Monday, March 31, 2014

Gambaran Sosok Nabi Muhammad SAW

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
Gambaran Sosok Nabi Muhammad SAW

Banyak orang bertanya kepada saya: Seperti apakah Nabi saw itu, bagaimana gambaran beliau secara jasmaniah, bagaimana penampilannya, bagaimana duduknya, bangunnya, berjalannya, makannya atau tidurnya? Saya membuka kitab-kitab hadis. Saya terpesona karena saya menemukan kelurga dan sahabat Nabi saw melukiskannya dengan sangat jelas dan terperinci. Saya pikir tidak pernah ada tokoh besar dunia yang digambarkan begitu terinci seperti kaum muslim menggambarkan Rasulullah SAW.

Memang, sebahagian besar sahabat hanya menggambarkan sebagian saja dari pertemuannya yang mengesankan dengan sang Nabi SSAW. Ada yang terpesona dengan keindahan wajahnya sampai bertanya, “Manakah yang lebih tampan, Engkau Yaa Rosuulalloh atau Nabi Yusuf AS ?” Nabi SAW menjawab dengan tersenyum: “Nabi Yusuf lebih tampan tapi aku lebih manis !” .

Ada yang terpesona melihat wibawanya sampai tubuhnya berguncang. Nabi saw menghiburnya: “Tenang, tenang. Aku ini manusia biasa saja, yang suka makan daging.” Ada yang menceritakan pengalamannya ketika bersentuhan tangan dengannya, “Tidak pernah aku mencium wewangian apa pun yang lebih harum dari Rasulullah SAW. Tidak pernah aku menyentuh sutra apa pun yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah SAW.” Sahabat yang lain bercerita, “Aku mengambil kedua tangan Nabi SAW dan meletakkannya pada wajahku. Tiba-tiba aku merasakan tangannya lebih sejuk dari salju dan lebih wangi dari kesturi” (Baca Al-Husayn bin Mas’ud al-Baghawi, Al-Anwâr fi Syamâil al-Nabiyy al-Mukhtâr).

Berikut ini, saya akan menyampaikan kepada Anda profil Rasulullah SAW yang lebih komprehensif dari laporan para sahabat tadi. Saya mengutip langsung dari kitab-kitab hadis tanpa menambah dan menguranginya. Tugas Anda dan saya ialah memasukkan uraian di bawah dalam bayangan indah di benak kita. Al-Hasan bin Ali, cucu Nabi SAW yang pernah hidup bersama Nabi SAW meminta pamannya dari pihak ibu untuk menceritakan Nabi SAW kepada kita:

“Saya bertanya kepada paman saya, Hind bin Abi Halah- yang selalu berbicara tentang Nabi SAW yang mulia- untuk menceritakan kepadaku berkenaan dengan Nabi saw agar kecintaanku kepadanya bertambah. Ia berkata : Nabi Allah sangat berwibawa dan sangat dihormati. Wajahnya bersinar seperti purnama. Ia lebih tinggi dari orang-orang pendek dan lebih pendek dari orang-orang jangkung. Kepalanya agak besar dengan rambut yang ikal. Bila rambutnya itu bisa disisir, ia pasti menyisir rambutnya. Kalau rambutnya tumbuh panjang, ia tidak akan membiarkannya melewati daun telinganya. Kulitnya putih dengan dahi yang lebar. Kedua alisnya panjang dan lebat tapi tidak bertemu. Di antara kedua alisnya ada pembuluh darah melintang yang tampak jelas ketika beliau marah. Ada seberkas cahaya yang menyapu tubuhnya dari bawah ke atas, seakan-akan mengangkat tubuhnya. Jika orang berjumpa dengannya dan tidak melihat cahaya itu, orang mungkin menduga dia mengangkat kepalanya karena sombong.

Janggutnya pendek dan tebal; pipinya halus dan lebar. Mulutnya lebar dengan gigi-gigi yang jarang dan bersih. Di atas dadanya ada rambut yang sangat halus, lehernya seperti batang perak murni yang indah. Tubuhnya serasi , (semua anggota badannya sangat serasi dengan ukuran anggota badan lainnya). Perut dan dadanya sejajar. Bahu-bahunya lebar, sendi-sendi anggota badannya gempal. Dadanya bidang. Bagian tubuhnya yang tidak tertutup pakaian bersinar terang. Seberkas garis rambut yang tipis memanjang dari dadanya ke pusarnya. Di luar itu dada dan perutnya tidak berbulu sama sekali. Lengan, bahu, dan pundaknya berbulu. Lengannya panjang dan telapak tangannya lebar. Tangan dan kakinya tebal dan kekar. Jari jemarinya panjang. Pertengahan telapak kakinya melengkung tidak menyentuh tanah. Air tidak membasahinya. Ketika ia berjalan, ia mengangkat kakinya dari tanah dengan dada yang dibusungkan. Langkah-langkahnya lembut. Ia berjalan cepat seakan-akan menuruni bukit. Bila ia berhadapan dengan seseorang, ia hadapkan seluruh tubuhnya, bukan hanya kepalanya saja. Matanya selalu merunduk. Pandangannya ke arah bumi lebih lama dari pandangannya ke atas langit. Sekali-kali ia memandang dengan pandangan sekilas. Ia selalu menjadi orang pertama yang mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya di jalan.

Kemudian dia berkata: “Ceritakan kepadaku cara bicaranya.”
Ia berkata:”Ia selalu tampak sendu, selalu merenung dalam dan tidak pernah tenang. Ia banyak diamnya. Ia tidak pernah berbicara yang tidak perlu. Ia memulai dan menutup pembicaraannya dengan sangat fasih. Pembicaraannya singkat dan padat, tanpa kelebihan kata-kata dan tidak kekurangan rincian yang diperlukan. Ia berbicara lembut, tidak pernah kasar atau menyakitkan. Ia selalu menganggap besar anugrah Tuhan betapa pun kecilnya. Ia tidak pernah mengeluhkannya. Ia juga tidak pernah mengecam atau memuji-muji berlebihan apa pun yang ia makan.

Dunia dan apa pun yang ada padanya tidak pernah membuatnya marah. Tetapi jika hak seseorang dirampas, ia akan sangat murka sehingga tidak seorang pun mengenallinya lagi dan tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya sampai ia mengembalikan hak itu kepada yang punya. Ketika ia menunjuk sesuatu, ia menunjuk dengan seluruh tangannya. Ketika ia terpesona, ia membalikkan tangannya ke bawah. Ketika Ia berbicara terkadang ia bersidekap atau merapatkan telapak tangan kanannya pada punggung ibu jari kirinya. Ketika ia marah, ia palingkan wajahnya. Ketika ia tersinggung, ia merunduk. Ketika ia tertawa, gigi-giginya tampak seperti untaian butir-butir hujan es. Imam Hasan berkata: “Saya menyembunyikan berita ini dari Imam Husein sampai suatu saat saya menceritakan kepadanya. Ternyata ia sudah tahu sebelumnya. Kemudian aku bertanya kepadanya tentang berita ini. Ternyata ia telah bertanya kepada ayahnya tentang Nabi saw, di dalam dan di luar rumah, cara duduknya dan penampilannya, dan ia menceritakan semuanya.

Imam Husein berkata: ”Aku bertanya kepada ayahku tentang perilaku Nabi saw ketika ia memasuki rumahnya. Ayahku berkata: ”Ia masuk ke rumah kapan saja ia inginkan. Bila ia berada di rumah ia membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk Allah, sebagian untuk keluarganya dan sebagian lagi untuk dirinya. Kemudian dia membagi waktunya sendiri antara dirinya dengan orang lain; satu bagian khusus untuk sahabatnya yang khusus dan bagian lainnya untuk umum. Ia tidak menyisakan waktunya untuk kepentingan dirinya. Termasuk kebiasaanya pada bagian yang ia lakukan untuk orang lain ialah mendahulukan atau menghormati orang-orang yang mulia dan ia menggolongkan manusia berdasarkan keutamaannya dalam agama. Di antara sahabatnya ada yang mengajukan satu keperluan, dua keperluan atau banyak keperluan lain. Ia menyibukkan dirinya dengan keperluan mereka. Jadi ia menyibukkan dirinya untuk melayani mereka dan menyibukkan mereka dengan sesuatu yang baik bagi mereka.

Ia sering menanyakan keadaan sahabatnya dan memberitahukan kepada mereka apa yang patut mereka lakukan: “Mereka yang hadir sekarang ini harus memberitahukan kepada yang tidak hadir. Beritahukan kepadaku orang yang tidak sanggup menyampaikan keperluannya kepadaku. Orang yang menyampaikan kepada pihak yang berwewenang keluhan seseorang yang tidak sanggup menyampaikannya, akan Allah kukuhkan kakinya pada hari perhitungan.” Selain hal-hal demikian tidak ada yang disebut-sebut di hadapannya dan tidak akan diterimanya. Mereka datang menemui beliau untuk menuntut ilmu dan kearifan. Mereka tidak bubar sebelum mereka menerimanya. Mereka meninggalkan majlis nabi SAW sebagai para pembimbing untuk orang-orang di belakangnya.

Saya bertanya kepadanya tentang tingkah-laku Nabi SAW yang mulia di luar rumahnya. Ia menjawab: “Nabi SAW itu pendiam sampai dia merasa perlu untuk bicara. Ia sangat ramah dengan setiap orang. Ia tidak pernah mengucilkan seorang pun dalam pergaulannya. Ia menghormati orang yang terhormat pada setiap kaum dan memerintahkan mereka untuk menjaga kaumnya. Ia selalu berhati-hati agar tidak berperilaku yang tidak sopan atau menunjukkan wajah yang tidak ramah kepada mereka. Ia suka menanyakan keadaan sahabat-sahabatnya dan keadaan orang-orang di sekitar mereka, misalnya keluarganya atau tetangganya. Ia menunjukkan yang baik itu baik dan memperkuatnya. Ia menunjukkan yang jelek itu jelek dan melemahkannya. Ia selalu memilih yang tengah-tengah dalam segala urusannya.

Ia tidak pernah lupa memperhatikan orang lain karena ia takut mereka alpa atau berpaling dari jalan kebenaran. Ia tidak pernah ragu-ragu dalam kebenaran dan tidak pernah melanggar batas-batasnya. Orang-orang yang paling dekat dengannya adalah orang-orang yang paling baik. Orang yang paling baik, dalam pandangannya, adalah orang yang paling tulus menyayangi kaum muslimin seluruhnya. Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisinya adalah orang paling banyak memperhatikan dan membantu orang lain.

Ia berkata: kemudian aku bertanya kepadanya tentang caranya ia duduk. Ia menjawab: Ia tidak pernah duduk atau berdiri tanpa mengingat Allah. Ia tidak pernah memesan tempat hanya untuk dirinya dan melarang orang lain duduk di situ. Ketika ia datang di tempat pertemuan, ia duduk di mana saja tempat tersedia. Ia juga menganjurkan orang lain untuk berbuat yang sama. Ia memberikan tempat duduk dengan cara yang sama sehingga tidak ada orang yang merasa bahwa orang lain lebih mulia ketimbang dia. Ketika seseorang duduk di hadapannya, ia akan tetap duduk dengan sabar sampai orang itu berdiri dan meninggalkannya. Jika orang meminta sesuatu kepadanya, ia akan memberikan tepat apa yang ia minta. Jika ia tidak sanggup memenuhinya, ia akan mengucapkan kata-kata yang membahagiakannya. Semua orang senang pada akhlaknya sehingga ia seperti ayah bagi mereka dan semua ia perlakukan dengan sama.

Majlisnya adalah majlis kesabaran, kehormatan, kejujuran dan kepercayaan. Tidak ada suara keras di dalamnya dan tidak ada tuduhan-tuduhan yang buruk. Tidak ada kesalahan orang yang diulangi lagi di luar majlis. Mereka yang berkumpul dalam pertemuan memperlakukan sesamanya dengan baik dan mereka terikat satu sama lain dalam kesalehan. Mereka rendah hati, sangat menghormati yang tua dan penyayang pada yang muda, dermawan kepada yang fakir dan ramah pada pendatang dari luar.

Aku bertanya kepadanya bagaimana ia bergaul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menjawab: “ Ia ceria, selalu lembut hati, dan ramah. Ia tidak kasar dan tidak berhati keras. Ia tidak suka membentak-bentak. Ia tidak pernah berkata kotor, tidak suka mencari-cari kesalahan orang, juga tidak suka memuji-muji berlebihan. Ia mengabaikan apa yang tidak disukainya dalam perilaku orang begitu rupa sehingga orang tidak tersinggung dan tidak putus asa. Ia menjaga dirinya untuk tidak melakukan tiga hal: bertengkar, banyak omong, dan berbicara yang tidak ada manfaatnya. Ia juga menghindari tiga hal dalam hubungannya dengan orang lain: ia tidak pernah mengecam orang; ia tidak pernah mempermalukan orang; dan ia tidak pernah mengungkit-ungkit kesalahan orang. Ia tidak pernah berkata kecuali kalau ia berharap memperoleh anugrah Tuhan. Bila ia berbicara, pendengarnya menundukkan kepalanya, seakan-akan burung bertengger di atas kepalanya. Baru kalau ia diam, pendengarnya berbicara. Mereka tidak pernah berdebat di hadapannya. Jika salah seorang di antara mereka berbicara, yang lainnya mendengarkannya sampai ia selesai. Mereka bergiliran untuk berbicara di hadapannya. Ia tertawa jika sahabatnya tertawa; ia juga terkagum-kagum jika sahabatnya terpesona. Ia sangat penyabar kalau ada orang baru bertanya atau berkata yang tidak sopan, walaupun sahabat-sahabatnya keberatan. Ia biasanya berkata, “Jika kamu melihat orang yang memerlukan petolongan, bantulah ia.” Ia tidak menerima pujian kecuali dari orang yang tulus. Ia tidak pernah menyela pembicaraan orang kecuali kalau orang itu melampaui batas. Ia menghentikan pembicaraannya atau ia berdiri meninggalkannya.

Kemudian aku bertanya kepadanya tentang diamnya Nabi saw. Ia berkata: Diamnya karena empat hal; karena kesabaran, kehati-hatian, pertimbangan, dan permenungan. Berkaitan dengan pertimbangan, ia lakukan untuk melihat dan mendengarkan orang secara sama. Berkaitan dengan permenungan, ia lakukan untuk memilah yang tersisa (bermanfaat) dan yang binasa (yang tidak bermanfaat). Ia gabungkan kesabaran dengan lapang-dada. Tidak ada yang membuatnya marah sampai kehilangan kendali diri. Ia berhati-hati dalam empat hal: dalam melakukan perbuatan baik sehingga orang dapat menirunya; dalam meninggalkan keburukan sehingga orang berhenti melakukannya; dalam mengambil keputusan yang memperbaiki umatnya; dan dalam melakukan sesuatu yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat. “ (Ma’âni al-Akhbâr 83; ‘Uyûn al-Akhbâr al-Ridha 1:246; Ibn Katsir, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, 2:601; lihat Thabathabai, Sunan al-Nabi saw 102-105). (Dari Jalaluddin Rakhmat, “The Road to Muhammad”).

--------------------

ALFAATIHAH...!

يَا شَافِعَ الْخَلْقِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمْ * عَلَيْكَ نُوْرَالْخَلْقِ هَادِيَ اْلاَنَامْ
وَاَصْلَهُ وَرُوْحَهُ اَدْرِكْنِى * فَقَدْ ظَلَمْتُ اَبَدًا وَّرَ بِّنِى
وَلَيْسَ لِى ياَ سَيِّدِيْ سِوَاكَا * فَاِنْ تَرُدَّ كُنْتُ شَخْصًا هَا لِكَا

يَا سَيِّدِ ي يَا رَسُوْ لَ الله ْ (X ۷).

"YAA SYAAFI'AL KHOLQIS-SHOLAATU WASAALAAM,
ALAIKA NUUROL-KHOLQl HAADIYAL ANAAM;
WA ASHLAHU WA RUUHAHU ADRIKNII
FAQOD DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII ; (3 kali)
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA,
FA IN TARUDDA KUNTU SYAKHSHON HAALIKA".

“YAA SAYYIDII, YAA ROSUULALLOH !” ( 7 kali).

Terjemah :
"Duhai Kanjeng Nabi Pemberi syafa'at makhluq,
kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan,
duhai Nur-cahaya makhluq, Pembimbing manusia;
Duhai Unsur dan Jiwa makhluq,
bimbing, bimbing, bimbing dan didiklah diriku,
sungguh, aku manusia yang dholim selalu;
Tiada arti diriku tanpa Engkau duhai yaa Sayyidii,
Jika Engkau hindari aku, akibat keterlaluan berlarut-larutku,
Pastilah, pastilah, pasti ‘ku ‘kan hancur binasa !".

"Duhai Pemimpin kami, duhai Utusan Alloh!”
ALFAATIHAH !.

Allahu Akbar … Ternyata Rasulullah SAW Masih Hidup sampai Sekarang, DAN DEKAT DENGAN KITA !!!

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !.

Allahu Akbar … Ternyata Rasulullah SAW Masih Hidup sampai Sekarang, DAN DEKAT DENGAN KITA !!!


Penjelasan bahwa Rasulullah Muhammad saw masih hidup setelah kewafatannya saya kutipkan dari kitab Tanwirul Halak karya Imam Suyuti. Berikut kutipan dari Kitab Tanwirul Halak: Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”

Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan kita sebagai ummatnya dan beliau saw bersedih dengan melihat kemaksiatan mereka, dan beliau membalas dan menjawab shalawat dan salam serta nida' (panggilan Yaa Sayyidii Yaa Rosuulalloh, red.) dari ummatnya.

” Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam hadis yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.”

Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra’ di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan kekhususan dengan karamah.

Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Anbiya’ mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi saw bersabda: “Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala.” Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka. ‘Abdur Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Tidaklah seorang nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.” Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari.”

Imamul Haramairi dalam kitab an-Nihayah, dan ar-Rafi’i dalam kitab as-Syarah diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda “Aku dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga hari.” Imam al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan bin ar-Raghwati al-Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya: “Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya lebih dari setengah hari.” Al-Imam Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu bab tentang hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil dalil penjelasan Pemilik syari’at (Allah) dari firmanNya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki,” (QS. Ali ‘Imran: 169).

Keadaan di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian, yang dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia (sn’ada’). Apakah hal-ikhwal mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh kedudukan semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti beliau, serta bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh ganjaran kedudukan ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi Muhammad saw itu merupakan paling sempurnanya syahadah. Nabi Muhammad saw bersabda: “Aku melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra’kan berada di sisi bukit pasir merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya.”

Hal ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam ini tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh, maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang akan mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di dalam kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su’ada’ (orang-orang yang bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.

Di dalam ceritanya, Ibn ‘Abbas menuturkan ra: “Aku merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu terjadi ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam takbiratul ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara Mekkah dan Madinah. Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya, “Lembah apakah ini?”Mereka menjawab, “Lembah Azraq.” Kemudian Ibn ‘Abbas berkata, “Seolah-olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini. Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai kecil di bukit.” Ibn ‘Abbas melanjutkan kisahnya, “Seolah-olah aku melihat Nabi Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati lembah ini sambil membaca talbiyah.”

Dipertanyakan di sini, bagaimana Ibn ‘Abbas bisa menuturkan tentang haji dan talbiyah mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh pula, jika mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka, meskipun mereka berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni kampungnya amal, sampai jika telah habis masanya dan berganti ke kampung akhirat, yakni kampungnya jaza’ (pembalasan), maka habis pula amalnya. Ini pendapat dari al-Qadhi Iyadh.

Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad mereka dan meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari berpisahnya Nabi saw dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra’ dengan jasadnya ke langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.

Kesimpulannya dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, Ternyata Rasulullah SAW Masih Hidup sampai Sekarang, DAN DEKAT DENGAN KITA !!!. Bahwa Nabi saw hidup dengan jasad dan ruhnya. Dan beliau Nabi SAW melakukan aktivitas dan berjalan, sekehendak beliau di seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau dalam bentuk/keadaan seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit pun. Beliau tidak tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang wujudnya adalah ada dan hidup dengan jasad mereka.
Beliau Nabi saw sangat bergembira sekali dengan ketaatan kita kepada Alloh dan Rosul-Nya sebagai ummatnya dan beliau saw bersedih dengan melihat kemaksiatan mereka sebagai ummatnya, dan beliau Nabi SAW senantiasa membalas dan menjawab setiap shalawat dan salam serta nida' (panggilan Yaa Sayyidii Yaa Rosuulalloh, red.) dari ummatnya yang senantiasa merindukannya.

Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan ru'yah/melihat Nabi SAW, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan manaman au yaqodlotan (melek-melekan) apa adanya (seperti saat beliau Nabi SAW hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat Nabi SAW yang semisalnya.
(DZ dari http://kawansejati.ee.itb.ac.id/tanwir-al-halak).

ALFAATIHAH...!

يَا شَافِعَ الْخَلْقِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمْ * عَلَيْكَ نُوْرَالْخَلْقِ هَادِيَ اْلاَنَامْ
وَاَصْلَهُ وَرُوْحَهُ اَدْرِكْنِى * فَقَدْ ظَلَمْتُ اَبَدًا وَّرَ بِّنِى
وَلَيْسَ لِى ياَ سَيِّدِيْ سِوَاكَا * فَاِنْ تَرُدَّ كُنْتُ شَخْصًا هَا لِكَا

يَا سَيِّدِ ي يَا رَسُوْ لَ الله ْ (X ۷).

"YAA SYAAFI'AL KHOLQIS-SHOLAATU WASAALAAM,
ALAIKA NUUROL-KHOLQl HAADIYAL ANAAM;
WA ASHLAHU WA RUUHAHU ADRIKNII
FAQOD DHOLAMTU ABADAW-WAROBBINII ; (3 kali)
WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA,
FA IN TARUDDA KUNTU SYAKHSHON HAALIKA".

“YAA SAYYIDII, YAA ROSUULALLOH !” ( 7 kali).

Terjemah :
"Duhai Kanjeng Nabi Pemberi syafa'at makhluq,
kepangkuan-MU sholawat dan salam kusanjungkan,
duhai Nur-cahaya makhluq, Pembimbing manusia;
Duhai Unsur dan Jiwa makhluq,
bimbing, bimbing, bimbing dan didiklah diriku,
sungguh, aku manusia yang dholim selalu;
Tiada arti diriku tanpa Engkau duhai yaa Sayyidii,
Jika Engkau hindari aku, akibat keterlaluan berlarut-larutku,
Pastilah, pastilah, pasti ‘ku ‘kan hancur binasa !".

"Duhai Pemimpin kami, duhai Utusan Alloh!”

ALFAATIHAH !.

Friday, March 28, 2014

0033.01.317 - KEDUDUKAN AL-GHAUTS RA

 YAA  SAYYIDII  YAA  ROSUULALLOH  !
I. 01.317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

0033.01.317  -  KEDUDUKAN AL-GHAUTS RA

Paling tidak terdapat dua alasan, mengapa manusia perlu memahami keberadaan, keagungan, kedudukan dan tugas al-Ghauts Ra. Pertama, secara batiniyah Beliau Ra merupakan inti dan pusat kehidupan mahluk semesta alam. Mukmin dituntut meyakini keberadaannya. Kedua, mengetahui dan mengenal pribadinya, untuk membebaskan jiwa dari kemusyrikan serta untuk meneladani perikehidupannya. Seluruh prilaku al-Ghauts Ra, terjadi atas kehendak dan bimbingan dari Allah Swt wa Rasulihi Saw.


Kata Ghauts adalah kalimat dari bahasa arab yang memiliki arti :Pertolongan dan Penolong. Al-Ghautsu - istilah yang berlaku dalam kaum shufi -, adalah hamba Allah Swt yang ditugaskan untuk membimbing dan mengantar ummat manusia sadar kembali dan mengabdikan diri kepada Allah wa Rasulihi Saw. Sekaligus sebagai wakil Rasulullah Saw sebagai penjaga kelesterian alam. Sepeninggal Rasulullah Saw, tidak ada lagi seorang nabi. Yang ada hanyalah al-Ghauts sebagai penerus risalah Islamiyah. Melihat tugas al-Ghauts Ra sebagai pimpinan ummat (secara ruhani) untuk makrifat sadar kembali kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw serta sebagai media pemberian Allah Swt kepada makhluk, maka keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan. Tidak mungkin dalam setiap waktu, alam ini tanpa adanya al-Ghauts Ra.
 Dalam setiap lingkungan, terdapat pusat kekuasaan yang berada pada satu orang. Demikian pula dalam struktur sosial  masyarakat, tanpa adanya pimpinan yang adil dan bijaksana, sudah tentu akan terjadi kekacauan massal (caos) yang sukar terselesaikan. Lebih-lebih kebaradaan dan fungsi Pimpinan ruhani lebih penting dan lebih dominan jika dibandingkan dengan pimpinan lahiriyah. Al-Ghauts Ra atau Sufi Yang Sempurna (dalam istilah Syeh Abdul Qadir al-Jailani), diibaratkan sebagai Gua bagi para waliyullah.[1] Disamping sebagai penuntun rohani dan pemimpin para waliyullah, jiwa al-Ghauts Ra sebagai pusat pancaran dan kehendak Allah Swt dalam mengatur mahluk alam semesta. Beliau Ra sebagai pimpinan tertinggi dalam hirarki kaum shufi (mursyid kamil mukammil).

1.  Jumlah al-Ghauts Ra Pada Setiap Waktu.
Allah Swt adalah Maha Satu, Rasulullah Saw juga hanya satu, maka sudah tentu khalifah Allah-pun hanya satu. Banyak keterangan dari hadits Nabi Saw, bahwa dalam setiap waktu hanya ada satu orang yang menjadi tempat tajallinya Allah Swt. Dialah al-Ghauts Ra pada masanya.

Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra dalam kitabnya al-Yawaqit wal Jawahir juzII halaman 81. menjelasan :

 فِيْمَا بَيْنَ القَوْمِ لاَ يَكُونُ مِنْهُمْ فِي الزَماَنِ اِلاّ وَاحِدٌ وَهُوَ الغَوْثُ 

tidak ada diantara mereka (ahli makrifat), dalam setiap waktu, kecuali adanya satu hamba Allah. Dialah al-Ghauts.


Dan dalam kitab yang sama pada halaman 80 dijelaskan :

فَلاَ يَخْلُوزَمَانٌ مِنْ رَسُولٍ  يَكُوْنُ فِيْهِ وَذَاِلِكَ هُوَالقُطْبُ الذِي هُوَ مَحَلُّ نَظْرِالحَقِّ تَعَالَى مِنَ العَالَمِ كَمَا يَلِيْقُ بِجَلاَلِهِ وَمِنْ هَذَاالقُطْبِ يَتَفَرَّعُ جَمِيْعُ الاِمْدَادِالالهية علَى جَمِيْعِ العَالَمِ العُلْوِي وَالسُفلِي           
Tidak akan sepi pada setiap zaman dari seorang rasul-nya Nabi Muhammad Saw (mujaddid).[2] Dialah al-Quthbu (al-Ghuts Ra), yang menjadi tempat pancaran sinar pemeliharaan Allah kepada agama Islam dan alam. Dan kemudian dari Beliau Ra bercabang-cabanglah seluruh pemeliharaan tersebut kepada alam atas dan alam bawah.[3]

          2.  Secara Jasmani Dan Ruhani.
Dapat dimaklumi pemahaman yang berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim tentang keberadaan Ghauts Ra, masih sangat minim. Sehingga banyak diantara para kiyai yang mengatakan bahwa al-Ghauts itu hanya Syeh Abdul Qadir, Syeh Syadzili, Syeh Naqsyabandi, Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah (Qs wa Ra), dan tidak ada al-Ghauts lagi setelahnya. Padahal kesimpulan semacam ini tidak memiliki dasar dari kaidah yang benar, dan hanya sebuah persepsi atau bahkan hanya sebuah opini. Pemahaman ini harus segera diluruskan. Keyakinan seperti ini hanya lahir dari sebuah asumsi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dalam kaidah Islam.
Diantara tujuan dita’lifnya Shalawat Wahidiyah oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra, untuk meluruskan pemahaman kebaradaan al-Ghauts yang telah menyimpang. Dengan mengamalkannya secara sungguh-sungguh, seseorang akan merasakan, memahami dan membuktikan – melalui pengalaman ruhani (rukyah shalihah) – kebaradaan al-Ghauts Ra secara kassyaf dan musyahadah.  Alhamdullah – sebagai tahaddus binni’mah - banyak diantara pengamal Wahidiyah (baik dari kalangan awam atau kelompok atas) mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw dapat memahami kebaradaan al-Ghauts Ra.
Keberadaan al-Ghauts Ra – sebagaimana keterangan dalam hadis shahih -, secara jasmani dan ruhani. Dan tidak ada al-Ghauts ra menjalankan tugas sebagai khalifah Rasulullah Saw dari alam barzah atau alam kubur. Rasulullah Saw bersabda :
          إِنَّ فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثُمِائَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ اَدَمَ.  وللهِ فِيِ الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مُوسَى. وللهِ سَبْعَةٌ فِيِ الخَلْقِ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ. وللهِ فِيِ الخَلْقِ خَمْسَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ جِبْرِيْلَ. ولله فِيِ الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مِيكَائِيْلَ. وَلله فِي الخَلْقِ وَاحِدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلْبِ اِسْرَا فِيْل.
        فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ فَاذَا مَاتَ الوَاحِدُ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الخَمْسَةِ .فَاذَا مَاتَ مِنَ الخَمْسَةِ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ .فَاذَا مَاتَ مِنَ السَبْعَةِ  اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الآرْبَعِيْنَ. فَاذَا مَاتَ مِنَ الآرْبَعِيْنَ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ.  فَاذَا مَاتَ مِنَ الثَلاَثِمِائَةٍ اَبْدَال َاللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّةِ.  فَبِهِمْ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَيُمْطِرُ وَيُنْبِتُ وَيُدْفَعُ البَلاَءِ.
             Sesungguhnya didalam makhluk (alam) terdapat 300 orang yang hatinya seperti hati Nabi Adam. Dan Allah memiliki 40 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Musa. Dan Allah memiliki 7 orang, yang hatinya seperti hati Nabi Ibrahim. Dan Allah memiliki 5 orang, yang hatinya seperti hati Jibril. Dan Allah memiliki 3 orang, yang hatinya seperti hati Mikail. Dan Allah memiliki 1 orang, yang hatinya seperti hati Israfil.
          Ketika 1 orang ini mati, Allah menggantikannya dari salah satu 3 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 3 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 5 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 5 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 7 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 7 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 40 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 40 orang, Allah menggantikannya dari salah satu 300 orang. Ketika mati/ berkurang (salah satu) dari 300 orang, Allah menggantikannya dari orang awam.
          Sebab mereka kehidupan atau kematian. Sebab mereka hujan turun dan tamanam tumbuh. Dan sebab mereka bala/ musibah tertolak. [4]
          Kataمَاتَ / maata : mati, yang dirangkai dengan penjelasan اَبْدَال َاللهُ مَكَا نَهُ مِنَ الثَلا َثَةِ = Allah menggantikan kedudukannya dari salah satu 3 orang, dalam hadis riwayat Abu Nuaim al-Isfahani dan Ibnu Asakir  dari Ibnu Mas’ud Ra diatas, dengan menjelaskan keberadaan al-Ghauts Ra, bukan secara ruhani dari alam barzah, akan tetapi secara jasmani dan ruhani.
Dalam kitab al-Yawakit juz II, hlm 80, diterangkan :
وَمِنْ شُرُوطِهِ اَنْ يَكُونَ ذَا جِسْمٍ طَبِيْعِيٍ وَرُوْحٍ , وَيَكُونُ مَوْجُودًا فِي هذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِوَحَقِيْقَتِهِ  فَلاَبُدَّ اَنْ يَكُونَ مَوْجُودًا فِي هَذِهِ الدَارِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ مِنْ عَهْدِ اَدَمَ اِلَى يَوْمِ القِيَا مَةِ
Dan diantara persyaratan (keberadaan) Al Ghauts Ra : Wujud dengan rohani dan  perwatakan   jasmani pula .Dan dalam kehidupan nyata (sejak zaman Nabi Adam sampai hari qiyamat) .
          Telah banyak kitab tasawuf yang menerangkan, bahwa para al-Ghauts Ra  memohon kepada-Nya, jika sekiranya Beliau Ra wafat,  Allah Swt berkenan mengangkat putranya atau keluarga yang lain sebagai al-Ghauts untuk menggantikannya.        Dan sebagai calon pengganti, mereka berada dalam asuhan al-Ghauts sebelumnya.
Misalnya, al-Ghauts fi Zamnihi Syeh Muhammad Wafa, digantikan oleh  putranya (Syeh Ali Ibn Muhammad Wafa), al-Ghatus fi Zamnihi Syeh Ali al-Khirqani, digantikan oleh putranya (Syeh Ibrahim Ibn Ali al-Khirqani). Syeh Sari Saqti digantikan oleh keponakannya sendiri (Syeh Junaid al-Bagdadi), Syeh Baba Samasi digantikan oleh muridnya (Syeh Amir Kulal), Syeh Amir Kulal digantikan oleh murid dan kawan seperguruan, yakni Syeh Bahauddin Naqsyabandi. Syeh Abdul Qadir Jailani digantikan oleh  putranya (Syeh Abdur Razaq).  Syeh Daud Ibnu Makhla digantikan oleh Syeh Muhammad Wafa (putra dan muridnya), Syeh muhammad Wafa digantikan oleh murid putranya (Syeh Ali Ibn Wafa), Syeh Abun Najib Suhrawardi digantikan oleh keponakannya (Syeh Syihabudin Umar Suhrawardi Ra, pemilik kitab“Awarif al-Ma’arif). Dan masih banyak lagi para al-Ghauts yang penggantinya dari putranya sendiri.
3.  Gelar  Bagi Al-Ghauts  Ra
Memahami kedudukan al-Ghauts Ra merupakan bagian dari ilmu kasyyafyang tidak dapat diperoleh melalui pembelajaran ilmu, karena hanya melalui hidayah Allah Swt. Bagi mukmin yang belum mendapatkannya, merupakan sebuah kewajaran bila diantara mereka – dengan sebab pendewaanya kepada akal sebagai tempat pemahaman kebenaran -   meningkari keberadaan al-Ghauts Ra beserta tugas batiniyahnya.[5] Bahkan diantara mereka terdapat orang yang menganggap sesat terhadap ajaran yang menerangkan kebaradaan waliyullah dan al-Ghauts Ra. Kita berlindung kepada Allah Swt, agar jauh dari hal tersebut.
Berbagai macam gelar dan sebutan yang diberikan para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Semestinya banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan kepada al-Ghauts Ra. Sedangkan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain  :
1.       Insan Kamil.  (Manusia Sempurna).[6]
Dalam kitab Misykat al-Anwar[7] pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :
 فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ 
Barang siapa dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah manusia sempurna.
Gelar ini diberikan kepada Beliau al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .
Akhlak yang mulia adalah pancaran sifat Allah Swt yang terserap kedalam pribadi manusia, atau dengan kata lain akhlak adalah kondisi jiwa ketuhanan =  (حَالاَتٌ نَفْسِيَةٌ اِلَهِيَةٌ Hingga  setiap prilakunya senantiasa mandapat sinar akhlaq dari Allah yang  dapat mengubah sifat menusia dari sifat buruk menjadi sifat baik. Setiap kali manusia menyerap asma Allah Swt, maka esensi kemanusiaannya akan berubah. Perubahan dan transformasi ini seperti perubahan dalam setiap percampuran antara dua materi secara kimiawi, ibarat air bercampur garam. Demikian penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Kimya’us Sa’adah. Kekuatan al-Ghauts merupakan pancaran dari kekuatan Rasulullah Saw.
Sebagaimana penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang juga ahli dalam bidang hadis) – yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian  : [8]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. DanUlama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.
Al-Alim al—Kamil inilah yang dimaksudkan sebagai al-Ghauts Ra.
2.           Al-Quthbu (wali quthub) atau  Quthbul Wujud (Poros Wujud).[9]
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.

اِعْلَمْ حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِ أَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ  فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ

Ketahuilah, semoga Allah menjagamu. Sesungguhnya manusia paripurna itu adalah al-Quthbu, yang mana seluruh wujud dari awal sampai akhir senantiasa mengitarinyaBeliau itu hanya satu selama wujud ini masih ada. Beliau menampakkan diri dengan berbagai macam baju dan sangkar. Sedangkan asalnya nama al-Quthbu adalah untuk  Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw dalam setiap zaman bersama umat manusia dengan baju al-‘Arif  tersebut, dengan menyesuaikan keadaan zaman.

Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’rani,  halaman  82, menerangkan :
اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا
Ketahuilah, sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts),  Allah  menjaga  alam wujud ini secara keseluruhan. Barang siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah menjaga wujud alam.
Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya [10] Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi, bab “wawu” dan bab “qaf”,  dijelaskan  :
القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ,  يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ
Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun atas.
القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ
Wali Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw. Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.
Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang kaidah yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi kedudukan quthub kedalam 3 bagian : quthbul ilmi, seperti Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid al-Bushthami Ra dan quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir al-Jailani.[11]
Dan – sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu dengan Rasulullah Saw yang memberitahukan bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki ketiga-tiganya. Hal ini disebabkan Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan makrifat dari seluruh Ghauts sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai derajat mujtahid dalam bidang tasawuf dan tarekat.

3       Wahiduz Zaman (satu-satunya  hamba Allah pada zaman itu).
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
        لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَاالوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ  بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَـقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ  فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ
           Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman  pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.[12]
4.       Sulthanul Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan,  juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.
5.       Al-Mujaddid = Pembaharu / Reformer .
Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus sebagai pembaharu dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti khiththah semula dan  Beliau Ra sekaligus sebagai tauladan dalam menjalankan tuntunan khiththah tersebut .
Namun biasanya gelar Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/ atau al-Murabbi (al-Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak berpangkat al-Ghaus Ra. Ketika Beliau Ra melihat penyimpangan-penyimpangan pemahaman agama (kerancuan antara syirik dan tauhid), dalam bidang aqidah dan akhlak yang terjadi pada masanya, Beliau Ra menyusun cara atau sistem da’wah, serta jalan wushul/ makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw yang dikemas dengan lebih praktis dan sistematis untuk membawa ummat kepada jiwa Islam yang seperti khiththah semula yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw, dengan mudah dan tepat.
Diantara al-Ghauts yang sekaligus seorang mujaddid :
1).  Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).
          Beliau Ra adalah penulis kitab Quut al-Quluub. Kitab ini menjadi rujukan kaidah tasawuf oleh para pembesar sufi pada masa berikutnya. Dan pula, kitab inilah yang mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.
2).  Hujjatul Islam  Imam al-Ghazaliy (w- 1111 M).[13]
          Dalam kitab al-Munqid min al-Dlalal (jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan pengalaman batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam beribadah dan berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata niatan hati tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan kehormatan dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan tetapi menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah” yang dibangun oleh sultan Abdul Muluk. Beliau mengasingkan diri. Namun, ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya berbisik : kasihan ummat dididik oleh orang-orang yang tidak mengerti agama. Dan kembalilah Imam kebangku perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang dan mengajar, dikoreksinya niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa dirinya berjuang bukan karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan ketenaran diri. Karena merasa usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang kerahmatullah, Imam mengasingkan diri kembali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh untuk memohon hidayah-Nya agar terbebas dari penyembahan terhadap nafsu.
3).  Imam Syadzali (pendiri tarekat Syadzaliyah, w. 638 H)
4).  Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w. 896 H).
          Ketika kurang 1 minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada waktu itu, berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah dewasa, nantinya dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah bayi kecil yang diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan kepada Syeh Baba untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut sowan, Syeh berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak ini, ikutilah dia.
5).  Syeh Abdullah Umar al-Ahdali as-Sirhindi (w. 1035 H).
          Dalam syarahnya kitab “Raridul Bahyah”, yang sering disertakan dalam kitab “al-Asybah wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/ hamisy, dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.
6).  Syeh Ahmad Kamsykhanwi.
7).  Syeh Abdullah Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri tarekat Haddadiyah.
          Beliau Ra ini mengalami buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil dia tekun menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah satu kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh, banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah, Adab Sulukil Murid, Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah) dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.
8).  Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra).
          Mbah KH. Muhammad Ma’ruf Ra, Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, pernah mimpi mengitari dunia sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi subur, padahal sebelumnya tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH. Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya dapat menyadarkan ummat manusia jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau Qs wa Ra tidak meninggalkan sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan hanyalah Shalawat Wahidiyah, yang jika mau memandang dengan hati yang jernih, bebas darirasa iri, dengki dan ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang merupakan inti dari kesempurnaan keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu pula didalam shalawat Wahidiyah mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra, dan sekaligus memberikan jalan untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum dilakanakan oleh para al-Ghauts sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah menyelesaikan permasalahan keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa pengamalnya mudah bertemu Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.

* *    Catatan Penting.
                   Diantara al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324 H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke 3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah,  Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab  al-Insan al Kamil juz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir Jailani,  Imam Nawawi, Syeh Muhammad Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani, dan masih banyak lagi.
7.                 Khatmul Auliya .
Al-Ghauts berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy, bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam,  yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah Swt dalam setiap zaman.
8.       Murabby  al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.
Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar, dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan  :
  وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ
Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan Sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).

9.       Al-Jami’ul Khalqi. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat sandaran mahluk secara batiniyah.
 اِعْلَمْ اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع نَظْرِاللهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ.  وَمِنْ لَدُنْهُ يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ الرُوْحِ فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ.  هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الاَعْلَى وَالاَسْفلِ. فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم
                        Ketahuilah sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat pengungsian mahluk. Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai pengumpul mahluk. Beliau juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zamanDari diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan lahir  sebagaimana mengalirnya ruh kedalam seluruh jasad. Dari diri Beliau, Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun alam bawah. Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi Muhammad Saw.[14]
          Kedudukan sebagai pengumpul makhluk (al-Hasyir) ini diperoleh al-Ghauts ra sebagai warisan dari Rasulullah Saw.  Rasulullah Saw  bersabda :[15]
 أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَنَا أَحْمَدُ وَأَنَا المَاحِي الذِي يَمْحُواللهُ بِي الكُفْـرَ وَأَنَا الحَاشِر الذِي يُحْشَرُالنَاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا العَاقِبُ
                   Aku adalah Muhammad. Aku adalah Ahmad. Aku adalah pembasmi. Yang mana Allah membasmi kekufuran melalui Aku. Aku adalah Pengumpul. Yang mana manusia dikumpulkan dibawah tapak kaki-Ku (disekitarku). Aku adalah Nabi Penutup.
10.      Abdul Warits (hamba dari Dzat Yang Mewariskan).[16]
Dalam kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat dinamakan Abdul Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan sari makna kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri Rasulullah Saw.
لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا بِبَقَاَءِ الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ  لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ
          Karena al-Ghauts ketika sudah berada pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari maqam fana’[17] dari dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/ universal. Dan Beliau mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu diperolehnya setelah  memasuki maqam jiwa kulliyat.
Dalm kitab Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman 414 diterangkan,  setelah Nabi Muhammad Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali Ra (pendiri tarekat syadzaliyah)
          وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ  
        Pewaris sirri pimpinan rasul yang paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.
11.      Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan Menyempurnakan).
Dalam kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”(Majmu’ah Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173),  Imam al-Ghazali menerangkan tentang keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.
اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَىطَرِيْقِ اللهِ. وَهَكَذَا اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ
Sesungguhnya bagi setiap salik diharuskan adanya mursyid yang membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As kepada mahluk, sebagai bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan yang lurusSebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat, Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya, agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah. Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Maka, setiap salik wajib memiliki seorang mursyid.
Dan Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa mursyid yang benar, mendapatkan limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara langsung. Dan karenanya salik wajib menghormat kepada mursyidnya
وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَرسَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ عَلَى مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini, wajib baginya menghormatnya  secara lahir dan batin.
K.              Memahami Keberadaan al-Ghauts Ra.
                                               
          Semestinya Allah Swt melalui al-Qur’an dan beberapaa hadis, dengan jelas menganjurkan agar setiap mukmin dapat mengetahui pribadi al-Ghauts Ra. Sayang, kebanyakan manusia memahaminya dengan tanpa disertai permohonan hidayah kepada-Nya. Hingga mereka terjebak dalam pemahaman yang terbalik. Memahami pribadi al-Ghauts Ra merupakan jembatan emas untuk pembersihan jiwa dari nafsu yang senantiasa mengarah kepada kejahatan, serta untuk makrifat (mengenal) kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw secara tepat dan benar. Tanpa melalui Beliau Ra, jalan pengenalan kepada Allah Swt tidak lurus dan tidak sempurna. Dan tanpa bimbingan Beliau Ra, setan/ nafsu akan menjeromoskan manusia kedalam perbutan musyrik yang dianggap perbuatan tauhid, dan kebenaran dianggap kebatilan.
          Keterangan tentang pentingnya memahami dan bertemu dengan al-Ghauts Ra, tercermin dalam ayat al-Qur’an dan hadis antara lain :
1.                 Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu semua kepada Allah. Dan carilah wasilah (jalan/ sarana/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan bersunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.

Untuk mendekat kepada Allah Swt secara sempurna, setiap mukmin haruslah mencari dan berguru kepada sesorang yang telah mencapai/ memiliki maqam WASILAH. Dan, “wasilah” merupakan maqam/ kedudukan tertinggi disisi Allah Swt, yang dapat dicapai oleh hanya satu orang dari orang-orang yang beriman. Sebagaimana terkandung dalam sabda Rasulullah Saw :
a.       HR. Imam Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudzri Ra : [18]
  الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ 
                   Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagiMaka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
b.       Hadis diriwayatkan dari Ibnu Amr  :[19]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ  أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kamu semua mendengar (suara) muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkan. Kemudian bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
2.                 Hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda  : [20]
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَـهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْـتَسْقَـيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي, قَالَ : يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ, وَإِنْ سَـقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْـتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْـتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.
Hadis qudsi riwayat Imam Muslim diatas, dan didukung dengan hadis shahih yang lain, menerangkan bahwa :
a.            Hamba yang dimaksud, adalah hamba yang membawa sirri (nur Ilahiyah) yang membuktikan keberadaan Allah Swt.  Maka barangsiapa yang mendekat kepadanya, maka pintu hadrah Allah Swt akan terbuka baginya.
b.            Perintah membesuk hamba tersebut, sebagai isyarah dan anjuran dan sekaligus pemberitaan tentang pentingnya setiap mukmin mencari serta mengetahui “nama pribadi al-Ghauts Ra”.
c.             Mukmin yang tidak dapat mengetahui nama dan pribadinya, sudah tentu tidak dapat melaksanakan perintah Tuhan untuk membesuk dan memberi makanan atau minuman dan sekaligus tidak dapat bertemu dengan ayat-ayat Allah Swt tersebut secara musyahadah.
d.            Allah Swt menyandarkan rasa sakit, haus dan lapar dan yang diderita oleh al-Ghauts Ra, kepada Diri-Nya. Hal ini menunjukan bahwa rasa sakit dan haus serta lapar, bukan kekauatan al-Ghauts itu sendiri, tetapi pancaran dari kekuatan Allah Swt semata. Yang sekaligus sebagai pintu-pintu hadrahnya Allah Swt.
Dalam hadis lain yang sepadan arti dengan hadis Muslim diatas, dijelaskan; diantara para hamba-Nya terdapat seseorang yang Allah Swt menjadikannya sebagai pintu dan sarana mendekat serta dzikir kepada-Nya. Jika para manusia mendekat kepada seseorang tersebut, maka Allah Swt akan mudah diingat dan mudah dipahami. Sebagaimana terkandung dalam sabda Rasulullah Saw :[21]
إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ,  إِذَا رَأَوْهُ ذُكِرَ اللهُ.
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka terhadap ingat (dzikir) kepada Allah. Jika mereka melihat orang tersebut, maka Allah akan (mudah) diingat (atau dipahami).
Hadis riwayat Imam Muslim diatas didukung oleh ayat 15 surat Luqman yang memerintahkan agar mukmin mengikuti jejak orang-orang telah kembali kepada Allah Swt secara sempurna. Dengan mengikti jalan tersebut mukmin dapat kembali kepada-Nya juga : واتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ.   Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu semua kembali.Dalam ayat lain, Allah Swt memerintahkan kepada mukmin agar bertaqwa kepada-Nya dan senantiasa bersama orang-orang yang benar, baik dalam iman (terbebas dari kemusrikan) maupun pemahamannya tentang jalan menuju kepada-Nya : يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَادِقِيْنَ  : Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu semua kepada Allah, dan beradalah kamu semua bersama dengan orang-orang yang benar (Qs. at-Taubah : 119).

Berdasar hadis riwayat Imam Muslim, dan hadis riwayat Thabrani diatas yang didukung oleh firman Allah Swt, Syeh Abdul Qadir Jailani Qs wa Ra (w. 561 H), menjelaskan : [22]     
          فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
          Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya.
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :[23]
    قَلِبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan akan  terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt.
Kemampuan dan sirri yang dimiliki oleh Guru Ruhani tersebut bukan bersifat lahiriyah, akan tetapi bersifat batiniyah, yang hanya diketahui oleh orang yang berada didekatnya serta Beliau ra berkenan untuk menampakkannya. Sebagaimana kemampuan seorang olahragawan pengangkat besi. Kekuatan untuk mengangkat barbel sebarat 250 kg misalnya, tidak akan dapat diketahui, kecuali olahragawan tersebut berkenan untuk menampakkan kemampuannya serta dilihat oleh orangyang berada didekatnya atau orang yang melihatnya melalui gambar dalam rekaman visual (VCD).
Sirri dan kemampuan Mursyid Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,  Rasulullah Saw bersabda   : 
إِنَّ اللهَ عَـزَّ وَجـلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ   
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya.
Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Dan makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia tertolong.[24]
          Dengan demikian, mengetahui pribadi hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya menuju kepada jalan tersebut.
3.     Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana keterangan tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal “ajaib al-qalbi”, menjelaskan :
وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ)  لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ   
Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.
Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :
رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.  
 Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan cara yang benar. Dan keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan jadikan untuk kami pimpinan yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran dan akan hancur kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.
Dengan demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/ isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang dengan Sultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun ukhrawi.

L.                Ru’yah Shalihah [25]
Imam al-Ghazali didalam kitabnya Kimya’ as-Sa’adah, bab “ajaib al-qalbi” menerangkan bahwa didalam hati manusia terdapat dua pintu untuk menerima dan memahami ilmu. Pertama,  pintu untuk menerima ilmu lewat mimpi (rukyah hasanah). Kedua, pintu yang berhubungan dengan alam indrawi. Ketika manusia tidur, demikian Imam Ghazali, pintu indra lahir ditutup oleh Allah Swt, dan pintu batin dibuka. Ketika pintu batin dibuka, jiwa manusia dapat melihat sesuatu yang bersifat ghaib menjadi nyata. Dan ketiga, ilmu kassyaf hanya dimiliki oleh para waliyullah, yang dengannya  mata hati mereka dapat melihat Allah wa Rasulihi Saw secara tajam.[26]
          Mukjizat rasul dan karomah al-ghauts memang dapat membawa atau menambahkan keimanan seseorang. Namun iman seseorang kepada rasul atau al-ghauts semata-mata hanya atas kuasa dan izin Allah Swt, bukan karena mukjizat atau karomah. Dalam surat al-Baqarah ayat 100-101 dijelaskan bahwa orang-orang yahudi menganggap Nabi Sulaiman dapat mengendarai angin bukan karena kenabiannya, tetapi karena sebagai penyihir yang hebat yang kafir kepada Allah Swt.[27]
Dalam beberapa hadis telah diterangkan, bahwa pada zaman Rasulullah Saw, orang dapat menerima da’wah Islam disebabkan pengalaman rohani yang didapatkan sendiri atau orang lain, dan juga karena mereka melihat mu’jizat Nabi Saw.
a.                 Suatu hari Abu Jahal [28] berkata : “Sekiranya aku bertemu dengan Muhammad pasti aku akan menghasut dan mencacinya”. Dan, sesaat kemudian Rasulullah Saw datang kemudian mendekati Abu Jahal. Sedangkan, Abu Jahal tidak dapat melihat Rasulullah Saw. Dan orang-orang yang disekitar kejadian tersebut, memberitahu kepada Abu Jahal bahwa Nabi Muhammad ada disisinya. Akan tetapi Abu Jahal tetap tidak melihatnya dan bertanya-tanya : Mana Muhammad … mana Muhammad ?.
b.                 Ketika Rasulullah membaca surat as-Sajdah dengan suara nyaring, para kafir Quraisy merasa terganggu perasaannya dan berniaat menyiksa Rasulullah Saw. Tapi tiba-tiba tangan mereka terbelenggu dipundak sendiri serta seketika matanya tidak dapat melihat. Setelah mereka minta bantuan Rasulullah Saw. Mereka berkata : “Wahai Muhammad, atas nama Allah dan atas nama keluarga, kami sangat mengharap bantuanmu”. Dan, Rasulullah Saw-pun berdoa, dan sembuhlah mereka.
          Sejalan dengan metode hidayah ini Mbah Yahi Muallif Shalawat Wahidiyah Qs. wa Ra, telah menyusun sebuah doa untuk memohon kepada Allah Swt agar diberi petunjuk untuk mencari serta mendapatkan hamba (al-Ghauts ra) tersebut. Dan alhamdulillah - sebagai tahaddus binni’mah – telah banyak orang yang mengamal doa shalawat Wahidiyah[29] diberi petunjuk oleh Allah Swt tentang siapa nama dan pribadi hamba tersebut. Dengan metode hidayah ini, mukmin akan dibuka mata hatinya oleh Allah Swt hingga dapat memahami ayat-ayat (hadlrah) Allah Swt yang dititipkan pada al-Ghauts ra.
Pengalaman ruhani yang dialami oleh sebagian pengamal Wahidiyah.

1.                 Nur Jazilah (kanak kanak Wahidiyah/ Sumenep Madura) dan Ibu Mursyidah.
Nur Jazilah berserta ibunya pulang menuju kampung halaman (P. Sepudi) dengan naik perahu. Waktu itu jam 10 malam. Ketika perahu telah berada dilautan, datanglah angin besar. Seluruh penumpang perahu bingung ketakutan. Nur Jazilah menangis ketakutan sambil membaca kalimah nida’ Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah berulang-ulang. Mursidah (ibu Nur Jazilah) melihat ada seseorang berjalan diatas laut, datang kemudian memegangi perahu yang diombang ambing oleh angin dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya menahan terpaan angin. Anginpun menjadi reda, serta perahu menjadi tenang kembali. Ibu Mursidah memandangi orang yang menolong tersebut. Dan ternyata orang tersebut adalah Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.

2.      Bapak  Abdul Jamil Ridwan. (Malang/ 13-08 -1960). Jl.Semangka IX/ G 4 No :13,  Bugul Permai Pasuruan  Jawa timur.
Pada pertengahan tahun 1998. ia bermimpi menghadap kepada Beliau Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo. Kepadanya Romo Yahi Ra menunjukkan SK dari Rasulullah Saw yang isinya menerangkan bahwa Beliau Ra, sebagai Imamul Arifin pada saat sekarang.

3.      Dr. Ocin Kusnadi, SH. M.Pd. Jl. Kapuk II. Klender- Jakarta Timur).  Pramu Pendidikan Wahidiyah tahun 2004  dan Ketua PW  DKI Jakarta  (priode 2005 M).
Kami berangkat ke Kediri dengan pesawat terbang untuk menghormat pemakaman wafatnya Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra Pon-Pes Kedunglo tentang. Ketika  pesawat  telah berada diangkasa, tiba-tiba saya melihat sesuatu yang aneh. Kami melihat gumpalan mega, burung burung dan bintang berbaris dengan rapi. Mereka semua mengiringi seseorang yang berpakaian baju kerajaan. Meraka  mengucapkan :Selamat datang Ghauts Hadzaz Zaman ....... Selamat datang Ghauts Hadzaz Zaman ....... Selamat datang Ghauts Hadzaz Zaman, dengan diulang-ulang berkali-kali. Barisan itu semakin mendekat kepada pesawat. Dan ternyata Sang Raja yang diiring adalah Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra.



M.            Sikap Dan Kawajiban Salik
          Agar berhasil dalam menuju sadar kepada Allah wa Rasulihi Saw, terdapat hal pokok yang harus diperhatikan oleh setiap salik : [30]
1.            Secara batin tidak berpaling dari gurunya, dan secara lahiriyah meninggalkan hal-hal yang berseberangan dengan guru.[31]
2.            Senantiasa berdo’a kepada Allah Swt agar kita mendapat barakah, karamah dan nadzrah dari Beliau Ra. Dalam hal ini, Shalawat Wahidiyah, memberikan aurad (do’a) kepada salik yang ingin memahami pentingnya sinar radiasi batin (sallab dan Jallab) Beliau al-Ghauts Ra disisi Allah Swt.
3.            Senantiasa bersama (secara rohani) Beliau Ra, untuk memohon  tarbiyah-Nya agar kita terbebas dari kotoran  hati, sehingga   dapat  sadar  ma’rifat  Billah  wa  Rasulihi  Saw.
4.            Jika seorang mursyid wafat, wajib bagi murid mencari mursyid pengganti untuk membersihkan jiwanya.
المُرِيْدُ ِذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ  
Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya mati, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh penganti untuk membimbingnya.
            Kitab al-Anwar al-Qudsiyah-nya al-Ghauts fi Zamanihi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya.rani, w. 973 H, dalam bab “adabul murid.
4.    Mendekat  kepada  Beliau Ra dengan  pendekatan yang semestinya. Sebab  pendekatan tersebut akan terbukalah pintu hadlratullah dalam diri mansia
قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ وَحَوَاسُهَا اَبْوَابُهَا فَمَنْ تَقَرَّبَ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
  Hati seorang al-Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakan pintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan akan  terbuka baginya pintu hadlrah  Allah Swt.
Pendekatan yang semestinya, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut  :
1).          Merasa mendapat jasa dan berkah dari Syeh Yang Kamil Mukammil.
            Allah Swt berfirman, Qs. al-Baqarah : 251 :
وَلَوْلاَ دَفْعُ اللهِ النَاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الآَرْضُ وَلَكِنَّ اللهَ ذُو فَضْلٍ عَظِيْمٍ
Sekiranya Allah tidak membela manusia (kaum yang benar) untuk mengalahkan (kaum yang aniaya)  dengan kelompok lain, niscaya rusak binasalah bumi.  Akan tetapi Allah mempunyai karunia yang agung. 
Syeh al-Khathib as-Syarbini dalam kitab Tafsirnya Siraj al-Munir,  menjelaskan bahwa makna kata بِبَعْضٍ  dalam ayat  diatas, adalah sebagaimana yang dimaksud dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Hilyah al-Auliya’) dan Ibnu Asyakir yang menjelaskan tentang adanya al-Ghauts ra dalam setiap waktu, dan setiap Beliau ra wafat, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya, untuk menggantikan kedudukan ghautsiyah.
2).          Mengikuti tuntunan Beliau Ra secara lahir dan batin (ruhani dan jasmani).
3).          Memahami dan mendekat secara lahir dan batin kepada Beliau Ra dimanapun berada. (rabithah).
4).          Berakhlak kepada Beliau ra sebagaimana berakhlaq kepada Rasulullah SAW.
 فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تَتَاَدَّبَ مَعَ صَاحِبِ تِلْكَ الصُورَةِ كَتَاْدُّ بِكَ مَعَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم لَمَّا اَعْطَاكَ الكَشْفَ اَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلّم مُتَصَوِّرٌ بِتِلْكَ الصُورَةِ فَلاَ يَجُوْزُ لَكَ بَعْدَ شُهُوْدِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فِيْهَا اَنْ تُعَامِلَهَا بِمَا كُنْتَ تُعَامِلَهَا بِهِ مِنْ قَبْلُ.…. حَاشَ اللهُ وَحَاشَ رَسُولُ اللهِ... فَهُمْ خُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
      Wajib kepadamu beradab kepada pemilik Haqiqatil Muhammadiyah, sebagaimana engkau beradab kepada Nabi Muhammad Saw ketika Allah memberimu kasysyaf, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw membentuk jiwa al-Ghauts sebagai fotocopi  jiwa  Beliau Nabi SawTidak boleh bagi kamu setelah engkau syuhud kepadanya melakukan sesuatu sebagaimana yang engkau lakukan kepadanya sebelum Beliau Ra berpangkat itu. Hati-hatilah kepada Allah dan hati-hatilah kepada Rasulullah. Secara lahirnya Beliau Ra adalah wakil Rasulullah, tapi dalam hal batininyah, hakikinya Beliau adalah Jiwa Rasulullah sendiri.[32]  



Tentang kewajiban bagi salik, dalam kitab Risalah Al-Qusyairiyah, bab “adab murid kepada guru”, juga diterangkan; apabila murid  ingin cepat berhasil dalam menuju dan mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, wajib baginya menjalankan hal berikut ini antara lain  :
1.         Murid wajib meninggalkan kemulyaan dirinya yang melebihi batas. Serta merendahkan diri dan mengagungkan Guru. Karena kemulyaan diri murid yang berlebihan, merupakan racun yang dapat membunuh hati dan makrifat.
2.         Murid tidak boleh menentang guru dalam hal jalan yang ditunjukkan kepadanya. Sebab tidak mungkin Guru Mursyid Kamil Mukammil memerintahkan kejelekan atau kesalahan. [33]
Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari sahabat Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    : [34] مَنْ أَهَانَ السُلطَـانَ أَهَانَهُ اللهُ   :  Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya
Yang dimaksud mengina “Sultan” disini, kitab Dalil al-falihin, juz III dijelaskan, bahwa hal-hal  yang dapat dikatakan menghina antara lain;  menganggap ringan terhadap perintahnya. Dan yang dimaksud “Allah akan menghinakanya”, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
3.         Tujuan murid harus satu, yaitu menuju Allah Swt, berguru kepada Mursyid kamil Mukammil bukan untuk memperoleh kekuatan  mistik atau lainnya yang bersifat duniawi, akan tetapi untuk mendekat dan makrifat kepada Allah Swt secara benar.
4.         Setelah bertemu dan berguru kepada Beliau Ra, jangan sekali-sekali keluar dari barisannya. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas,  Rasulallah Saw bersabda : 
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang membenci sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
5.         Murid wajib menjaga rahasia (sirri) yang nampak pada dirinya, kecuali kepada gurunya.
6.         Murid tidak boleh menyukai dispensasi kemurahan dari guru. Dan tidak boleh mempermudah diri baik dalam kesusahan atau kedukaan. Dan tidak boleh bermalas-malasan.
7.         Senantiasa mohon doa restunya dalam segala urusan yang halal.
          Hadits riwayat Thabrani dan Abu Ya’la, Rasulullah Saw bersabda  : [35]
     إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئَا أَوْأَرَادَ عَوْنًا فِي الاَرْضِ لَيْسَ فِيْهِ أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ يَاعِبَادَ اللهِ أَعِيْنُوْنِي
Jika kamu semua tersesat tentang sesuatu atau menginginkan pertolongan diatas bumi, yang ditempat itu tidak ada penolong, maka berkatalah : “Wahai Kekasih Allah yang ahli beribadah, tolonglah kami ini.
إِنَّ للهِ خَلْقًا خَلَقَهُمْ اللهُ لِحَوَئِجِ النَاسِ وَيَفْزِعُ إِلَيْهِمْ النَاسُ فِي حَوَائِجِهِمْ
Sesungguhnya Allah memiliki hamba yang diciptakan untuk kebutuhan manusia. Dan manusia meminta tolong kepada mereka dalam segala hajatnya.
Hadis riwayat Abu Ya’la, Thabrani dan Ibnus Sunniy dari Abdullah Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [36]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَلْيُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي, يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا. فَإِنَّ للهِ  عَزَّ وَجَلَّ فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ لَكُمْ.
Ketika hewan piaraan salah satu dari kamu lepas didaerah yang sunyi, panggillah : “Wahai Hamba Allah, tolong dan ikatlah hewan piaraanku. Wahai Hamba  Allah,  tolonglah dan ikatlah hewanku”.
Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulya lagi Maha Agung memiliki seorang hamba (yang dapat) hadir (seketika), dan yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu semua.
  Dan dalam kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi, redaksi hadis tertulis :[37]
إِذَا انْفَلَتَتْ دَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فُلاَةٍ فَليُنَادِ : يَاعِبَادَ اللهِ أَحْبِسُوا عَلَى دَابَّتِي. فَإِنَّ للهِ  فِي الاَرْضِ حَاضِرًا سَيَحْبَسُهُ عَلَيْكُمْ.
Ketika hewan piaraan kalian lepas didaerah yang sunyi, panggillah : Wahai Hamba Allah, (tolong) ikatlah hewan piaraanku…... Sesungguhnya Allah diatas bumi memiliki hamba (yang dapat) hadir (seketika) yang akan mengikat hewan tersebut untuk kamu.
8.         Memahami bahwa karamah yang dimiliki oleh para waliyullah atau lainnya (paranormal), adalah pembarian Allah Swt yang dipancarkan melalui Syeh Kamil Mukammil waktu itu.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syamsuddin al-Hanafi Ra (w. 847 H) menjelaskan, bahwa karamah yang muncul dari para wali dimanapun mereka berada\ pada hakikinya memancar dari al-Ghauts Ra pada waktu itu.[38]
اِذَا ماتَ الوَالِيُّ اِنْقَطعَ تَصَرَّفُهُ فِي الكَوْنِ مِنَ الاِمْدَادِ وَاِنْ حَصَلَ مَدَدٌ لِلزَائِرِ بَعْدَ المَوْتِ اَوْ قَضَاءُ حَاجَةٍ فَهُوَ مِنَ اللهِ تَعَالَى عَلَى يَد القُطْب صَاحبِ الوَقْتِ يُعْطِي الزَائِرَ مِنَ المَدَدِ عَلَى قَدْرِ مَقَامِ المَزُوْر
Ketika wali mati, maka karomahnya dalam kehidupan ini telah berhenti apabila parapeziarah makam wali tersebut mendapatkan berkah, itu (bukan dari karomah wali itu), melainkan berkah itu dari Allah yang dipancarkan dari kekuatan wali Quthub (Al-Ghauts) penguasa waktu saat itu. Peziarah diberi berkah sesuai kadar ketinggian derajat wali yang diziarahi.
9.         Meyakini bahwa Beliau Ra mendapat pancaran langsung dari Rasulullah Saw. Maka, menentang Guru Yang Kamil berarti menentang Rasulullah Saw.
    Hadits riwayat Muslim dan Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :[39]
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَا نِي
Barang siapa yang taat kepada Amir –Ku [40] berarti ia taat kepada-Ku (Rasulullah), dan barang siapa taat kepada-Ku, berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada amir (Ghauts)-ku, berarti ia durhaka kepadaku.
  Dalam kitab al-Insan al-Kamil Syeh Abdul Karim al-Jiliy, para waliyullah dan ulama sufi memfatwakan  :
إِنَّهُ لاَيَزَالُ يَتَصَوَّرُ فِي كُلِّ زَمَانٍ بِأَكَابِرِهمْ لِيُعْلَى شَأْنُهُ فَهُمْ حُلَفَاءُهُ فِي الظَاهِرِ وَهُوَ فِي البَاطِنِ حَقِيْقَتُهُمْ
Sesungguhnya Rasulullah Saw senantiasa membentuk (jiwanya) pada setiap zaman dengan pembesarnya ummat manusia, agar terhormat derajatnya. Maka pembesar tersebut merupakan khalifahnya secara lahir, sedangkan Beliau Saw merupakan batiniyahnya pembesar itu.

*. Untuk menutup bahasan dalam makalah ini, perlu juga merenungkan firman Allah Swt, hadis Nabi Saw dan fatwa para ulama berikut ini  :
1.     Firman Allah Swt, Qs. an-Nur : 55
وَعَدَ اللهُ الذِيْنَ امَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفِنَّهُمْ يِي الاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَالذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنّنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمْ الذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبـَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعـْدِ خَـوْفِهِمْ أَمْنًا يَعـْبُدُونَنِي وَلاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal yang sholeh, bahwa sungguh-sungguh (Allah) akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana (Alah) menjadikan orang-orang yang sebelum mereka. Dan sungguh (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai-Nya untuk mereka. Dan (Allah) benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun 

Imam Ibnu Katsir, berkaitan dengan ayat ini juga memberi tafsiran, bahwa ini merupakan mukjizat Nabi Saw yang mengetahui sesuatau yang akan terjadi, dan sebagai pemberitaan Allah swt kepada pengikut Rasulullah Saw  :
    هَذَا وَعْدُ مِنَ اللهِ لِرَسُولِهِ بِأَنَّهُ سَيَجْعَلُ أُمَّتَهُ خُلَفَاْ الآَرْضِ
Ini adalah janji dari Allah kepada rasul-Nya, bahwa sesungguhnya (Allah) akan menjadikan ummat-Nya sebagai kholifah dibumi.
Arti dari firman Allah Swt ini juga – demikian penjelasan tambahan dari Imam Ibnu Katsir – memperkuat dengan hadis Nabi Saw,  yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim  :
لاَيَزَالُ طَائِفَةُ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلّهُمْ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ – وفِي رِوَايَةٍ – حَتَّى يُقَاتِلُونَ الدَجَّالَ – وَفِي رِوَايَةٍ – حَتّى يَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ.  وكُلُّ هَذِهِ الرِوَايَةِ صَحِيْحَةٌ وَلاَ تُعَارِضُ بَيْنَهَا
Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok manusia yang memperjuangkan kebenaran, yang mana tidak dapat memberi madlarrat kepada mereka orang-orang yang menghinakannya, sampai hari kiamat.  
Dan dalam riwayat lain : “sampai mereka dapat membunuh dajjal”. Dan  dalam riwayat lain  : “sampai turunnya Nabi Isa Ibn Maryam”.
Setiap riwayat dalam hadis ini adalah shahih, tanpa adanya pertentangan antara hadis satu dengan hadis lainnya.
Sedangkan Imam Qurthubi, dalam memberi penjelasan ayat 55 surat an-Nur ini dengan menyertakan sabda Rasulullah Saw   :   
 زَوِيتْ لِي الاَرْضَ فَرأَيْتُ مَشَارِقَهَاوَمغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ ملَكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا

Sesungguhnya Allah telah melipat bumi untuk-Ku, sehingga Aku dapat melihat bagian timur dan bagian baratnya.  Dan akan sampai kepada raja ummat-Ku sebagaimana yang bumi dilipat untukku. 

Dari kedua tafsir ini – sebagaimana hadis Nabi – dapat dipahami bahwa keberadaan khalifah Allah Swt itu sampai hari kiamat, sampai terkalahkannya Dajjal dan sampai turunnya kembali Nabi Isa As diatas bumi ini. Dan para khalifah atau pimpinan rohani tersebut mendapat anugrah dari Allah sebagimana anugrah yang diberikan kepada Rasulullah Saw.
2.                 Berkaitan dengan tugas dan kedudukan Syeh Mursyid Ra sebagai wakil Rasulullah Saw, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra menjelaskan  :[41]
فَمَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ وَلَهُ صَاحِبٌ يَهْتَدِي بِهُدَاهُ وَيتْبَعُ مَذْهَبَهُ وَيَهْدِي هَدْيَهُ. ثُمَّ يَخْلِفُهُ مَكَانَهُ وَيَقُوْمُ مَقَامَهُ
           Tidak ada seorang Nabi, kecuali ia memiliki sahabat[42] yang mengharapkan petunjuk dari petunjuknya, yang mengikuti madzhabnya, yang mendapatkan petunjuk dengan petunjuknya, yang menjadi khalifahnya dan yang menduduki maqamnya.
3.                 Syeh Nabhani Ra dalam kitabnya Sa’adah ad-Daraini, dan Syeh Shawi dalam kitab tafsirnya Hasyiyah Shawi, memberi penjelasan tentang kedudukan Rasulullah Saw.
مَنْ تَوَجَّهَ وَتَقَرَّبَ اِلَى اللهِ دُوْنَ التَوَسُّل بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضّلَّ سَعْيُهُ وَخَسِرَ عَمَلُهُ
Barang siapa mendekat dan menghadap kepada Allah tanpa berperantara dengan Rasulullah Saw, maka tersesatlah jalannya serta merugi amalnya.  
                   Al-Ghauts Ra mewarisi dan mewakili tugas Rasulullah Saw sebagai tempat tawassulnya mahluk.
Syeh Nabhani dan Syeh Shawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa al-Ghauts dapat dijadikan wasilah untuk memohon pertolongan dan menyelesaikan segala hajat.
          Rasulullah Saw bersabda :
        لَوْلاَ أَنَّ الشَيَا طِيْنَ يَحُومُونَ عَلَى قُلُوبِ بَنِي أَدَمَ لَنَظَرُوا مَلَكُوتِ السَمَوَاتِ
 Jika sekiranya setan-setan tidak mengerumuni hati anak cucu Adam, niscaya mereka akan dapat melihat kerajaan langit (alam malakut).
Rasulullah Saw bersabda : [43]
  لَوْ تَعْلَمُونَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
            Jika sekiranya kamu semua dapat mengetahui sebagaimana yang Aku (Rasulullah) ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis.
4.                 Dalam meningkatkan iman, tidak boleh terjebak dalam kesesatan sebagaimana kesesatan kaum Nabi Isa As.  Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah, ayat 17 dan 72  :
 لَقَدْ كَفَر الذِيْنَ قَالُوا إِنَّ اللهَ هُوَ المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَم 
 Sungguh, niscaya kufur orang-orang yang mengatakan : Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putra Maryam.
Dalam menjelaskan ayat ini, Syekh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra mengatakan  :
فَكُفْرُهُ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ جَعَلَ نَاسُوتَ عِيْسَى إِلَهًا  كَمَا أَنَّهُ يَكفُرُ أَيْضًا بِكُفْرِهِ بِالرَسُولِ أَوْ بِبَعْضِ كِتَابِهِ
Kekufuran (kaum Nabi Isa As) dikarenakan menjadikan kemanusiaan Nabi Isa sebagai Tuhan. Sebagaimana kekufurannya kepada Rasul atau kepada sebagian kitab Allah.  Kitab al-Yawaqiit wa al-Jawahir, juz I dalam bahasan pertama.



5.            Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ali ad-Daqaaq Ra memfatwakan :
      التَائِبُ مَنْ لاَيَنْسَى ذَنْبَهُ Orang yang benar-benar taubat adalah orang yang tidak pernah lupa dosa-dosanya.[44]

Al-Fatihah                                                    x  1   
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah.......                  x  1
Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghaus                x  3   
Al-Fatihah                                                    x  1


والحمد لله ربّ العالمين

والذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الكِتَابِ هُوَ الحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا.
Dan  Dia (Allah)  Dzat  Yang mewahyukan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an yang benar.  Dan yang membenarkan sesuatu
yang ada disisi-Nya.
Kemudian Kami (Allah) mewariskan (al-Qur’an) kepada orang yang Kami pilih diantara  hamba-hamba Kami.

(Qs. Fathir : 31 - 32)




[1].    Syeh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya al-Ghunyah juz II dalam “kitab adabul muridin” pasal II menjelaskan :
       مَحْمُولُ القُدَرِ كُرَّةُ المَشِيْئَةِ, منْبَعُ العُلُومِ وَالحِكَمِ, بَيْتُ الأَمْنِ وَالفَوْزِ, كَهْفُ الأَوْلِيَاءِ وَالأبْدَالِ, مَنْظَرُ الرَبِّ 
(Sufi Sempurna) adalah tempat menyimpan qadar dan bola (bergulirnya) kehendak, memancarnya ilmu dan hikmah, rumah kemanan dan kemulyaan, guanya para wali dan abdal, dan tempat pancaran cahya cinta Tuhan..
[2].    Tugas merreka membaharui system da’wah yang telah ada dan yang disusun oleh para ulama pada waktu itu atau sebelumnya untuk mengembalikan jiwa Islam sebagimana aslinya.
[3].    Keterangan yang sepadan juga terdapat dalam kitab Sa’adah ad-Daraini,  Syawahid al-Haq, (Syeh Ismail an-Nabhani Ra), al-Insan al-Kamil, (Syeh Abdul Karim al-Jilliy Ra), Kitab at-Ta’rifat (Syeh Ali Al-Jurjani Ra), Jami’ul Ushul fil Auliya’  (Syeh Ahmad Al-Kamasykhanawi Ra), al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilli.
[4].    HR. Abu Nuaim al-Isfahani dalkam kitab al-Hilyah, dan Imam Abul Yaman Ibn Asakir dalam kitab Tarikh Damsyiq dari sahabat Ibnu Mas’d.
[5].     Adalah al-Juwaini (salah  dosen diuniversitas al-Azhar kairo Mesir) yang buta matanya, dan dalam penyampaian kuliahnya, menentang keberadaan waliyullah termasuk al-Ghauts Ra. Waktu itu Imam Ibnu Hajar al-Haitami merupakan mahasiswa termuda (masih umur 14 tahun). Dengan keberanian dan keteguhan iman, al-Haitami berkata : Pak Dosen, janganlah membicarakan masalah yang bukan bidang keahlianmu. Beranikah kamu, jika saya hadapkan kepada orang yang ahli dalam bidang tersebut. Siap, jawab al-Juwaini. Al-Haitami mengajak al-Juwaini menghadap kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Zakariya al-Anshari Ra. Guru, bagimana jika ada sesorang yang meningkari keberadaan waliyullah terutama al-Ghauts Ra, kata al-Haitami kepada Syeh Zakaria. Siapa orangnya, wahai anak-ku ?. Jawab Syeh Zakaria. Al-Haitami berkata : Ini orangnya, al-Juwaini.  Syeh Zakaria memandang kepada al-Juwaini dengan pandangan yang tajam, seraya berkata : O, begitu….. kamu, wahai al-Juwaini, yang diulang sampai 3 kali. Tiba-tiba, al-Juwaini matanya dapat melihat serta menatap wajah Syeh Zakaria. Dia ketakutan dan kemudian lari kencang, sambil berkata dengan menangis : Wahai Guru, aku sekarang percaya, dan kamulah orangnya yang panggil al-Ghauts, maafkan aku, doakan aku. Lihat kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh Nabhani dalam bahasan hadis Ghautsiyah.
[6].     Lihat kitab Misykatul Anwar-nya al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra, dalam pasal kedua. Atau buku Insan Kamil Dalam Islam-nya M. Dawam Raharjo. Atau bukuManusia sempurna, Pandangan Islan Tentang Hakikat Manusia, Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera tahun 2001, hal 9–17. Dan buku Manusia Citra IlahiOleh Dr. Yusnaril Ali, penerbit Paramadina Jakarta, tahun 1997 halaman 111–128. Dan kitab Kimya’us  Sa’adah nya al-Ghazaliy. Dan juga dalam buku Tasawuf antara agama dan filsatfat, Dr Ibrahim Hilal. Lihat juga dalam kitab Jami’ul Ushul Fil ‘Auliya’,  hlm  110 – 111.
[7].     Lihat Majmuah Rasail lil Ghazali (cet. I/ tahun 1416. Darul Fikri, Bairut, Libanuon, halaman 283).
[8].     Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[9].    kitab Insanul Kamil juz II bab 45, dan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Nabhani dalam bab IX  tentang “ru’yatun nabi”, halaman 429.
[10] .  Kitab at-Ta’rifat-nya Syeh Ali al-Jurjani, percetakan “Dar al-Kutuub al-Ilmiyah” Beirut – Libanon, cetakan ke 3, tahun 1404 H, bab “qaf”, hlm : 177 – 178.
[11].      Karya Muhammad Ibn Zain Ibn Shamit, perc. Dar al- Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Bairut, yang dinukil oleh Idrus Abdullah al-Kaf, dalam buku “Bisikan Bisikan Ilahi”, pada bab I, terbitan Pustaka Hidayah Bandung
[12].    Kitab Tanwir al-Qulub Syeh Amin al-Kurdi, hlm 362. Penjelasan lebih lanjut, lihat kitab Tanwirul qulub nya Syeh Amin Al Kurdi , percetakan Bairut , halaman  36
[13].   Kitab  Bughiyatul  Mustarsyidin, oleh Sayyid Abdur Rahman bin Muhammad Al-Hadlramiy halaman 6 dan  299. Lihat  buku Transendensi Ilahi, terjemahan darimaqhashidul asna Imam al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif , Surabaya tahun 1999 M, hlm  9 – 19.  Penjelasan tentang seorang Mujaddid dan sekaligus al-Ghauts Ra, dapat dilihat dalam buku “Kontemplasi Dan Dzikir Dalam Tasawuf”-nya Dr. Mir Valiuddin, atau buku “Bisikan-Bisikan Ilahi” tulisan Dr. Al-Idrus Al-Kaf.
[14].   Kitab Jami’ al-Ushul Auliya’ nya Syeh Kamasykhanawi, hlm 4, kitab at-Ta’rifat nya Syeh Ali al-Jurjani, bab “qaf”, kitab Syawahid al-Haq-nya Syeh Nabhani dalam bab silsilah tarekat Syadzaliyah).
[15].   Hadis riwayat Imam Bukhari (Shahih Bukahri, nomer hadis : 2896), Imam Tirmidzi(Syamaail al-Muhammadiyah bab 51, hadis nomer hadis : 306, dan Sunan Timidzi, nomer hadis: 2842, Imam Malik (al-Muwaththa’ hadis terakhir), Muslim (Shahim Muslim, nomer hadis : 2354). dan Kitab Jala’ al-Afham, bab asma Nabi Saw, kitab As-Syifa bab “asma rasul”, kitab Dalil al-Falihin bab “Asma Rasulullah Saw”, dan  kitabSiraj al-Munir  II/ 18.
[16].   Sebelum mencapai maqam Abdul Warits ini, setiap hamba Allah Swt yang akan dipilih menjabat wali al-Ghauts, Beliau Ra memasuki maqam Abdul Baqi (hambanya Allah Dzat Yang Abadi).  Dalam ilmu tasawuf, setiap sufi akan memasuki maqam dan akan mendapat hal dari Allah Swt.
[17].   Imam al-Ghazali memandang Fana’ dan Ma’rifat  sebagai “maqam”, sedangkan Imam al-Qusyairi memandang sebagai “hal”.
[18].   Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri ra. Kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada  juz II dalam bab “wawu”.
[19].   HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada  juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[20].    Shahih Muslim dalam ‘Iyadatul Maridl.
[21].    Hadis riwayat Imam Thabrani dari jalur Abdullah Ibn Mas’ud. Imam Suyuthi dalam kitabnya Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif dan nun”, mengatakan hadis ini berderajat hasan.
[22].    Kitab al-Ghunyah li Thaalibiy  al-Haqqi dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal pertama.
[23].    Kitab Thabaqaat al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu Makhala”. 
[24].    Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.
[25].    Lihat kitab Dalail an-Nubuwwah –nya Imam Baihaqi. Dalam kitab ini tertelus hadis-hadis  yang menerangkan bahwa para sahabat meningkat iman dan taslimnya kepada Rasulullah Saw, setelah mendapat pengalaman ruhani.
            Tentang rukyah shalihah, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H, sebagai murid kesayangan dari Ibnu Taimiyah) dalam kitabnya Jala’ al-Afham dalam pasal tempat shalawat  ke 21 meceritakan rukyah shalihah dari Abdullah Bin al-Hakam. Ia berkata : Aku bermimpi melihat Imam Syafi’i. Aku bertanya kepadanya : Apa yang dilakukan Allah kepada Tuan ?. As-Syafi’i menjawab : Allah menyayangiku, mengampuni dosaku dan memberikan surga kepadaku. Aku bertanya lagi : Mengapa tuan dapat mencapai hal tersebut ?.  As-Syafi’i menjawab : Aku bershalawat kepada Rasulullah Saw ketika menta’lif shalawat serta menulisnya dalam kitabku (ar-Risalah).
                        Dalam kitab yang sama, Ibnul Qayyim juga menulis rukyah shalihah tentang para ulama ahli hadis. Setelah wafat mereka (para ulama ahli hadis), banyak para ulama setalahnya yang mimpi bertemu mereka dalam keadaan gembira dan bahagia serta mendapat tempat disurga. Para ulama bertanya kepada mereka : Mengapa tuan-tuan memperoleh hal seperti ini ?. Jawab mereka : Karena kami menyanjungkan shalawat  kepada Rasulullah Saw setiap menulis hadisnya.
[26].    Lihat kitab terkecil karangan Imam Ghazali Kimya’ as-Sa’adah (dalam Majmu’ah Rasail lil Ghazali). Kitab ini telah diterjemahkan oleh Gus Mus (Rembang – Jawa tengah), dengan judul Metode Tasawuf al-Ghazali serta diberi pengantar oleh KH. Sahal Mahfud ( Kajen – Pati -  Jawa tengah).
[27].    Lihat kitab Lubabun Nuqul fii Asbabin Nuzul, Imam Suyuthi dalam surat al-Baqarah ayat 100 – 101.
[28].    Hadis riwayat Abu Nuaim dari sahabat Ibnu Abbas. Lihat kitab Lubabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul-nya Imam Jalaluddin Suyuthi, dalam penjelasan turunnya surat Yasin ayat 1 – 10.
[29].   Meskipun rukyah shalihah merupakan karunia Allah Swt yang sangat besar, namun Perjuangan Wahidiyah bukan berdasar rukyah shalihah semata, akan tetapi (dan yang paling utama) berdasar nash-nash yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Hadits, serta norma-norma kebaikan yang berlaku dalam masarakat.
[30].      Banyak para ulama yang telah menjelaskan tentang adab salik kepada Guru Mursyid. Antara lain:
a.      Kitab   al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra.
b.      Kitab Risalah Al-Qusyairiyah-nya Imam Qusyairi.
c.       Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani.
d.      Kumpulan kitab kecil Imam Ghazali (Majmu’ah Rasail lil Ghazali).
e.      Kitab Bugyah al-Murtasyidin-nya Syeh 
[31].      Kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra, dalam bab “maa yajibu ‘alal mubdi” pasal kesatu.
[32].   Kitab Insan al-Kamil, juz II/75 bab “insan al-kamil”.
[33].    Lihat  buku Transendensi Ilahi , buku ringkasan tiga karya Al-Ghazaliy, penerbit Pustaka Progressif, Surabaya tahun  1999 M, halaman  9 – 19. Adab murid kepada Guru Kamil Mukammil, juga terdapat dalam kitab Awarif al-Ma’arif  nya Syeh Suhrawardi, atau kitab al-Anwar al-Qudsiyah as-Sya’rani, kitab  “Misykatul Anwar“ (kitab “Majmu’ah Rasail Al-Ghazali).
[34].      Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[35].    Kitab Mafahim nya  Syeh al-Maliki, kitab Jami as-Shagir.
[36].    Kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi, dalam hadis nomer  :  610.
            Dan dalam kitab ini pula, berkaitan karamah waliyullah/ al-Ghuats Ra yang dimaksud dalam hadis ini, Imam Nawawi (w. 676 H) menceritakan pengalaman pribadinya : “bahwa suatu saat ia bersama rombongan dengan membawa beberapa hewan yang akan dijual. Ditengah jalan, salah satu hewan lepas. Sedangkan para rombongan tidak dapat menangkapnya. Imam Nawawi mengajak seluruh rombongan untuk melaksanakan nida’ (panggilan kepada waliyullah/ al-Ghauts ra tersebut) dengan khusyu’. Dan Allah Swt menampakkan karamah waliyullah tersebut, dengan seketika hewan yang lepas tadi, berhenti tanpa sebab lain, kecuali sebab kalimahnida’ kepada waliyullah tersebut.
Pada waktu Syeh Nawawi ini yang menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abul Abbas al-Mursyi Ra, w. 686 H).
[37].    Imam Suyuthi,  Jami’ as-Shagir jilid I dalam bab “alif”.
[38].    Kitab “Tahrir Ad Durar” atau “Manaqib al-Auliya” nya Misbah Zain Al Mushthafa, terbitan maktabah al balagh, Bangilan Tuban jawa timur tanpa tahun, bab “Syamsudin Hanafi” . Kitab ini menukil dari kitab Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, baik juz I atau II
[39].      Lihat kitab Dalil al-Falihin juz III, bab “wujuub tha’at wulah al-amri”, nomer hadis : 09. Dan kitab Al Syifa  Bita’riifi Huquq al Mushthafa -nya Al Qadli Abul Fadlal ‘Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), perct. “dar al-kutub al-‘ilmiyah”, Beirut Libanon, tahun 2004/1424, juz II, dalam bab tha’aturrassul. Para ulama ahli hadis, menyatakan bahwa Syeh ‘Iyadl ini, perawi hadis yang tsiqqah (dapat dipercaya).
[40].   Tafsiran kaum sufi dan para waliyullah yang dimaksud amir dalam hadis ini adalah Ghauts Ra.
[41].      Kitab al-Ghunyah, juz II dalam bab “maa yajibu ‘alal mubtadi” pada pasal kesatu.
[42].      Murid yang setia kepada Guru Ruhani – adakalanya disebut dengan sahabat. Denikian keterangan Syeh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah.
[43].    HR Muslim dan Trimidzi, dari sahabat Abu Hurairah dan Ubadah Ibn Shamit.
[44].    Fatwa al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ali ad-Daqaq Ra (guru dari al-Ghauts fii Zamanihi Imam Qusyairi Ra), kitab Risyalah al-Qusyairiyah.