Monday, March 3, 2014

030.01.317 - MUJAHADAH (Nida' Empat Penjuru, Tasyafu’ Dan Istighatsah Dengan Berdiri).

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 -  "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"

030.01.317 - MUJAHADAH (Nida' Empat Penjuru,   Tasyafu’ Dan Istighatsah Dengan Berdiri).

Bahasan  3
Nida’ Empat Penjuru

A.               Sunnah Dan Bid’ah.

Nida’ empat penjuru termasuk jenis amal shalih yang dizinkan oleh sunnah Rasulullah Saw. Dan agar kita tidak memiliki anggapan bahwa nida’ empat penjuru sebagai amalan bid’ah (tidak ada dalam sunnah Islam), ada baiknya jika terlebih dulu memahami tentang makna sunnah dan bid’ah secara singkat.

1.                 Perbedaan dan Persamaan
Sampai saat ini dalam tubuh ummat Islam masih terjadi perbedaan dalam memberikan penafsiran tentang makna sunnah dan bi’ah. Masing-masing mendakwakan diri bersumber dari pedoman dalam al-qur’an dan al-hadis. Tujuan mereka sama, agar setiap muslim dalam menjalankan syariah Islam tidak tercampuri oleh prinsip-prinsip yang bertentangan dengan kaidah syariah Islam.

Perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dalam kehidupan. Namun yang sangat disayangkan perbedaan tersebut sering ditunggangi oleh interes ego individual atau ego kolektif, yang pada akhirnya berubah menjadi perselisihan, dan kemudian menimbulkan ketegangan antara satu paham dengan paham lainnya yang tak kunjung usai. Bahkan yang sangat ironis lagi,  diantara mereka - karena dorongan ego - terdapat orang yang mengklaim bahwa sunnah rasul adalah suatu paham atau ajaran yang hanya sesuai dengan pemahaman dan pemikirannya, sedangkan pendapat orang lain berseberangan dan menyimpang dari sunnah. Hanya tafsiran dan uraian dari dirinya atau kelompoknya saja yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw. Akibat dari pemikiran sempit serta beraroma nafsu semacam ini, jika ada orang yang berseberangan dengan tafsiran dan pikirannya, cepat-cepat dituduh telah berseberangan dan menyimpang dari sunnah rasul, padahal baru berseberangan dengan pendapat dan pemikirannya (Semoga Allah membebaskan kita dari belenggu arogansi ilmiyah serta belenggu nafsu semacam ini).[1]

Kelompok pertama, mengatakan : amalan apa saja yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, merupakan amalan yang tidak boleh dilakukan. Menurut kelompok ini, Islam secara lahiriyah dan batiniyah telah sempurna, dan karenanya tidak perlu lagi ada tambahan dalam bentuk apapun. Menurut pengakuan mereka, pendapat ini didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw, yang antara lain :

a.                 Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah  : 3 :

اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الاِسْلاَمَ دِيْنًا

Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kamu semua agamamu, dan telah Aku lengkapkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridlai untuk kamu Islam sebagai agama.

b.                 Hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Ra, Rasulullah Saw bersabda :[2]

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُو رَدٌّ.

Barang siapa yang mengadakan hal baru, yang tidak  ada dalam agama kita ini, maka amalan itu tertolak.

c.      Hadis dari ‘Irbadl Ibn Sariyah, Rasulullah bersabda : [3]

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ

Takutlah kamu semua tentang perkara yang baru. Sesungguhnya semua bid’ah  (perkara yang baru) itu sesat.
Ayat dan hadis diatas, oleh kelompok pertama ini dijadikan pijakan penentuan hukum dan arti kata bid’ah. Diantara fatwa mereka :

1.     Ajaran Islam telah sempurna, dan tidak lagi memerlukan tambahan. Serta sesuatu yang baru dalam agama (tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw) adalah bid’ah yang sesat.
2.     Menambah amalan baru didalam Islam, berarti menganggap Islam belum sempurna dan menganggap bodoh kepada Nabi Muhammad Saw. Karena membawa tuntunan Islam belum sempurna.
3.     Untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (ibadah mahdlah)[4], muslim sudah dapat mencukupkan diri dengan amalan shalat, puasa, zakat, haji, dzikirulllah serta amal shaleh yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Amalan yang tidak ada pada zaman Rasulullah Saw, merupakan amalan baru (bid’ah) yang tidak perlu diikuti dan yang harus diberantas.[5]

Sedangkan kelompok kedua, mengatakan; memang benar ajaran Islam telah sempurna dan tidak lagi memerlukan tambahan. Namun yang perlu diperhatikan, diantara wujud kesempurnaan tersebut adalah adanya 3 (tiga) sunnah dalam Islam yang hakikinya merupakan satu sunnah saja. Sebagaimana tercermin dalam hadis :

1.     Rasulullah Saw berabda : [6]

أُصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَمْعِ وَالطَاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ, وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَاشِدِ يْنَ المَهْدِ يِّيْنَ عَضُّواعَلَيْهَا بِالنَوَاجِدِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الاُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ

Aku berwasiyat kepadamu semua dengan taqwa kepada Allah, serta mendengarkan dan mentaati (perintah pimpinan). Walaupun sekiranya memimpin atas kamu semua seorang hamba habasyi (sahaya). Dan sesungguhnya diantara kamu semua yang hidup (pada masa itu), akan melihat banyak perbedaan. Wajib bagi kamu semua perpegangan dengan sunnah-Ku dan sunnah khulafaur rasyidin (yang mendapat petunjuk Allah). Gigitlah sunnah tersebut dengan geraham. Takutlah kamu semua tentang perkara yang baru. Sesungguhnya semua bid’ah  (perkara yang baru) itu sesat.

Makna hadis riwayat Abu Daud diatas bukan berarti menunjukkan adanya dua sunnah (sunnah rasul dan sunnah khulafaur rasyidin). Yang mana satu dengan lainnya saling menandingi. Akan tetapi hanya satu sunnah, yakni Sunnah Rasulullah Saw. Sunnah rasul sebagai pokok dan inti sunnah. Sedangkan sunnah khulafaur rasyidin sebagai sunnah penjelasan dan penjabaran.

2.     HR Imam Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [7]

مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزَرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ

Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Dan siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan hadis ayat 3 surat al-Maidah diatas, antara lain :

a.        Sunnah rasul merupakan pedoman pokok dan inti dalam Islam yang tidak perlu lagi ada tambahan didalamnya. Dan jika ada seseorang menambah atau menyelipkan suatu pedoman baru didalamnya, disebut pelaku bid’ah yang sesat.
b.       Sunnah sahabat atau sunnah ulama, bersifat tidak paten dan sementara (baik dalam waktu atau untuk daerah tertentu). Yang artinya suatu waktu akan disempurnakan oleh generasi berikutnya, atau hanya berlaku pada daerah tertentu. Namun ada juga sunnah sahabat dan ulama yang yang dapat dilaksanakan dalam semua waktu atau semua daerah muslim.
c.        Sunnah sahabat atau ulama, bukan merupakan tandingan atau tambahan terhadap sunnah rasul, yang dapat dikatakan bid’ah. Akan tetapi merupakan penjelasan dan penjabaran yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw sendiri.
d.       Sebagai pedoman pokok dalam hukum Islam, sunnah rasul berlaku untuk setiap zaman, dan akrenanya bersifat ringkas, padat makna dan mencakup segala aspek kehidupan.
e.        Bagi ulama yang tidak ahli, tidak diizinkan mengulas atau menjabarkan sunnah rasul. Mereka dianjurkan mengikuti (taqlid) sunnah sahabat dan ulama.
Sedangkan bentuk-bentuk  sunnah yang telah dibangun oleh para ulama, antara lain :
a)            sebagai ulasan ilmiyah terhadap pedoman pokok, seperti yang terdapat dalam beberapa kitab atau buku agama.
b)           berupa sistem pemilahan dari satu ilmu kemudian dirinnci menjadi beberapa ilmu, beberapa pasal/ bab, dan pembagian jenjang pendidikan (kelasa 1, 2 dan seterusnya).
c)            berbentuk sarana yang dapat mempermudah terlaksana sunnah pokok, seperti memangun gedung pendidikan, mendirikan jamaah atau oraganisasi, dan lainnya.
d)           berupa pengaturan urutan sistem pendidikan akhlak hati yang tersusun rapi dalam kurikulum tarekat sufi.
e)            berbentuk rangkaian doa atau amalan (khizb/ ratib/ shalawat ghairu maktsurah).

Dengan demikian, kita dapat memahami pengertian keebenaran yang diberikan oleh kelompok kedua. Seperti makna Muhdatsah al-Umuur  = amalan baru, dan riwayat Imam Muslim, adalah

التِي لَيْسَتْ عَلَى قَوَاعِدِ الشَرْعِ وَلاَ فِيْهَا مَا يُؤَيِّدُهَ  : Sesuatu yang tidak ada pedoman dalam syariat dan tidak ada dasar yang menguatkannya.[8] Dan yang dimaksud kebenaran al-haq/ adalah;

 وَالحَقُّ مَا جَاءَ بِهِ الكِتَابِ وَالسُنّةِ نَصًّا أَوْ إِسْتِنْبَاطًا  : Kebenaran ialah sesuatu yang didapat dari al-Qur’an baik secara ketentuan langsung (tersurat) atau ketentuan dari hasil penggalian hukum yang ada didalam nash (istinbat). [9]
Berikut ini kami paparkan tentang makna sunnah yang memiliki arti berhadapan dengan bid’ah, yang telah diberikan oleh para ulama. Mereka membagi sunnah kedalam dua bagian; sunnah mujmali (pokok) dan sunnah tafshili (rincian/ penjabaran).[10] Kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan sunnah yang bersifat mujmali (pokok) adalah mutlak. Sedangkan sunnah tafshili, didalamnya terdapat sunnah yang benar dan sunnah yang salah. Sunnah tafshili dapat dikatakan benar dan baik, jika sesuai dengan makna serta tujuan, dan lagi dapat menguatkan dan mendukung pelaksanaan sunnah mujmali. Dan dikatakan sunnah yang salah (bid’ah atau sesat), jika tidak sesuai dengan makna dan tujuan sunnah mujmali.[11]
Kami dari Yayasan Perjuangan Wahidiyah Pusat Dan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah memilih mengikuti ulama kelompok kedua, dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada ulama kelompok pertama.
Sebagai pijakan dasar hukum yang kami pegangi, adalah pendapat para sahabat Nabi Saw, Imam Syafi’i Ra,Imam Maliki (salafus shalih), [12] Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Syeh Junaid al-Bagdadi, Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Abul Hasan as-Syadzili, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Imam Syakhawi, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, Syeh Abdullah Alwi al-Haddad, Syeh Ahmad Kasykhanawi, Syeh Yusuf lsmail an-Nabhani dan para ulama  dari kalangan kaum sufi atau ulama yang sejalan dengan mereka.
Kaitan dengan bid’ah (amalan baru) para ulama dalam beberapa kitab yang ditulisnya, membagi kedalam dua bagian  : [13]  
a.            Amalan baru yang terpuji (bid’ah mahmudah),  adalah amalan baru yang sesuai dengan makna dan tujuan sunnah pokok.
b.            Amalan baru yang tercela (bid’ah madzmumah), adalah amalan baru yang menyalahi makna dan tujuan sunnah pokok.

2.                 Kata Musytarak (Arti Ganda).
Secara umum dalam syariat Islam, kata “sunnah” memiliki beberapa arti :[14]
a.                 Menurut ulama fiqih, sunnah adalah salah satu hukum dari hukum pokok dalam Islam (wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah).
b.                 Menurut ulama hadis, sunnah adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik ucapan, perbuatan, persetujuan, akhlak, atau sejarah hidup.
c.                  Menurut ulama sufi arti sunnah disepadankan dengan kata thariqah (tuntunan/ bimbingan / jalan hidup/ way of life) yang pondasinya telah diletakkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
d.                 Menurut ulama ushul Fiqih, sunnah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, baik ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat. Sunnah dalam arti ini merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Dan arti sunnah semacam inilah yang berlawanan dengan arti bid’ah.
Makna sederhana dari kata sunnah yang berlawanan dengan ”bid’ah”, adalah :

وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ

Thariqah (jalan) yang diridloi Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui penggalian makna dari nash (istinbath).[15]

Dapat dikatakan sebagai thariqah, sistem atau ulasan yang baik dan benar, jika sesuai dan sejalan dengan makna dan tujuan sunnah/ thariqah pokok, dan dikatakan thariqah yang buruk dan menyesatkan, jika menyimpang dari makna dan tujuan sunnah pokok. Metode, amalan, kurikulum, tarekat, sistem, bimbingan atau istilah lain yang sepadan apa saja tidak dapat dikatakan bid’ah, atau sebagai tandingan terhadap sunnah pokok, selama memiliki dasar pijakan dari hukum pokok (al-qur’an dan al-hadis), serta dapat menguatkan pelaksanaan dan tujuan sunnah rasul.
Makna sunnah ulama dapat juga diartikan dengan thariqah.[16] Artinya, metode pembelajaran, kurikulum (baik berbentuk sebagai uraian ilmiyah, sistem pendidikan, atau amalan (seperti wirid dan kurikulum pendidikan dalam ajaran tasawuf dan tarekat). Para ulama yang ahli dalam bidangnya mengulas dan menjabarkan sunnah rasul. Ada yang menjabarkan dalam bidang syariah (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan lainnya). Ada yang menjabarkan dalam bidang aqidah (Imam Abul Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur al-Maturidi, al-Baqilani dll). Ada yang menjabarkan dalam bidang akhlak dan tasawuf (Imam Hasan al-Bashri, Sa’id Ibnul Musayyab, Imam Ja’far Shadiq, Syeh Junaid al-Bagdaadi, Imam Abu Hamid al-Ghazali dll). Ada yang menjabarkan dalam bidang tafsir al-Qur’an (Imam Ibnu Katsir, al-Qurthubi, at-Thabari, Imam Ahmad as-Shawi, Imam Jaluddin as-Suyuthi dll). Dan ada yang menjabarkan hadis yang telah terbukukan (Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani, Imam al-Qusthalaani, Imam Nawaawi, Imam Suyuuthi dll). Dan ada yang membangun sistem perjuangan dan dakwah, dan lainnya.
          Dalam kitab Dalil al-Falihin juz I, pada bab “larangan mengikuti bid’ah”, memberi penjelasan hadis riwayat Muslim diatas, membagi bid’ah kedalam lima (5) bagian :
a.                 Bid’ah yang wajib: membukukan al-Qur’an pada zaman sahabat Umar Ibn Khatthab Ra, membukukan hadis Nabi Saw pada zaman khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (w.107 H).
b.                 Bid’ah yang haram : yaitu bid’ah yang bertentangan dengan pedoman dalam syariah.
c.                  Bid’ah yang sunnah : yaitu setiap kebaikan yang belum pernah terjadi pada masa periode awal islam. Misalnya, membangun taman pendidikan atau pesantren, menyusun dan membicarakan laddzatnya rahasia ilmu ma’rifat/ tasawuf (kepada sesama ahlinya).
d.                 Bid’ah yang mubah : menambah rasa lezat makanan, menghias bangunan masjid, rumah, dll.
e.                  Bid’ah yang makruh.
Dan dalam kitab Manhal al-Lathiif  tulisan Syeh Muhammad Ibn ‘Alwi al-Hasani,  pasal I, dalam bab “sunnah”, menjelaskan arti sunnah, sebagai berikut  :

    كُلُّ مَاَأُضِيْفَ إلَىِ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوإِلَى أَصْحَابِهِ قَوْلاً أَوْ فِعْلاً أَو تَقْرِيْرًا أَوْ صِفَةً

          Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw atau sahabatnya, baik dalam ucapan, perbuatan, ketetapan maupun sifat.
          Dengan demikian kita sebagai muslim, dalam memandang baik atau buruknya suatu  amalan bukan didasari analisa sepihak secara individual, apalagi didasari oleh kecemburuan sosial. Dalam memandang setiap sesuatu yang baru dalam Islam, haruslah merujuk kepada kaidah al-Qur’an dan al-hadis serta qaul ulama yang telah menguasai kandungan al-qur’an dan hadis (seperti Imam Syafi’; Imam Hanafi, Imam Shawi, al-Qurthubi, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Imam Ja’far Shadiq, Syeh Junaid al-Bagdadi, Imam al-Ghazali, Imam Syadali, Syeh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari Ra dan lain sebagainya).

B.          Pengertian Nida’ 4 Penjuru

1.          Yang dimaksud dengan nida’ empat penjuru ialah berdo’a memohon kehadirat Allah Swt dengan cara berdiri menghadapkan arah barat, utara, timur dan selatan; yang dibaca do’a “ Fafirruu Ilallah .... “ 3x, dan “ Waqul Jaa Alhaqqu wa Zahaqal bathil inna bathila kaana zahuqaa “ 1x, ditujukan untuk memanggil dan mendoakan ummat dan masyarakat agar segera sadar kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
2.          Nida’ empat penjuru dianjurkan untuk dilaksanakan pada bagian akhir acara, setelah pengamalan shalawat Wahidiyah selesai atau sebelum acara ditutup atau diakhiri.
3.          Tujuan nida’ empat penjuru ialah memohon kehadirat Allah Swt dengan menggunakan do’a “Fafirru Ilallah“ dengan diniati dan ditujukan untuk mengajak dan memanggil umat dan masyarakat, yang berada di segala penjuru dunia, yakni yang ada diarah barat, utara, timur dan selatan untuk kembali sadar mengabdikan diri kepada Allah Swt.
Dengan penjelasan singkat ini, dapat dipahami bahwa nida’ empat penjuru yang diamalkan dalam Perjuangan Wahidiyah bukan merupakan amalan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah pokok atau mujmali yang dibangun dan telah ditentukan oleh Rasulullah Saw. Nida’ empat penjuru merupakan bagian dari sistem perjuangan penyiaran Islam secara batiniyah melalui doa permohonan kepada Allah Swt. Sekaligus sebagai panggilan kepada jiwa manusia jamial alamin (tanpa pandang bulu) agar segara sadar kembali dan mengabdikan diri kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.

C.          Cara Pelaksanaan Nida’4 Penjuru.

1.          Dengan posisi berdiri tegak kedua tangan lurus kebawah disamping kedua paha. Pandangan mata lurus kedepan.
2.          Sedangkan yang dibaca pada tiap arah (barat, utara, timur dan selatan) :
-       Al Fatihah                      1 x
-       FAFIRRU ILALLAH     3 x
-       WAQUL JAAL HAQQU WAZAHAQL BAATHIL, INNAL BAATHILA KAANA ZAHUQAA.         1 x.
3.          Dimulai dengan menghadap kebarat, kemudian utara, timur dan selatan.
4.          Perpindahan arah harus sesudah bacaan WAQUL JA,AL HAQQU .... dibaca secara sempurna, dan perubahan posisi, dengan mendahulukan kaki kanan.
5.          Sikap batin dengan konsentrasi penuh getaran jiwa sekuat – kuatnya memohon kepada Allah Swt agar ajakan nida’ ini disampaikan oleh Allah Swt kedalam hati sanubari umat masyarakat seluruh dunia terutama diri kita sendiri dan keluarga, serta agar diberikan kesan yang mendalam.
6.          Setelah menghadap ke selatan kembali menghadap kearah semula sebagaimana sebelum melaksanakan nida’ 4 penjuru (atau arah podium jika dalam acara ceremonial), kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa “Tasyafu’ dan Istghatsah“.

Keterangan :
a.            FAFIRRU ILALLAH; artinya : larilah dan sadar kembali kepada Allah. Maksudnya mengajak umat masyarakat termasuk diri kita sendiri dan keluarga cepat-cepat kembali sadar dan mengabdikan diri kepada Allah Swt, melarikan diri dari cengkraman imperialis nafsu untuk menuju kepada Allah Swt.
b.            WAQUL JAA,AL HAQQU .... dst, dengan niat semoga akhlak yang tidak baik, diganti oleh Allah Swt dengan akhlak yang baik, dan jika memang sudah menjadi suratan nasibnya tidak bisa diharapkan akan baik, mohon dihancurkan saja dari pada makin lama makin parah dan berlarut-larut, merugikan ummat dan masyarakat.

D.          Dasar Pengamalan Nida’ 4 Penjuru

          Amalan “nida’ 4 penjuru” termasuk bagian dari sekian banyak amal shalih yang telah diamalkan oleh para nabi dan rasul. Awalnya, amalan-amalan shalih tersebut dilakukan oleh para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Sebagai misal :

1.                 Mendahulukan pembersihan jiwa dari penyakit syirik (LILLAH BILLAH) sebelum memahami dan mempelajari ilmu yang lain (misalnya, ilmu shalat, ilmu amar makruf nahi mungkar, dalam ilmu lainnya). Sistem pendidikan seperti ini,[17] awalnya digagas oleh Luqman Hakim. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإبْنِهِ يَا بُنَيِّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ. يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذالِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ.

Dan ketika Luqman berkata (memberi nasihat) kepada anaknya : Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan (makhluk) dengan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah perbuatan dlalim yang besar. Wahai anakku, dirikanlah shalat, dan perintahkanlah kebaikan, dan cegahlah kemungkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya hal demikian ini merupakan sesuatu yang amat penting. (Qs. Luqman : 12 – 19)
2.                 Berpuasa sehari dan berbuka sehari. Puasa ini mulanya amalan Nabi Daud As. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda  :

أَحَبُّ الصِيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ, كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

Puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa nabi Daud As. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.

3.                 Tidak memperbanyak tidur pada waktu malam, kecuali sudah sangat mengantuk. Amalan ini mulanya amalan para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Swt, Qs. Adz-Dzariyat : 17 – 18 :

كَانُوا قَلِيْلاً مِنَ اللَيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالأسْحَارِهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ.

Keadaan orang-orang yang bertaqwa, pada waktu malam sedikit sekali mereka tidur. Dan pada waktu sahur mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).

4.                 Berpuasa membisu selama 3 hari/ malam. Amalan ini mulanya adalah amalan Nabi Zakaria As. Firman Allah Swt Qs.Ali Imran : 41 :

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي أَيَةً قَالَ أَيَاتُكَ اَنْ لاَ تُكَلِّمَ النَاسَ ثَلاَثَة أَيَّامٍ إِلاَّ رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيْرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالإِبْكَارِ

(Zakaria) berkata : Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepada tanda-tanda (tentang kehamilan istrinya). Allah bersabda : Tanda-tanda bagimu adalah sekiranya kamu tidak berbicara (dengan manusia) selama tiga hari/ malam,[18] kecuali dengan isyarah. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dan bertasbihlah diwaktu pagi dan petang.[19]

5.                 Melaksanakan suatu amalan sunnah selama 40 hari/ malam, akan mendapat anugrah dari Allah Swt. Bilangan 40 ini, awalnya dilakukan oleh Nabi Musa As.

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِيْنَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً. وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلِّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دُكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ المُؤْمِنِيْنَ.

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) setelah 30 malam dan yang Kami sempurnakan dengan sepuluh malam. Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan ketika Musa datang (kepada Kami) pada waktu yang telah kami tentukan, dan Tuhan telah bersabda (langsung) kepadanya. Berkatalah Musa: Ya Tuhanku tampakkanlah Diri Engkau agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan bersabda : Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah kebukit itu, ketika ia tetap pada tempatnya niscaya kamu akan melihat-Ku. Dan tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajalli) pada gunung, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Dan ketika Musa sadar kembali, berkatalah ia : Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman.[20] (Qs. al-A’raf : 142 – 144)

6.                 Mengamalkan dan menghayati kalimah dzikir yang diamalkan Nabi Yunus As :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَالِمِيْنَ.

Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku masih dalam kelompok yang dlalim.
7.                 Mengamalkan serta menghayati kalimah doa istighfar dari Nabi Adam As :

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

 Ya Tuhan kami, sungguh kami telah mendhalimi diri kami sendiri, maka jika sekiranya Engkau tidak mengampuni kami dan tidak menyayangi kami, niscaya kami menjadi kelompok yang rugi dan menyesal.
8.                 Meneladani ketabahan dan keteguhan Nabi Isa dan Nabi Nuh As dalam menghadapi ancaman, cacian dan rintangan dari para penentang agama Allah.
9.                 Meneladani kesetiaan serta penyerahan diri Nabi Ismail As ketika akan dipotong lehernya oleh bapaknya (Nabi Ibrahim As) atas perintah Allah Swt.
10.            Dan masih banyak lagi sunnah dari para nabi dan rasul terdahulu.
Sedangkan “nida’ 4 penjuru” yang diamalkan dalam Perjuangan Wahidiyah, awal mulanya merupakan amalan dan tuntunan dari Nabi Ibrahim As. Ketika Baitullah selesai didirikan, Nabi Ibrahim As diperintah oleh Allah Swt agar memanggil manusia untuk pergi menunaikan ibadah haji. Nabi Ibrahim kemudian naik diatas gunung Abi Qubais serta melaksanakan nida’ empat penjuru. Firman Allah Swt,  Qs. al-Hajj : 26 – 27 :

          وَإِذْ بَوَّأْنَا لإِبْرَاهِيْمَ مَكَانَ البَيْتِ أَنْ لاَ تُشْرِكَ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِي لِلطَأئِفِيْنَ وَالقَائِمِيْنَ وَالركَّعِ السُجُودِ. وَأَذِّنْ فِي النَاسِ بِالحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ لَجٍّ عَمِيْقٍ.

          Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat Baitullah kepada Ibrahim, (dengan mengatakan) : Janganlah kamu menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku. (Dan rumah ini) bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang rukuk dan sujud. Dan panggilah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta dari setiap penjuru yang jauh.
Dalam kitab tafsir Jalalain-nya Imam Jalaluddin Suyuthi dijelaskan bahwa cara Nabi Ibrahim As memanggil seluruh manusia agar menunaikan ibadah haji dengan melaksanakan nida’ empat (4) penjuru diatas gunung Abi Qubais.

          فَنَادَى عَلَى جَبَلِ أَبِي قُبَيْسٍ: يَأَيُّهَا النَاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ بَنَى بَيْتًا وَأَوْجَبَ عَلَيْكُمُ الحَجَّ إِلَيْهِ فَأَجِيْبُوا رَبَّكُمْ وَالْتَفَتَ بِوَجْهِهِ يَمِيْنًا  وَشِمَألاً  وَشَرْقًا  وَغَرْبًا  فَأَجَابَهُ  كُلُّ مَنْ كَتَبَ لَهُ أَنْ يَحُجَّ  مِنْ أَصْلاَبِ الرِجَالِ  وَأَرْحَامِ الأُمَّهَاتِ لَبَّيْكَ اللهُمَّ لَبَّيْكَ.

          Kemudian (Nabi Ibrahim) melaksanakan nida’ (panggilan/ seruan) dari atas gunung Abi Qubais : Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu telah membangun rumah (Suci/ Baitullah) serta mewajibkan kepada kalian untuk melaksanakan haji didalamnya, maka penuhilah seruan tersebut. Dan Nabi Ibrahim (melaksanakan panggilan tersebut) dengan menghadapkan muka kearah kanan, kiri (utara dan selatan), timur dan barat. Maka menjawablah setiap orang dari laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan (oleh Allah) dapat berangkat haji dengan mengucapkan : Labbaika Allahumma labbaika (Ya Allah, aku datang untuk memenuhi panggilan-Mu).

Dan dijelaskan pula dalam kitab Hasyiyah Shawi alal Jalalain juz III pada surat dan ayat tersebut, bahwa panggilan Nabi Ibrahim As tersebut dilakukan dengan cara berdoa (mengumandangkan panggilan) dan penyampaikan perintah Allah Swt. Diterangkan oleh para ahli sejarah arab bahwa penduduk Yamanlah yang paling pertama menjawab panggilan tersebut. Dan setiap muslim yang dapat menunaikan ibadah haji berarti dapat memenuhi panggilan Nabi Ibrahim As.

Ummat Islam, oleh Allah Swt kecuali menjalankan sunnah yang pokok, masih dianjurkan mengikuti sunnah Nabi Ibrahim As. Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt, Qs. An-Nahl:123:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ

Kemudian kami mewahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang Hanif. Dan bukanlah ia termasuk golongan dari orang-orang yang musyrik.

قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ.

Katakanlah : “Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya)”. Ikutlah kamu semua kepada agama Ibrahim yang Haniif. [21] Dan bukanlah ia (Ibrahim) termasuk golongan dari orang-orang yang musyrik. (Qs. Ali Imraan : 95)
 Hadis dari Ibnu Abdur Rahman an-nabaziy, Rasulullah Saw bersabda :[22]

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الإِسْلاَمِ, وَكَلِمَةِ الإخْلاَصِ, وَدِيْنِ نَبِيِّيْنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَمِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَاكَانَ مِنَ المُشْرِكِيْنَ.

Kami berada diatas fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad Saw, dan tuntunan Nabi Ibrahim yang hanif dengan memasrahkan diri, dan dia (Ibrahim) bukan termasuk orang-orang yang musyrik.

E.               Tasyafu’ Dan Istighatsah Dengan Berdiri.

Maksud Dan Tujuan.
Melaksanakan TASYAFU’ dan ISTIGHATSAH dengan berdiri bertujuan untuk mengekspresikan atau mencetuskan rasa ta’dzim (menghormat) serta mahabbah sedalam-dalamnya kepada Rasulullah Saw wa Ghautsu Hadzaz Zaman Ra dengan hati yang tulus semurni-murninya.
Beliau Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah dalam satu fatwa amanatnya mengemukakan “bahwa sudah menjadi tradisi (kebiasaan) bangsa Arab dalam memberikan penghormatan kepada pemimpinnya dilakukan dengan berdiri”.
Demikian pula Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo dalam satu fatwa amanatnya menjelaskan : cara memberikan penghormatan kepada para pemimpin/ negarawan lebih-lebih tamu negara dengan berdiri, juga dilakukan oleh semua negara didunia dewasa ini.
Maka wajarlah bagi ummat Islam memberikan penghormatan kepada Junjungan Kita Kanjeng Nabi Besar Muhammad Rasulullah Saw yang memimpin jagad raya ini dan pembimbing ummat manusia, juga dilakukan dengan cara berdiri. Dan, sesungguhnya cara yang kita lakukan kita dalam menghormat itupun masih jauh sekali, belum sepadan dengan kemuliaan dan kebesaran pribadi Beliau Rasulullah Saw wa Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Rasulullah Saw bersabda : قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ   : Berdirilah kamu semua (untuk menghormat) pemimpinmu atau orang terbaikmu. [23]
Dalam hal ini, Syeh Qadir al-Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah pada kitab “adab” pasal kedua menjelaskan  :

وَيُسْتَحَبُّ القِيَامِ لِلإِمَامِ العَادِلِ وَالوَالِدَيْنِ وَأَهْلِ الدِّيْنِ وَالوَرَعِ وَأَكْـرَمِ النَاسِ. وَقَدْ رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أنَّهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ, قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدَيْهِ وَقَبِّلَتْهُ.  وَيُكْرَهُ لِأَهْلِ المَعَاصِي وَالفُجُورِ.

Disunnahkan berdiri (untuk menghormat) kepada imam yang adil, kedua orang tua, ahli agama, ahli wira’i dan manusia yang paling mulya. Dan diriwayatkan oleh Aisyah Ra. Dia berkata : Rasulullah Saw ketika masuk kerumah Fatimah, maka berdirilah Fatimah, kemudian memegang serta mencium tangan Nabi Saw. Dan dimakruhkan (berdiri untuk menghormat) kepada orang yang ahli maksiat dan perbuatan durhaka.

          Para ulama ahli makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, ulama ahlul fadli, ulama ahlut taqwa, ulama kaum sufi sangat berhati-hati sekali didalam menghormat Beliau Rasulullah Saw, segala adab sopan santun lahir dan batin dipegangnya baik, dilaksanakannya dengan sepenuh hudlur dan tawadldlu’.

          وَقَدْ سَنَّ أَهْلُ العِلْمِ وَالفَضْلِ وَالتُقَى قِيَامًا عَلَى الأَقْدَامِ مَعَ حُسْنِ إِمْعَانٍ بِتَشْخِيْضِ ذَاتِ المُصْطَفَى وَهُوَ حَاضِرٌ بِأَيِّ مَقَامٍ فِيْهِ يُذْكَرُ بَلْ دَانِي

          Telah menjadi kebiasaan para ahli ilmu, ahli mendapatkan fadlal Allah, dan ahli taqwa berdiri tegak diatas kaki untuk menghormat kepada pribadi Rasulullah Saw yang hadir disegala tempat manapun ketika (Beliau Saw) disebut-sebut. Bahkan (Beliau Saw) lebih dekat lagi.[24]

Petunjuk Pelaksanaan.

1.                 Tasyafu’ dan istighatsah dilakukan setelah selesai menghadap keselatan (dalam melaksanakan nida’ 4 penjuru), semua peserta mujahadah berdiri menghadap seperti semula (seperti ketika melaksanakan mujahadah),
2.                 Atau ketika setelah melasanakan shalat berjamaah dan mujahadahnya, semua peserta mujahadah tetap berdiri menghadap kiblat.
3.                 Kemudian salah satu dari hadirin/ hadirat atau imam (memberi aba-aba) dengan mengucapkan : al-Fatihah (1 x). Dan kemudian semua hadirin/ hadirat bersama-sama membaca : surat al-Fatihah dengan suara sangat pelan.
4.                 Dan kemudian semua hadirin/ hadirat bersama-sama membaca :
Yaa Syaafi’al Khalqis Shalaatu was Salaam..... 1 x. (dengan taghanni/ nada yang lazim). Yaa Sayiidii Yaa Rasuulallah (dengan dijiwai rasa membutuhkan pertolongan) 3 x. Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullahi (dengan taghanni/ nada yang lazim), dengan jumlah menyesuaikan, dan paling sedikit  1 x. Dan ditutup dengan, bacaan surat al-fatihah satukali.
5.                 Sebaiknya diusahan agar tinggi rendahnya (voleme) suara hadirin/ hadirat sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Sebagai pemberi aba-aba, imam sebaiknya sedikit mengeraskan suaranya, ketika :
- Mengawali bacaan doa tasyafu’ dan doa istighatsah.
- Mengucapkan Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah 3 x.
Al-Fatihah .......

KETERANGAN  :

[1].   Akhir-akhir ini musibah yang paling memprihatinkan dalam kehidupan ummat Islam adalah terjadinya perang pemikiran (ghazwatul fikri) antara kelompok muslim. Diantara mereka terdapat orang muslim yang berani mangkafirkan kepada sesama muslim yang tidak sepaham dengan pemikirannya. Bahkan mereka mewajibkan penghancuran muslim yang tidak sejalan dengan mereka, dengan memakai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang ditafsirinya sendiri. Padahal, semua perbedaan pendapat, mudah diselesaikan bila masing-masing menggunakan ilmiyah murni, serta dialog yang diwarnai rasa persaudaraan. Sebagaimana tercermin dalam Qs. al-Hujurat : 10 - 11 :

إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. يَأَيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا لاَيَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلاَ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ.

            Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara. Maka, perbaikilah persaudaran kalian. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum satu merendahkan kaum yang lain. Barangkali mereka itu lebih baik daripada yang merendahkan. Dan jangan pula wanita merendahkan kepada wanita yang lain, barangkali lebih baik daripada wanita yang merendahkan.
Persatuan merupakan merupahan sunnah rasul. Sedangkan perpecahan ummat merupakan bid’ah yang membayakan dan akan menghancurkan ummat Islam.
[2].   HR. Imam Bukhari (Jawahirul Bukhari wa Syrahul Qusthalani, nh : 386).
[3].   HR. Abu Daud dan Tirmidzi (Sunan Abu Daud  juz IV, nomer  hadis : 4607).
[4].   Jenis ibadah terbagi kedalam dua bagian. Pertama, mahdlah (tidak dapat dirasionalkan dan berfungsi taqarrub ilallah. Kadua, ghairu mahdlah (dapat dirasionalkan dan berfungsi sosial dan kemanusiaan).
[5].   Lebih lengkap tentang definisi sunnah dan bid’ah dapat dilihat, antara lain dalam  :
a.         Kitab al-Ghunyah-nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani.
b.         Kitab at-Ta’rifat -nya  Syeh Ali al-Jurjani
c.         Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin.
d.         Buku Amalan baru Dalam Pandngan Imam Suyuthi, Penerbit Darul Hikmah.
e.         Buku Sunnah dan Bid’ah  tulisan Dr.Yusuf Qardawi.
f.          Kitab Manhal al-Lathiif  tulisan Syeh Muhammad Ibn ‘Alwi al-Hasani.
g.         Kitab al-Ghunyah –nya Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra.
[6].   Kitab  Sunan Abu Daud  juz IV, nomer  hadis : 4607, Dan Tirmidzi dari ‘Irbadl Ibn Sariyah Ra dalam kitab Dalil al-Falihiin juz I, bab “muhafadhah ‘alas sunnah wa adabiha”, hadis kedua.
[7].  Kitab Riyadl as-Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra
[8].   Dalam kitab Dalilul Falihin  juz  I  halaman  436.
[9]    Ibid.
[10]. Lihat buku Sunnah dan Bid’ah  tulisan Dr.  Yusuf  Qardawi. Kitab ini merupakan diantara tulisan Dr. Yusuf Qardawi yang sangat pendek.
Beliau ini merupakan salah satu ulama Islam yang besar  dari timur tengah dalam era abad ini
[11].   Lihat kitab al-Amru Bilittiba’ Wan Nahyu Anil Ibtida’ . Atau buku terjemahannya dengan judul buku Amalan Baru Dalam Pandangan Imam Suyuthi Ra, penerbit “Darul Hikmah”  tahun, Nopember 1995 M, hlm : 53 – 58, dan dalam buku Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya  Sunnah & Bid’ah, Penerbit “Gema Insani Press” Jakarta, cetakan ke I, halaman :  7 – 36.
[12]. Praktek amaliyah ibadah kami didalam lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo al-Munadzdzarah menggunakan madzhab Syafi’i. Meskipun demikian, kami mempersilahkan pengamal Wahidiyah daerah untuk mengikuti madzhab selain dari aliran Syafi’i. Demikian yang telah dituntunkan oleh Beliau Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra, Muallif Shalawat Wahidiyah dan Beliau Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo.
[13]. Lihat dalam buku Amalan baru Dalam Pandngan Imam Suyuthi, Penerbit “Darul Hikmah” cet. pertama tahun 1995 M, hlm: 56.
[14].    Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kitab Manhal al-Latthiif-nya Syeh Muhammad Alwi al-Maliki.
[15].    Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I / 442.
[16].    Dapat dilihat kembali dalam penjelasan makna thariqah pada bahasan “Cara Pengamalan Shalawat Wahidiyah”.
[17].   Dalam pandangan kaum sufi (seperti Imam Ghazali), bahwa iman/ makrifat BILLAH adalah ilmu yang harus didahulukan sebelum memahami secara mendalam tentang ilmu-ilmu yang lain. Sebab menyekutukan Allah Swt dengan makhluk merupakan dosa yang tidak diampuni, serta segala amal shaleh yang didasari hati yang musyrik akan menjadi sia-sia.
[18].   Penjelasan amalan Nabi Zakariya ini juga dijelaskan dalam Qs. Maryam ayat 10.
[19].   Pada waktu itu Nabi Zakaria diberi wahyu oleh Allah Swt bahwa istrinya telah mengandung dan akan melahirkan anak yang dimohonkannya. Untuk menambah keyakinan tentang kebenaran wahyu tersebut, Nabi Zakaria memohon bukti kepada-Nya. Dan Allah Swt memberikan bukti, setalah Nabi Zakaria meninggalkan bicara selama 3 hari/ malam, kecuali dzikrullah. Setelah 3 hari/ malam tampaklah bukti-bukti nyata tentang kehamilan istrinya. Berpuasa semacam ini sering dilakukan oleh para ulama sufi pada zaman dahulu sampai sekarang.
     وَمِنْ ذَالِكَ إِخْتَار بَعْضُ أَكَابِر الصُوفِية أَنَّ الخَلْوَةَ مَعَ الرِيَاضَةِ لِبُلُوغِ المُرَادِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ بِلَيَالِهَا يَجْعَلُ ذِكْرَ اللهِ فِيْهَا وَلاَيَتَكَلَّمُ فِيَها.
      Dan dari penjelasan ayat diatas, sebagian ulama pembesar kaum sufi memilih/ melakukan khalwat (menyendiri) serta riyadlah untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksudkan dengan berdzikir kepada Allah dan tidak berbicara selama 3 hari / malam kepada siapapun.
Lihat kitab tafsir Hasyiyatus Shawi ‘alal Jalalain juz I dalam surat Ali Imran pada ayat tersebut.
[20].   Untuk menyingkat penukilan saja, penulis hanya menuliskan ayat 142 dan 143.
[21].    Arti kata “Hanif”  : المُقَبِّلُ عَلَى اللهِ المُعَرِّضُ عَمَّا سِوَاهُ  : orang yang menghadapkan hatinya kepada Allah serta berpaling dari apapun selain Allah.  Lihat kitab Jala’ al-Afham dalam pasal 5.
[22].    HR. Imam Nasai, Imam Ahmad, Abdur Rahman ad-Darimi dan Ibnus Sunniy. Dalam kitabnya Amalul Yaum wal Lailah, Imam Nasai (w. 303 H) meriwayatkannya dari Ibnu Abdirrahman Ibn Abaziy, nh : 1 – 3. HR. Imam Ahmad (Musnad, 3 : 406), dan dalam Sunan Darimi, nh : 3691, dan dalam kitab Jala’ al-Afham, pada pasal 5. HR. Imam Ibnus Sunniy (dalam kitab Minhajul-Qashidiin-nya Imam Ibnu Qudamah, dalam penjelasan tentang “jenis-jenis dzikir dan wirid”).
[23].    Hadis riwayat ad-Dailami dari Abu Sa’id al-Khudzri. Dan riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id dengan redaksi tanpa kata “Au Khairukum : atau orang terbaikmu”. Lihat kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam Suyuthi Ra dalam juz II pada bab “al-Qaaf”
[24].    Kitab Targib al-Muqtashidiin, halaman 17 (dalam buku Bahan Up grading Dai Wahidiyah).

No comments:

Post a Comment