Tuesday, April 19, 2016

G. Al-Ghauts Dalam al-Qur’an & al-Hadits



G.   Al-Ghauts Dalam al-Qur’an & al-Hadits
Al-Qur’an memberi kebebasan kepada manusia untuk mengimani atau mengkafiri keberadaan khalifah Allah Swt, sebab kerugian dan keuntungan adanya khalifah, bukan klembali kepada Allah Swt, melainkan kepada manusia sendiri. Sebagaimana yang tercermin dalam firman-Nya Qs. Fathir : 39  

  هُوَالذِي جَعَلكُمْ خَلاَئِفَ فِي الاَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ

      Dan Dia (Allah)-lah yang menjdikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka dialah yang menanggung resiko kekafiranya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelasan, dengan menukil perkataan sahabat Abu Bakar Ra, yang mengatakan, bahwa khalifah ini adalah خَلِيْفَةُ الرسُوْلِ : Khalifahnya Rasulullah Saw.
Demi stabilnya ekosistem alam, Allah Swt menjadikan ummat Rasulullah Saw untuk menjadi pimpinan diatas bumi. Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55 

وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah) akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.  
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelasakan bahwa ayat ini merupakan berita tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw yang telah mengetahui sebelumnya akan yang adanya khalifah dari ummatnya, dan sekaligus dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada ummat Rasulullah Saw  :

 هَذَا وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
 
 Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Dalam memberi penjelasan ayat ini, Imam Ibnu Katsir – memperkuatnya dengan  hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim    :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ – حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.  وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.  
Dan dalam riwayat lain : sampai mereka dapat membunuh dajjal,  dan  dalam riwayat lain  : sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam.
Setiap riwayat hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Imam Qurthubi, memberikan penjelasan ayat ini dengan menyertakan sabda Rasulullah Saw :
 زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَِكَ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timurnya dan bagian baratnya.  Dan juga akan sampai kepada raja ummat-Ku sesuatu yang seperti bumi dilipat untuk aku.
Dari kedua tafsir ini, dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan atau sampai turunnya nabi Isa As dalam bumi ini. Dan para kholifah itu atau pimpinan rohani ummat Rasulullah Saw ini diberi anugrah oleh Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
Kata al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi dan para waliyullah. Beliau Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan  hakikah serta  lahiriyah  dan batiniyah. Dari sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang  paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud secara ruhaniyah. Al-Ghauts Ra merupakan satu-satunya wakil Rasulullah Saw dalam mengemban tugas khalifah dalam alam fana ini, serta sebagai tempat tajalli-Nya yang sempurna (lihat HR. Muslim yang diulas dalam bahasan kelemahan Waliyullah).
Secara bahasa, al-Qur'an dan hadis diturunkan secara mujmal (ringkas). Namun kandungannya menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud. Tak satupun dari inti maujudat yang tidak diulas dalam al-qur’an maupun al-hadis. Oleh karenanya, mengkaji kandungan al-Qur'an dan hadis (beristinbath), untuk mengeluarkan mutiara hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Islam (HR. Muslim yang telah diulas sebelumnya). Para ulama, sesuai bidang keilmuan masing-masing, berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Misalnya penemunan ilmu tajwid, nahwu/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis, tafsir, faraidl, ilmu da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu-ilmu lain.
Kata al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana istilah-istilah dalam ilmu (baik secara global maupun rinci), yang secara redaksional kata-kata tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis.. Misalnya; manthiq (tashawwur, tashdiq, hujjah, dan lainnya), ilmu ushul fiqh (mafhum muwafaqah, qiyas, ijma’ dan lainnya), ilmu nahwu/ sharaf (mubtada’ khabar, maf’ul, badal, dan lainnya), balaghah (hakikat, majaz, tasybih, kinayah,  dan lainnya), musthalah al-hadits (shahih, hasan, dla’if, maudlu’, marfu’ mauquf, dan lainnya), biologi (kromoson, genetika, amuba, sel, DNA, dan lainnya),  ilmu fisika (atmosfir, senyawa kimia, karbohidrat dan lainnya), ilmu ekonomi (sosialis, kapitalis, surplus perdangangan, dan alinnya),  perbankan (valuta, deposito, debet, dan lainnya), dan ilmu-ilmu lain baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat didalam al-Qur‘an dan al-hadits.
Dan kesimpulan para ulama kaum sufi dan para waliyullah, al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan keberadaan al-Ghauts Ra, dimana setiap Beliau Ra almarhum, Allah Swt mengangkat salah satu waliyullah lain untuk menggantikan kedudukannya.
Al-Qur’an, [1] menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan kata ; khalifah / الخليفة (wakil Tuhan),  Imam/ الامام (pimpinan manusia), Ulil amri/ اُولِى الاَمْر (ulama yang menguasai perkara ummat secara batiniyah).
Sedangkan dalam hadis [2] menjelaskannya dengan kata :  khair / خَيْر(yang terbaik), al-Wahid/  الوَاحِد(hamba yang satu dalam setiap waktu), malik / مَلِكُ (raja), aimmah/ أئمة  (pemimpin), shurah/ صُورَة (citra/ salinan. Kalimat ini hanya merupakan gambaran saja), dan مَقَامْ/ maqam (berasal dari kata aqaama/ أقَامَ : menduduku siri kerasulan/  dalam istilah thariqah Qadiriyah, disebut dengan naaibur rasul = wakil rasul).


H.     Makna Waliyullah

1.                Apa  Dan Siapa  Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan secara sempit saja. Bahkan  sering diberi arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu, perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman) yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum, kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja. Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi, serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnya Jami’ Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan karomah maknawi (batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya, kecuali karamah hissiy. Misalnya, jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [3] 
 اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا فَأْعْطَاهُ اللهُ  مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya. Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai istidraj. [4]

2.                Arti Kata Wali
Kata Waliy  merupakan kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang  memiliki arti ganda (musytarak) :
1.       Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungi. Dalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2.       Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi, yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi.  Dalam artian ini , kata wali ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat menghayati dan menerapkan makna :
 حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia.  Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan : tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain. Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : Tidak ada yang mengetahui wali (manusia), kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri. Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [5]
 اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang lain, antara lain : [6]
a.     Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai waliyullah.
          Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak berkata  :
        إِنَّ  الوَلِيَّ لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ  قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah) mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b.     Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata  :
 إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ  الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam dalam nur hakikat.
c.      al-Ghauts fii Zamaanihi Imam Abul Hasan as-Syadzili Ra (w. 656 H)  : [7]
مَعْرِفَةُ الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
  Mengetahui wali (Allah), lebih sukar daripada mengetahui Allah ‘Azza wa Jalla. Sesungguhnya Allah itu dapat diketahui dengan Jamal-Nya dan Kamal-Nya. Bagaimana engkau dapat mengetahui wali, sedangkan ia makan sebagaimana engkau makan, dan ia minum sebagaimana engkau minum.
d.     Syeh Jalaluddin as-Suyuthi,  dalam  kitabnya  al-Hawi lil Fatawi  juz II  pada  bab
“haditsul quthbi” menjelaskan : [8]
 وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ  وَكَشَفَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).

3.                     Pengalaman Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan  al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak. Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam, hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[9] dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya, hanyalah berupa prasangka yang tidak  pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs. an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki, apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt dan sabda Rasulullah Saw  :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/ terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [10]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.  
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin. Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki yang mengatasi kesimpulan akal  (pasca rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am : 33 – 34 :
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ. وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu (Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu, berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
Mimpi yang baik dari Allah dan mimpi yang buruk dari setan. [11]
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan cahayat Allah. [12]
Dikatakan mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis  tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah Saw.
Sebagaimana yang tercermin dalam hadis riwayat Abdullah Ibn Amr, Rasulullah Saw bersabda : [13]
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ,  وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya dari bisikan iblis.
Sedangkan perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda : [14]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
 Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu semua.
Makna sebagai ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti  pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan iblis.
إنَّ الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus, pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [15]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
  صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
 Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/ kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah bershalawat kepadanya.[16]  
                مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari 1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain : tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku, - dan dalam riwayat lain : tidak dapat membentuk diri sebagai aku. [17]
Kesimpulan makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[18]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْبُولَةٌ. 
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima (oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan ke 7).
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra menjelaskan :[19]
وَبِالْجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat, misalnya dari macam-macam dzikir lafadz  jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya. Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid tersebut.

Sebagian pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1.                 Adalah Abu Jahal.
          Suatu hari Abu Jahal [20] berkata : Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya : Mana Muhammad… mana Muhammad ?.
2.                 Adalah Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya.  Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ : Salam sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang  ada disekeliling mereka. [21]
3.                 Adalah Rasulullah Saw.
          Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah mereka. [22]
4.                 Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M). Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan – direktur rumah sakit  “Ain Syams” Kairo Mesir),  berkata kepada saya : aku  berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali. Kepada Beliau Saw aku bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan ditanganmu  ada  kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab  في الرد على النبهاني  نيل الاما ني  (Nailul Amani Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani tersebut. Dan setelah aku membakarnya, malam harinya aku bermimpi bertemu Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [23]
5.                Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok, Kudus Jawa tengah.
          Kawan kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab: Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo Yahi Ra, sambil berkata  :  Kanjeng Romo Yahi,  doakan kami.  Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan  ia melihat cahaya yang sangat terang yang terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya seberapa jauhnya.
6.                 Abdullah bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang demikian ?. Imam Syafi’i menjawab : Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i : “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[24]
7.                 Al-Hafidz Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang sastra arab, sejarah dam seleksi
 hadis. Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam barzah.  Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun mempraktekkannya”.[25]
8.                 Syeh Abul Qasim al-Qari. [26]
Beliau bermimpi melihat sefdc          buah pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara dimulai, trdengar lantunan ayat  al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?. Pelantikan Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub,  jawab petugas.
9.                 Para murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin (paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat kepada-Nya).[27]
10.            Syeh Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab Nabiyullah : diantara wali autad.[28]
11.            Mbah KH. Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts al-Ghauts) dari arah langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12.            Bapak Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13.            Syeh Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga, yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[29]
14.            Syeh Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15.            Imam al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya : Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia ?. Al-Haitami menjawab : Ini orangnya (sambil menunjuk kepada al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini  gemetar, dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria, saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16.            Syeh Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17.            Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan. Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18.            Bapak Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta dan  Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan, tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadldlarah”.
19.            Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa), tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [30]

4.                Pembagian al-Wali


[1].     Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan dengan makna al-Ghauts Ra  :

a.           Khalifah/  خَلِيْفَةً  =:  Firman Allah   قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الاَرْضِ خَلِيْفَةً : Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/ 30.

Yang dimaksud khalifah, Imam Shawi dalam kitab tafsir Shawi menerangkan :

    وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم   

Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani adalah Nabi Muhammad Saw.

Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ بِالعَدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى    :  Aku telah menjadikan engkau (Daud) sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.

b.    Ulil Amri,  Qs. al-Maidah/ 35 :   أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ  :  Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.

c.     Imam /إِمَام  (pimpinan) Qs. al-Furqan/ 74 :    وَاحْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا :  Dan jadikanlah kami sebagai imam orang yang bertaqwa. Dan Qs. al-baqarah : 124).

 قَالَ اِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَالِمِيْن  : Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ia menjawab : dan dari keturunanku. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang yang dlalim.

[2].     Sedangkan  dalam hadis kata  yang sepadan arti dengan makna al-Ghauts, antara lain   :

a.     Kata  khair / خَيْر  :, Rasulullah Saw bersabda   : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ  :   Sebaik-baiknya para tabi’in adalah lelaki yang disebut Uwais (HR. Imam Muslim, dari Umar Ibn Khatthab Ra).  

b.      Kata Aimmah/   الائمة. Rasulullah Saw bersabda :  إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ :  Sesungguhnya kamu semua, wahai sekelompok manusia, terdapat imam yang senantiasa mengikuti kamu semua. (HR. Imam Malik/ kitab al-Muwattha’).

c.      Kata Wahid/ وَاحِد , Rasulullah Saw bersabda :

إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ  إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ - قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ ......, , فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
   (Lengkapnya hadis ini beserta terjemahnya, dapat dilihat dalam makalah ini juga dalam ulasan tentang keberadaan “al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani” pada makalah ini juga).                 
d.     Kata Malik/  مَلِك  :    زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي  : Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam Bukhari).
e.    Kata “maqaam”. Kata ini merupakan kata jadian dari aqaama (menduduki). Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar as-Shiddiq Ra :  
 إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رَزَقَهُ اللهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   :  Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatannya sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).
[3].    Kitab  Jami’ Karamah al-Auliya’  Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[4].     Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[5].     Kitab Jami’ al-Ushul fil Auliya’nya  Syeh kamasykhanawi dalam bab muqaddimah.
[6].    Lihat kitab Jami’ karamah al-Auliya’  nya Syeh an-Nabhani  juz I, dalam bab “
[7].     Kitab Taqriib al-Ushuul, karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan – Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[8].     Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[9].     Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3 pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
[10].    Hadis tersebut tertulis dalam :
1.      Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.      kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.      Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[11].    Kitab Syamail al-Muhammadiyah-nya Imam Tirmidzi dalam bab ke 55.
[12].    Hadis masyhur yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[13]     Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan, nh : 523),  Nasai (Amalul Yaum wal Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih, nh : 384).  Jala’ al-Afhaam, nh : 104.
[14].    Kitab Jami’ as-Shagir  juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain (Jala’ al-Afha dalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu Hurairah Ra).
[15].    Kitab Khazinatul Asraar, Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[16].    Kitab  kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[17].    Ibid, riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahih, sunan dan musnad).
[18].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[19].    Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
       فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
          Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).           
[20].    Hadis riwayat Abu Nuaim dari sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[21].    Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[22].    Kitab Lubab an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.       
[23].    Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993,  jilid I hlm 16-17.
[24].    Kitab Jalaul Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[25].    Ibid, Jalaul Afham.
[26].    Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes Lirboyo Kota Kediri.
[27].    Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[28].    Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah. Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II, dalam bahasan 69. Atau kitab  al-Yawaqit wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[29].    Kitab al-Insan al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[30].    Kitab Saadatud Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman  422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi Ra, juz II dalam bab tasawuf.

No comments:

Post a Comment