Friday, April 22, 2016

SIKAP DAN KWAJIBAN SALIK

D.               Sikap Dan Kawajiban Salik
          Agar berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok yang harus diperhatikan oleh setiap salik : [1]
1.                  Secara batin tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang berseberangan dengan guru.[2]
2.                  Senantiasa berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari Beliau Ra.
3.                  Senantiasa bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon tarbiyah-Nya agar
terbebas dari kotoran  hati, sehingga dapat sadar  ma’rifat Billah wa  Rasulihi Saw.
4.                  Jika seorang mursyid wafat, wajib bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ  
Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh penganti untuk membimbingnya.
          Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w. 973 H, dalam bab “adabul murid.
5.       Mendekat  kepada  Beliau Ra dengan  pendekatan yang semestinya. Sebab  pendekatan tersebut akan terbukalah pintu hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
  Hati orang yang Arif Billah adalah hadlrahnya Allah Swt. Seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepadanya dengan pendekatan yang semestinya, maka akan terbuka baginya pintu hadlrah tersebut.
Cara pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan, antara lain  :
1).          Merasa mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil Mukammil.
  Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah : 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang benar) untuk mengalahkan (kaum yang aniaya)  dengan kelompok lain, niscaya rusak binasalah bumi.  Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang agung. 
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir,  menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ  dalam ayat  diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir yang menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap Beliau ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan kedudukan ghautsiyah.
2).          Mengikuti tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin (ruhani dan jasmani).
3).                Memahami dan mendekat secara lahir dan batin kepada Beliau Ra dimanapun berada. (rabithah).
4).          Berakhlak kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah SAW. [3]
 فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
    Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw membentuk jiwa al-Ghauts sebagai fotocopi  jiwa  Beliau Nabi Saw. Tidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.  
Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah bab “adab murid kepada guru”, diterangkan; apabila murid ingin cepat berhasil dalam menuju dan mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib baginya menjalankan hal berikut ini:
a)                 Murid wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang melebihi batas. Serta merendahkan diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan diri murid yang berlebihan, merupakan racun yang dapat membunuh hati dan makrifat.
b)                Murid tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang ditunjukkan kepadanya. Guru Mursyid Kamil Mukammil tidak mungkin memerintahkan kesalahan. [4]
Hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda : [5]
  مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
 Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya
Yang dimaksud mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan, bahwa hal-hal  yang dapat dikatakan menghina antara lain;  menganggap ringan terhadap perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
c)                 Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt, berguru kepada Mursyid kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan  mistik atau lainnya yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mendekat dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
d)                Setelah bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan sekali-sekali keluar dari barisannya. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas,  Rasulallah Saw bersabda :  [6]
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
e)                 Untuk menyempurnakan taqwa, seseorang diharuskan berkumpul dengan orang-orang yang pemahaman tauhidnya telah dibenarkan oleh Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. at-Taubah : 119 :
   يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
 Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar.
Tidak berguru kepada Syeh Kamil Mukammil menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah (memahami Tuhan secara terbelok, serta tidak dapat memahami keberadaan dan tugas Rasulullah Saw).
f)                  Wajib menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada dirinya, kecuali kepada gurunya.
g)                 Tidak boleh menyukai dispensasi kemurahan dari guru. Dan tidak boleh bermalas-malasan.
h)                Senantiasa mohon doa restunya dalam segala urusan yang halal.
          Hadits riwayat Thabrani dan Abu Ya’la, Rasulullah Saw bersabda  : [7]
     إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئَا أَوْأَرَادَ عَوْنًا فِي الاَرْضِ لَيْسَ فِيْهِ أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَاعِبَادَ اللهِ أَعِيْنُوْنِي
Jika kamu semua tersesat tentang sesuatu atau menginginkan pertolongan diatas bumi, yang ditempat itu tidak ada penolong, maka berkatalah : “Wahai Kekasih Allah yang ahli beribadah, tolonglah kami ini.
إِنَّ للهِ خَلْقًا خَلَقَهُمْ اللهُ لِحَوَئِجِ النَاسِ وَيَفْزِعُ إِلَيْهِمْ النَاسُ فِي حَوَائِجِهِمْ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang diciptakan untuk kebutuhan manusia. Dan manusia meminta tolong kepada mereka dalam segala hajatnya.
Hadis riwayat Abu Ya’la, Thabrani dan Ibnus Sunniy dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَلْيُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي, يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا. فَإِنَّ للهِ  عَزَّ وَجَلَّ فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ لَكُمْ.
Ketika hewan piaraan salah satu dari kamu lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah, tolong dan ikatlah hewan piaraanku. Wahai Hamba  Allah,  tolonglah dan ikatlah hewanku”. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulya lagi Maha Agung memiliki seorang hamba (yang dapat) hadir (seketika), dan yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu semua.
 Dan dalam kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi, redaksi hadis tertulis :[9]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَليُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي. فَإِنَّ للهِ  فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ عَلَيْكُمْ.
Ketika hewan piaraan kalian lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah,
 (tolong) ikatlah hewan piaraanku”. Sesungguhnya diatas bumi Allah memiliki hamba (yang dapat) hadir  yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu.
i)                   Memahami bahwa hal luar biasa yang dimiliki oleh para waliyullah atau lainnya, adalah pemberian Allah Swt yang terpancar dari Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syamsuddin al-Hanafi Ra (w. 847 H) menjelaskan, bahwa karamah yang muncul dari para wali dimanapun mereka berada\ pada hakikinya memancar dari al-Ghauts Ra pada waktu itu.[10]
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
j)                   Meyakini bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw. Maka, menentang Guru Yang Kamil berarti menentang Rasulullah Saw.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :[11]
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
          Dalam kitab al-Insan al-Kamil Syeh Abdul Karim al-Jiliy, para waliyullah dan ulama sufi memfatwakan  :
إِنَّهُ لاَيَزَالُ يَتَصَوَّرُ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِأَكَابِرِهمْ لِيُعْلَى شَأْنُهُ فَهُمْ حُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa membentuk (jiwanya) pada setiap zaman dengan pembesarnya ummat manusia, agar terhormat derajatnya. Maka pembesar tersebut merupakan khalifahnya secara lahir, sedangkan Beliau Saw merupakan batiniyahnya pembesar itu.
Dalam meningkatkan iman, tidak boleh terjebak dalam kesesatan sebagaimana kesesatan kaum Nabi Isa As.  Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah, ayat 72  :
 لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم
 Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam menjelaskan ayat ini, Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra mengatakan  :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا  كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan. Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah. (Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir, juz I dalam bahasan pertama).

Hadis riwayat Imam G.  Al-Ghauts Dan Pembersihan Syirik
Nasai dari Khudzaifah ra. Dia berkata : Aku bermimpi melihat orang yahudi berkata : kalian mengira kami menyekutukan Allah, padahal kamu juga menyekutukan-Nya, ketika kamu berkata : “Allah telah menghendaki, dan Muhammad juga menghendaki”. Setelah aku bangun, aku melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Baliau Saw bersabda  :
 أَمَّاإِنِّي كُنْتُ أُكْرِهُهَا لَكُمْ, فَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتُ 
Sedangkan aku, sesungguhnya kalimat itu bagi kamu semua. Maka, katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian aku menghendaki. [12] 
Dan dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda :[13]
لاَتَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ وَشَاءَ فَلاَنٌ, وَقُوْلُوْا : مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ.
Janganlah kamu semua mengatakan : “Allah telah menghendaki, dan fulan juga telah menghendaki”.  Dan katakanlah : “Allah telah menghendaki, kemudian fulan menghendaki”.
Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra meriwayatkan :[14] seseorang sedang berceramah : مَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ رَشَدَ. وَمَنْ يَعْصِهِمَا .... : barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang mendurhaki mereka berdua… .
Ketika khathib sampai kalimah : mendurhaki mereka berdua, tiba-tiba Rasulullah Saw memotong pembicaraan dan bersabda : بِئْسَ خَطِيْبُ القَوْمِ أَنْتَ, إِذْهَبْ. : Sejelek-jelek pemberi ceramah kaum (ku) adalah kamu, pergilah.  
Para ulama menjelaskan; Rasulullah Saw tidak suka terhadap kalimat mereka berdua, menunjukan kalimat tersebut dapat dimaknai penyekutuan antara dirinya dengan Allah Swt. Padahal yang benar, kehendah Rasulullah Saw adalah kehendak Allah Swt semata. Sebagaimana keterangan ayat 17 surat al-Anfal :
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي
Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.  
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 658 H) menjelaskan :
 وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وَالأَنْبِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ
Termasuk perbuatan syirik, menjadikan waliyullah dan para Nabi sebagai wasilah dengan tanpa Allah.[15] 
Al-Ghauts fii Zamanihi Ra, Syeh Sahal at-Tustari Qs. wa Ra menjelaskan  : Orang mukmin adalah orang yang hatinya mampu memandang Allah Swt tanpa ada pembatas. [16]
Al-Ghauts fii Zamanihi Imam Ja’far Shadiq Qs. wa Ra (w. 148 H), menjelaskan :[17]
مَنْ زعَمَ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ فِي شَيْئٍ أَوْمِنْ شَيْئٍ أَوْعَلَى شَيْئٍ فَقَدْ أَشْرَكَ بِالله اِذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَيْئٍ لَكَانَ مَحْمُولاً وَلَوْ كَانَ فِيْ شَيْئٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوكَانَ مِنْ شَيْئٍ لَكَانَ مُحْدَثًا
Barang siapa mengira bahwa  sesungguhnya Allah Swt. itu di dalam sesuatu, atau dari sesuatu atau di atas sesuatu, maka dia telah berbuat syirik dengan Allah (syirik billah – istilah dalam wahidiyah “binafsih”).  Jika Dia di atas sesuatu berati Dia terpikul, jika Dia berada dalam sesuatu niscaya Dia terkurung, jika Dia dari sesuatu berati Dia baru (diciptakan).
Perjuangan Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah, memperjuangkan terbebasnya jiwa manusia dari penyakit kemusyrikan. Jalan atau cara paling tepat dan cepat untuk pembersihan jiwa dari kamusyrikan, hanyalah melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada zamannya. Tanpa bimbingan belia-beliau tersebut, sesorang akan meninggal dunia (wafat) dalam keadaan membawa dosa besar (syirik) yang tak disadari. Dan pula, tanpa melalui bimbingan tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang terbalik. Misalnya, syirik  dianggap bertauhid, dan bertauhid dianggap sebagai perbuatan syirik. Bagi mereka yang tidak memahami kekuasaan Allah Swt, bertawassul kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dianggap sebagai perbuatan syirik, dan tidak meminta pertolongan kepada rasul atau al-ghauts dianggap sebagai perbuatan bertauhid. Padahal, menjauh dari pertolongan Rasulullah Saw atau barakah serta karamah al-Ghauts Ra, berarti menjauh dari rahmat Allah Swt yang terdapat pada beliau berdua.
Mengapa demikian ?. Jawabannya sangatlah mudah. Yakni syafaat Rasulullah Saw atau barakah karamah al-Ghauts Ra, hakikinya adalah rahmat Allah Swt untuk ummat manusia yang dipancarkan melalui kekasih-Nya tersebut. Dan, memang Allah Swt menurunkan rahmat untuk makhluk, dipancarkan melalui mahkhluk lainnya. Demikian pula, merupakan perbuatan syirik, ketika seseorang memohon pertongan kepada beliau-beliau tersebut atau tidak, selama tidak menyesadari bahwa pertolongan yang muncul dari beliau, bukan pertolongan dari Allah Swt.
Didalam Islam, makna kata kufur (kata jadian dari kafara), adalah mengingkari keberadaan Tuhan Pengatur semesta alam. Pengingkaran tersebut terjadi karena mata hati tidak dapat melihat Kebesaran-Nya karena tertutup makhluk ciptaan-Nya. Dengan lain kata; kufur dapat diartikan dengan “mata hati tidak dapat memandang Tuhan karena tertutup oleh mahluk”. Dan kemudian, orang yang tidak mempercayai adanya Allah Swt Tuhan Yang Mengatasi segala makhluk, disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati, dan hanyalah mahluk saja yang tampak dalam hati dan fikiran.
Oleh al-Qur’an, iblis [18] digolongkan dalam kelompok orang kafir,[19] bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang dipancarkan oleh Allah Swt kepada Nabi Adam As. Karena tertutup oleh keangkuhan dan keakuannya,  iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Sedangkan berbagai alasan yang diajukannya kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah untuk menutupi keakuan serta keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan setinggi-tingginya. Untuk menutupi keakuannya dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan ilmu bila dibandingkan dengan kelompok malaikat.[20] Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt, sedangkan malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci, lebih pantas menjadi khalifah.
Kuatnya dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat ke-Maha Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga, meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As,[21] iblis tetap mempertahankan keakuan dan keangkuhannya dan tidak mau menerima kekhalifahan Nabi Adam As.
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu daya dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka memahami keberadaan dirinya serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Dan - berkat hidayah-Nya semata -, malaikat dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru Ruhani [22] bagi mereka. Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan menerimanya sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan atas ego diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nurul Khilafah al-Ilahiyah yang dipancarkan kepada Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad : 71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani) manusia (Adam) dari tanah.  Ketika Aku telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Berkaitan dengan sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam kitab tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah pada ulasan Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ, كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya.  Sebagaimana  ka’bah  sebagai  kiblat  untuk shalat. Sedangkan sujudshalat  hanya untuk Allah. [23]
Demikian pula Imam Shawi Ra dalam kitab Tafsir Shawi, menjelaskan tentang makna sujudnya malaikat kepada Nabi Adam As :
 وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ للهِ
 Nabi Adam Assebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud untuk Allah.  Dan dalam memberikan ulasan terhadap kalimah ayat : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ  = Sujudlah kalian kepada Adam, beliau menjelaskan dengan : أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ  : Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian.
Keterangan yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M. Quraisyi Syihab. Sebagaimana ulasannya : “Bahkan tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud sebagaimana  Ka’bah di Mekah dewasa ini menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.[24]
Makna ulasan seperti diatas sejalan dengan makna sujudnya saudara Nabi Yusuf As kepada Nabi Yusuf As. Qs. Yusuf : 100  :
   وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى العَرْشِ وَخَرُّوْا لَهُ سُجَّدًا
Dan naiklah kedua orang tuanya, dan kemudian mereka tersungkur dengan bersujud kepada Yusuf.
            Dan, ketika syariat Islam datang, perbuatan sujud ini dibatalkan dan diganti dengan bershalawat dan taslim yang semestinya kepada Rasulullah Saw. Firman Allah Swt, Qs. al-Ahzaab : 56 :  يَأَيُهَا الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا : Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya (Nabi) dan taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya.


I.      Al-Ghauts Dan Jalan Kebenaran




[1].       Banyak para ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara lain:
a.      Kitab   al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra.
b.      Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
c.       Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.      Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
e.      Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya Syeh 
[2].       Kitab al-Ghunyah, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[3].    Kitab Insan al-Kamil, juz II/75 bab “insan al-kamil”.
[4].     Adab murid kepada Guru Kamil Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif  nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab  “Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[5].     Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[6].     HR. Bukhari (Shahih, nh : 6530, dalam kitab “al-fitan”), Muslim (Shahih, nh : dari Ibnu Abbas
[7].     Kitab Mafahim nya  Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[8].     Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, dalam hadis nomer  :  610.
            Dan dalam kitab ini pula, berkaitan karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w. 676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimah nida’ kepada waliyullah tersebut.
[9].     Imam Suyuthi,  Jami’ as-Shagir jilid I dalam bab “alif”.
[10].    Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh, Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[11].      HR. Muslim dan Bukhari, (kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09. Dan kitab Al Syifa  Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II, dalam bab tha’aturrassul).
[12].      HR. Nasai dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 990.                         
[13].      Ibid, dalam kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 991.
[14].      Kitab as-Syifa’ dalam jilid I bab I pada pasal 1.
[15].      Kitab Thabaqatul Kubra-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra, juz II dalam bab “Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra”.
[16].      Buku Sufi Dari Zaman Ke zaman dalam bab “tasawuf falsafi”, tertulis keterangan bahwa Syeh Sahal at-Tustari ini adalh wali al-Ghauts pada zamannya.
[17].      Lihat kitab Syawahid al-Haq nya Syeh An-Nabhani, perct. Darul Fikri, Beirut Libanon, tahun 1403 H/ 1983 M, hlm : 221, atau kitab Risyalah al-Qusyairiyah-nya Iam al-Qusyairi Ra, hlm :  47.
[18].        Para ulama berbeda pandangan tentang asal usul iblis. Sebagian mereka mengatakan; iblis dari kelompok JIN, dengan alasan, kata-kata (إِلاَّ إِبْلِيسُ / Illa iblis = kecuali iblis) dalam ayat tersebut sebagai istitsna’ munqathi’ (yang dikecualikan {iblis} tidak termasuk kelompok kalimat sebelumnya {malaikat}). Sedangkan mayoritas ulama (seperti al-Bughawi, al-Wahidiy, al-Qaadliy ‘Iyadl al-Yahshubi) mengatakan, iblis dari kelompok malaikat yang memiliki nama Azaaziil. (Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diceritakan dari Abdullah bn Abbas (sahabat Nabi Saw yang ahli dalam tafsir al-qur’an). Dan pula para ulama sepakat bahwa iblis awal mulanya sebagai penjaga surga dan pemimpin para malaikat, dengan alasan istitsna’ dalam kalimat tersebut sebagai istitsna’ muttashil. Yakni yang dikecualikan (iblis) termasuk kelompok kalimat sebelumnya (malaikat). Iblis juga memiliki beberapa nama panggilan, antara lain : al-‘Abid (dilangit pertama), az-Zaahid (dilangit kedua), al-‘Arif (dilangit ketiga), Waliyullah (dilangit keempat), at-Taqi/ orang taqwa kepada Allah (dilangit kelima), al-Khaazin (dilangit keenam), ‘Azaaziil (dilangit ketujuh) dan Iblis (dilauh mahfud).
                        (Lihat tafsir al-Futuuhaat al-Ilaahiyah-nya Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy, pada ulasan ayat 34 surat al-Baqarah, atau fatwa dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawi al-Hadiitsiyah, dan Imam Shawi dalam kitabnya Tafsir Shawi fii Haasyiyah ala al-Jalalain, kitab tafsir Ibnu Katsir, atau buku Tafsir al-Mishbah-nya Prof. Dr. M. Qiraisy Syihab).
[19].      Sebagian ulama memberikan makna “kafir” yang diderikan oleh al-Qur’an  kepada iblis, bukan karena ingkar keberadaan Allah Swt, namun karena membangkang perintah-Nya, demikian yang diterangkan dalam kitab “Tafsir al-Mishbah”-nya Prof. Dr. Quraisyi Syihab. Pembangkangan dan  kedurhakaan ini dinilai amat berat karena dilakukan oleh hamba yang telah mengenal-Nya.        
[20].      Qs. al-Baqarah: 30 قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ : Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan memberikan jabatan khalifah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau serta mensucikan Engkau ?. Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang kalian tidak mengetahui. Allah Swt menjawab pertanyaan malaikat dengan Aku lebih mengetahui sesuatu yang tidak dapat kamu ketahui, menunjukkan bahwa “seseuatu” tersebut bersifat pasca rasio yang memahaminya tidak bisa melalui akal fikiran, akan tetapi melalui metode hidayah.
Dan dalam ayat yang lain, dijelaskan, setelah kalah dalam berdebat dengan Nabi Adam As, malaikat dapat memahami Nabi Adam As lebih layak menjadi khalifah. Hingga, mereka berkata :
 سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ :  Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[21].    Dalam Qs. al-Baqarah : 31, dijelaskan setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu kepada Nabi Adam secara langsung (wahyu) tanpa melalui proses belajar. Allah Swt bersabda :  وَعَلَّمَ أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ قَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ  : Dan (Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda secara keseluruhan. Kemudian mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan berfirman (kepada malaikat) : Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang kelompok yang benar. Dan kepada Allah Swt para malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ    : Mereka berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Paduka ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan akhirnya para malaikat dapat menyadari keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam As, Allah Swt bersabda kepada Nabi Adam As :   قَالَ يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ  : (Tuhan) bersabda : Wahai Adam, ceritakan (ajarkan) kepada mereka nama seluruh benda.
[22].    Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitabnya al-Ghunyah juz II bab “ma yajibu ‘ala al-mubtadi”), menjelaskan : فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا : malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan.  
            Ulasan yang sama juga diberikan oleh Imam Shawi : لأَِنَّهُ صَارَ شَيْخُهُمْ وَمِنْ حَقِّ الشَيْخِ التَعْظِيْمُ وَالتَّوْقِيْرُ : Sesungguhnya Nabi Adam menjadi guru bagi mereka. Diantara hak guru adalah menerima penghormatan serta pengagungan.
[23].    Keterangan yang sepadan dengan ulasan Syeh Sulaiman al-Ajili tersebut, terdapat dalam buku tafsir AL-MISHBAH karya Prof. M. Quraisyi Syihab MA, pada ayat dan surat yang sama.          
[24].    Buku tafsir al-Mishbah (Penerbit Lentera Hati, cet. ke IV tahun Agustus 2005, pada halaman 153),  dalam ulasan ayat 34 surat al-Baqarah.

No comments:

Post a Comment