YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
031.01.317 - AJARAN WAHIDIYAH
I. 01. 317 - "BAHASAN UTAMA - KULIAH WAHIDIYAH"
031.01.317 - AJARAN WAHIDIYAH
Bahasan 2
GHAUTSIYAH
PENOLONG DAN PEMBIMBING ZAMAN
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَفْسَ عَنِ الهَوَى. فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَاْوَى.
Dan adapun orang yang takut kepada maqam Tuhannya serta menahan jiwa dari hawa nafsu. Maka sungguh surga sebagai tempat tinggalnya
(Qs. an-Naazi’aat : 40 – 41).
Jika mukmin mohon pertolongan dan bantuan kepada selain Allah Swt (baik kepada manusia atau makhluk lainnya), sifatnya melaksanakan perintah-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 2
تَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ
Tolong menolonglah kamu semua diatas jalan kebeikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
Carilah pertolongan dengan kesabaran dan shalat. Dan sesungguhnya sabar dan shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.
مَنْ ذَا الذِي يَشْفَعُ عِـنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Siapakah yang dapat memberi syafaat (pertolongan) disisi Allah tanpa izin-Nya.
Dari ketigaa ayat yang terakhir dapat ditarik pemahaman, bahwa semua mahluk dapat memberi pertolongan, setelah mendapat izin Allah Swt. Tanpa izin-Nya mahluk bersifat nisbi dan majazi (imitasi). Dan pada pula masih dapat dipertanyakan, kekuatan mahluk yang digunakan untuk menolong dirinya atau yang lain dari Allah Swt atau dari mahluk itu sendiri ?. Jawabannya sebagaimana firman -Nya, Qs, al-Anfal : 17 : [2]
وَمَا رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
Tidaklah engkau yang melempar, ketika engkau melempar, akan tetapi Allah-lah yang melempar.
Dengan arti lain, tidaklah mahluk menolong ketika ia menolong, tetapi Allah-lah yang menolong.
Ayat ini dapat ditarik pemahaman bahwa kekuatan yag menghasilakn pertongan itu pada hakikinya tunggal, milik Allah belaka. Sedangkan kekuatan yang ada pada mahluk merupakan kekuatan yang terpancar dari Allah Swt semata. Tanpa pancaran dari Allah Swt mahluk tidak berdaya.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik, dijelaskan, bahwa ketika menjalang keberangkatan mi’raj ke langit, malaikat Jibril (mahluk-bukan Khaliq)), atas perintah Allah SWT, meningkatkan (jallaab) iman Rasulullah SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
فُرِجَ عَنْ سَقْفِ بَيْتِي وَأَنَابِمَكَّةَ, فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah)dituangkan kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) ditutupnya kembali”.
Perbuatan Jibril AS “menuangkan” iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah SAW, dapat dikatakan perbuatan Jalllab. Yang secara lahiriyah dilakukan oleh mahluk (Jibril As). Kesimpulan ini, salahkah menurut MUI Kota Tasikmalaya ?. Jika salah, apa dan dari mana dasarnya ?.
Beberapa contoh dalam kehidupan :
1) Dalam lingkungan masyarakat serta keberadaan benda-benda dalam alam ini, Allah Swt menghendaki adanya keadaan "ter" atau "paling", .... rendah, ..... tinggi, .... kecil, ..... besar, ....... kuat, ..... lemah, dsb. Hingga ada manusia terkaya/ termiskin, teratas/ terendah, dll.
2) Dalam sosial masarakat - agar kehidupan dapat tertata dengan damai - mengharuskan adanya seorang pemimpin (kepala suku, raja, presiden, perdana menteri dll.) sebagai pusat pengaturan dan kekuasaan.
3) Dalam setiap lingkungan masyarakat, terdapat markas/ kantor sebagai tempat pusat pengaturan atau kekuasaan. Setiap negara, propinsi, kabupaten tidak ada yang tidak memiliki daerah tempat pusat pemerintahan yang disebut Ibu kota
4) Dalam dunia lain - olah raga misalnya - ada ringking ter-bawah dan ter-atas.
a. Dalam setiap kompetisi sepakbola dunia, melahirkan tim serta pemain ter-baik.
b. Dalam setiap waktu atau dasawarsa kita mengenal nama-nama olahragawan terbaik. Misalnya dalam tenis lapangan, kita mengenal Andre Agassi, Steffi Graff, Martina Navratilova, Gabrille Sabatini, Yayuk Basuki. Dan dalam sepak bola, kita mengenal Pele, Ronaldo, Romario, Digo Amandow Maradona, Josh Weach, Rutt Gullit, Fans Basten dll. Dalam bulutangkis, kita mengenal Rudi Hartono, Lim Swi King, Morthen Van Hanshen, Prakash Padokone dll.
5) Bumi merupakan planet yang susunan kimiawinya paling lengkap bila dibandingkan dengan planet lain. Dan karenanya, ia dapat memberikan sarana kehidupan yang dibutuhkan manusia.
6) Susunan kimiawi jasmani manusia merupakan paling sempurna bila dibandingkan dengan mahluk Tuhan yang lain. Demikian pula kesempurnaan ruhani manusia, terdapat seseorang yang terbaik kwalitas jiwanya. Sebab kejernihan jiwanya dari pengaruh makhluk lainnya, mereka mampu mengemban sinar ke-Tuhanan (Nur Ilahiyah), hingga ia ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifah-Nya dibumi.
7) Organ tubuh manusia – berdasar data dari biokimia -, bila dibandingkan dengan bumi serta planet lainnya, jasmani manusia merupakan ciptaan Tuhan yang "paling/ ter" lengkap dan sempurna unsur kimiawinya. Seluruh unsur kimia yang ada dalam alam ini ada dalam tubuh manusia.
8) Dan pula dalam organ tubuh manusia terdapat pusat penggerak dan pengendali seluruh organ tubuh, yang disebut saraf. Gerakan tubuh, bukan muncul dari masing-masing organ, tapi dikendalikan oleh pusat/ inti saraf yang besarnya kurang lebih 4 cm. Memang sangat menakjubkan, organ yang sangat kecil tersebut dapat mengendalikan sebuah tubuh yang bila dibandingkan besarnya beratus-ratus kali lipat dari besaran saraf. Bahkan syaraf manusia tersebut mampu mengendalikan sebuah negara.
9) Dari sisi jiwa, manusia merupakan mahluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan mahluk hidup lain (malaikat, hewan, jin dan setan).
10) Demikian pula tahapan iman dan taqwa kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Ada mukmin yang memiliki kadar iman terendah, menengah dan tertinggi. Disamping berdasar fadlal dan rahmat-Nya, keadaan iman seseorang tergantung sejauh mana upaya yang dilakukan. Setelah Rasulullah Saw, hanyalah Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra), yang dapat mencapai tingkat meng-Esa-kan Allah Swt secara sempurna. Sedangkan mukmin lainnya – sebagaimana keterangan dalam al-Qur’an dan hadis – memalui manusia terbaik dalam iman tersebut, dapat mengenal Allah Swt secara benar dan lurus.
Jadi, bila disimpulkan kehidupan ini telah memberi isyarat tentang adanya satu mahluk yang Allah Swt menjadikannya sebagai pusat mahluk. Dan dalam konsep Islam pusat mahluk tersebut terdapat pada manusia. serta yang masih hidup, bukan pada manusia yang telah pulang kerahmatullah.
4. Manusia Sebagai Makhluk Yang Mesteri
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna dan paling misteri. Penyelidikan dan pandangan tentang keberadaannya, merupakan obyek yang sangat menarik dan sekaligus paling rumit, hingga tak kunjung selesai untuk dikaji dan dibicarakan. Kajian tentang manusia dan prilakunya telah melahirkan berbagai disiplin ilmu, antara lain; ilmu sosial, budaya, politik, ekonomi, seni, dan bahkan aneka ragam paham filsafat. Dan diantara penyelidikan yang sangat menarik dan sangat rumit, adalah menjawab pertanyaan apakah ada manusia sempurna itu ?. Jika ada, apa ukuran untuk menentukannya ?.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita dapat menengok berbagai pandangan telah dimunculkan oleh para ahli. Pertama, ada yang berpandangan bahwa kesempurnaan manusia ditinjau dari kekuasaannya. Semakin luas kekuasaannya, semakin sempurna jati diri manusia. Dan manusia dapat dikatakan sempurna jika telah menjadi raja diatas bumi. Ada pula yang meninjau dari sisi kepuasan dan kebebasannya, semakin bebas ia berbuat maka semakin puas hidupnya, dan berarti sempurna pula kemanusiaannya. Paham ini lahir dan dikembangkan oleh golongan kaum kafirin dan para atheis.
Kedua, ada pula yang berpandangan bahwa kesempurnaan manusia, ditinjau dari sisi etika serta moral prilaku dan sikapnya terhadap sesama dan alam lingkungannya. Paham ini dikembangkan oleh kaum humanis. Ketiga, ada yang berpandangan, bahwa kesempurnan manusia ditinjau dari tingkat kesadarannya serta kembalinya kepada Tuhan. Jiwanya terbebas dari ketergantungan kepada makhluk (fana dari makhluk), dan akhirnya hanya tergantung kepada Allah Swt. Semakin tinggi pendakian ruhani yang dicapai seseorang, akan naik ketingkat pemahaman dan kesaksian terhadap ketunggalan wujud Tuhan dalam segala perbuatan-Nya (maqam Wahidiyah danAhadiyah, atau dengan lain kata; maqam wahdatus syuhud). Dengan pencapaian ini seseorang akan mendapat anugrah-Nya yang paling agung, berupa sinar akhlaq Allah Swt. Yang mana -sebagaimana keterangan dalam al-Qur’an dan hadis -, akhlak mulia dan tinggi (khuluqin ‘adziim) ini hanya didapatkan melalui fadlal dari Allah Swt, setelah melalui beberapa kondis jiwa (takhalli {pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela} dan tahalli {pengisian jiwa dengan akhlak yang terpuji}). [3] Dan, berarti sempurnalah kemanusiaannya. Dia sah dan patut membawa serta membimbing ummat untuk sowan kepada Allah Swt Yang Maha Luhur dan Maha Tinggi. Dialah al-Ghauts Ra yang senantiasa ada pada setiap masa. Jika ia wafat, Allah Swt mengangkat orang lain untuk menduduki jabatan dan tugas tersebut. Paham ini, dikembangkan oleh para ulama yang Arif Billah dan para pembesar kaum sufi radliyallahu anhum.
5. Al-Ghauts Dan Kemusyrikan
Dan Perjuangan Wahidiyah dengan amalan Shalawat Wahidiyah memperjuangkan terbebasnya jiwa ummat masarakat dari kemusyrikan. [5] Tidak ada jalan atau cara paling tepat dan cepat untuk pembersihan jiwa dari kamusyrikan, kecuali melalui bimbingan Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada zamannya. Sesorang, meskipun ketekunan ibadahnya tidak ada jin dan manusia yang menandinginya, akan meninggalkan alam ini (mati) dalam keadaan membawa dosa besar (syirik), jika dalam hidupnya tidak pernah mendapatkan bimbingan kesempurnaan iman kepada Allah Swt dari Syeh Kamil Mukammil.[6] Tanpa melalui bimbingannya seseorang akan memiliki pemahaman iman yang terbalik. Syirik (menyekutukan Allah Swt dengan makhluk) dianggap bertauhid (meng-Esa-kan Allah Swt), sedangkan memurnikan tauhid (sebab melalui bimbingan Rasulullah Saw dan Ghaus Ra) dianggapnya sebagai perbuatan syirik. Na’udzu Billah (kami berlindung kepada Allah) dari kekacauan pemahaman tauhid.
Dan alhamdulillah semua atas fadlal dan rahmat-Nya semata, Shalawat Wahidiyah - disamping dapat mengantarkan dan menyadarkan ummat secara iman dzauqiyah tentang kebaradaan dan kegungan Rasulullah Saw -, merupakan satu-satunya amalan shalawat pada akhir zaman ini yang dapat mengantarkan pengamalnya, tentang keberadaan Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
B. SIFAT SIFAT MANUSIA
Ulasan tentang sifat-sifat manusia (kafir, munafiq dan mukmin) ini hanya bertujuan untuk mengadakan introspeksi diri bagi mukmin yang ingin meningkatkan kadar keimanan, keislaman dan keihsanan demi tercapainya predikat muslim yang kaffah. Dan sekali-kali bukan untuk menghakimi iman dan islam orang lain. Mengapa demikian ?. Terhadap sesama muslim, syariat Islam melarang keras ummatnya melakukan takfir (mengkafirkan orang lain yang bersebarangan aqidah atau alirannya).
1. Sifat-Sifat Orang Kafir
Asal mula makna kata kufur (kata jadian dari kafara), adalah tidak dapat melihat sesuatu karena tertutup oleh sesuatu yang lain. Kemudian dalam agama diartikan dengan “mata hati tidak dapat memandang Tuhan karena tertutup oleh mahluk”. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati. Dan yang tampak hanyalah mahluk belaka. Orang yang tidak percaya adanya Allah Swt Tuhan Maha Pencipta Yang Mengatasi segala makhluk, disebut orang kafir. Dengan demikian, manusia menjadi kafir bukan merupakan sifat asal, tetapi akibat terbujuk oleh iblis dan nafsu.
Oleh al-Qur’an, iblis digolongkan kedalam kelompok orang kafir bukan karena ia mengingkari keberadaan Tuhan. Tapi, lebih disebabkan tidak dapat melihat Nur Ilahiyah (kekhalifahan) yang ada pada diri Nabi Adam As. Karena tertutup oleh keakuannya sendiri, iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Berbagai alasan diajukannya kepada Tuhan. Padahal semua itu hanya untuk menutupi keakuannya belaka. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan diri setinggi-tingginya. Dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Nabi Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam pengalaman hidup dan penguasaan ilmu, bila dibandingkan dengan kelompok malaikat. [7] Dan karenanya tidak patut menjadi khalifah Allah Swt. Sedangkan kelompok malaikat sebagai mahluk yang suci serta tidak memiliki dosa lebih pantas menjadi khalifah.
Sebab kuatnya dorongan untuk membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat ke-Maha Kuasa-an Allah Swt yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap.[8] Mata hati iblis tidak dapat melihat Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan, karena tertutup oleh kecintaannya kepada ego dan kehormatan diri. Kecintaan iblis kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Sehingga meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As, iblis tetap mempertahankan keakuannya (Semoga Allah Swt melindungi kita dari bujukan iblis).
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai hamba Allah Swt yang lemah dan yang harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh pandangan iblis. Setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka memahami keberadaan dirinya. Dan berkat hidayah-Nya semata, malaikat dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru [9] bagi mereka. Malaikat dapat mengakui kekalahannya atas Nabi Adam As dan menerimanya sebagai pimpinan, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan atas ego diri atau kelompoknya, tapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nur Khalifah al-Ilahiyah yang ada pada diri Nabi Adam As.
Dari uraian diatas perlu kiranya dapat memahami tipu daya iblis yang halus dan tampak ilmiyah, namun semestinya jahat. Sifat-sifat kekafiran yang dibisikkan iblis kedalam hati manusia, antara lain sebagaimnana tercermin dalam firman Allah Swt :
a. Dalam melihat kebenaran, orang kafir tidak mau menggunakan akal sehat.
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الصُمُّ البُكْمُ الذِيْنَ لاَيَعْقِلُونَ
Sesungguhnya sejelek-jelek mahluk yang berjalan (diatas bumi) menurut Allah adalah ketulian dan kebisuan (hati), merekalah orang-orang yang tidak berakal. (Qs. al-Anfal : 22).
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَيُؤْمِنونَ
Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang berjalan diatas bumi menurut Allah adalah orang kafir, dan mereka itu tidak beriman. (Qs. al-Anfal : 55).
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إلاَّ كالآْنعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً
Apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mau mendengarkan atau menggunakan akal?. Mereka tidak ada, kecuali seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi jalan hidupnya. (Qs. al-Furqan: 44).
Dalam bertindak, hewan tidak berdasar akal sehat. Tindakannya hanya didorong oleh naluri kepentingan sesaat. Jika manusia jiwanya sedang dikuasai oleh nafsu bahimiyah (binatang ternak),[10] maka akal sehatnya menjadi mati dan tidak berfungsi untuk mengenal Tuhan.
b. Menganggap bodoh kepada orang-orang yang beriman serta mentertawakannya.
وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ أَمِنُوا كَمَا أَمَنَ النَاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا أَمَنَ السُفَهَاءُ, أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka: berimanlah kamu semua seperti manusia lain. Jawab mereka: Apakah kami beriman seperti yang diimani oleh orang-orang yang bodoh. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu bodoh, tetapi mereka tidak menyadari. (Qs. al-Baqarah : 13).
Menurut orang kafir, orang mukmin adalah manusia bodoh yang kehilangan ego dan harga dirinya. Mereka – menurut orang kafir - rela menanggalkan kehormatan diri demi, mengikuti tuntunan dan taslim serta memperbudakkan diri kepada Rasulullah Saw dan para ulama (penerus risalah Islam).
Padahal semestinya – menurut Allah Swt - merekalah orang-orang yang bodoh. Semestinya – karena setan telah menyatu dengan jiwanya - mereka taat, taslim serta memperbudakkan diri kepada nafsu setan dan tipuan iblis. Hanya saja mereka tidak menyadarinya.
Seseorang tidak bisa selamat dari imperialis nafsu/ iblis selama tidak berada dalam asuhan dan bimbingan Syeh Kamil Mukammil Radliyahu Anh.
c. Tidak ada artinya memberi penjelasan tentang kebenaran hakiki kepada kafir.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja apakah engkau peringatkan atau tidak, tetap tidak mau beriman. (Qs. al-Baqarah : 6).
Bagi orang kafir, kebenaran bukan terletak pada nilai benar atau salahn. Tetapi terletak pada keuntungan atau merugikan terhadap jasmani atau kehormatan diri. Jika membawa keuntungan itulah kebenaran, dan jika tidak itulah kebatilan.
d. Mudah berkeluh kesah, dan jika ditimpa kesusahan, dikembalikannya kepada Allah Swt. Namun ketika Allah sudah menggantinya dengan kenikmatan, diakuinya dari hasil usaha sendiri. Firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 8 : [11]
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Dan, ketika manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (mengembalikan seluruh kejadian kepada-Nya). Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan dari-Nya, ia lupa kalau pernah berdoa kepada-Nya. Serta membuat tandingan untuk-Nya hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah, (wahai orang-orang yang kufur)bersenang-senanglah kamu dalam waktu sebantar (didunia). Sesungguhnya kamu dari golongan penghuni neraka.
e. Memisahkan kekuatan Rasulullah Saw dari kekuatan Allah Swt.
إِنَّ الذِيْنَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ, وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُولَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkufuri Allah dan rasul-Nya, dan mereka ingin memisahkan antara Allah dan rasul-Nya. Mereka berkata : kami mempercayai sebagian dan mengkufuri yang sebagian. Dan mereka ingin mengambil jalan tengah diantaranya. Merekalah orang-orang kafir yang semestinya. Dan Kami sediakan untuk orang kafir siksa yang sangat menghinakan.[12] (Qs. An-Nisa’: 150 – 151).
Sifat orang kafir yang dimaksud dalam ayat diatas, dalam kitab tafsirShawi juz I dijelaskan : kekafiran mereka disebabkan oleh paham pemisahan antara Allah Swt dan Rasul-Nya, dan bukan oleh paham penyekutuan (syirik).
فَكُفْرُهُمْ بِالتَفَرُّقَةِ لاَ بِاعْتِقَادِ الشِرْكِ للهِ
Kekafiran mereka disebabkan pemisahan (antara kekuatan Allah dan rasul), dan bukan sebab keyakinan syirik (menyekutukan Allah dengan Rasul). [13]
Demikian pula, paham pemisahan antara keduanya yang menjadikan hati ternilai kufur, ketika seseorang mampu melaksanakan amal kebaikan, tiba-tiba secepat kilat panah kekafiran/ kemusyrikan (menyekutukan Allah Swt dengan kekuatan dirinya) menghunjam kedalam kalbu. Ketika beribadah, kebanyakan mereka lupa, kalau kekuatan, tenaga yang digunakannya datangnya dari Allah Swt semata. Oleh mereka diaku sebagai kekuatan dan tenaganya sendiri. Dan kemudian, secra otomatis ibadahnya pun diaku hanya sebagai karyanya pula.
Memang, nafsu/ setan musuh yang paling utama bagi setiap mukmin.
2. Sifat-Sifat Orang Munafiq
Akal dapat memahami keberadaan Tuhan Yang Maha Esa Pencipta semesta alam. Dan pula akal tidak dapat mengingkari-Nya, sebagaimana ketidak mampuannya untuk membuktikan keberadaannya secara musyahadah. Tidak ada jalan untuk membuktikan keberadaan Allah Swt secara musyhadah, kecuali melalui hidayah yang diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya sendiri. Memahami keberadaan-Nya tidak cukup hanya berhenti pada kajian ilmiyah yang sifatnya tidak pernah tetap dan tidak pasti. Kesimpulan ilmiyah saat sekarang, sering dimentahkan oleh kajian ilmiyah berikutnya. Banyak orang menjadi kafir atau munafiq disebabkan kajian ilmiyah yang tidak disertai hidayah Allah Swt. Sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw :[14] أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا : Paling banyak para munafiq (dari) ummat-ku adalah para pembaca ilmu (pengkaji ilmiyah).
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda :[15]
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمُ اللِسَانِ.
Sesungguhnya yang paling aku takuti dari sesuatu yang aku takutkan pada ummatku, adalah orang munafiq yang alim lisannya (pandai berbicara).
Maksud dari kedua hadis diatas diperjelas dalam hadis yang menjelaskan, sebagian dari orang yang mempelajari al-Qura’an, terdapat orang munafiq. Mereka berdeskusi atau berdebat menggunakan dasar al-Qur’an. Namun tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةُ عَالِمٍ وَجَدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبِ بِالقَدَرِ.
Aku menakutkan tiga perkara terhadap ummatku : hilangnya orang alim, perdebatannya orang munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir. [16]
Dan dalam hadis lain juga diterangkan, Rasulullah Saw sangat menghawairkan kalau ummatnya dipimpin oleh orang yang bodoh tentang agama (terutama permasalahan syirik dan tauhid), namun berani melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an dan hadis. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [17]
أَفَةُ الدِيْنِ ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ
Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang durhaka, imam yang tidak adil dan mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis) yang bodoh.
Dalam memahami keberadaan Tuhan serta mengingkari perintah-perintah-Nya, antara orang munafiq dan orang kafir terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya, terletak dalam kondisi batiniyah. Artinya, oleh sebab wujudnya mahluk, hati mereka sama-sama tertutup dari keberadaan Tuhan. Dalam penjelasan al-Qur’an, pada segi batiniyahnya sering dijelaskan kesamaan sifat antara orang kafir dan munafiq. Kedua golongan manusia ini akan dimasukkan keneraka jahannam secara bersamaan.
إِنَّ اللهَ جَامِعَ المُنَافِقِيْنَ والكَافِريْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًا
Sesungguhnya Allah mengumpulkan orang munafiq dan orang kafir dalam neraka jahannam secara bersama-sama. (Qs. an-Nisa’: 140).
Perbedaannya, prilaku lahiriyah orang kafir menampakkan pengingkaran secara nyata, sedangkan orang munafiq dalam prilaku lahiriyahnya sering menyerupai prilaku orang yang beriman. Munafiq – sebagaimana orang mukmin - dapat mengucapkan kalimah thayyibah dengan melibihi fasihnya mukmin, namun hanya sebatas lisan. Akibat tertutupnya hati oleh wujud dan sifat makhluk (termasuk dirinya sendiri), hati mereka tetap mengingkari keberadaan Tuhan.
Orang munafik pandai beradaptasi dengan lingkungan. Ketika bertemu mukmin, mereka bersikap mukmin dan ketika bertemu orang kafir, mereka mendukung kekafiran. Bagi mereka, keuntungan dan kerugian lahiriyah merupakan inti dari makna kehidupan.
Agar dapat membedakan antara sifat kemunafikan dan ketidak munafikan serta kemudian membersihkan jiwa dari sifat-sifat munafiq, wajib hukumnya mengetahui ciri-ciri kemunafikan dan kekafiran. Tanpa memahaminya, seseorang sudah tentu akan terperosok kedalamnya.
Ciri-ciri kemunafiqan sebagaimana penjelasan al-Qur’an, antara lain :
1. Malas mendirikan shalat, riya’ dengan amal kebaikannya dan tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 142 :
إِنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, [18](tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak ingat Allah kecuali sedikit.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang melaksanakan shalatpun kadang masih dinilai oleh Allah Swt sebagai munafiq (bahkan kafir).[19]Karena hati tertutup dari kebesaran dan kebaradaan Allah Swt, menyebabkab mereka tidak sungguh-sungguh dalam shalat, tidak malu dan tidak takut berbuat ujub dan riya,[20] dan sangat sedikit melaksanakan dzikrullah. Jika melaksanakan shalat hanya secara ritual lahiriyah saja, perlu memiliki kekhawatiran kalau-kalau masih dikategorikan oleh Allah Swt dalam kelompok kafir atau munafiq. Sebagaimana yang terermin dalam Qs. al-Anfaal : 35 :
وَمَاكَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ إِلاَّ مُكَاءًا وَتَصْدِيَةً فَذُوْقُوا العَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُون
Dan tidak ada shalat mereka disekitar rumah Allah itu kecuali hanyalah siulan dan tepuk tangan saja.[21] Maka, rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu sendiri.
Demikian pula keterangan yang lain dalam sabda Rasulullah Saw :[22]
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ صَلاَتُهُ عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak akan bertambah dekat kepada Allah, bahkan ia bertambah jauh dari-Nya.
2. Suka berbicara bohong, menghianati kepercayaan serta mengingkari perjanjian.[23]
HR, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahma (Rasulullah Saw bersabda :
أَيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ: إِذَا أَحْدَثَ كَذَبَ, وَإِذَا أْؤتُمِنَ خَانَ, وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda orang munafiq ada tiga; ketika berbicara ia berdusta, ketika dipercaya ia menghianati, dan ketika berjanji ia mengingkari
3. Menjadikan mahluk sebagai sekutu bagi Allah Swt, dan mencintai mahluk sebagaimana mencintai Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ النَاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
Dan diantara manusia terdapat orang yang mengambil (menjadikan) tandingan dari selain Allah, serta dicintainya seperti mencintai Allah.
4. Tidak mau diajak berjuang dijalan kebenaran (jalan Allah Swt). Dan hanya dirinya atau keluarganya yang diperjuangkan. Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ali Imran: 167 :
وَلِيَعْلَمَ الذِيْنَ نَاقَقُوا, وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوافِي سَبِيْلِ اللهِ أَوِادْفَعُوا قَالُوالَوْ نَعْلَمُ قِتَالاً لاًتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلإيْمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَالَيْسَ فِيْ قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كُنْتُمْ يَكْتُمُونَ.
Dan agar Allah mengetahui siapa orang yang munafiq. Dan jika dikatakan kepada mereka : Marilah berjuang dijalan Allah atau pertahankanlah dirimu”. Mereka menjawab : “sekiranya kami mengetahui perjuangan (adalah kebenaran) niscaya kami akan mengikuti kamu”. Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah mengetahui dengan sesuatu yang mereka sembunyikan.
5. Menghalang-halangi perjuangan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 61 :
وَإذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَسُولِ رَأَيْتَ المُنَافِقِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Dan jika dikatakan kepada mereka : “kemarilah kalian untuk (kembali) kepada sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah dan (kembali) kepada rasul”, niscaya engkau akan melihat orang-orang munafiq menghalangi manusia (agar menjauh) dari kamu dengan sekuatnya tenaga.
Nilai hidayah memang mahal. Sama mahalnya dengan nilai dapat memahami keberadaan pribadi Mursyid Kamil Mukammil. Demikian pula, hanya dengan hidayah-Nya seseorang seseorang dapat membedakan kebenaran dengan kesesatan. Tanpa hidayah Allah Swt, seseorang akan mengira kebatilan sebagai kebenaran, kesesatan sebagai hidayah. Sangat beruntung orang yang sungguh-sungguh memohon hidayah-Nya, agar mendapatkan bimbingan dari Mursyid Kamil Mukammil. Dan, alhamdulillah, shalawat Wahidiyah – sebagaimana yang dirasakan oleh pengamalnya – diberikan karunia oleh Allah Swt, dengan mudah mengantarkan kepada rahmat dan hidayah-Nya, serta membersihkan hati dari sifat-sifat kekafiran dan kemunafikan.
3. Sifat-Sifat Orang Beriman
Perbuatan mengetahui adalah pekerjaan akal. Sedangkan perbuatan merasa adalah pekerjaan hati. Rasa dekat dan takut kepada Allah Swt, cinta dan mengagungkan Allah wa Rasulihi Saw adalah pekerjaan jiwa atau hati, yang kemudian sering dapat terlihat dari perbuatan lahir. Antara ilmu ke-Tuhanan dengan iman kepada-Nya sangatlah berbeda. Seseorang yang menguasai berbagai macam ilmu agama (ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu makrifat dan lainnya), dapat juga tidak merasa dilihat, dikuasai oleh Allah, hingga tidak memiliki rasa takut kepada Allah wa Rasulihi Saw. Dan juga, seseorang dapat merasa takut kepada Tuhan serta merasa dikuasai-Nya, meskipun hanya memiliki ilmu agama yang pokok-pokok saja. Iman kepada Allah bukan merupakan pengertian tentang ke-Tuhan-an, akan tetapi merupakan “Nur Ilahiyah” yang diletakkan oleh Allah Swt kedalam hati hamba yang dipilih dan dikehendaki-Nya. Dengan iman, hati mudah memandang kebasaran dan kekuasaan Allah Swt.
فَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ للإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
Barang siapa, yang Allah melapangkan dadanya untuk Islam, maka ia dalam cahaya dari Tuhannya. (Qs, az-Zumar : 22).
Iman adalah nur ilahiyah yang tertancap dalam hati seseorang. Dan ukuran keimanan seseorang terletak dalam sejauh mana ia merasa dikuasai, dilihat dan didengar oleh Allah Swt dalam segala perbuatannya. Semakin dalam, tentang hal tersebut, maka semakin kuat dan tebal iman seseorang. Demikian pula seseorang yang tidak merasa dikuasai dan dilihat oleh Allah Swt (meski memiliki ilmu ke-Tuhan-an), maka mereka ia tidak dapat dikatakan mukmin.
إِنَّ اللهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena nur tersebut, maka ia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.
Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra)Rasulullah Saw menjelaskan diantara tanda-tanda orang yang beriman adalah dapat berinaabahkepada Allah Swt :
إِنَّ النُوْرَ إِذَا دَخَلَ القَلْبَ انْتسَحَ وَانْشَرَحَ, فَقِيْلَ : يَارَ سُولَ اللهِ هَلْ لِذَالِكَ مِنْ عَلاَمَاتِ يُعْرَفُ بِهَا؟.
فَقَالَ : التَجَافَى عَنْ دَارِ الغُرُورِ وَالإِنَابَة إِلَى دَارِالخُلُودِ وَالإَسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُولِ المَوْتِ
Sesungguhnya “nur” (ilahiyah) ketika masuk kedalam hati, maka Allah melebarkan hatinya. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah untuk hal tersebut, adakah tanda-tanda untuk mengetahuinya?. Rasulullah menjawab : berpaling dari kehidupan duniawi yang menipu dan kembali (inaabah) kepada rumah abadi (Allah) serta memersiapkan mati sebelum datangnya kematian.[25]
Sedangkan ciri-ciri orang mukmin yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis, antara lain :
1. Memahami dan mendapat ilham (ilmu laduni/ ilmu pemberian langsung dari Allah Swt) tentang inti/ ruh agama. Rasulullah Saw bersabda :
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعِبْدٍ خَيْرًا فَهَّمَهُ فِي الدِّيْنِ وَأَلْهَمَهُ رُشْدَهُ
Jika Allah menghendaki seseorang menjadi baik, Maka Dia memahamkannya dalam agama serta memberi ilham tentang pendalamannya.[26]
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعِبْدٍ خَيْرًا فَتَحَ لَهُ قَفْلُ قَلْبِهِ وَجَعَلَ فِيْهِ اليَقِيْنَ وَجَعَلَ قَلْبَهُ وَعْيًا لِمَا سَلَكَ فِيْهِ وَجَعَلَ قَلْبَهُ سَلِيْمًا وَلِسَانَهُ صَادِقًا وَخَلِيْقَتَهُ مُسْتَقِيْمَةً وَجَعَلَ أُذُنَهُ سَمِيْعَةً وَعَيْنَهُ بَصِيْرَةً
Jika Allah menghendaki seseorang menjadi baik, Maka Dia membukakan (memfutuh) bagi seseorang itu relung hatinya, dan menjadikan keyakinan didalamnya. Dijadikan hatinya bersih, lisannya senantiasa benar, akhlaknya lurus, pendengarannya peka terhadap suara gaib dan penglihatannya memiliki bashirah.[27]
2. Sangat mencintai Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ النَاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَالذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ
Dan diantara manusia, terdapat orang yang menjadikan tandingan dari selain Allah. Mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang
yang beriman sangat mencintai Allah.
2. Mudah bergetar hati ketika dzikrullah, bertambah imannya ketika dibacakan ayat-ayat Allah, menyerahkan segala urusannya kepada-Nya, dan tekun mendirikan shalat serta menginfaqkan sebagian rizkinya. Firman Allah Swt :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ. الَّذِيْنَ يُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقَنَاهُمْ يُنْفِقُونَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan ketika dibaca ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya mereka berserah diri. Mereka menegakkan shalat, menginfaqkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Qs. al-Anfal : 2 – 4).
3. Mencintai pribadi Rasulullah Saw, serta mengalahkan cintanya kepada yang lain .
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicinatinya dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mencintai Allah wa Rasulihi Saw adalah puncak dari segala cinta, yang tidak boleh dikalahkan oleh cinta kepada yang lain. Jika hati kosong dari cinta semacam ini, ketenangan hakiki dan lestari akan tercabut dari jiwa seseorang.
قُلْ اِنْ كَانَ أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُ كُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم وَعَـشِـيْرَتُكُم وَأَمْوَالٌ اقتَرَفْـتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَـوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهاَ أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه ِ فَتَرَبّصُوا حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ الفَا سِقِيْنَ
Katakanlah (Muhammad): jika sekiranya bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara, suami atau istri dan keluarga kamu semua, serta harta yang telah kamu semua kumpulkan, perniagaan yang kamu semua takut kebangkrutannya dan tempat tinggal yang kamu semua rela didalamnya, lebih kalian cintai dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sehingga datang keputusan Allah. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang fasik. (Qs, at-Taubah : 24).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menjelaskan ayat ini dengan hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Bukhari dari jalur Juhrah Ibnu Ma’bad : Ia berkata : Suatu saat kami bersama Rasulullah Saw. Dan tangan sahabat Umar Ibnu al-Khatthab memegang tangan Nabi Saw. Umar Ra berkata :
وَاللهِ يَارَسُولَ اللهِ أَنْتَ لآَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي , فَقَالَ رَسُولِاللهِ صَلَّى اللهُ عَـلَيْهِ وَسَلمَّ : لاَ يُؤْمِن ُ أَحَدُ كُمْ حَتَى أَنْ اَ كُونَ أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ , فَقَالَ عُمَرُ : فَأَنْتَ الآَنَ وَاللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَـلَيْهِ وَسَلمَّ : الآَنَ يَا عُمَـرُ
Demi Allah, wahai Rasulullah, Engaku niscaya lebih aku cintai dari pada segala sesuatu. Rasulullah Saw. menjawab : Tidak sempurna iman seseorang, sehingga Aku, lebih dicintainya dari pada dirinya. Umar berkata : Demi Allah sekarang Engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Rasulullah Saw. menjawab : Sekarang wahai Umar telah sempurna imanmu.
Dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’ al-Afham, menjelaskan; tentang keberadaan Allah dan rasul-Nya sahabat Mu’ad bin Jabbal Ra berkata : قَلْبُ المُؤْمِن ِتَوحِيْدُ اللهِ وَذِ كْرُرَسُولِهِ مَكْتُوبَانِ فِيْهِ لاَ يَتَطَرَقُ اِلَيْهِمَا مَحْوٌوَلاَ اِزَلَةٌ
Hatinya orang mukmin senantiasa mengesakan Allah dan dzikir kepada Rasulullah. Di mana keduanya tertulis di dalam hati orang mukmin. Maka tidak boleh ada jalan (usaha) untuk menghapus dan menghilangkan keduanya.
Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani (w. 973 H) tentang mahabbah kepada Rasulullah Saw, menjelaskan; para waliyullah Ra berfatwa : [28]
وَأَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعَالى وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ. مِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan telah diketahui, bahwa sesungguhnya barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw, maka ia akan merasakankan nikmatnya wushul kepada Allah Swt. Dan barang siapa yang memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat. Diantara agung-agungnya jalan wushul adalah ta’alluq (menghubungkan jiwa)kepada Nabi Saw Kekasih Allah Swt (sadar birrasul) serta memperbanyak bershalawat kepadanya saw.
وَبِالجُمْلَةِ وَالتَفْصِيْلِ فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْدٌ بَيْنَ أَظْهَرِنَا حِسًّا وَمَعْنًى جِسْمًا وَرُوْحًا سِرًّا وَبُرْهَانًا
Dengan melalui dasar yang mujmal dan rinci, Beliau Rasulullah Saw berada diantara keberadaan kita, baik secara hissy (indrawi) atau maknawi (metafisik), secara jasmanimaupun rohani, atau secara rahasia atau nyata. [29]
Sementara al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Ali al-Khawash (w. 951 H) guru dari al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra, tentang pintu makrifat, menjelaskan :
نَحْنُ فِي سَنَةِ إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وتِسْعِمِائَةٍ جَمِيْعُ أَبْوَابِ الآَوْلِيَاءِ قَدْتَزَحْزَحَتْ لِلْغَلْقِ وَمَا بَقِيَ الانَ مَفْتُوحًا إِلاَّ بَابُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kita yang hidup pada tahun 941 H, semua pintu kewalian telah tertutup. Dan tidak dibuka kecuali melalui pintu Rasulullah Saw. [30]
4. Hanya merasa takut kepada Allah Swt, dan bukan kepada yang lain.
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Mengapa kamu takut kepada mereka?. Padahal, Allah-lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar beriman. (Qs. At-Taubah : 13).
6. Air matanya mudah mengalir, ketika kepada mereka dibacakan ayat-ayat (bukti kebaradaan)-Nya).[31]
وَمِمِّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَحْمَنْ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
Dan diantara orang yang Kami beri hidayah dan Kami pilih, ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat Tuhan Yang Maha Kasih, mereka tersungkur, sujud dan menangis. (Qs. Maryam : 58)
7. Dapat melihat dosanya sendiri serta merasa takut kepada Allah Swt dengan takut yang semestinya. Rasulullah Saw bersabda :
المُؤْمِنُ يَرَى ذُنُوبَهُ كَقَاعِدٍ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَهُ وَالمُنَافِقُ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ يَقَعُ عَلَى أَنْفِهِ فَيَطِيْرُ
Orang yang beriman dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang yang duduk dibawah gunung yang takut akan longsor dan akan menimpanya. (HR. Imam Bukhari).
C. Menjernihkan Hati
Allah Swt telah menghendaki, bahwa setiap manusia membutuhkan/ mengikuti seorang tokoh sebagai panutan (paternalistik). Dan tujuan diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun umat dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam berke-Tuhan-an. Dalam kalangan kaum sufi berlaku sebuah prinsip yang sangat paten lagi sangat teramat penting, bahwa manusia berada antara dua penuntun, setan atau mursyid yang kamil. Jika manusia, jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang kamil pasti dipandu oleh setan. Dan karenanya, memiliki Guru ruhani yang Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra, dan yang telah disepakati oleh pawa auliyaillah Ra : مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ : “barang siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
Dan pada ayat lain dijelaskan Qs. al-Furqan : 59 : الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا: Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang memahami-Nya (yakni Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman :
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
Janganlah kalian mengikuti garis-garis (panduan) setan. Sesungguhnya ia merupakan musuhmu yang nyata. (Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208).
Dalam mencari GURU ruhani, Allah Swt melarang mukmin mengikuti guru yang tidak ahli dalam ilmu tentang ketuhanan. Mereka adalah orang-orang yang hatinya lupa kepada Allah Swt, dan pula cara membimbingya tidak menggunakan ketentuan dari sunnah rasul, akan tetapi masih dipandu oleh nafsunya sendiri. Firman Allah Swt :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan janganlah kamu mengkuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada Kami, orang itu mengikuti hawa nafsunya, dan memang keadaan mereka melampuai batas (Qs. al-Kahfi : 28).
ketika sesorang yang hatinya lupa kepada Allah Swt (dan yang tidak boleh dijadikan guru ruhani), saat itulah setan menguasai jiwanya. Dan jika setan menguasai jiwa seseorang, maka orang tersebut akan memiliki pemahaman yang tebalik. Kebatilan dinaggap kebenaran, dan kebenaran dianggap kebatilan. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37 :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barangsiapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami (Allah) adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran, serta mereka (manusia) akan mengira bahwa dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah.
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119 :
وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا
Sesiapa saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong dan kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya.
Berkaitan keberadaan guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghats fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [32] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [33] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [34]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang : “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?.
Jawab pedang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw dalam hadisnya, juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang penyakit hati :[35]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ.
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Dan, untuk menghindari hal yang demikan dan demi menyelamatkan ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang mana – alhamdulillah semua atas titah dan rahmat-Nya semata - didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, kepada Rasulullah Saw dan kepada Beliau Ghgauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun orangnya yang dengan tekun mengamalkannya, akan mendapat hidayah Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw untuk memahami kebaradaan pribadi Ghauts Hadzaz Zaman Ra sebagai guru ruhani yang benar menurut Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Al-Qur,an menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti oleh ummat adalah ulama yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah berinaabah kepada-Nya. Firman Allah Swt :
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) [36] kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali. (Qs. Luqman : 15).
Kata ثُمَّ = kemudian, dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu berinaabah, dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali kepada Allah Swt.
Pada ayat lain dijelaskan tentang sebagian ciri-ciri guru ruhani. Mereka adalah orang yang ahli dalam berzikir (telah memahami cara, manfaat, urutan dan tahapan, tujuan akhirnya, dan lain sebagainya). Bagi mereka yang belum membidangi tentang hal berzikir, tidak boleh berdzikir hanya berpedoman dengan pemahamannya sendiri.
Firman Allah Swt, Qs. An-Nahl : 43 :
فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
Bertanyalah (tentang Allah) kepada para ahli dzikir jika kamu tidak memahaminya.
Orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan senantiasa bersama dengan orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun batiniyah, dalam iman, islam maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :
يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah : 119).
Seseorang bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang benar) sebagaimana keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia terus bersamanya, maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan lurus. Sebagaiman tercermin dalam sabda Rasulullah Saw : [37]
كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.
Bersamalah kamu semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu bersamanya.
Rasa jenuh sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu keadaan secara terus menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi. Demikikian pula, seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang Kamil, setan/ nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan dalam hati murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan secara ruhani) kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI tersebut. Dalam hal ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti mukmin agar tetap dan sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28 :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Sabarlah kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.
Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar bersama guru, meskipun merasa kurang senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ, فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Bersabar dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil Mukammil merupakan hal pokok untuk meluruskan keimanan.[38] Jika seseorang keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah (berlumuran dosa syirik).
Dalam mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :
Barang siapa yang keluar dari dunia (mati) sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari kelompok jin dan manusia.[39]
Berdasar beberapa hadis dan ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk meluruskan iman dan Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[40] menjelaskan :
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, maka ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setanlah pembimbingnya.
Para ulama yang Arif Billah, mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin) Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut dan yang telah teruji.[41]
لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ بِنَظْـرِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.
Kotoran hati tidak akan hilang kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.
Dan jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.
يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
Pada hari itu (kiamat) tidak dapat memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali orang-orrang yang datang (menghadap) kepada Allah dengan hati yang selamat (bersih).
Sebagai pengamal dan khadimul Wahidiyah, mari kita tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau Hadratul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar dapat beristiqamah bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.
Jangan sampai sebab permasalahan keduniawian kita belum tercapai, cepat-cepat kita keluar dari barisan Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Allah Swt lebih mengetahui kapan waktu yang paling memberi manfaat untuk terkabulnya doa.
Al-Fatihah x 1.
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salam … x 1.
Al-fatihah x 1
[1]. Terjemahan ayat dalam bab safaat ini, kami menukil dari buku Tafsir Rahmat nya H. Omar Bakry. Tafsir ini telah ditasheh oleh lembaga pentashheh al-Qur’an departeman agama RI.
a. pada waktu perang khaibar. Rasulullah Saw meminta untuk diberi satu panah. Kemudian Beliau memanahkan kearah benteng lawan, dan mengenai Ibn Abil Haqiq (salah satau dari kafir) yang sedang tidur, sehingga mati.
b. Pada waktu perang uhud, Ubay Ibn Khallaf (algojo kafir Quraisy) memburu Nabi saw. Kemudian Nabi saw menusukkan tombaknya kedada Ubay.
c. Pada waktu perang badar. Para sahabat mendengar suara gemuruh dilangit, seperti hujan batu kerikil. Pada saat itu Rasulullah Saw melemparkan beberapa batu kerikil yang mengenai lawan (orang-orang kafir), sehingga ummat islam diberi kemenangan oleh Allah.
Ayat ini menegaskan yang melempar batu dan membunuh lawan bukan Nabi saw, melinkan Allah swt. Lihat buku Asbab an-Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (terjemah dari Lubab an-Nuqul Fii Asbab an-Nuzul, nya Imam Suyuthi - penerbit CV. Diponegoro Bandung cetakan ke 18 tahun 1996 – kemudian disebut Asbab an-Nuzul), hlm : 222
[3]. Dalam hadis masyhur, Rasulullah Saw bersabda : تَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ الله : berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah. Dalam hadis lain : أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبِي : Tuhanku telah mendidikku (ahlak), hingga baiklah ahlakku. Hadis tersebut didukung oleh Allah Swt berfirman : وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا علْمًا : Dan Aku mengajarkannya ilmu dari keharibaan-Ku(Qs. Qaf : 6).
وَأَمَّا عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً لِلْهِدَايَةِ
Ilmu mukasyafah (tersingkapnya tabir hati hingga dapat sadar dan kembali kepada Allah Swt) tidak dapat dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Dan sesungguhnya ia dapat dihasilkannya hanya dengan bermujahadah, yang mana Allah Swt telah menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
Sebagaimana lazimnya, didalam mujahadah dan sebelum mukasyafah turun, kondisi jiwa seseorang terlebih dahulu akan mengalami kondisi iman yang ihsan. Dan baru kemudian kondisi jiwa rasa sangat membutuhkan pertolongan Allah Swt agar ditunjukkan kepada kebesaran dan keagungan Rasulullah Saw maupun nama dan pribadi al-Ghauts Ra. Namu – berkat fadlal Allah Swt semata -, dapat juga seseorang mendapatkan mukasyafah kepada Rasulullah Saw atau kepada al-Ghauts Ra sebelum mencapai iman yang ihsan.
[5]. Imam Syadzili Ra menjelaskan : وَمِنَ الإِشْرَاكِ بِاللهِ أَنْ يُتَّخَذَ الأَولِيَاءُ وسِيْلَةً مِنْ دُونِ اللهِ :Termasuk perbuatan syirik (menyekutukan Allah dengan mahluk), sekiranya mengambil auliya’ tanpa Allah (Kitab Thabaqatul Kubra karya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Sya’rani Ra juz II dalam bab “Imam as-Syadzili”).
Seseorang akan terjebak kedalam kemusyrikan selama memiliki kepercayaan bahwa makhluk dengan kekuatannya sendiri mampu memberi efek (baik kepada dirinya maupun kepada yang lain) tanpa izin dan fadlal dari Allah Swt.
[6]. Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra, menjelaskan makna hadis riwaya Imam Muslim (lihat dalam makalah ini pada ulasan “memahami keberadaan al-Ghauts Ra”) :
مَنْ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِبَادَةِ الثَقَلَيْنِ.
Siapa saja yang keuar dari dunia ini dan tidak pernah mushadif (mohon bimbingan iman) kepada Guru Yang Kamil Mukammil, maka ia keluar dari dunia dalam keadaan berlumuran dosa besar (syirik). Lihat kitab Thabaqat al-Kubra-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) juz II, dalam bab “Syeh Muhammad Wafa” dan bab “ImamSyadzali”.
[7]. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah: 30 : قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ وَيَسْفِكُ الدِمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ : Mereka berkata : Apakah Paduka (Tuhan) akan memberikan jabatan khalifah kepada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau serta mensucikan Engkau ?.
Tuhan bersabda : إِنَّي أَعْلَمُ مَالاَ تَعْلَمُونَ : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang sesuatu yang kalian tidak mengetahui.
Dalam ayat selanjutnya dijelaskan :
a. Setelah malaikat kalah dalam berdebat dengan Nabi Adam As, mereka dapat memahami Nabi Adam As lebih pandai dan lebih layak menjabat sebagai khalifah dibumi daripada kelompok mereka. Mereka berkata kepada Allah Swt : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Mereka berkata : Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari ilmu yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
b. Kekafiran iblis disebabkan tidak memahami kekuatan serta kekuasaan khalifah/ rasul, sebagai pancaran dari kekuatan Allah Swt semata (Qs. al-Anfal : 17 : وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي : Tidaklah engkau {Muhammad} yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar). Ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan setiap rasul, terlahir dari qudrah dan iradah Allah.
[8]. Dalam Qs. al-Baqarah : 31 dijelaskan setelah malaikat membanggakan diri terhadap amal dan ilmunya, kemudian Allah Swt menunjukkan kekuasan-Nya dengan memberikan ilmu tentang segala sesuatu kepada Nabi Adam secara langsung (laduni/ Ilham/ wahyu) tanpa melalui proses belajar. Allah Swt bersabda : وَعَلَّمَ أدَمَ الآسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى المَلاَئِكَةِ قَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ : Dan (Tuhan) mengajarkan kepada Adam tentang nama benda secara keseluruhan. Kemudian mengkonfrontasikannya kepada malaikat. Tuhan berfirman (kepada malaikat) : Sebutkan kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kamu memang kelompok yang benar.Dan kepada Allah Swt malaikat berkata : قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ العَلِيْمُ الحَكِيْمُ : Mereka berkata : Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan, Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mengetahui kagi Maha Bijaksana.
Setelah para malaikat dapat menyadari akan keterbatasan dirinya serta bersujud kepada Nabi Adam As, Allah Swt bersabda kepada Nabi Adam As : قَالَ يَأَدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ : (Tuhan) bersabda : Wahai Adam, ceritakan (ajarkan) kepada mereka nama seluruh benda.
[9]. Al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra dalam kitabnya al-Ghunyah juz II bab “ma yajibu ‘ala al-mubtadi”, menjelaskan bahwa : فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا : malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan.
[10]. Dalam salah fatwa amanatnya, Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan tentang jenis nafsu manusia yang berjumlah 4 (empat). Pertama, nafsu BAHIMIYAH(binatang ternak). Jika manusia jiwanya dikuasai nafsu ini, yang dikejar dalam hidupnya hanya kepuasan perut dan kelamin. Mereka tidak pernah mau mengenal Tuhan dan perintahnya. Kedua, nafsu SABU’IYAH (binatang buas). Jika jiwa manusia menjelma sebagai binatang buas, kepuasannya terletak dalam terkaman kepada orang lain. Ketiga, nafsu SYAITHANIYAH (setan/ iblis). Iri, ambisi, dengki, sombong dan ujub (membangga-banggakan serta memamerkan amal kebaikan yang pernah dilakukan) akan menjadi sifat dan watak manusia yang jiwanya sedang dikuasai oleh nafsu syaithaiyah ini. Keempat, nafsu RUBUBIYAH (ke-Tuhan-an dan sifat-sifat-Nya). Rububiyah merupakan milik dan haknya Allah Swt. Jika manusia jiwanya dikuasai nafsu ini, mereka berani merebut hak dan miliki Allah Swt. Kepuasan dalam hidup mereka, adalah mendapatkan kehormatan dan kedudukan ditengah-tengah masarakat. Bagi mereka, kehormatan diri lebih penting daripada kebenaran. Dan untuk meraihnya mereka menghalalkan segala cara. Mengaku-aku sifat dan milik Allah Swt. Misalnya; merasa hidup, mendengar, melihat, alim, berkuasa dan lain sebagainya. Padahal hanya Allah Swt Yang Maha Hidup, Mendengar, Melihat, Kuasa dan sifat-sifat baik lainnya. Nafsu yang terakhir ini meruapakan pangkal nafsu. Dan ketiga nafsu lainnya terlahir dari nafsu ini.
[11]. Keterangan yang semakna dengan keterangan ayat tersebut, juga terdapat dalam: Az-Zumar : 49, al-Isra’: 67 + 83 dan an-Nahl : 53-54.
[12]. Makna ayat diatas lebih ditegaskan lagi oleh ayat 17 surat al-Anfal, bahwa kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata. : وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي : Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dengan tegas ayat ini mengatakan kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata. Kekuatan rasul tidak boleh dipahami sebagai kekuatannya sendiri, yeng terceraikan dari Allah Swt. Nilai syirik terletak pada pemahaman, dan bukan pada perbuatan. Dengan demikian, seseorang dikatakan MUSYRIK (menyekutukan Allah dengan rasul-Nya) selama tidak memahami kekuatan Rasullah Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Tetap dinamakan MUSYRIK meskipun tidak bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, selama memiliki pemahaman kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatannya sendiri, dan bukan kekuatan Allah Swt. Dan dinamakan BERTAUHID, ban bukan MUSYRIK, meskipun bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, selama memahami kekuatannya adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah sebagai hamba terpilih untuk dijadikan tempat tajalli (tempat penampakkan sifat)-Nya yang sempurna.
Mendekat kepada Rasulullah Saw untuk bertawassul maupun beristighatsah, berarti mendekat kepada ‘Nur Ilahiyah”-nya Allah Swt semata.
[13]. Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi Ra dalam tafsirnya pada penjelasan surat an-Nisa, ayat 150 – 151. Beliau adalah diantara para ahli tafsir yang berpangkat al-Ghauts
[14]. HR. Imam Ahmad dalam Musnad, Thabrani dalam al-Ausath, Baihaqi dalam Su’bul Iman dari jalur Uqbah Ibn Amir. Dan juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, Ibnu Adi dalam al-Kamil namun dari jalur Ishmah Ibn Malik. Kitab Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif”.
[15]. HR. Imam Ahmad dari Umar Ibn al-Khatthab dalam dalam Jami’ as-Shaghir, juz I, bab “alif”. Beliau mengatakannya sebagai hadis “shahih”.
[16]. HR. Imam Thabrani dari Abu Darda’ dalam kitab Jami’ as-Shagir, juz I, pada bab “alif”.
[17]. HR. Ad-Dailami, dari Ibnu Abbas Ra dalam Jami’ as-Shaghir, juz I, pada bab “alif”. Mujtahid adalah orang yang memahami/ menggali hukum / menafsiri dari al-Qur’an dan al-Hadis.
[18]. Perbuatan baik seperti shalat atau lainnya, dilakukannya bukan karena semata-mata menjalankan perintah Allah Swt, tapi hanya untuk menyembunyikan niat buruknya serta untuk mengelabuhi pandangan ummat terhadap niat jahatnya.
[19]. Dalam surat at-Taubah ayat 54, dijelaskan bahwa malas mendirikan shalat termasuk sifat dari orang kafir.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتـُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنْفـِقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ
Sesungguhnya mereka kafir dengan Allah (billah) dan dengan rasul-Nya (birrasul), dan mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas, dan tidak mengifaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa.
[20]. Riya’ adalah melakukan kebaikan bukan untuk mencari keridlaan Tuhan, tetapi untuk mencari pujian dan kemasyhuran dalam pergaulan masarakat. Orang-orang yang menjadikan shalat untuk mencari pujian dari sesama (berbuat riya) akan dimasukkan kedalam neraka wail
Firman Allah Swt, Qs. al-Ma’uun :
فَوَيلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. الذِيْنَ هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الماعُونَ
Maka, neraka wail diperuntukkan bagi orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’. Dan mereka enggan menolong dengan barang yang dibutuhkan masyarakat.
[21]. Para ulama telah sepakat, bahwa makna menegakkan shalat adalah melaksanakan shalat secara lahir (sebagaimana tata cara yang dijelaskan dalam ilmu fiqih) dan secara batin (memahami, menghayati dan megamalkan makna rukun dan sunnahnya setelah melaksanakan secara lahiriyah.
Pemahaman shalat secara syariah dan hakikah, sudah tentu akan membuahkan prilaku yang jauh dari kemungkaran, dan akan dikarunia Allah Swt akhlak yang mulia, serta mudah ingat kepada
Allah Swt dalam segala keadaan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Qs. Al-Ma’arij : 19–27 :
إنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَامَسَّهُ الشَرُّ جَزُوعًا وَإِذَامَسَّهُ الخَيْرُ مَنُوعًا إِلاَّالمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُون. وَالذِيْنَ هُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ. لِلسَائِلِ وَالمَحْرُومٍ. وَالذِيْنَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ وَالذِيْنَ هُمْ مِنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ.
Seungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Ketika mendapat kesusahan ia berkeluh kesah. Dan ketika mendapat kenikmatan ia amat kikir. Kecuali orang yang menegakkan shalat. Yaitu, orang-orang yang melaksanakan shalat secara terus-terus (shalat daim). Dan orang-orang yang (sadar) dalam hartanya terdapat bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta-minta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (tapi tidak mau meminta-minta). Dan orang yang mempercayai hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa menusia memiliki sifat yang amat buruk dalam memandang suka dan duka. Dan pada Qs. Ar-Ruum : 33, 34 dan 36, juga diterangkan :
وَإِذَامَسَّ النَاسُ ضُرٌّ دَعَوْارَبَّهُمْ مُنِيْبِيْنَ إِلَيْهِ وَإِذَا أَذَاقَهُمْ مِنْهُ رَحْمَةً إِذَاَفرِيْقٌ مِنْهُمْ مُشْرِكُوْنَ لِيَكْفُرُوا بِمَاآتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوفَ تَعْلَمُونَ وَإِذَا أَذَقْنَا النَاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أيْدِيهِمْ إِذَا هُمْ يَقْنَطُونَ
Dan ketika manusia tersentuh musibah, mereka berdoa kepada Tuhan seraya mengembalikan segala sesuatu datang dan kembali kepada-Nya (Inaabah). Dan ketika mereka telah merasakan rahmat dari-Nya, sebagian dari mereka menyekutukan-Nya dengan yang lain hingga mengkufuri apa-apa yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka rasakanlah (perbuatanmu itu), niscaya kalian akan mengetahui (akibatnya). Dan ketika Kami telah memberi (rasa) rahmat kepada manusia, maka gembiralah mereka, dan ketika mereka tertimpa musibah (keburukan) akibat dari ulah mereka dimasa lampau segera saja mereka putus asa.
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Dan, ketika manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah kepada-Nya. Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan dari-nya, ia kalau pernah berdoa kepa-Nya. Serta membuat tandingan untuk-Nya hingga ia tersesat dari jaln-Nya. Katakanlah, bersenang-senanglah kamu sebantar, sesungguhnya kamu dari golongan penghuni neraka. (Qs. az-Zumar/8)
[22]. Kitab Muhtashar Ihya, ‘Ulum ad-Diin-nya al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan khusyu”.
[23]. Sebagian ulama – dengan alasan demi kehati-hatian, lil-ihtiyath - memasukkan pengingkaran terhadap kesepakatan bersama, termasuk bagian dari sifat kemunafikan.
[25]. Kitab Minhaj al-Abidiin oleh Imam al-Ghazali dalam “muqaddimah”.
Dalam kitab tafsir al-Qurthubi dalam Qs. az-Zumar ayat 22 diterangkan, bahwa yang menerima “Nur ilahiyah” secara sempurna hanyalah Hamba Allah yang Kamil (al-Ghauts- pen). Romo KH.Abdul Latif Majid Ra, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, dalam salah satu fatwa amanatnya menjelaskan; bahwa iman itu terbagi menjadi tiga bagian : iman qauliyah (ucapan), iman ilmiyah dan iman musyahadah (kesaksian).
[26]. Kitab Jam’ as-Shaghir juz I pada bab alif. HR. al-Bazzar dari Ibnu Mas’ud Ra. Imam Suyuthi mengatakan : hadis ini berderajat hasan.
[27]. HR. Abus Syeh dari Abu Dzarr. Kitab Jami’ as-Shaghir juz I dalam bab “alif”. Imam Suyuthi mengatakan : hadis ini berderajat dla’if.
Para ulama mengatakan, hadis dla’if yang menjelaskan tentang fadlilah amal, baik untuk diamalkan. Lebih-lebih hadis tersebut terdapat hadis lain yang mendukung dan menguatkan maknanya, maka menjadi hadis hasan lighairihi, dan boleh diamalkan.
[28]. Kitab Saadah ad-Daraini-nya al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1350 H) dalam bab 10 “faidah sholawat Nabi Saw & buahnya”, beirut, “dar-al-Fikri, tt.. hlm : 506 – 507..
[29]. Lihat kitab Sa’adah ad-Daraini halaman 462. Ta’alluq kepada Rasulullah Saw tercermin dalam makna shalawat “Ainul Wujud”. Shalawat ini termasuk jenis shalawat maktsurah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada Fathimah az-Zahra’. Susunan redaksinya adalah:
اللهمَّ صلِّ على رُوحِ مُحَمَّدِ فِي الأرْوَاحِ وَعَلى جَسَدِ مُحَمَّدٍ فِي الأجْسَادِ وَعَلَى نُورِ مُحَمَّدٍ فِي الأَنْوَارِ وَعَلَى قَبْرِ مُحَمَّدٍ فِي القُبُورِ
Ya Allah sampaikan shalawat-Mu kepada ruh Muhamad yang ada dalam seluruh ruh, kepada jasad Muhamad yang ada dalam segala jasad, kepada cahaya Muhammad yang ada dalam segala cahaya dan kepada kubur Muhamad yang ada dalam seluruh kubur. Kitab al-Ghunyah,
Kitab Sa’adah ad-Daraini, Syeh an-Nabhani Ra dalam bab “shalawat ke 6, dan kitab al-Ghunyah Syeh Abdul Qadir Jailani Ra, juz I dalam kitab haji, bab 8.
[30] Lihat kitab Thabaqat al-Kubra-nya Syeh Sya’rani, atau kitab Tahrir ad-Durar nya KH.Mishbah Zain al-Mushthafa, Bangilan, Tuban, Jawa timur, dalam bab “Syeh Ali al-Khawash”. Keterangan sepadan terdapat dalam kitab Kimya’ as-Sa’dah nya al-Ghazali (kitab ini diterjemah oleh Gus Mus, Rembang, Jawa Tengah, dan diberi pengantar oleh Bpk KH Sahal Mahfud – Rais Am Suriah jam’iyah NU, tahun 2005). Tokoh NU ini menjelaskan; bahwa tanpa melalui Rasulullah Saw, perjalanan menuju Allah Swt akan mengalami kegagalan.
[31]. Rasulullah Saw merupakan rahasia dari ayat-ayat (bukti keberadaa) Allah Swt yang terbesar, paling lengkap dan sempurna. Oleh karenanya, para ulama salafus shalih(seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i, Syeh Sufyan Tsauri, Imam Timidzi, Imam Baihaqi dll), para pembesar kaum sufi (Abu Dzar al-Ghifari, Hasan al-Bashri, Ibnul Mutsayyab, Dzun Nun al-Mishri, Syeh Junaid al-Bagdadi, Syeh Sahal at-Tustari, al-Qusyairi, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Imam Syadzili, Syeh Samsuddin al-Hanafi dan para ulama lainnya), ketika dzikrur rasul (ingat kepada rasul) mereka mudah bercucuran airmatanya.
Ketika mukmin menangis karena Allah Swt, terdapat 3 kondisi : adakalanya karena dosa, adakalanya karena dorongan terhara dan rasa syukur terhadap nikmatnya dan adakalanya karena terharu terhadap kebasaran dan keagungan Allah Swt yang ditampakkan melalui Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra pada setiap zaman.
[32]. Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan - waktu itu - sudah banyak penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan yang telah dianggap kebenaran dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam sunnah Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat nabi. Islam, pada awalnya tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi). Namun dalam perkembangan akhir-akhir ini, ummat Islam dalam prilaku hidup dan perjuangannya memisahkan antara ketiga hal tersebut. Banyak ahli fiqh yang tidak memerhatikan hal nafsu dan makrifat. Demikian pula banyak pelaku tasawuf kurang memperhatikan amal syariah.
[33]. Ibid. Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Dan pula – masih keterangan Syeh Sya’rani -, Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya antara dirinya dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[34]. Diantara tanda-tanda SAH dan BENAR-nya tarekat, dapat membawa pengamalnya dekat bahkan bersatu dengan Rasulullah Saw secara ruhani maupun musyafahah (dapat berdialog). Jika tidak , maka batal tarekat tersebut. Lihat dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah juga dalam “sanadul qaum”
[35]. Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[36]. Inabaah (sebagai kata jadian dari kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif). Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh; bertasawufsama dengan berinabah yang berarti = perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ
Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[38]. Hal ini disebabkan malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[39]. Lihat kitab Tbaqatul Kubra-nya Imam Sya’rani, juz II dalam bab kisah “Syeh Ibnu Makhala”,
[40]. Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak karamahnya.
[41]. Kitab Tanwir al-Qulub-nya Syeh Amin al-Kurdi dalam juz II pada bab tasawuf .
No comments:
Post a Comment