlama diatas kubur rasul juga
merupakan suatu perbuatan yang kurang diizinkan oleh Islam. Karena bershalawat
dari tempat manapun akan sampai kepada Rasulullah Saw.
2. Hadis riwayat Imam Thabrani
dan Imam Ibnu Majah dari Abu Darda’. Ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : [26].
وَإِن أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ
حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ وَبَعْدَ المَوتِ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَّ حَرَّمَ عَلَى الأرْضِ أَنْ
تَاْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Dan tidaklah seseorang yang
bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan kepadaku sampai ia
selesai bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah mati?. Jawab
(Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi (masa)
memakan (merusak) jasad para nabi.
Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.
c.
Merasa rendah dan hina (TADZALLUL),
sangat membutuhkan pertolongan (IFTIQAR) dan merasa berlarut-larut penuh dengan
dosa (TADZALLUM) dihadapan Allah Swt, dihadapan Rasulullah Saw dan dihadapan
Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Berdosa kepada para waliyullah, kepada kedua orang tua,
kepada keluarga, kepada guru, kepada murid, kepada pemimpin, kepada yang
dipimpin, kepada ummat dan masyarakat bahkan kepada sesama mahluk pada umumnya.
Dan merasa diri sangat lemah, sangat membutuhkan ampunan, taufiq dan hidayah-Nya,
serta sangat membutuhkan syafaat dan tarbiyah Rasulullah Saw, dan membutuhkan,
dukungan barakah dari Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
Kalau mata hati telah terbuka, semestinya, setiap manusia
memiliki dosa. Hanya disebabkan oleh ego, serta ujub (banggak dengan amal), mereka
tidak menyadarinya. Dalam hadis diterangkan; sebaik-baik manusia adalah mereka
yang menyadari kelaliman diri, kemudian bertaubat.
1.
Dalam hadis qudsi Allah Swt berfirman : كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ
الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ
: Seluruh anak cucu Adam itu penuh
kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik pendosa adalah mereka yang bertaubat.[27].
2.
Qs. al-An’am : 122 : أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا
فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَاسِ
:
Adalah (mereka) orang-orang yang mati hatinya. Kemudian Kami
menghidupkannya. Dan Kami jadikan untuknya cahaya yang terang. (Dan)
yang dengan nur itu, ia berjalan ditengah-tengah manusia.
إِنَّ
اللهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ
فَمَنْ أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah
menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya
kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena nur, maka ia mendapat hidayah,
dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.
d.
Merasa makmum kepada Rasulullah Saw
dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
e.
Berkeyakinan kalau mujahadahnya diterima oleh Allah Swt
(jangan sampai ragu).
f.
Berniat semata-mata beribadah kepada Allah Swt dengan
ikhlas tanpa pamrih suatu apapun, baik duniawi maupun
ukhrawi, misal supaya begini supaya begitu, ingin pahala, ingin surga dan
sebagainya. Sungguh-sungguh tulus ikhlas karena Allah (LILLAH). Disamping niat
LILLAH, supaya niat mengikuti Rasulullah Saw (LIRRASUL) dan Ghauts Hadzaz Zaman
Ra (LILGHAUTS). Jadi ketiga niat tersebut
dilaksanakan bersama-sama.
g.
Disamping niat LILLAH, LIRRASUL dan
LIL-GHAUTS seperti diatas, supaya merasa bahwa dapat melakukan ini semua,
karena pertolongan dari Allah dan karena digerakkan oleh Allah Swt, sebagai
penerapan BILLAH.
h.
Disamping sadar merasa BILLAH, supaya juga merasa BIRRASUL.
Artinya merasa menerima atau mendapat jasa dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan
dari Umar Ibn Khatthab ra.
Dia berkata : Ketika aku berangkat Umrah, aku minta izin kepada Rasulullah Saw. [29]
Dan Beliau memberikan izin
kepadaku serta bersabda : لاَ تَنْسَنَا يَاأَخِي مِنْ دُعَائِكَ : Janganlah engkau melupakanku wahai saudaraku didalam doamu. melupakan Kami (Rasulullahwahai saudaraku
dalam do’amu.
Dalam redaksi lain [30] riwayat Abu Dawud dan
Tirmidzi ra, kepada Umar, Rasulullah Saw bersabda : أَشْرِكْنَايَاأَخِي
فِي دُعَاءِكَ : Saudaraku, jadikanlah Aku sebagai kawan, didalam do’amu. Hadis inidiperjelas oleh Qs, al Fatah, ayat 8 & 9 :
اِنَّا
أَرْسَلْنَا كَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذ ِيْرًا لِتُؤْ مِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ
Sesungguhnya Kami (Allah) mengutus Engkau
menjadi saksi, dan sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan.
Agar mereka semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tentang
arti “sebagai saksi” dalam ayat diatas, Syeh Nabhani, menjelaskan fatwa para
ulama kaum sufi dan waliyullah yang mengatakan [31].
وَالشَاهِدُ
لاَ بُدَّ أَنْ يَكُوْنَ حَاضِرًا لِلمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَنَاظِرًا لِلمَشْهُودِ
بِهِ فَعُلِمَ أَ نَّهُ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَالِئُ كُلِّ العَالَمِ
وَحَا ضِرٌ فِي كُل زَمَانٍ
Sebagai saksi, artinya sudah pasti (Rasulullah
Saw) senantiasa menghadiri kepada orang yang disaksikan. Maka, telah pahami
(oleh para ulama) bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw itu memenuhi alam semasta
dan hadir disetiap zaman.
i.
Setelah bermujahadah, meyakini Allah
Swt mengijabahi doanya, فَإِذَا دَعَيْتُمْ فَأَيْقِنُوا بِالإِجَابَةِ : Jika kamu selasai berdoa, maka
percayalah dengan terijabahnya.
Dan,
untuk mengakhiri pembahasan ini, mari bersama-sama mengadakan penghormatan
kepangkuan Rasulullah Muhammad Saw dan Hadlratul Mukarram Ghauts Hadzaz Zaman
Ra dengan setepat-tepatnya. Penghormatan yang tidak sesuai dengan kedudukan
yang ada pada Rasulullah Saw dan Ghauts Ra, bisa-bisa akan menjadi penghinaan
kepadanya.
Al-Fatihah
.....
CATATAN KAKI :
Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra (w. 973 H), menerangkan :
أَنَّ جَمَاعَةً بِبِلاَدِ اليَمَنِ لَهُمْ سَنَدٌ
بِتَلْقِيْنِ الصَلاَةِ وَالسَلاَمِ عَلَى
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ فَيُلَقِّنُونَ
المُرِيْدَ ذَالِكَ, وَيَشْغِلُونَ بِالصَلاَةِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ, فَلاَ يَزَالُ مِنْهَا حَتَّى يَصِيْرَ يَجْتَمِعَ بِالنَبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَاَلِهِ وَسَلَّمَ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً. وَيَسْاَلُهُ عَنْ وَقَائِعِهِ كَمَا
يَسْاَلُ المُرِيْدُ شَيْخَهُ فِي الصُوفِيَةِ. وَأَنَّ مُرِيْدَهُمْ يَتَرَقَّي
بِذَالِكَ فِي أَيَّامٍ قَلاَئِلَ. وَيُسْتَغْنَى عَنْ جَمِيْعِ الأَشْيَاخِ
بِتَرْبِيَتِهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya
terdapat sekelompok orang dinegeri Yaman. Mereka memiliki sanad thariqah dengan
talqin (ijazah) shalawat kepada Rasululillah Saw. Mereka (GURU MURSYID)
mentalqin murid dengan talqin shalawat. Para murid menyibukkan diri dengan
shalawat kepada Rasulillah Saw. Mereka tidak henti-hentinya dengan shalawat
tersebut hingga dapat berkumpul bersama dengan Nabi Saw secara jaga dan tatap
muka. Mereka menanyakan kepada (Nabi Saw), tentang keadaan mereka sebagaimana
murid bertanya kepada Gurunya dalam ilmu tasawuf. Dan murid tersebut dapat naik
(keimanannya) dalam waktu sebentar. Dan para murid tidak membutuhkan Guru
Ruhani lagi, disebabkan mendapat pendidikan Rasulullah Saw. (kitab al-Anwarul Qudsiyah, bab Sanadul Qaum).
[3]. Kitab Sa’adah
ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat
56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ
فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada
segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai
tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).
[5]. Lihat kitab Afdlalus
Shalawat, Syeh Yusuf an-Nabhaani Ra (w. 1933 M), dalam pasal 4. Sejalan
dengan Syeh an-Nabhani Ra, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) dalam
kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah pada sanad talqin menjelaskan :
[6]. Keterangan yang
sepadan (tentang riyadlah 40 hari/ malam), juga dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah
: 51 :
وَإِذْ وَعَدْنَا مُوْسَى أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
: Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (setelah) empat
puluh malam. Namun, pada keterangan firman selanjutnya, Allah Swt murka
kepada kaum Bani Israil, karena mereka menjadikan berhala sebagai sarana
pendekatan kepada-Nya, padahal sudah ada penjelasan dari nabi Musa As.
(: ثُمًّ اتَّخَذْتُمُ العِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ
ظَالِمُوْنَ Kemudian kalian mengambil (menjadikan) patung
emas (sebagai sarana pendekatan kepada-Nya) setelahnya. Dan kalian memang
orang-orang yang berbuat dlalim.
Dalam tafsir Shawi
juz I, diterangkan ; bahwa janji Allah
Swt kepada Nabi Musa As setelah melaksanakan riyadlah selama 40 hari/ malam,
Allah Swt memberikan fadlal-Nya berupa kitab Tuarat untuk dijadikan pegangan
hidup oleh ummatnya.
[7]. Dalam
ayat 142 – 144 surat al-A’raf ini dijelaskan; Allah Swt ber-tajalli
(menampakkan Diri-Nya) pada gunung. Sedangkan dalam hadis riwayat Imam Muslim (Shahih
bab “menjenguk orang sakit”), Allah
Swt ber-tajalli pada mukmin yang terbaik pada setiap waktu.
[8]. Pengamalan
sunnah (THARIQAH) selama waktu 40 hari, juga merupakan sunnah Nabi Daud As
(kitab al-Ghunyah Syeh Abdul Qadir Jailani juz I bab “al-itti’adz bi
mawa’idzil Qur’an” pasal ke 22 :
فَبَكَى (دَاود) أَرْبَعِيْنَ يَومًا وَهُوَ سَاجِدٌ حَتَّى نَبَتَ العَشَبُ
مِنْ دُمُوعِهِ فَرَحِمَهُ اللهُ
Menangislah (Nabi Daud) selama
40 hari serta ia dalam keadaan sujud, hingga tumbuhlah rumput dari air matanya,
kemudian Allah Menyayanginya.
[9]. Lihat kitab Kasyful
Khifa’ wa Muzilul Ilbas, juz II nomer hadis : 2359, dan kitab Awariful
Ma’arif-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra (w. 672
H) dalam bab “kekhususan amalan 40 hari dalam kalangan kaum sufi”.
[12]. HR. Imam Ahmad dan Imam
Muslim dari Ibnu Abbas Ra. Kitab Jami’ as-Shagir juz II/ “miim”, dan HR.
Muslim dari Abdullah Ibn Abas, kitab Riyaadl as-Shalihin, bab “raja”, nh
: 19.
[13]. HR. Ibnun
Najjar dari Abu Said Rasulullah
Saw bersabda (kitab Jami’ as-Shaghir, juz II/ “mim”) :
مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي
أَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا مِنَ سنَّتِي أَدْخَلْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ فِي
شَفَاعَتِي
Barang siapa yang menghapal untuk
ummatku 40 hadis dari sunnahku, maka aku memasukkannya kedalam syafaatku dihari
kiamat.
[14]. Buku Risalah
Tanya Jawab Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya (cetakan PW Pusat), dengan sedikit
penyempurnaan.
[15]. Lihat penjelasan tujuan
shalawat dalam ”jilid I pada bab redaksi shalawat”.
[17]. HR. Ibnu Majah (Sunan, nh
: 906). Dan Imam Thabrani (9 : 8594), lihat kitab Jala’al-Afham, nh: 25.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mardawiah, Abd Ibn Humaid.
[19]. Rasulullah Saw brsabda (kitab Jawaahir al-Bukhaari-nya
Mushthafa Muhammad Amarah, nh :
11) : لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن:
Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih
dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia. Kitab as-Syifa’ juz II bab “Mhabbaturasulul”.
[20]. Kitab Jawaahir al-Bukhari, hlm : 22
– 23. Dan kitab Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari oleh
Imam Ibnul Hajar al-‘Asqalani, terbitan” Pustaka Azzam” Jakarta, cetakan ke
3, tahun Juli 2003 pada buku I, hlm : 98/ 99.
[21]. Kitab as-Syifa’,
juz II dalam bab 2.
Dalam
kamus Islam, masa ulama terbagi kedalam dua masa. Pertama, masa salafus
shalih , yakni para ulama dari abad pertama sampai
akhir abad ketiga hijriyah (masa sahabat, tabi’in atau tabi’ut tabi’in). Kedua,
masa khalaf, yakni para ulama setelah abad ketiga hijriyah.
[23]. Hadis yang diriwayatkan
dari sahabat Jabir Ibn Abdullah ra. Kitab as-Syifa’ juz II dalam bab II,
pada pasal kedua. Dan dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim pada
nomer hadis : 69 dan 70, hadis yang sepadan juga diriwayatkan oleh
Thabrani dari Abdur Razaq, dan Imam
Sakhawi berkata : hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan al-Bazzar
(dalam al-Musnad) serta Abdur Razaq dalam al-Jami’, Ibnu Ashim
dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah, yang semuanya dari Ibnu Ubaidillah, hanya saja
ia (Ibnu Ubaidillah dinilai dlaif).
[25]. Hadis diatas juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan sanad
yang shahih, juga dari jalur Abu Hurairah ra, lihat kitab al-Adzkar an-Nawawi,
nh : 344.
[26]. Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah (shahih). Sedangkan
al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (kitab Jalaul Afham,
bahasan sanad hadis diatas). Meski demikian, makna hadis Abu Darda’ diatas shahih.
Karena didukung oleh beberapa hadis lain. Dalam kitab al-Adzkar, Imam
Nawawi Ra, nh : 342), Rasulullah Saw bersabda (HR. Abu Daud, Ibnu Majah) :
فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالُوا : يَارَسُولَ اللهِ
وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ
حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ يَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya shalawat kalian sampai
kepadaku. Sahabat bertanya : bagaimana shalawat kita sampaik kepadamu,
sedangkan engkau telah rusak (tulang dan daging). Rasul bersabda :
Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi.
[27]. HR. Imam Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim (kitab Jami’as-Shagir, Ima Suyuthi juz
II/ “kaaf”. Atau kitab Kasyful Khifa’
juz II/ nomer hadis : 1967.
[29]. Dalam kitab Dalilul-Falihin-nya
Syeh Muhammad Ibn ‘Allan dalam jilid II, bab “Ziyarah Ahlil Khair”, nh : 14,
dalam menjelaskan ASYRIKNAA, : mengatakan bahwa kebanyakan para ulama
memberikan arti dengan : إجْعَلْنَا شُرَكَاءًا مَعَكَ : jadikanlah Aku sebagai kawan bersamamu. (Sunan
Timidzi dalam “ad-Da’awaat”, atau dalam Sunan Abu Dawud dalam
“as-Shalat” bab “ad-du’a”).
[31]. Kitab Sa’adah ad
Daraini halaman 461–462.
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
KETERANGAN : MATERI UP GRADING DA'I WAHIDIYAH OLEH YPW PUSAT KEDUNGLO KEDIRI.
No comments:
Post a Comment