Thursday, April 16, 2015

MUJADDID DAN AL-GHOUTS ; PERANAN DAN KEDUDUKANNYA DI TENGAN UMMAT

YAA  SAYYIDII  YAA AYYUHAL  GHOUTS  !
KULIAH WAHIDIYAH SIANG

Mujadid dan Al-Ghauts; Peranan dan Kedudukannya di Tengah Umat

Banyak yang belum faham antara perbedaan Ghautsdan Mujadid. Apa tugas-tugasnya, sejak kapan keberadaanya di tengah-tengah umat. Hal ini penting di bahas karena masih banyak kaum Muslimin khususnya Pengamal Wahidiyah yang salah mempresepsikan atau bahkan tidak tahu sama sekali keberadaan Ghauts dan Mujadid di muka bumi. Ini bisa di maklumi mengingat pembahasan tentangGhautsiyah dan Mujadid tidak banyak beredar di tengah-tengah masyarakat. Kali ini Aham sengaja menurunkan kembali tulisan pembahasan Mujadid dan Ghauts yang di muat pada edisi 17/Ramadhan 1419H/Desember 1998M. hasil wawancara reporter Aham Vety Arova dengan KH. Ahmad Baidhowi (alm). Konon edisi 17 tersebut merupakan edisi terbaik dibanding edisi sebelumnya maupun sedudahnya sebagaimana dawuh beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA secara sirri kepada H. Indra Sukmana dari Cianjur.

Bisa Yahi jelaskan perbedaan antara Mujadid dan Ghauts ?

Menurut arti bahasanya, Mujadid berarti  reformis atau pembaharu. Menurut Hadits Rasulullah SAW adalah orang yang di utus oleh Allah SWT pada setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat. Mujadid ini datang setelah Rasulullah SAW wafat.

Ghauts secara harfiah berarti penolong. Menurut ulama Tasawuf adalah pemimpin para waliyullah di muka bumi. Tugasnya adalah sebagai penuntun, pembimbing kepada keselamatan dan kebahagiaan yang di ridhoi Allah wa Rasulihi SAW. Istilah Ghauts banyak di bahas dalam dunia tasawuf.

Apakah ada pembagian dalam Mujadid itu ?

Ada. Pertama, Mujadid sebelum Rasulullah SAW. Mujadid  ini di pegang oleh Rasul Ulul ‘Azmi, yang selanjutnya di sebut Mujadid Tasyri’ (pembawa syariat) yang di dalamnya juga meliputi bidang tahqiq (tasawuf). DI mulai oleh Nabiyullah Nuh AS dan di tutup oleh beliau Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin SAW. Adapun Nabi dan Rasul selain Ulul ‘Azmibertugas meneruskan misi Rasul Ulul ‘Azmi tersebut.

Kedua, Mujadid setelah Rasulullah SAW. Mujadid setelah Rasulullah SAW ini secara garis besar ada dua. YakniMujadid Tahqiq dan Mujadid Ghairu Tahqiq atau Tasyri’(fiqih) disini bukanlah tasyri’ pembawa syariat sebagaiman Rasul Ulul ‘Azmi. Melainkan Mujadid yang bertugas membangun dan mengembalikan syariat Rasulullah SAW sebagaimana mestinya. Sedangkan Mujadid Tahqiq adalah seseorang yang di utus oleh Allah SWT untuk membangun dan menghidupkan kembali ajaran dan tuntunan Rasulullah SAW untuk wushul makrifat kepada Allah SWT. Mujadid Tahqiqi disini adalah pemimpin para waliyullah (Sultanul Auliya’).

Kongkritnya bagaimana ?

Begini, Mujadid Tasysri’ di jabat oleh lima Nabi dan RasulUlul ‘Azmi (Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad SAW). Jarak antara Ulul ‘Azmi dengan yang lainya kurang lebih 1000 tahun. Para beliau Ulul ‘Azmi ini (Mujadid Tasyri’) membawa syariat sendiri-sendiri. Bila Ulul ‘Azmi ini wafat, maka digantikan oleh yang baru dengan syariat yang lebih sempurna. Adapun para Rasul yang bukan Ulul ‘Azmi bukanMujadid, bertugas menyampaikan syariatnya Mujadid Tasyri’ sebelumnya. Sebagai contoh, para Rasul yang hidup diantara Nabi Nuh AS dan Nabi Ibrahim AS yaitu Hud AS dan Nabi Shaleh AS. Beliau berdua bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Nuh AS. Begitu juga Rasul yang hidup di antara Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, bertugas menyampaikan syariatnya Nabi Ibrahim AS, dan seterusnya. Walau sebagai penerus dan bukan Mujadid Tasyri’, dalam menjalankan tugas-tugas kerasulanya mendasarkan pada wahyu Allah SWT, bukan sekedar taklid atau mengikut.

Bagaimana halnya dengan tugas para nabi sebelum Nabi Nuh AS?

Sebelum Nabi Nuh AS tidak disinggung soal Mujadid. Sebab waktu itu belum ada syariat. Jadi tugas para Nabi seperti Nabi Adam AS, Nabi Syis AS sampai nabi Nuh AS yang berjarak kurang lebih 1000 tahun itu terbatas soal tauhid, memperbaiki cara hidup dan meningkatkan kesejahteraan anak cucunya sampai datangnya Nabi Nuh AS, maka Allah SWT memberikan batasan-batasan antara ibu dan anak-anak, saudara laki-laki dan saudara perempuan, juga mengaktifkan kewajiban-kewajiban, melaksanakan adab-adab beberapa perintah yang disusul dan diikuti para RasulUlul ‘Azmi berikutnya hingga syariatnya lebih meningkat dan lebih sempurna (Islam) yang di bawa Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin Nabi Muhammad SAW yang syariatnya meliputi syariat para Nabi dan Rasul sebelumnya. (Hasyiyah Showi juz 11 hal 29).

Setelah Rasulullah SAW wafat bukankah syariat agama sudah sempurna, tapi mengapa Allah masih mengangkat Mujadid?

Sebelumnya kan saya jelaskan bahwa Mujadid sepeninggal Rasulullah SAW bukan sebagai Mujadid pembawa syariat, tetapi Mujadid untuk memperbaiki (memperbaharui) syariat Rasulullah SAW yang sudah tidak murni lagi. Nah, Mujadidsepeninggal Rasulullah SAW ini akan muncul setiap penghujung 100 tahun. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

yang artinya,”Sesungguhnya Allah mengutus seseorang setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki (memperbaharui) persoalan agama umat.”

(HR. Abu Dawud, Al Hikam, Baihaki, dari Abu Hurairah RA/ Sirojut Tholibin I hal 6, Syamsul Ma’arif III hal. 324, Da’watut Taamah hal. 5).

Sehubungan dengan hadits tersebut, pada kalimat yab’atsu, artinya mengutus utusan, beliau Shahibul WahidiyahSayyidul Ghauts Sayyid Abdul Madjid Ma’ruf QS wa RA menggaris bawahi dengan dawuhnya:

Yang artinya, ”Yang dimaksud Rasul disini (hadits ini) bukan Rasul pembawa syariat, tapi Rasul untuk menyempurnakan agama umat sehingga mencapai hakikat dan makrifat, sadar billah.” (Yawaqit juz II hal. 8)
Ini menurut tinjauan kacamata tasawuf, yakni Mujadid Tahqiq.

Kalau Mujadid Tasyri’ wafat, penerusnya adalah para Nabi dan Rasul sampai datangnya Mujadid Tasyri’ berikutnya. Lantas siapa penerus Mujadid Tahqiq jika beliau wafat?

Secara ototmatis para Ghauts yang bertugas diantara Mujadid Tahqiq yang meninggal dan Mujadid Tahqiq yang berikutnya. Dengan demikian maka setiap Mujadid pastiGhauts, tetapi kalau Ghauts belum tentu Mujadid. setiapGhauts itu pasti Wali dan setiap Walibelum tentu Ghauts. begitu pula para Rasul Ulul ‘Azmi pasti Mujadid Tasyri’, tetapi tidak setiap Nabi dan Rasul itu Mujadid Tasyri’.

Sepeninggal Rasulullah SAW penggantinya adalah para Khulafaur Rasyidin yang sekaligus menjabat sebagai Quthubul Aqthab dan Ghauts di zaman itu.

Siapa Ghauts pertama sepeninggal Khulafaur Rasyidin?


Dalam kitab Yawaqit juz II hal. 82 ada keterangan bahwa Ghauts pertama menurut para ulama tasawuf adalah Sayyidina Hasan RA. Setelah beliau wafat di ganti Sayyidina Husein RA. Dalam kurun lain Ghauts fii zamanihi Syekh Abdus Salam bin Masyisy RA. Setelah beliau wafat di ganti oleh Syekh Abul Hasan Asy Syazali RA, diteruskan oleh Syekh Abbul Abbas Al Mursi RA. Banyak kitab-kitab yang menerangkan kalau Al-Ghoutsu meninggal ganti- meninggal ganti, Syeh Abdul Qodir Jaelanai menggantikan gurunya yang telah wafat, Syeh Abdul Qodir Jaelanai wafat digantikan Putranya. Juga imam Naksabandi menggantikan gurunya (Syeh Amir Qulal), Syeh Amir Qulal menggantikan Ghouts sebelumnya Syeh Baba Asamasi. Begitu seterusnya.

Apakah para Ghauts itu mesti berdomisili di Timur Tengah, di Mekkah misalnya mengingat Ka’bah ada disana ?

Dalam kitab-kitab tasawuf tidak ada yang menerangkan bahwa Ghauts itu harus orang Timur Tengah apalagi di Mekkah. Contohnya Syekh Imam Ghazali Ra dari Persia (Iran), Syekh Abdul Qadir Al Jaelani Qs wa Ra dari Baghdad (Irak).

Bagaimana proses pergantian dari Ghauts yang satu ke Ghauts berikutanya ?

Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu haditsnya :

Hal Ghauts Hadzaz Zaman

Ghauts adalah sebutan yang dipakaikan/ dikenakan kepada seseorang (hamba Allah) yang menduduki posisi puncak dalam dunia kewalian.
Istilah lain dari Al-Ghauts adalah Sulthan Auliya’, Al-Quthbu, Insan Kamil dan lain-lain. Al-Ghauts itu setiap zaman ada, dan apabila seorang yang berpangkat Al-Ghauts itu meninggal dunia, maka Allah akan mengangkat hamba atau kekasih-Nya yang lain untuk menduduki posisi itu. Dasarnya adalah hadits berikut :

عَنْ عَبْدِالله بْنْ مَسْعُودٍرَضِيَ الله عنْه قال: قال رسول الله صل الله عليه وسلم: إِن للهِ عـزّوجلّ فِي الخَلْقِ ثَلا ثُمِائة قُلُو بُهُم على قَلْبِ أدم عليه السلام , وللهِ في الخَلْقِ أَرْبَعُونَ قُلُوبُهُمْ عَلَى قَلْبِ مُوسَي عليه السَلامُ , وَللهِ فِي الخَلْق سَبْعَةٌ قلو بُهُمْ على قَلْبِ إبْراهِيْمَ عَلَيْهِ وسلمَ, ولله في الخلق خَـمْسَةٌ قلو بُهُمْ على قَلْبِ جِبْرِيْل عَليه السَلاَمُ, ولله في الخَلْقِ ثَلاَثَةٌ قُلُو بُهُمْ على قَلْبِ مِيْكَائيل عَلَيْهِ السلام, ولله في الخلْقِ واحدٌ قَلْبُهُ عَلَى قَلبِ إسرَافيل عَلَيْهِ السلامُ, فإذَا مَات الوَاحِدأَبْدَلَ اللهُ مَكَانَهُ مِنَ الثلاثَةِ, وَإِذَامَاتَ مِنَ الثَلاثَةِ أَبْدَلَ اللهُ مَكاَنَهُ مِنَ الخَمْسَةِ, وإذاماتَ مِنَ الخَمْسَةِ أَبْدَلَ اللهِ مَكَانَهُ مِنَ السَبْعَةِ, وَإِذَامَاتَ مِنَ السَبْعَةِ أَبْدَلَ الله مَكانَه مِن الآَرْبَعِيْنَ, وَإذامَاتَ مِن الآربعين أَبْدَلَ اللهُ مَكَانَهُ مِن الثلاثمائة, وإِذَامَاتَ مِنَ الثلا ثمائة أَبْدَل اللهُ مَكَانَهُ مِنَ العَامَّة فَبِهِمْ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَيُمْطَرُوَيُنْبُتُ وَيدْفَعُ البَلاَءُ عَنْ هَذِهِ الآُمَّةِ.
قِيْلَ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود : كَيْفَ بِهِمْ يُحْيِي وَيُمِيْتُ؟ قال:ِلآَنَّهُمْ يَسْألَوُن َاللهَ إِكْثَارَالآُمَمِ فَيكثرُوْنَ وَيَدْعُوْنَ عَلَي الجَبَابِرَة ,فيقصمون, ويستسقون فَيَسْقَوْنَ وَيسْأَلُوْنَ فَتَنْبِتُ الأرضُ وَيَدْعُونَ فَيُدفَعُ بِهِمْ أنْوَاعُ البَلاءَِ
أخرجه إبونعيم وإبن عساكر

Dari Ibnu Mas’ud Ra. Ia berkata, Rasulullah Saw bersabda :“Sesungguhnya, didalam ciptaan-Nya ini Allah memiliki 300 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Adam AS, 40 orang hamba yang hatinya sama dengan hati nabi Musa AS, 7 orang hamba yang hatinya sama dengan hati nabi Ibrahim AS, 5 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Jibril AS, 3 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Mika’il AS, dan 1 orang hamba yang hatinya sama dengan hati Isrofil AS. Apabila yang seorang itu meninggal, Allah segera menggantikan kedudukannnya itu dari yang tiga, dan apabila meninggal seseorang dari jumlah yang tiga, Allah segera menggantikannya dari jumlah yang lima, apabila meninggal seseorang dari jumlah yang lima, Allah segera menggantikannya dari jumlah yang tujuh, apabila mati seseorang dari jumlah yang tujuh, Allah segera menggantikannya dari jumlah yang empat puluh, apabila meninggal seseorang dari jumlah yang empat puluh, Allah akan menggantikannya dari jumlah yang tiga ratus, dan apabila meninggal seseorang dari jumlah yang tiga ratus, Allah segera menggantinya dari orang umum (biasa). Diantara mereka itu, terdapat orang yang menghidupkan dan mematikan, memberi hujan dan menumbuhkan, dan menolak bala“.

Tatkala seseorang bertanya kepada Ibnu Mas’ud, “bagaimana seseorang itu menghidupkan dan mematikan” ?. Sahabat ini menjawab : “mereka meminta kepada Allah untuk memperbanyak manusia, maka diperbanyaklah manusia itu, mereka meminta kehancuran orang-orang yang suka berbuat durhaka, maka hancurlah orang-orang itu, mereka meminta diturunkan hujan, maka turunlah hujan itu, mereka meminta agar bumi ditumbuhi tanam-tanaman, maka diperkenankanlah permintaannya. Mereka berdo’a dan dengan do’anya itu terhindarlah balak dan malapetaka”. HR. Abu Nuaim dan Ibnu Asakir.

Hadits diatas dimuat didalam banyak kitab, yang salah satunya adalah, kitab “Al Haawi lil Fataawi“ karangan Imam Jalaludin Abdur Rahman As-Suyuthi.

Imam Al-Yaafi’i berkata : “bahwa yang dimaksud الواحد – hamba yang satu didalam hadits tersebut adalah القطب(Al-Quthbu)الغوث (al-Ghauts)”.

Pendapat ini banyak diterima oleh sebagian besar Ulama, terutama ulama tasawuf. Bagi mereka yang kurang sependapat, tentang hal tersebut silahkan, dan itu hak mereka. Yang penting ا لواحد (seorang hamba) yang disebut dalam hadits tersebut, benar adanya.

---------------

Sabda Rosululloh SAW  :
”Sesungguhnya Allah mempunyai 300 wali di muka bumi ini yang hatinya seperti Nabi Adam AS, 40 wali yang hatinya seperti Nabi Musa AS, 7 wali yang hatinya seperti Nabi Ibrahim AS, 5 wali yang hatinya seperti Malaikat Jibril, 3 wali yang hatinya sebagaimana hati Malaikat Mikail, kemudian 1 wali hatinya seperti Malaikat Isrofil. Apabila wali yang satu itu meninggal dunia, Allah mengganti/mengangkat salah satu dari wali yang lima. Apabila salah satu dari wali yang lima meninggal dunia, Allah mengangkat salah satu wali dari yang tujuh. Apabila salah satu dari wali yang tujuh meninggal dunia, Allah mengganti salah satu dari wali yang empat puluh. Apabila salah satu dari wali yang empat puluh itu meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari wali yang jumlahnya tiga ratus. Dan apabila salah satu dari wali yang tiga ratus meninggal dunia, maka Allah mengangkat salah satu dari sekian manusia beriman yang paling baik dalam segala bidang.”

(Tafsir Sirojul Munir: 157, Siraajut Thalibin juz I: 161, Tanwirul Qulub: 414-415, Syawahidul Haq: 197, Al Haawi lilfataawi juz 11: 298 dan buku kuliah wahidiyah: 140)

Berkenaan dengan hadits diatas, ba’dul ‘arifin (ulama tasawuf) mengatakan:
”Wali atau yang disebut dalam hadits ini ialah Wali Quthub dan dialah Ghauts.” (Syawahidul Haq: 197)

Sehubungan dengan hadits tersebut, Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani RA menafsirkan:

”Apabila Al Qhutub Al Ghauts meninggal, dalam kekosongan ini Allah mengganti mengangkat Ghauts yang lain.” (Yawaqit juz II: 80).

Beliau juga mengatakan:

”Semua zaman tidak akan sepi dari Rasul dan dialah Al Quthub, dialah tempat melihat Allah Al Haq di alam ini.” Ditegaskan lagi dengan Qaulnya: ”Maka bumi ini tidak akan sepi dari Rasul yang hidup Ruhani dan jasadnya, sedang dialah pusatnya (kegiatan) alam insani untuk menuju hakikat dan makrifat billah.” (Yawaqit juz II: hal 80).

Beliau juga menegaskan lagi:

المُرِيْدُ ِإذَا مَاتَ شَيْخُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ اِتِّخَاذُ شَيْخٍ أَخَرَ يُرَبِّيْهِ

Murid, ketika Syeh (guru rohani)-nya meninggal, wajib baginya mengambil (mencari) Syeh Pengganti untuk membimbingnya.

Syeh Abu Yazid Basthami Ra berfatwa :

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَيْطَانُ. وَقَالُوا : مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ

Barang siapa tidak memiliki guru ruhani, maka setanlah imamnya.

Dari sini jelas dan tegas bila Ghauts meninggal, Allah SWT akan mengangkat Ghauts yang lain.

Para pengamal Sholawat Wahidiyah dahulu sebelum meninggal Ghautsnya beliau Mualif Sholawat Wahidiyah sendiri yaitu Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, sepeninggalan beliau Ghauts sebagai penerus dan penggantinya adalah Hadratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA.

Dasarnya, banyak diantara pengamal yang di dawuhi oleh Mbah Yahi Mualif Shalawat Wahidiyah QS wa RA yang menyatakan bahwa Kanjeng Romo Yahi Abdul Latif Madjid Ra adalah pengganti Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra (TERMASUK SALAH SEORANG YANG DIDAWUHI MBAH YAHI QS WA RA  ADALAH SAYA (Ahmad Dimyathi) PRIBADI, red.).

Antara lain remaja dari Ngawi dan Pak Masykur Sekdes Dadapan Gampengrejo melaui mimpi. Keduanya di dawuhi oleh Mbah Yahi Qs wa Ra dengan redaksi yang hampir sama, Kowe meluwo anakku Yahi  Abdul Latif, Pimpinan Umum. Iku sing ono Lillah Billahe. (Kamu ikut anakku Yahi Abdul Latif saja, Pimpinan Umum Perjuangan Wahidiyah, itu yang ada Lillah Billahnya). Begitu dawuh Mbah Yahi QS wa RA kepada seorang remaja dari Ngawi.

Sedang untuk Pak Masykur Sekdes Dadapan, ketika dawuh Mbah Yahi Qs wa Ra sampai pada kata-kata Pimpinan Umum, Pak Masykur menangis sambil nida’ Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts berulang-ulang sampai Mbah Yahi Qs wa Ra  menyuruhnya berhenti menangis, seraya beliau dawuh; wis-wis, saiki shalato makmumo kono.” (Sudah-sudah, sekarang kamu shalat dan makmum sana). Pada waktu itu yang menjadi Imam adalah Kanjeng  Romo Yahi Abdul Latif Madjid RA, badanya besar sekali tidak seperti biasanya.

Pengalaman sepiritual KH. Nur Syaifulloh asal Bululawang, Malang selama menunaikan Ibadah Haji bersama rombongan dan Beliau Kanjeng Romo Yahi R.A. Pada hari ke 4 di Madinah. Sekitar jam 4 menjelang Subuh, beliau KH. Nur Syaifulloh mujahadah dekat Raudhah (tempat mustajabah antara maqom Rasulullah dan mimbar di dalam Masjid Nabawi) Saat mujahadah tersebut, dalam keadaan sadar beliau melihat beliau Rosululloh SAW berdo’a yang artinya kurang lebih :

“Ya Allah, selamatkanlah orang-orang yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan yang mengakui yang menjadi Ghoutsu Hadzazaman”.  Setelah dawuh begitu beliau Pak KH. Nur Syaifulloh membaca “Huwa Ghoutsu Hadzazaman” kanjeng Nabi SAW memberikan isyaroh menunjuk pada beliau Kanjeng Romo Yahi Abdul Latif Madjid R.A. yang berarti isyarat itu merupakan ta’kid dari ‘ala man’.

Jadi yang dimaksud “ala man Huwa Ghoutsu Hadzazaman itu adalah Beliau Kanjeng Romo Yahi Abdul Latif Madjid R.A. Selesai itu beliau Pak KH. Nur Syaifulloh sadar seperti semula dalam keadaan Mujahadah.

Dan masih banyak pengamal lain yang di dawuhi Mbah Yahi dengan redaksi yang berbeda.

Apakah dawuh Mbah Yahi Qs wa Ra dalam mimpi itu Haq ?

Ya, Haq. Al ‘alamah As-Sufairi Al Halabi pengikut Madhzab Syafi’I RA mengatakan dalam Syarah bukhari :

”Sungguh sebagaimana syetan tidak mampu menyerupai Rasulullah SAW, begitu juga ia tidak mampu menyerupai Wali Kamil Mukammil (Al- Ghauts).” (Tanwirul Qulub: 520)

Apabila ada pengamal Wahidiyah yang tidak yakin bahwa Kanjeng Romo Yahi RA adalah Ghautsu Hadzaz Zaman Ra sebagai Penerus dan penggantinya Mbah Yahi Qs wa Ra, bagaimana metode untuk mengetahui Ghautsu Hadzaz zaman Ra ?

Mujahadah, Istikharahlah, Mujahadahlah  dengan membaca Al Fatihah 1000x, memperbanyak “Yaa Ayyuhal Ghautsu Salaamullah alaika robbi nii bi-idnillah wandur ilayya sayyidii binadhroh muushilatil lil hadlrotil ‘aliyah”
Dan memperbanyak ”Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts 5000x.”

Di perbanyak tiap malam sampai ketemu dengan Ghautsu Hadzazzaman Ra, diniatkan selama 40 malam. Dengan catatan jangan sampai di setir oleh hawa nafsu, harus ikhlas dan niat akan mengikutinya. Sebab pada zaman Mbah Yahi QS wa RA ada orang yang bertanya pada beliau :

"Nuwun sewu Mbah Yahi, Sekarang ini apa sudah zaman Imam Mahdi apa belum ?”

 Mbah Yahi Qs wa Ra menjawab : "Belum, coba kamu mujahadah, istikharah, mujahadah  dengan membaca Al Fatihah 1000x.”

Lain hari orang tersebut sowan dan mengatakan: ”Nuwun sewu mBah Yahi, Saya ketemu Imam Mahdi, saya diberi tahu Imam Mahdi bahwa Ghautsnya sekarang Panjenengan Yahi.”

Tetapi sayang seribu sayang karena tujuanya hanya ingin tahu saja, setelah tahu hanya cukup tahu, tidak taslim, tidak nderek Mah Yahi QS wa RA, tidak menjadi Pengamal Wahidiyah.

Saran untuk Pengamal Wahidiyah ?

Di sarankan bagi pengamal Wahidiyah yang belum yakin atau tidak yakin, atau belum tahu bahwa beliau Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah sebagai Ghauts, agar mencari sampai ketemu, sebagaimana telah dituntunkan.

Sumber:
Majalah Aham edisi 17/Ramadhan 1419H/Desember 1998M.
Majalah Aham edisi 57/Muharram 1426H

1 comment:


  1. saya ibu lilis posisi sekarang di malaysia
    bekerja sebagai pembantu gaji tidak seberapa
    setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
    sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
    sempat saya putus asah dan secara kebetulan
    saya buka internet ada seseorng berkomentar
    tentang MBAH LIMPAH katanya perna di bantu
    melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
    karna di malaysia ada pemasangan
    jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
    saya minta angka sama MBAH LIMPAH
    angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
    terima kasih banyak MBAH
    kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
    dan rencana mau pulang ke indo untuk buka usaha
    bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
    terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
    jangan putus asah HUBUNGI MBAH LIMPAH
    DI NO: 085~312~407~999
    tak ada salahnya anda coba
    karna angka ritual MBAH tidak perna meleset
    saya jamin MBAH LIMPAH tidak akan mengecewakan..

    ReplyDelete