G. Al-Ghauts
Dalam al-Qur’an & al-Hadits
Al-Qur’an
memberi kebebasan kepada manusia untuk mengimani atau mengkafiri keberadaan
khalifah Allah Swt, sebab kerugian dan keuntungan adanya khalifah, bukan
klembali kepada Allah Swt, melainkan kepada manusia sendiri. Sebagaimana yang
tercermin dalam firman-Nya Qs. Fathir : 39
هُوَالذِي
جَعَلكُمْ خَلاَئِفَ فِي الاَرْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
Dan Dia
(Allah)-lah yang menjdikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa
yang kafir, maka dialah yang menanggung resiko kekafiranya.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelasan, dengan menukil
perkataan sahabat Abu Bakar Ra, yang mengatakan, bahwa khalifah ini adalah خَلِيْفَةُ الرسُوْلِ : Khalifahnya Rasulullah Saw.
Demi stabilnya
ekosistem alam, Allah Swt menjadikan ummat Rasulullah Saw untuk menjadi
pimpinan diatas bumi. Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الَذِي
ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِخَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah)
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi
mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan
menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu
apapun.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelasakan bahwa ayat
ini merupakan berita tentang mukjizat Nabi Muhammad Saw yang telah mengetahui
sebelumnya akan yang adanya khalifah dari ummatnya, dan sekaligus dan sebagai pemberitaan Allah
swt kepada ummat Rasulullah Saw :
هَذَا
وَعْدٌ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
Ini adalah janji dari Allah kepada
rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai
kholifah dibumi.
Dalam memberi penjelasan ayat ini, Imam Ibnu
Katsir – memperkuatnya dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي
ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ
القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ
– حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.
وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok
manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat
kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.
Dan dalam riwayat lain : sampai mereka dapat
membunuh dajjal, dan dalam riwayat
lain : sampai turunnya Nabi Isa Ibn
Maryam.
Setiap riwayat hadis ini adalah shahih, tanpa adanya
pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Imam Qurthubi, memberikan penjelasan ayat ini dengan
menyertakan sabda Rasulullah Saw :
زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا
وَسَيَبْلُغُ ملَِكَ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Sesungguhnya Allah telah melipat bumi
untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timurnya dan bagian
baratnya. Dan juga akan sampai kepada raja ummat-Ku sesuatu yang seperti
bumi dilipat untuk aku.
Dari kedua tafsir ini, dapat dipahami bahwa keberadaan
khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan
atau sampai turunnya nabi Isa As dalam bumi ini. Dan para kholifah itu atau
pimpinan rohani ummat Rasulullah Saw ini diberi anugrah oleh Allah sebagimana
anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
Kata
al-Ghatsu adalah istilah yang sangat terkenal dalam kalangan kaum sufi
dan para waliyullah. Beliau Ra merupakan figur sentral dan sekaligus sebagai
tauladan dalam menjalankan tuntunan Islam secara syari’ah dan hakikah serta
lahiriyah dan batiniyah. Dari
sisi ketaqwaan, Beliau ra adalah hamba Allah Swt yang paling taqwa pada zamannya. Al-Ghauts
Ra sering disebut Quthb al-Wujud, karena Beliau sebagai pusat segala wujud
secara ruhaniyah. Al-Ghauts
Ra merupakan satu-satunya
wakil Rasulullah Saw dalam mengemban
tugas khalifah dalam alam fana ini, serta sebagai tempat tajalli-Nya yang sempurna (lihat HR. Muslim yang diulas dalam
bahasan kelemahan Waliyullah).
Secara
bahasa, al-Qur'an dan hadis diturunkan secara mujmal (ringkas). Namun kandungannya
menjelaskan keberadaan Allah Swt dan seluruh maujud. Tak satupun dari inti
maujudat yang tidak diulas dalam al-qur’an maupun al-hadis. Oleh karenanya, mengkaji
kandungan al-Qur'an dan hadis (beristinbath), untuk mengeluarkan mutiara
hikmah yang tersimpan didalamnya merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Islam
(HR.
Muslim yang telah diulas sebelumnya). Para ulama, sesuai bidang keilmuan masing-masing,
berusaha menggali kandungan hadis dan al-Qur’an. Misalnya penemunan ilmu
tajwid, nahwu/ sharaf, fiqih/ ushul fiqh, tasawuf/ tarekat, mushthalahul hadis,
tafsir, faraidl, ilmu da’wah, manthiq, balaghah, hisab, perbintangan, dan ilmu-ilmu
lain.
Kata
al-Ghauts, secara redaksional (tersurat) tidak terdapat dalam teks
al-Qur’an dan al-hadits. Sebagaimana istilah-istilah dalam ilmu (baik secara
global maupun rinci), yang secara redaksional kata-kata tersebut tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan al-hadis.. Misalnya; manthiq (tashawwur, tashdiq,
hujjah, dan lainnya), ilmu ushul fiqh (mafhum muwafaqah, qiyas, ijma’
dan lainnya), ilmu nahwu/ sharaf (mubtada’ khabar, maf’ul, badal, dan
lainnya), balaghah (hakikat, majaz, tasybih, kinayah, dan lainnya), musthalah al-hadits (shahih,
hasan, dla’if, maudlu’, marfu’ mauquf, dan lainnya), biologi (kromoson, genetika,
amuba, sel, DNA, dan lainnya), ilmu fisika
(atmosfir, senyawa kimia, karbohidrat dan lainnya), ilmu ekonomi (sosialis,
kapitalis, surplus perdangangan, dan alinnya), perbankan (valuta, deposito, debet, dan
lainnya), dan ilmu-ilmu lain baik yang sudah ditemukan maupun yang belum
ditemukan. Namun, keberadaan ilmu tersebut, menurut para ahlinya, telah tersirat
didalam al-Qur‘an dan al-hadits.
Dan kesimpulan para
ulama kaum sufi dan para waliyullah, al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan
keberadaan al-Ghauts Ra, dimana setiap Beliau Ra almarhum, Allah Swt mengangkat
salah satu waliyullah lain untuk menggantikan kedudukannya.
Al-Qur’an, [1]
menerangkan keberadaan
al-Ghauts Ra dengan kata ; khalifah /
الخليفة
(wakil Tuhan), Imam/ الامام
(pimpinan manusia), Ulil amri/ اُولِى الاَمْر (ulama yang menguasai perkara ummat secara
batiniyah).
Sedangkan dalam hadis [2] menjelaskannya dengan kata : khair / خَيْر(yang terbaik), al-Wahid/ الوَاحِد(hamba
yang satu dalam setiap waktu), malik / مَلِكُ
(raja), aimmah/ أئمة
(pemimpin), shurah/
صُورَة
(citra/ salinan. Kalimat ini hanya merupakan gambaran saja), dan مَقَامْ/ maqam (berasal dari kata aqaama/ أقَامَ : menduduku siri kerasulan/ dalam istilah thariqah Qadiriyah,
disebut dengan naaibur rasul = wakil rasul).
H. Makna Waliyullah
1.
Apa Dan Siapa
Waliyullah Itu ?
Kalimat Wali (walinya Allah) atau auliya’ berasal
dari kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Namun sering diartikan
secara sempit saja. Bahkan sering diberi
arti yang sangat jauh dari konsep al-Qur’an dan al-Hadits. Misalnya bila ada
orang yang dapat berjalan diatas air atau angkasa, atau dapat mengetahui
sebagian dari hal-hal yang akan terjadi (ghaib), segera saja kita simpulkan
bahwa orang tersebut adalah waliyullah. Memang, kebanyakan dari para
auliyaa’illah memiliki kemampuan seperti tersebut. Namun, belum tentu orang
tersebut adalah waliyyullah. Agar kita berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu,
perlu mengingat firman Allah Swt, Qs. al-Ma’idah : 45 :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ
اللهُ فَاوُلَئِكَ هُمُ الظَالِمُون
Dan
barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan memakai ketentuan (pedoman)
yang diturunkan oleh Allah, maka ia adalah golongan orang-orang dlalim.
Dalam
memandang dan memahami waliyyullah tidak boleh hanya sekedar, bahkan berdasar
kondisi luarnya saja. Dalam memahaminya, haruslah merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Sedangkan hal yang luar biasa yang dimiliki oleh waliyyullah hanya dijadikan
sebagai pendukung belaka bukan sebagai penentu kewalian. Secara umum,
kalangan awam melihat waliyullah dari sisi karomah hissi (lahiriyah) saja.
Padahal mungkin juga terjadi seorang waliyullah tidak memiliki karomah hissi,
serta dimusuhi dan dihina oleh ulama lain dan masyarakat. Dan mungkin juga, seorang
ulama, disanjung dan dipuja-puja oleh masarakat , namun bukanlah waliyullah.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh An-Nabhani Ra, dalam kitabnya Jami’
Karamah al-Auliya, menerangkan : bahwa
karamah itu terbagi dalam dua bagian : karamah hissiy (lahiriyah) dan
karomah maknawi (batiniyah). Dan orang awam tidak dapat mengetahuinya,
kecuali karamah hissiy. Misalnya,
jika ada orang dapat terbang tanpa alat, dapat mengetahui perkara samar yang
akan terjadi atau yang telah berlalu, atau mampu melihat sesuatu yang berada
dalam jarak ratusan kilometer. Sedangkan karamah maknawi tidak dapat
diketahui kecuali dari golongan mukmin kelompok atas. [3]
اِعْلَمْ مَنْ أَرَادَ شَيْئًا
فَأْعْطَاهُ اللهُ مُرَادَهُ لَمْ يَدُلْ
ذَالِكَ عَلَى كَوْنِ ذاَلِكَ العَبْدِ وَجِيْهًا لَهُ عِنْدَالله
تعالى. قَدْ يَكُوْنُ اِكْرَامًا لِلْعَبْدِ و َقَدْ يَكُونُ اِسْتِدْ رَاجًا
Ketahuilah, orang yang menginginkan sesuatu, dan Allah memberikannya.
Pemberian itu belum tentu menunjukkan bahwa ia berkedudukan tinggi dihadapan
Allah Swt. Kadang pemberian tersebut, sebagai karomah, dan kadang sebagai
istidraj. [4]
Kata Waliy merupakan kata
yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis, yang
memiliki arti ganda (musytarak) :
1. Sebagai subyek (الفاعل) : yang mengasihi, yang menguasai, yang menolong dan yang melindungi. Dalam artian ini, kata Waliy menjadi salah satu asma Allah
Swt yang baik (asmaul husna). Pemiliki asma ini hanyalah Allah Swt sendiri.
2. Sebagai obyek (المفعول) : yang dikasihi,
yang dikuasai, yang ditolong dan yang dilindungi. Dalam artian ini , kata wali
ditujukan kepada manusia.
Jadi, pemilik asma atau pangkat waliyullah adalah orang yang sadar
bahwa hanya Allah Swt yang mengausai, menolong serta melindunginya. Dan
karenanya, meskipun ia bersama makhluk (terutama Rasulullah Saw dan al-Ghauts
Ra), hatinya tetap dan senantiasa bersama Allah Swt, Tuhan Yang Maha Agung lagi
Maha Tinggi. Dengan kata lain, waliyullah Ra, adalah orang yang telah dapat
menghayati dan menerapkan makna :
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْلِ, نِعْمَ
المَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيرِْ
Telah cukup bagi kami bergantung kepada Allah. Dia adalah
paling nikmatnya tempat berserah diri, senikmat-nikmatnya tempat berlindung
serta senikmta-nikmatnya tempat mencari pertolongan.
Terdapat sebuah prinsip لاَيِعْرِفُ
الوَالِيُّ اِلاَّ الوَالِيّ = Tidak dapat mengetahui
wali kecuali wali juga, merupakan fatwa dari Syeh ...... Ppemahaman yang sangat masyhur ini
dalam masyarakat ahlussunnah waljama’ah Indonesia. Hanya saja, pada umumnya hanya diberi arti dengan
: tidak dapat mengetahui seorang wali (kekasih Tuhan) kecuali wali (kekasih Tuhan) yang lain.
Padahal semestinya harus dijelaskan dengan arti yang lain juga, yakni : “Tidak ada yang mengetahui wali (manusia),
kecuali Wali (Allah Swt) Sendiri.
Dan memang, kebanyakan para waliyullah, sangat dirahasiakan oleh Allah Swt. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam hadis qudsi : [5]
اِنّ اَوْلِيَائي عَلَى قَبْضِي لا
َيَعْرِفُهُ غَيْرِي
Sungguh
wali–Ku itu dalam genggaman-Ku, tidak ada yang mengetahuinya selain Aku.
Secara
hakiki hanya Allah Swt saja yang mengetahui keberadaan waliyullah. Namun atas
kasih-sayang-Nya, terkadang kewaliyan itu dapat diketahui. Terdapat beberapa pendapat
tentang dapat diketahuinya pangkat kewalian oleh dirinya sendiri atau orang
lain, antara lain : [6]
a. Para waliyullah tidak dapat mengetahui kalau dirinya
sebagai waliyullah.
Syeh Abu Bakar Ibnu Faurak
berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ
لاَيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا. إِنَّ الوَالِيَّ إِنَّمَا يَصِيْرُ وَلِيًّا
لآَجْلِ أَنَّ الحَقَّ يُحِبُّهُ لاَ لآَجْلِ أَنَّهُ يُحِبُّ الحَقَّ . ثُمَّ
إِنَّ مَحَبَّةِ الحَقِّ وَعَدَاوَتَهُ سِرٌّ أَنْ لاَ يَطْلَعُ عَلَيْهِمَا
أَحَدٌز فَطَاعَةُ العِبَادِ وَمَعَاصِيْهِمْ لاَ تُؤْثِرُ مَحَبَّةَ الحَقِّ
وَعدَاوَتَهُ, لآَنَّ الطَاعَةَ مُحْدَ ثَةٌ وَصِفَاتُ الحَقِّ قَدِيمَةٌ غَيْرُ مُتَنَاهِيَةٌ
Sesungguhnya wali itu, tidak dapat mengetahui kalau
dirinya sebagai wali (Allah). Sungguhn seorang wali, ketika
menjadi wali, dikarenakan Al-Haq (Allah)
mencintainya dan bukan karena ia mencintai Allah. Kemudian, cinta atau murkanya
Allah, tidak tampak kepada seseorangpun. Keatatan atau kedurhakaan hamba, tidak
akan mempengaruhi cinta dan murka-Nya, karena taat itu baru (mahluk), sedangkan
sifat Allah itu qadim yang tanpa batas.
b. Syeh Abul Qasim al-Qusyari dan Guruynya (Syah Abu Ali
ad-Daqaq) Qs wa Ra, berkata :
إِنَّ الوَلِيَّ قَدْ
َيَعْرِفُ كَونَهُ وَلِيًّا, إِنَّ
الوَلِيَّ لَهَا رُكْنَانِ أَحَدُهُمَا كَوْنُهُ
في الظَاهِرِ مُنْقَادًا لِلشرِيْعَةِ الثَانِي كَونُهُ مُسْتَغْرِقًا فِي نُور
الحَقِيْقَةِ
Sesungguhnya wali (Allah) terkadang dapat mengetahui
kalau dirinya, sebagai wali (Allah). Sesungguhnya untuk wali terdapat dua
pondasi : pertama, secara lahiriyah keberadaan amalnya, sesuai
dengan syariah (Islam), kedua, secara batiniyah, senantiasa tenggelam
dalam nur hakikat.
مَعْرِفَةُ
الوَالِيِّ أَصْعَبُ مِنْ مَعْرِفَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ اللهَ مَعْرُوفٌ
بِكَمَالِهِ وَجَمَالِهِ وَحَتَّى تَعْرِفَ مَخْلُوقًا مِثْلَكَ يَأْكُلُ كَمَا
تَأْكُلُ وَتَشْرَبُ كَمَا تَشْرَبُ.
d. Syeh Jalaluddin
as-Suyuthi, dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bab
وَقَدْ سَتَرَتْ أَحْوَالُ القُطْبِ
وَهُوَ الغَوْثِ عَنِ العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَسَتَرَ النُجَبَاءُ عَنِ
العَامَّةِ وَالخَاصَّةِ وَكَشَفَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
Keberadaan
al-Quthbu (al-Ghauts) tertutup dari kalangan awam dan kalangan khusus, demikian
juga nujaba’. Dan terbuka bagi kalangan mereka sendiri.
Dengan pemaknaan kata waliyullah Ra seperti ini, maka siapapun
orangnya (termasuk orang awam), dapat mengetahui pribadi waliyullah, selama
Allah Swt wa Rasulihi Saw berkehendak untuk memberitahukannya. Dan untuk
mengetahuinya tidak harus menjadi waliyullah terlebih dulu. Dan pada umumnya, pemberitahuannya
melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah).
3.
Pengalaman
Ruhani (rukyah shalihah).
Sebagai
agama, Islam bukanlah berdasar mimpi. Begitu pula Wahidiyah dan perjuangannya. Sebagai
jalan menuju wushul atau makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, dasar
pengamalan Shalawat Wahidiyah, bukan berdasar mimpi. Sebagai pedoman hidup bagi
manusia, perjuangan wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah. Bahkan dalam salah
satu fatwa amanatnya, Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah
Qs wa Ra, menjelaskan : wahidiyah itu sesuai dengan al-Qur’an dan al-hadis
serta sesuai dengan kaidah sain dan tehnologi.
Prinsip, ajaran atau idiologi apapun, jika bertentangan dengan hukum
alam (sain dan tehnologi), pasti akan punah dengan sendirinya serta akan
ditelan zaman. Demikian pula al-Qur’an dan al-Hadis, karena tidak pernah dan
tidak akan bertentangan dengan hukum alam, kemukjizatannya akan semakin tampak.
Perkembangan tehnologi pada era dewasa ini dan era selanjutnya, semakin
menampakkan kebenaran al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Dan jika ada orang
yang mengatakan; bahwa al-Qur’an dan al-Hadis tidak sesuai dengan hukum alam,
hanyalah kedustaan akal yang dibungkus dengan baju ilmiyah. Akal, secara
esensial, masih diperbudak oleh nafsu,[9]
dan dengan sendirinya kesimpulannya masih dipimpin oleh kepentingan individu
atau kelompok, maka mayoritas kesimpulan ilmiyah kurang obyektif. Akal yang
masih gelandangan, jika dijadikan landasan berpijak, akan membawa manusia dalam
penderitaan dan kesesatan. Dan juga, puncak kesimpulan akal, betapapun hebatnya,
hanyalah berupa prasangka yang tidak pasti apalagi permanen, dan karenanya ia tidak
dapat menggantikan kebenaran dan keadilan. Sebagaimana yang tercermin dalam Qs.
an-Najm : 28 :
وَمَالَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ
إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ شَيْئًا
Tidak
ada ilmu (yang semestinya) bagi mereka. Tidak ada yang mereka ikuti kecuali
hanya prasangka. Dan sesungguhnya prasangka itu tidak dapat menyentuh kebenaran
sedikitpun.
Ilmu, betapapun tingginya, hanyalah sebuah informasi tentang
sesuatu. Dikatakan ilmu yang benar, jika sesuai dengan kenyataannya, dan jika
tidak, dikatakan ilmu yang batal/ salah. Ilmu dapat mencapai kebenaran hakiki,
apabila dituntun oleh cahaya Tuhan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah
Swt dan sabda Rasulullah Saw :
وَلاَ يَنْطِقُ عَنِِ الهَوَى إِنْ هِيَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوحَى
Dan, dia (Muhammad) tidak berbicara dari (kesimpulan yang dipimpin
oleh) nafsu. Tidaklah ada ucapan Muhammad
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ
يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ.
Hati-hatilah kamu semua terhadap firasat orang mukmin. Sesungguhnya
orang mukmin melihat dengan cahaya Alla(HR. Ahmad)
Kebenaran hakiki, bukan sesuatu yang hanya dapat ditangkap oleh
akal saja. Akan tetapi, meliputi demensi lahiriyah dan batiniyah. Kebenaran
batiniyah hanya dapat ditangkap melalui ketersingkapan batin (kassyaf/
terbukannya mata hati) juga. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah
Saw : [10]
إِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ
لاَيَعْلَمُهُ إِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ. وَإِذَا نَطَقُوْا بِهِ لَمْ يُنْكْرْهُ
إِلاَّ اَهْلُ الأِغْتِرَارُ بِاللهِ
Sesungguhnya
dari sebagian ilmu itu bagaikan permata yang terpendam. Tidak dapat mengetahuinya
kecuali ulama yang alim billah. Ketika mereka mengatakan ilmu tersebut, tidak
seorangpun yangmengingkarinya, kecuali orang yang tidak paham Billah.
Sebagaimana diketahui, iblis adalah musuh utama bagi setiap mukmin.
Ia tidak berputus asa dalam membelokkan iman dan ilmu manusia. Berbagai macam cara
yang dilakukan untuk membelokkan manusia. Iblis, sering mengacaukan kebenaran hakiki
yang mengatasi kesimpulan akal (pasca
rasio). Ia mengajak manusia untuk menerima sesuatu yang sesuai tidak sesuai
dengan akal. Padahal, kemampuan akal setiap orang tidak sama, atau akal setiap
individu mengalami perekmbangan dan perobahan sesuai perkembangan dan perangkat
ilmu yang dikuasai.
Lain itu pula, untuk mengacaukan indra keenam manusia, iblis juga
membisikkan pengalaman ruhani kepada orang-orang yang jauh dari Allah Swt wa
Rasulihi Saw. Atau membisikkan kalimat-kalimat atau kesimpulan, agar orang-orang
munafiq mendustakan pengamalan ruhani yang didapatkan oleh orang mukmin, dengan
dalih tidak masuk akal, padahal, sebab utamanya bertentangan dengan
kepentingannya. Sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. al-An’am
: 33 – 34 :
قَدْ
نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ.
وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh
Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan
oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya mereka tidak mendustakan kepadamu
(Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu,
berjiwa angkuh
Datangnya pengalaman ruhani kadang dari Allah Swt, dan kadang dari bisikan
setan. Dan yang datang dari Allah Swt, tidak boleh didustakan. Rasulullah Saw
bersabda :
الرُؤْيَةُ الحَسَنَةُ مِنَ اللهِ وَرُؤْيَةُ
السَيِّئَةُ مِنَ الشَيْطَانِ
Mimpi yang baik dari Allah dan mimpi yang buruk dari
setan.
[11]
فِي اَخِرِ الزَمَانِ لاَتَكَدْ رُؤْيَةَ
المُؤْمِنِ. اِتَّقُوْا فِرَاشَةَ المُؤْمِنِ فَإِنَّهُ
يَنْظُرٌ بِنُوْرِ اللهِ.
Diakhir
zaman, jangan tergesa-gesa mendustakan mimpinya orang mukmin. Takutlah (hati-hatilah) kamu semua kepada firasatnya
orang mukmin. Karena sesungguhnya mukmin melihat (firasat tersebut) dengan
cahayat Allah. [12]
Dikatakan
mimpi yang baik dan benar (datang dari Allah Swt), bila sesuai dengan ketentuan
fakta dan kenyataan alam ghaib (metafisika) yang telah diberitakan oleh
al-Qur’an dan hadis. Sedangkan mimpi yang buruk, adalah yang mimpi yang
dibisikkan oleh setan. Ia merupakan pengalaman ruhani yang tidak sesuai dengan
fakta dunia ghaib.
Untuk menghindari mimpi dari bisikan iblis, Rasulullah
Saw dalam hadisnya yang shahih telah menjelaskan bagimana cara memperoleh
pengalaman ruhani yang baik dan benar. Yakni melalui bersahalawat dan
bertawassul kepada Rasulullah Saw. Dengan bershalawat seseorang mendapat
bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dan juga bermanfaat sebagai pencuci dan
pembersih hati dari kotoran dan godaan iblis. Oleh Allah Swt, iblis tidak mamu menjelma atau menyerupai Rasulullah
Saw.
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشَرًا, ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِيَ الوَسيْلَةَ, فَإِنَّهَا
مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ, وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ, فَمَنَ
سَأَلَ اللهَ لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya barang siapa yang
bershalawat kepadaku satu shalawat, maka Allah Swt akan bershalawat kepadanya
sepuluh kali. Juga berwasilahlah kepadaku. Sebab sengguhnya wasilah itu tempat
dalam surga. Yang tidak dapat memperolehnya kecuali hanya seorang saja dari
hamba-hamba Allah. Dan aku berharap menjadi seperti dia. Barang siapa meminta
kepada Allah dengan wasilah tersebut, maka syafaatku halal (wajib) baginya.
Makna
Allah Swt bershalawat kepada mukmin, adalah memberikan hidayah, melindunginya
dari bisikan iblis.
Sedangkan
perintah menjadikan Rasulullah Saw sebagai perantara (wasilah) kepada
Allah Sw dalam hadis diatas, dipertegas lagi dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Ibnu Asakir dari jalur Hasan Ibn Ali Ibn Abu Thalib Ra, Rasulullah Saw bersabda
: [14]
أَكْثِرُوا الصَلاَةَ عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ
مَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِكُمْ. وَاطْلُبُوا لِي الدَرَجَةَ وَالوَسِيْلَةَ. فَإِنَّ
وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَتِي لَكُمْ.
Perbanyaklah kamu semua bershalawat kepada-ku. Sesungguhnya
shalawatmu kepada-ku, merupakan (menyebabkan) ampunan bagi disa-dosamu. Dan
carilah kamu semua untk-ku darajah yang tinggi dan wasilah. Sesungguhnya
wasilah dengan aku disisi Tuhan-ku merupakan pertolongan (syafaat) untuk kamu
semua.
Makna sebagai
ampunan terhadap dosa dalam hadis Ibnu Asakir ini, menunjukkan bahwa orang
yang bershalawat kepada Rasulullah Saw secara sungguh-sungguh, akan terhindar
dari kemurkaan Allah Swt, dan berarti
pengalaman ruhani yang didapatkan datang dari Allah Swt. Setelah
bershalawat, mukmin diperintahkan mendekat kepada Allah Swt dengan berwasilah
melalui Beliau Saw. Dan pula tujuan berwasilah ini, agar mukmin mendapat
bimbingan dari Rasulullah Saw hingga terhindar dari bisikan iblis.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa bershalawat Nabi merupakan
cara yang paling tepat untuk menempatkan kedudukan Rasulullah Saw serta
menjadikannya sebagai perantara antara Allah Swt dan hamba-Nya. Serta sebagai
wahana pengungsian ummat kepada rasul, agar selamat dari godaan dan bisikan
iblis.
إنَّ
الصَلاةَ وَالسَّلامَ عَلَى سَيِّدِ الأَنَامِ أَفْضَلُ العِبَادَاتِ وأحْسَنُ
الحَالاَتِ وَأعْظَمُ القُرُوبَاتِ وأَشْرَفُ المَقَامَاتِ وَاِنَّ الصَلاَةَ
التَوَسُّلُ بِذَاتِهِ المُحَمّدِيَةِ اِلَى اللهِ
Sesungguhya shalawat dan salam kepada Pimpinan seluruh manusia
merupakan ibadah sunnah yang paling utama, kondisi yang paling bagus,
pendekatan (kepada Allah) yang paling agung dan kedudukan yang paling mulya. Sesungguhnya
bershalawat, berarti berperantara kepada Allah dengan zatnya Nabi yang terpuji. [15]
Dalam hadis lain diterangkan, bahwa shalawat dapat
menajdi penangkal bisikan iblis dan sekaligus sebagai pembersih bagi hati
mukmin. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَّارَةٌ لَكُمْ فَمَنْ
صَلَّى عَلَيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
Bershalawatlah kamu semua
kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku sebegai penebus dan pembersih (dosa/
kotoran hati) bagi kalian. Barang siapa bershalawat kepadaku, maka Allah
bershalawat kepadanya.[16]
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِيْ يَوْمٍ أَلْفَ مَرَّةٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى
مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ
Barang siapa bershalawat kepadaku dalam sehari
1000 kali, maka ia tidak akan mati kecuali melihat tempat duduknya dari surga.
فَإِنَّ الشَيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ - لاَ
يَتَصَوَّرُ بِيْ - لاَيَتَخَيَّلُ بِي - لاَ يَتَكّوَّنُ بِيْ.
Sesungguhnya
setan tidak dapat menyerupai aku (Rasulullah), - dalam riwayat lain :
tidak dapat membentuk diri sebagai aku, - dalam riwayat lain :
tidak dapat mengkhayalkan dirinya sebagai aku, -
dan dalam riwayat lain : tidak
dapat membentuk diri sebagai aku. [17]
Kesimpulan
makna dari beberapa hadis shalawat diatas, dan hadis yang menjelaskan ketidak
mampuan setan menjelma sebagai Rasulullah Saw, para ulama telah menjelaskan :
أِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَقْبُولَةٌ قَطْعًا مِنْ كُلِّ أَحَدٍ
Sesunggunya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw pasti
diterima (oleh Allah) dari setiap orang (fatwa
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra).[18]
فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَقْبُولَةٌ.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw diterima
(oleh Allah) (fatwa Ibnul Qayyim
al-Jauziyah {pendukung kuat madzhab Hambali dan salah satu ulama yang sangat
dihormati oleh kaum wahabi} dalam kitabnya Jala’ al-Afham pada bahasan
ke 7).
Al-Ghauts fii
Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra menjelaskan :[19]
وَبِالْجُمْلَةِ
أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوْصِلُ إِلَى
عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ وَسَنَدٍ لأَِنَّ الشَيْخَ وَالسَنَدَ صَاحِبُهَا.
بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ التِي يَحْتَاجُ مِنَ الشَيْخْ العَارِفِ
الكَامِلِ, وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ.
Dengan kesepakatan para ulama (ahli
kassyaf), bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mengantarkan kepada
alam ghaib tanpa guru dan sanad. Karena guru dan sanad dalam shalawat, adalah
pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Berlainan dengan wirid selain shalawat,
misalnya dari macam-macam dzikir lafadz
jalalah, yang membutuhkan guru yang benar-benar sempurna makrifatnya.
Jika tidak ada guru yang membimbing, maka sudah tentu setan masuk dalam wirid
tersebut.
Sebagian
pengalaman ruhani mukmin tentang keagungan Rasulullah Saw, keistemawaan
shalawat kepadanya dan keberadaan pribadi al-Ghauts Ra :
1.
Adalah Abu Jahal.
Suatu hari Abu Jahal [20]
berkata : Sekiranya aku
bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya. Kemudian datanglah Rasulullah Saw, namun Abu Jahal tidak dapat melihat
Rasulullah Saw. Sedangkan orang-orang yang disekitarnya memberitahu kepada Abu
Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak
melihatnya dan bertanya : Mana
Muhammad… mana Muhammad ?.
2.
Adalah
Rasulullah Saw.
Sayyidina Ali Karramallahu wajhahu pergi
bersama Rasulullah Saw yang diikuti oleh beberapa sahabat lainnya. Ketika sampai disuatu lembah, terdengar suara
orang yang mengucapakan : السَلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ : Salam
sejahtera kepada Paduka, wahai Rasulullah. Suara ini terulang-ulang beberapa
kali. Dan setelah para sahabat mengamati sekelilingnya, ternyata suara tersebut
keluar dari bebatuan dan tumbuh-tumbuhan yang
ada disekeliling mereka. [21]
3.
Adalah Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah membaca surat
as-Sajdah, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniat menyiksa
Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka kaku serta tidak dapat melihat.
Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami
sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah
mereka. [22]
4.
Dr. Ibrahim Uthwah ‘Audl.
Beliau salah satu
dosen di universitas Al-Azhar Kairo-Mesir, pada tahun 1962 M).
Dia berkata : Kawan saya (Dr. dr. Ibrahim Hasan –
direktur rumah sakit “Ain Syams” Kairo
Mesir), berkata kepada saya : “aku berkali kali mimpi bertemu Rasulullah Saw. Namun
suatu saat, lama sekali aku tidak bermimpi melihat Rasulullah Saw. Aku
sangat susah sekali. Dan akhirnya, saya mimpi bertemu Beliau Saw kembali.
Kepada Beliau Saw aku
bertanya :“Wahai Rasulullah, apa sebab dalam waktu yang lama Paduka tidak
bersedia menemui hamba ?.
Jawab Rasulullah saw : Bagaimana Aku menemui kamu, sedangkan
ditanganmu ada kitab ini. Kitab yang dimaksud Rasulullah SAW, adalah kitab في الرد على النبهاني
نيل الاما ني (Nailul Amani
Firraddi ala Nabhani). Kitab ini kontra dengan isi kitab “Jami’ Karamah
Al-uliya’-nya Syeh Yusuf An-Nabhani Ra, serta kontra dengan prinsip kaum
sufi.
Dan setelah aku bangun, pagi hari aku membakar kitab Nailul Amani
tersebut. Dan setelah aku membakarnya, malam
harinya aku bermimpi bertemu
Beliau Rasulullah SAW yang tersenyum gembira kepada saya. [23]
5.
Saudara Jumadi (mantan persunil DPRW ) kec. Gebok,
Kudus Jawa tengah.
Kawan
kita ini mimpi bertemu seseorang yang belum dikenalnya. Dari atas ada suara
yang mengatakan, beliau adalah Rasulullah Saw.
Kepada Rasulullah
Saw, Jumadi bertanya : Ya Rasulullah, mana Romo Yahi ?. Rasulullah Saw menjawab:
Itu didekatmu yang menunggui kamu. Jumadi menghadap kepada Kanjeng Romo
Yahi Ra, sambil berkata : Kanjeng Romo Yahi, doakan kami.
Kanjeng Romo Yahi RA-pun berdoa. Dan setelah berdoa, dada Beliau Ra
mengeluarkan sinar yang masuk kedalam dada Jumadi, dan keluarlah
kotoran-kotoran yang menjijikkan dari dada Jumadi, dan ia melihat cahaya yang sangat terang yang
terpancar dari Rasulullah Saw dan masuk kedalam dada Beliau Kanjeng Romo KH.
Abdul Latif Madjid Ra. Dan dari pribadi Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA,
cahaya tersebut memancar ke seluruh penjuru yang ia tidak mampu melihatnya
seberapa jauhnya.
6.
Abdullah
bin al-Hakam (diantara pembesar ulama madzhab Syafi’i).
Beliau mimpi bertemu Imam Syafi’i, yang
mengalami kebahagian dalam alam barzah. Kepada Imam Syafi’i Ibnul Hakam
bertanya : Wahai Imam, mengapa Tuan mendapatkan hal yang
demikian ?. Imam
Syafi’i menjawab : “Seluruh amal kebaikanku diterima oleh Allah
Swt, dan kesalahanku diampuni-Nya”. Sebab
apa Allah berbuat demikian kepada Tuan ?, tanya Ibnul Hakam. Jawab Imam Syai’i
: “Karena aku menuliskan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw, setiap aku menulis namanya dalam kitab-kitab yang aku tulis”.[24]
7.
Al-Hafidz
Imam Ibnu Asakir.
Beliau merupakan ulama yang ahli dalam bidang
sastra arab, sejarah dam seleksi
hadis.
Dia mimpi bertemu dengan para ahli hadis yang mengalami kebahagian dalam alam
barzah. Imam Ibnu Asakair bertanya : “Sebab
apa tuan-tuan dapat mendapatkan kenikamatan seperti ini” ?. Jawab mereka : “karena
aku menulis hadis tentang keutamaan shalawat kepada Rasulullah Saw, dan akupun
mempraktekkannya”.[25]
8.
Syeh
Abul Qasim al-Qari. [26]
Beliau bermimpi melihat sefdc buah
pesta yang sangat meriah dalam sebuah gedung yang sangat indah. Sebelum acara
dimulai, trdengar lantunan ayat al-Qrur’an dan dzikir. Syeh bertanya kepada petugas
penerima tamu. Saudaraku, acara apa ini ?. Pelantikan
Imam Nawawi sebagai waliyullah yang menduduki jabatan Wali Quthub, jawab petugas.
9.
Para
murid Syeh Yusuf an-Nabhani Ra.
Banyak dari mereka yang bermimpi bertemu
Rasulullah Saw, yang bersabda : Ismail Yusuf an-Nabhani adalah Aqrabul Muqarrabin
(paling dekat- dekatnya orang kepada Allah dari beberapa orang yang dekat
kepada-Nya).[27]
10.
Syeh
Bilal al-Khawas Ra.
Beliau Ra bertemu Nabiyullah Khadlir As secara
jaga. Kepada Nabiyullah As, Syeh bertanya : Dimana kedudukan Imam Syafi’i. Jawab
Nabiyullah : diantara wali autad.[28]
11.
Mbah KH.
Mundzir (Pengasuh ponpes “Ma’unah Sari” Bandar Kidul kota Kediri).
Ketika Beliau melaksanakan shalat istikharah
untuk meminta petunjuk tentang pribadi Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif
Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra. Setelah salam shalat terakhir, Beliau Mbah Mundzir
mendengar suara (al-Ghauts..al-Ghauts …al-Ghauts) dari arah
langit yang diulang-ulang beberapa kali.
12.
Bapak
Abdul Jamil Ridwan (salah satu personil PW Pasuruan).
Pak Jamil bermimpi melihat Rasulullah Saw yang menyerahkan
mandat kepimpinan ummat kepada Beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra,
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
13.
Syeh
Abdul Karim al-Jilly (al-Ghauts fi Zamanihi Ra, w. 826 H).
Beliau Ra bertemu Rasulullah Saw secara jaga,
yang memberitahuka kepadanya, bahwa gurunya (Syeh Ibrahim al-Jabarti al-Yamani
Ra) adalah al-Ghauts pada masa itu.[29]
14.
Syeh
Abdus Shamad al-Palimbani.
Berdasar rukyah shalihah yang diterimanya, Syeh
menerangkan dalam kitabnya “siyarus saalikin”, bahwa gurunya Syeh
Abdullah as-Samani al-Madani Ra adalah al-Ghauts Ra (w. 1758 M) pada saat itu.
15.
Imam
al-Juwaini Ra.
Beliau Ra, awalnya seorang ulama yang kontra
terhadap keberadaan waliyullah al-Ghauts Ra. Suatu saat, beliau diajak oleh
Imam Ibnu Hajar al-Haitami untuk menanyakan hal waliyullah dan Ghauts Ra kepada
Imam Zakariya al-Anshari Ra (al-Ghauts Ra pada waktu itu, w. 847 H) . Ketika mereka
berdsua telah berada dihadapan Syeh Zakaria Ra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, bertanya
: Bagimana, pendapat guru jika ada ulama yang mengingkari keberadaan
waliyullah dan al-Ghauts Ra ?. Syeh Zakaria Ra bertanya : Siapa dia
?. Al-Haitami menjawab : Ini orangnya (sambil menunjuk kepada
al-Juaini). Syeh Zakaria berkata : O, tuan yang mengingkari waliyullah dan
al-Ghauts ! (sambil menatapkan pandangannya kepada kepada al-Juwaini). Dan
tiba-tiba tubuh Imam al-Juwaini gemetar,
dan kemudian lari sambil ketakutan, seraya berkata : “Wahai Syeh Zakaria,
saat ini aku bersaksi bahwa Engkau adalah al-Ghauts Ra pada zaman ini”.
16.
Syeh
Ahmad bin al-Mubaarak Ra.
Berdasar dari rukyah shalihah yang diterimanya,
Syeh, dalam kitabnya al-Ibriiz, menerangkan bahwa gurunnya (Sayyid
Abdul Aziiz ad-Dabbaag Ra) adalah al-Ghauts Ra pada saat itu.
17.
Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura).
Nur Jazilah berserta ibunya naik perahu untuk pulang menuju kampung
halaman (Pulau Sepudi). Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada
dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan.
Nur Jazilah yang sudah hapal shalawat wahidiyah, juga menangis ketakutan sambil
membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Demikian
pula Mursidah (ibu Nur Jazilah), ketika bermujahadah tiba-tiba melihat ada
seseorang berjalan diatas laut menuju kearah perahu. Dan, kemudian memegangi
perahu yang hamper oling. Anginpun menjadi reda, ombak serta perahu menjadi
tenang kembali. Ibu Mursidah memandang orang tersebut, yang ternyata adalah
Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.
18.
Bapak
Dr. Ocin Kusnadi SH.
Pak Ocin, pernah menjabat sebagai ketua PW DKI Jakarta
dan Pramu Pendidikan Wahidiyah. Kawan
kita ini, ketika sedang naik pesawat dari Jakarta ke Surabaya untuk menghadiri
pemakaman Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah, tempat
duduknya berdekatan dengan jendela pesawat. Dan dari jendela pesawat, dia
melihat diangkasa ada ratusan gumpalan awan dan burung-burung yang berbaris
dibelakang seseorang yang berpakaian layaknya seorang raja. Dari arah rombongan
barisan tersebut, terdengar suara yang diucapkan berulang-ulang serta
bersama-sama: "Selamat Datang Ghauts Hadzaz Zaman, Selamat Datang
Ghauts Hadzaz Zaman ….. ”. Rombongan tersebut mendekati pesawat. Dan,
tekejutlah Pak Ocin. Karena yang diiring oleh rombongan serta berpakaian
layaknya seorang raja, adalah “Hadlratul al-Mukarram Kanjeng Romo KH. Abdul
Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo
al-Munadldlarah”.
19.
Syeh
Ibnu Athaillah as-Sakandari Ra (w. 709 H).
Pengalaman
ini dialami oleh Beliau Ra ketika gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abul
Abbas al-Mursi Ra, w. 686 H). Beliau Ra melaksanakan ibadah haji, ketika berada
diarafah, ketika melaksanakan thawaf, Beliau Ra dibimbing oleh gurunya (Syeh
al-Mursy Ra). Namun ketika akan berjabat tangan (sungkem-jawa),
tiba-tiba Syeh al-Mursy menghilang. Pengalaman ruhani seperti ini, dialami oleh
Beliau Ra ketika malaksanakan rukun haji lainnya. [30]
[1]. Kata-kata dalam al-Qur’an yang sepadan dengan makna al-Ghauts Ra :
a. Khalifah/ خَلِيْفَةً =: Firman Allah قال رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الاَرْضِ خَلِيْفَةً : Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah (wakil Tuhan) dibumi). Qs.al-baqarah/ 30.
Yang dimaksud khalifah, Imam Shawi dalam kitab tafsir Shawi menerangkan :
وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الاَجْسَادِ فَهُوَ اَبُوالْبَشَرِ اَدَمُ عَلَيْهِ السَلاَمُ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِ عَالَمِ الاَرْوَاحِ فَهُوَ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم
Apabila dipandang dari sudut jasmani, khalifah pertama adalah bapak manusia yaitu Nabi Adam As, jika dipandang dari sudut ruhani adalah Nabi Muhammad Saw.
Dan dalam Qs. as-Shaad/ 26 : إناَّ جَعَلْنَأكَ خَلِيْفَةً فِي الاَرْضِ فَاحْكُمْ بِالعَدْلِ وَلاَ تَتَّبِعْ الهَوَى : Aku telah menjadikan engkau (Daud) sebagai khalifah dibumi, maka putuskanlah dengan adil dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu.
b. Ulil Amri, Qs. al-Maidah/ 35 : أطِيْعُوا الله وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الآمْرِ مِنْكُمْ : Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul dan Ulil amri.
c. Imam /إِمَام (pimpinan) Qs. al-Furqan/ 74 : وَاحْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا : Dan jadikanlah kami sebagai imam orang yang bertaqwa. Dan Qs. al-baqarah : 124).
قَالَ اِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَالِمِيْن : Tuhan bersabda (kepada Nabi Ibrahim As) : Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai Imam bagi manusia. Ia menjawab : dan dari keturunanku. Tuhan bersabda : Tidak akan memperoleh perjanjian-Ku (khalifah, imam), orang yang dlalim.
a. Kata khair / خَيْر :, Rasulullah Saw bersabda : إِنَّ خَيْرَالتَابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَاُلُ لَهُ اُوَيْسٌ : Sebaik-baiknya para tabi’in adalah lelaki yang disebut Uwais (HR. Imam Muslim, dari Umar Ibn Khatthab Ra).
b. Kata Aimmah/ الائمة. Rasulullah Saw bersabda : إِنَّكُمْ اَيُّهَا الرَهْطُ أَئِمَّةٌ يَقْتَدِي بِكُمْ : Sesungguhnya kamu semua, wahai sekelompok manusia, terdapat imam yang senantiasa mengikuti kamu semua. (HR. Imam Malik/ kitab al-Muwattha’).
c. Kata Wahid/ وَاحِد , Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ
فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ ءَادَمَ, ولله فِيِ
الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ
مُوسَى, ولله سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ, ولله فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ
قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ, ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ
عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ, وَلله فِي الخَلْقِ- وَاحِدٌ - قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ
اِسْرَا فِيْل, فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلا
َثَةِ ......, , فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيَمْطُرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ
البَلاَءِ.
(Lengkapnya hadis ini beserta terjemahnya, dapat dilihat dalam makalah ini juga dalam ulasan tentang keberadaan
“al-Ghauts Ra secara jasmani dan ruhani” pada makalah ini juga).
d. Kata Malik/
مَلِك : زُوِيَتْ لِيَ
الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
: Dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat
ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan
sebagaimana bumi dilipat untuk-ku (HR. Imam Bukhari).
e. Kata “maqaam”. Kata ini merupakan kata
jadian dari aqaama (menduduki). Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar
as-Shiddiq Ra :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رَزَقَهُ
اللهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ :
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada
seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan
diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatannya sesudahnya. (HR. Imam Ahmad).
[3]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya’ Syeh An-Nabhani, dalam juz I, pasal pertama.
[4]. Kitab Jami’ Karamah
al-Auliya, Syeh Yusuf Ismail An-Nabhani, juz I halaman 23,
[6]. Lihat kitab Jami’
karamah al-Auliya’ nya Syeh
an-Nabhani juz I, dalam bab “
[7]. Kitab Taqriib al-Ushuul,
karya Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan pada ulasan qaul Imam Syadzali Ra, dan kitab al-Yawaqit
wal Jawahir nya Syeh Abdullah Sya’rani, juz II dalam bab as-Syadzali., atau
kitab Tahrir ad-Duraar-nya KH. Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan –
Tuban – Jawa Timur dalam kisah Imam as-Syadzali”
[8]. Kitab al-Hawi lil fatawi, juz II
dalam bahasan ke 69. Dan dalam kitab Syawahid al-Haq nya Syeh Yusuf
an-Nabhani dalam pambahasan waliyulla dan al-Ghauts Ra.
[9]. Demikian pendapat David Hume (filusuf kenamaan yang almarhum
pada 1776 M), dalam buku Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis,
karya Dr. Muhammad Muslehauddin, terbitan PT. Tiara Wacana Yogya, dalam bab 3
pada ulasan Kehancuran Hukum Alam.
[10]. Hadis tersebut
tertulis dalam :
1.
Kitab Misykat al-Anwar-nya Imam al-Ghazali.
2.
kitab Awarif al-Ma’arif-nya al-Gahuts fii Zanihi
Imam Suhrawardi pada bab 62, atau buku Tafsir Ayat Cahaya, penerbit
Pustaka Progresif, Surabaya cet. tahun 1998 M, pada halaman : 33.
3.
Kitab Quut al-Quluub-nya Syeh Abu Thalib al-Makky
(w. 386 H) pada ulasan perbedaan ulama dunia dan akhirat.
[12]. Hadis masyhur
yang diriwayatkan para jamaah ahli hadis.
[13] Dari Abdullah Ibn Amr yang diriwayatkan oleh Abu Daud (Sunan,
nh : 523), Nasai (Amalul Yaum wal
Lailah, nh : 45), Tirmidzi (Sunan, nh : 3614), Muslim (Shahih,
nh : 384). Jala’ al-Afhaam, nh :
104.
[14]. Kitab Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif”. Dan dalam hadis lain
(Jala’ al-Afha dalam pasal “tempat shalawat ke 24”), Rasulullah Saw
bersabda : صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ كَفَارَةٌ
لَكُمْ : Bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat
kepadaku, merupakan penebus dosa bagi kamu semua (HR.
Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas Ibn Malik Ra). Dan hadis : صَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ الصَلاَةَ عَلَيَّ زَكَاةٌ لَكُمْ : Bershalawatlah
kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawat kepadaku, merupakan pembersih dosa
bagi kamu semua (HR. Ibnu Abi Syaibah, dari Abu
Hurairah Ra).
[15]. Kitab Khazinatul Asraar,
Syeh Muhammad Haqqi an-Nazili dalam bab “shalawat”.
[16]. Kitab kitab Jalaul Afhaam-nya Imam Ibnul
Qayyim al-Jauziyah, nh : 24, HR. Ibnu Abi ‘Ashim.
[17]. Ibid,
riwayat jamaah ahli hadis (para pemilik kita Shahih, sunan dan musnad).
[18]. Kitab Afdlalus
Shalawat-nya Syeh an-Nabhani Ra, dalam pasal I pada faidah 2. Dalam kitab
ini juga diterangkan bahwa Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Qs wa Ra adalah al-Ghauts
yang ummy (tidak dapat membaca dan menulis).
[19]. Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam
bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada
penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ
فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada
segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai
tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).
[20]. Hadis riwayat Abu Nuaim dari
sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya
Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[21]. Kitab Dalail
an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I pada ulasan pertama.
[22]. Kitab Lubab
an-Nuquul fii Asbab an-Nuzuul-nya Imam Suyuthi Ra.
[23]. Kitab Jami’ Karamah al-Auliya, Syeh An-Nabhani, percet. Darul fikri tahun 1993, jilid I hlm 16-17.
[24]. Kitab Jalaul
Afhaam-nya Ibnul Qayyim al-Jauziyah pasa ulasan tempat shalawat bagian
ketika menyebut atau ingat nama Rasulullah Saw.
[25]. Ibid, Jalaul
Afham.
[26]. Kitab Thabaqatus Syafi’iyah nya Syeh
Tajuddin as-Subkhi. Atau dalam buku “Fiqh Klenik” yang diterbitkan oleh Ponpes
Lirboyo Kota Kediri.
[27]. Kitab Sa’adah ad-Darain Syeh
an-Nabhani Ra dalam bab rukyatus shalihin
[28]. Kitab Risyalah al-Qusyairiyah nya
Syeh Abul Qasim al-Qusyiri (al-Ghauts Ra fi zamanihi), dalam bagian sejarah.
Atau kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi juz II,
dalam bahasan 69. Atau kitab al-Yawaqit
wal Jawahir nya Syeh Abdullah as-Sya’rani, juz Idalam muqaddimah.
[29]. Kitab al-Insan
al-Kaamil fii Makrifah al-Awail wal Awakhir.
[30]. Kitab Saadatud
Daraini-Nya Syeh Yusuf an-Nabhani pada halaman
422, dan kitab al-Hawi lil Fatawi-nya Syeh Jalaluddin as-Suyuthi
Ra, juz II dalam bab tasawuf.
No comments:
Post a Comment