D.
Sikap
Dan Kawajiban Salik
Agar
berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok
yang harus diperhatikan oleh setiap salik : [1]
1.
Secara batin
tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang
berseberangan dengan guru.[2]
2.
Senantiasa
berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari
Beliau Ra.
3.
Senantiasa
bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon tarbiyah-Nya agar
terbebas dari
kotoran hati, sehingga dapat sadar ma’rifat Billah wa Rasulihi Saw.
4.
Jika seorang
mursyid wafat, wajib bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan
jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ
وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ
Murid,
ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh
penganti untuk membimbingnya.
Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya
al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w. 973 H, dalam bab “adabul
murid.
5. Mendekat
kepada Beliau Ra dengan pendekatan yang semestinya. Sebab pendekatan tersebut akan terbukalah pintu
hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ
العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ
المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati orang yang Arif Billah adalah
hadlrahnya Allah Swt. Seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa
yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka
baginya pintu hadlrah tersebut.
Cara pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan, antara
lain :
1).
Merasa
mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil Mukammil.
Allah Swt
berfirman, Qs. al-Baqarah : 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ
وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang
benar) untuk mengalahkan (kaum yang aniaya)
dengan kelompok lain, niscaya rusak binasalah bumi. Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang
agung.
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir, menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ
dalam ayat
diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir
yang menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap
Beliau ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan
kedudukan ghautsiyah.
2).
Mengikuti
tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin (ruhani dan jasmani).
3).
Memahami
dan mendekat secara lahir dan batin kepada Beliau Ra dimanapun berada.
(rabithah).
4).
Berakhlak
kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah SAW. [3]
فَيَجِبُ
عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله
عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ
مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ
تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ
خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah,
sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu
kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi
Muhammad Saw
membentuk jiwa
al-Ghauts sebagai fotocopi jiwa
Beliau Nabi Saw.
Tidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud
kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum
Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada
Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal
batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.
Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah
Al-Qusyairiyah bab “adab murid kepada guru”, diterangkan; apabila murid ingin
cepat berhasil dalam menuju dan mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib
baginya menjalankan hal berikut ini:
a)
Murid
wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang melebihi batas. Serta merendahkan
diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan diri murid yang berlebihan, merupakan
racun yang dapat membunuh hati dan makrifat.
b)
Murid
tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang ditunjukkan kepadanya. Guru
Mursyid Kamil Mukammil tidak mungkin memerintahkan kesalahan. [4]
Hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda : [5]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
Barangsiapa
menghina Sultan, maka Allah akan
menghinakannya
Yang
dimaksud mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan,
bahwa hal-hal yang dapat dikatakan
menghina antara lain; menganggap
ringan terhadap perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”,
adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan
setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
c)
Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt, berguru kepada Mursyid
kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan
mistik atau lainnya yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mendekat
dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
d)
Setelah
bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan sekali-sekali keluar dari
barisannya. Hadis riwayat
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas,
Rasulallah Saw bersabda : [6]
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا
فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang
datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari
Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang
kafir jahiliyah.
e)
Untuk menyempurnakan
taqwa, seseorang diharuskan berkumpul dengan orang-orang yang pemahaman
tauhidnya telah dibenarkan oleh Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. at-Taubah :
119 :
يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا
اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama
dengan orang-orang yang benar.
Tidak
berguru kepada Syeh Kamil Mukammil menyebabkan mati sebagaimana matinya orang
kafir jahiliyah (memahami Tuhan secara terbelok, serta tidak dapat memahami
keberadaan dan tugas Rasulullah Saw).
f)
Wajib
menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada dirinya, kecuali kepada gurunya.
g)
Tidak
boleh menyukai dispensasi kemurahan dari guru. Dan tidak boleh
bermalas-malasan.
h)
Senantiasa
mohon doa restunya dalam segala urusan yang halal.
i)
Memahami
bahwa hal luar biasa yang dimiliki oleh para waliyullah atau lainnya, adalah
pemberian Allah Swt yang terpancar dari Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ
وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ
اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ
المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini
telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu
(bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan
dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi
berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
j)
Meyakini
bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw. Maka, menentang
Guru Yang Kamil berarti menentang Rasulullah Saw.
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ
عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ
أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي
وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada
Amir –Ku berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat
kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir
(Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم
Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan :
Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam menjelaskan
ayat ini, Syekh Abdul
Wahhab as-Sya’rani Ra
mengatakan :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ
نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ
بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan.
Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah. (Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir,
juz I dalam bahasan pertama).
Hadis riwayat Imam G.
Al-Ghauts Dan Pembersihan Syirik
Nasai dari
Khudzaifah ra. Dia berkata : Aku bermimpi melihat orang yahudi berkata : kalian
mengira kami menyekutukan Allah, padahal kamu juga menyekutukan-Nya, ketika
kamu berkata : “Allah telah menghendaki, dan Muhammad juga menghendaki”.
Setelah aku bangun, aku melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Baliau
Saw bersabda :
أَمَّاإِنِّي كُنْتُ أُكْرِهُهَا لَكُمْ, فَقُوْلُوْا :
مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ
Sedangkan aku,
sesungguhnya kalimat itu bagi kamu semua. Maka, katakanlah : “Allah telah
menghendaki, kemudian aku menghendaki. [12]
لاَتَقُوْلُوْا
: مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ فَلاَنٌ, وَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ
فُلاَنٌ.
Janganlah kamu
semua mengatakan : “Allah telah menghendaki, dan fulan juga telah
menghendaki”. Dan katakanlah : “Allah
telah menghendaki, kemudian fulan menghendaki”.
Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra meriwayatkan :[14]
seseorang sedang berceramah : مَنْ يُطِعِ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ رَشَدَ. وَمَنْ يَعْصِهِمَا
....
: barang siapa yang
taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barang
siapa yang mendurhaki mereka berdua… .
Ketika khathib sampai kalimah : mendurhaki mereka berdua, tiba-tiba Rasulullah Saw memotong
pembicaraan dan bersabda : بِئْسَ خَطِيْبُ
القَوْمِ أَنْتَ, إِذْهَبْ. :
Sejelek-jelek pemberi ceramah kaum (ku) adalah kamu,
pergilah.
Para ulama menjelaskan; Rasulullah Saw tidak suka terhadap
kalimat mereka berdua,
menunjukan kalimat tersebut dapat dimaknai penyekutuan antara dirinya dengan
Allah Swt. Padahal yang benar, kehendah Rasulullah Saw adalah kehendak Allah
Swt semata. Sebagaimana keterangan ayat 17 surat al-Anfal :
وَمَا
رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي
Tidaklah engkau
(Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.
Al-Ghauts
fii Zamanihi Ra Imam Abul
Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :
وَمِنَ
الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وَالأَنْبِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ
دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik, menjadikan
waliyullah dan para Nabi sebagai wasilah dengan tanpa Allah.[15]
Al-Ghauts
fii Zamanihi Ra, Syeh
Sahal at-Tustari Qs. wa Ra
menjelaskan : “Orang mukmin
adalah orang yang hatinya mampu memandang Allah Swt tanpa ada pembatas”. [16]
مَنْ زعَمَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ فِي
شَيْئٍ أَوْمِنْ شَيْئٍ أَوْعَلَى شَيْئٍ فَقَدْ أَشْرَكَ بِالله
اِذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْئٍ لَكَانَ مَحْمُولاً وَلَوْ
كَانَ فِيْ شَيْئٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوكَانَ مِنْ شَيْئٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
Barang siapa mengira bahwa sesungguhnya Allah Swt. itu di dalam
sesuatu, atau dari sesuatu atau di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik
dengan Allah (syirik billah – istilah dalam wahidiyah “binafsih”). Jika Dia di atas sesuatu berati Dia terpikul,
jika Dia berada dalam sesuatu niscaya Dia terkurung, jika Dia dari sesuatu
berati Dia baru (diciptakan).
Perjuangan
Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah, memperjuangkan terbebasnya jiwa manusia
dari penyakit kemusyrikan. Jalan atau cara paling tepat dan
cepat untuk pembersihan jiwa dari kamusyrikan, hanyalah melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada
zamannya. Tanpa bimbingan belia-beliau tersebut, sesorang akan meninggal dunia
(wafat) dalam keadaan membawa dosa
besar (syirik) yang tak
disadari. Dan pula, tanpa melalui bimbingan tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang terbalik. Misalnya, syirik dianggap bertauhid, dan bertauhid dianggap sebagai perbuatan syirik. Bagi
mereka yang tidak memahami kekuasaan Allah Swt, bertawassul kepada Rasulullah
Saw atau al-Ghauts Ra dianggap sebagai perbuatan syirik, dan tidak meminta
pertolongan kepada rasul atau al-ghauts dianggap sebagai perbuatan bertauhid. Padahal, menjauh dari pertolongan Rasulullah
Saw atau barakah serta
karamah al-Ghauts Ra, berarti menjauh dari rahmat Allah Swt yang terdapat pada beliau berdua.
Mengapa
demikian ?. Jawabannya sangatlah mudah. Yakni syafaat Rasulullah Saw atau barakah karamah al-Ghauts Ra, hakikinya adalah rahmat Allah Swt untuk ummat manusia yang dipancarkan melalui kekasih-Nya tersebut. Dan, memang Allah Swt menurunkan rahmat
untuk makhluk, dipancarkan
melalui mahkhluk lainnya. Demikian pula, merupakan perbuatan syirik, ketika seseorang memohon pertongan kepada
beliau-beliau tersebut atau
tidak, selama tidak menyesadari bahwa pertolongan yang muncul dari beliau, bukan
pertolongan dari Allah
Swt.
Didalam Islam, makna kata kufur (kata jadian dari kafara),
adalah mengingkari keberadaan Tuhan Pengatur semesta alam. Pengingkaran
tersebut terjadi karena mata hati tidak dapat melihat Kebesaran-Nya karena tertutup
makhluk ciptaan-Nya. Dengan lain kata; kufur dapat diartikan dengan “mata hati tidak dapat memandang Tuhan
karena tertutup oleh mahluk”. Dan kemudian, orang yang tidak mempercayai adanya Allah Swt Tuhan Yang Mengatasi segala makhluk,
disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak
dalam hati, dan hanyalah mahluk saja yang tampak dalam hati
dan fikiran.
Oleh al-Qur’an, iblis [18] digolongkan dalam kelompok orang kafir,[19] bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan
tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada Nabi
Adam As. Karena tertutup oleh keangkuhan dan keakuannya, iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud
(menghormat) kepada Nabi Adam As. Sedangkan berbagai alasan yang diajukannya
kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah untuk menutupi keakuan serta
keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung
keakuan setinggi-tingginya. Untuk menutupi keakuannya dihadapan para malaikat,
iblis menciptakan opini bahwa Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan
ilmu bila dibandingkan dengan kelompok malaikat.[20] Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt, sedangkan
malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci, lebih pantas menjadi khalifah.
Kuatnya
dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat ke-Maha
Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk
menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh
kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis
tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada
dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga,
meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As,[21] iblis tetap mempertahankan keakuan dan keangkuhannya dan tidak mau
menerima kekhalifahan Nabi Adam As.
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat.
Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang
harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu
daya dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu
kebolehan ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka memahami keberadaan dirinya
serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Dan - berkat hidayah-Nya semata -, malaikat
dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru
Ruhani [22] bagi mereka. Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan
menerimanya sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena
pembelaan atas ego diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum
mengetahui tentang Nurul Khilafah al-Ilahiyah yang dipancarkan kepada
Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad : 71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي
فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika
Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani)
manusia (Adam) dari tanah. Ketika Aku
telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara
saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Berkaitan dengan sujudnya para malikat kepada Nabi Adam
As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam kitab tafsirnya al-Futuuhaat
al-Ilaahiyah pada ulasan Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ
اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ,
كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang
disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan
sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya. Sebagaimana ka’bah sebagai
kiblat untuk shalat. Sedangkan sujudshalat hanya untuk Allah. [23]
Demikian
pula Imam Shawi Ra dalam kitab Tafsir Shawi, menjelaskan tentang makna
sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As :
وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ
للهِ
Nabi Adam
Assebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud untuk Allah. Dan dalam
memberikan ulasan terhadap kalimah ayat : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ = Sujudlah
kalian kepada Adam, beliau
menjelaskan dengan : أسْجُدُوْا
جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ
: Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia
sebagai kiblat kalian.
Keterangan
yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M.
Quraisyi Syihab. Sebagaimana ulasannya : “Bahkan
tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah
Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud
sebagaimana Ka’bah di Mekah dewasa ini
menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.[24]
Makna ulasan seperti diatas sejalan dengan makna sujudnya
saudara Nabi Yusuf As kepada Nabi Yusuf As. Qs. Yusuf : 100 :
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى العَرْشِ وَخَرُّوْا
لَهُ سُجَّدًا
Dan
naiklah kedua orang tuanya, dan kemudian mereka tersungkur dengan bersujud kepada
Yusuf.
Dan, ketika syariat Islam datang, perbuatan sujud ini dibatalkan dan
diganti dengan bershalawat dan taslim yang semestinya kepada Rasulullah Saw. Firman
Allah Swt, Qs. al-Ahzaab : 56 : يَأَيُهَا
الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا : Wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya (Nabi) dan
taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya.
I. Al-Ghauts Dan Jalan Kebenaran
[1]. Banyak para
ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara
lain:
a.
Kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir
al-Jilani Ra.
b.
Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam
Qusyairi.
c.
Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh
Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.
Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah
Rasail lil Ghazali).
e.
Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya
Syeh
[2]. Kitab al-Ghunyah,
Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[3]. Kitab Insan al-Kamil, juz
II/75 bab “insan al-kamil”.
[4]. Adab murid kepada Guru Kamil
Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar
al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab
“Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[6]. HR.
Bukhari (Shahih, nh : 6530, dalam kitab “al-fitan”), Muslim (Shahih, nh
: dari Ibnu Abbas
[7]. Kitab Mafahim nya Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[8]. Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi,
dalam hadis nomer : 610.
Dan dalam kitab ini pula, berkaitan
karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w.
676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama
rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah
satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam
Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada
waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan
karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti
tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimah nida’ kepada waliyullah
tersebut.
[10]. Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib
al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh,
Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini
menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul
Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[11]. HR. Muslim dan Bukhari, (kitab Dalil
al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09.
Dan kitab Al Syifa Bita’riifi Huquq
al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H),
perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II,
dalam bab tha’aturrassul).
[13]. Ibid,
dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 991.
[14]. Kitab
as-Syifa’ dalam jilid I bab I pada pasal 1.
[15]. Kitab Thabaqatul Kubra-nya al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Sya’rani Ra, juz II dalam bab “Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra”.
[16]. Buku
Sufi Dari Zaman Ke zaman dalam bab “tasawuf falsafi”, tertulis
keterangan bahwa Syeh Sahal at-Tustari ini adalh wali al-Ghauts pada zamannya.
[17]. Lihat
kitab Syawahid al-Haq nya Syeh An-Nabhani, perct. Darul Fikri, Beirut
Libanon, tahun 1403 H/ 1983 M, hlm : 221, atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya
Iam al-Qusyairi Ra, hlm : 47.
[18]. Para ulama berbeda pandangan tentang asal usul iblis. Sebagian
mereka mengatakan; iblis dari kelompok JIN, dengan alasan, kata-kata (إِلاَّ
إِبْلِيسُ / Illa iblis = kecuali iblis) dalam ayat tersebut
sebagai istitsna’ munqathi’ (yang dikecualikan {iblis} tidak termasuk
kelompok kalimat sebelumnya {malaikat}). Sedangkan mayoritas ulama (seperti
al-Bughawi, al-Wahidiy, al-Qaadliy ‘Iyadl al-Yahshubi) mengatakan, iblis dari
kelompok malaikat yang memiliki nama Azaaziil. (Pendapat ini didasarkan pada
hadis yang diceritakan dari Abdullah bn Abbas (sahabat Nabi Saw yang ahli dalam
tafsir al-qur’an). Dan pula para ulama sepakat bahwa iblis awal mulanya sebagai
penjaga surga dan pemimpin para malaikat, dengan alasan istitsna’ dalam kalimat
tersebut sebagai istitsna’ muttashil. Yakni yang dikecualikan (iblis)
termasuk kelompok kalimat sebelumnya (malaikat). Iblis juga memiliki beberapa
nama panggilan, antara lain : al-‘Abid (dilangit pertama), az-Zaahid
(dilangit kedua), al-‘Arif (dilangit ketiga), Waliyullah (dilangit
keempat), at-Taqi/ orang taqwa kepada Allah (dilangit kelima), al-Khaazin
(dilangit keenam), ‘Azaaziil (dilangit ketujuh) dan Iblis (dilauh
mahfud).
(Lihat tafsir al-Futuuhaat
al-Ilaahiyah-nya Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy, pada ulasan ayat 34
surat al-Baqarah, atau fatwa dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami
dalam kitabnya al-Fatawi al-Hadiitsiyah, dan Imam Shawi dalam kitabnya Tafsir
Shawi fii Haasyiyah ala al-Jalalain, kitab tafsir Ibnu Katsir, atau
buku Tafsir al-Mishbah-nya Prof. Dr. M. Qiraisy Syihab).
[19]. Sebagian
ulama memberikan makna “kafir” yang diderikan oleh al-Qur’an kepada iblis, bukan karena ingkar keberadaan
Allah Swt, namun karena membangkang perintah-Nya, demikian yang diterangkan
dalam kitab “Tafsir al-Mishbah”-nya Prof. Dr. Quraisyi Syihab.
Pembangkangan dan kedurhakaan ini
dinilai amat berat karena dilakukan oleh hamba yang telah mengenal-Nya.
[20]. Qs. al-Baqarah: 30 : قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ : Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan
memberikan jabatan khalifah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan
menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
serta mensucikan Engkau ?. Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang
sesuatu yang kalian tidak mengetahui. Allah Swt menjawab
pertanyaan malaikat dengan “Aku lebih mengetahui sesuatu
yang tidak dapat kamu ketahui”, menunjukkan bahwa “seseuatu”
tersebut bersifat pasca rasio yang memahaminya tidak bisa melalui akal fikiran,
akan tetapi melalui metode hidayah.
Dan dalam ayat yang
lain, dijelaskan, setelah kalah dalam berdebat dengan Nabi Adam As, malaikat dapat
memahami Nabi Adam As lebih layak menjadi khalifah. Hingga, mereka berkata :
سُبْحَانَكَ
لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[21]. Dalam Qs. al-Baqarah : 31, dijelaskan
setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah
Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu
kepada Nabi Adam secara langsung (wahyu) tanpa melalui proses belajar. Allah
Swt bersabda : وَعَلَّمَ
أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ قَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ : Dan
(Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda secara keseluruhan. Kemudian
mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan berfirman (kepada malaikat) :
Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang kelompok yang benar. Dan kepada
Allah Swt para malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ
لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Mereka
berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Paduka ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Dan akhirnya para
malaikat dapat menyadari keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam
As, Allah Swt bersabda kepada Nabi Adam As : قَالَ
يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ : (Tuhan) bersabda : Wahai Adam,
ceritakan (ajarkan) kepada mereka nama seluruh benda.
[22]. Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir
Jailani Ra (kitabnya al-Ghunyah juz II bab “ma yajibu ‘ala al-mubtadi”),
menjelaskan : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : malaikat
menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam
mengajarkan nama-nama segala sesuatu
(dalam alam) secara keseluruhan.
Ulasan yang
sama juga diberikan oleh Imam Shawi : لأَِنَّهُ صَارَ
شَيْخُهُمْ وَمِنْ حَقِّ الشَيْخِ التَعْظِيْمُ وَالتَّوْقِيْرُ : Sesungguhnya
Nabi Adam menjadi guru bagi mereka. Diantara hak guru adalah menerima
penghormatan serta pengagungan.
[23]. Keterangan yang
sepadan dengan ulasan Syeh Sulaiman al-Ajili tersebut, terdapat dalam buku
tafsir AL-MISHBAH karya Prof. M. Quraisyi Syihab MA, pada ayat dan surat
yang sama.
[24]. Buku tafsir al-Mishbah
(Penerbit Lentera Hati, cet. ke IV tahun Agustus 2005, pada halaman 153), dalam ulasan ayat 34 surat al-Baqarah.
No comments:
Post a Comment