).
D. Sallaab Jallaab
Ilmu nahwu/ sharaf, biologi, ushul fiqh, astronomi, secara tekstual
tidak ada dalam al-Qur’aan. Namun, - menurut para ahlinya – ilmu tersebut telah
tersirat dalam al-Qur’an. Begitu pula kata Jallab dan Sallaab, yang
secara tekstual, tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Namun, keduanya
telah mengisyaratkan adanya kemampuan makhluk yang dapat dikategorikan kepada
sallab dan jallab.
Jallaab adalah kata yang berasal dari bahasa arab, serta sebagai kata jadian
dari : جَلَبَ menarik,
membawa, mendatangkan. Dan kemudian kata جَلاَّب memiliki
arti : Penarik / pedagang/ yang mendatangkan. Sepert istilah yang
sering kita dengar tentang doa atau usaha jalbur rizqi (doa/ atau usaha
yang dapat menarik / mendatangkan rizqi). Dan sallaab sebagai kata jadian dari : سَلَبَ (salaba) : merampas,
merampok, mencuri. Dan kemudian kata
سَلاَّب (salaab) memiliki
arti perampas, pencabut, perampok, pencuri. Dengan kata lain, sallaab memiliki arti mencabut,
mengambil, mencuri atau makna lain yang sepadan; dan jalaab
memiliki arti mendatangkan, menambah, meningkatkan, menaikkan atau makna
lain yang sepadan. Kata جَلَبَ (jalaba) :
mendapatkan atau memperoleh, dan جَلاَّب (jalaab) dapat
diartkan prang yang mendapatkan atau memperoleh. Seperti kata-kata : جَلَبَ
لآِهْلِهِ : mendapatkan nafkah
untuk keluarganya.
Jallaab dan sallaab memiliki makna umum dan khusus. Makna umum dapat
dimiliki oleh setiap makhluk. Misalnya, air dapat men-salaab (merampas)
rasa haus, serta dapat men-jalaab (mendangkan) kesegaran tenggorokan
atau tubuh, api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi
masak, serta dapat men-salaab air (membuat air berubah menjadi uap). Jika,
seseorang memahami kekuatan air atau api keluar dari diri air atau api (tanpa
izin dari Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah) itu sendiri, maka
iman orang tersebut masih bercampur dengan paham syirik. Sedangkan makna khusus hanya dimiliki oleh
orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan
dengan sesuatu yang gaib, seperti kondisi ahwal [1]
setiap salik atau keimanan seseorang. Misalnya, bila dalam lingkungan suatu
kaum terdapat seorang Ulama atau Kiyai, maka iman masarakat akan meningkat,
atau bila dalam lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, maka iman
sebagian masarakat akan melorot. Jika dipahami dengan paham yang syirik, maka
timbul kesimpulan bahwa iman manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan
oleh kekuasaan Allah Swt, namun oleh manusia lain atau oleh lingkungan.
Didalam kaidah Islam, tidak ada makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan
al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau menolak
kerugian tanpa izin Allah Swt. Jika makhluk dapat mendatangkan manfaat atau
menolak kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk yang lainnya, semata-mata hanya
atas izin dan kehendak dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam
1.
Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 :
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ
ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
Katakanlah
(Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan
untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
2.
Firman Allah Swt, Qs.
:
ومَا
النَصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ
Tidak ada pertolongan kecuali
dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha bijaksana.
3.
Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : :
مَنْ ذَا
الذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya,
kecuali atas izin-Nya.
Jallab dapat diartikan “sifat yang meningkatkan”, dan Sallaab sebagai
“sifat mengurangi atau menghilangkan”. Kedua sifat ini secara umum, ada pada setiap
mahluk Allah Swt. Hanya saja beda dalam manfaat dan obyeknya. Misalnya, air
dapat mencabut (sallaab) rasa haus manusia, serta dapat meningkatkan (jallaab)
bagi kesehatan dan kesegaran badan. Racun dapat mencabut nyawa manusia. Obat
dapat mencabut (sallab) penyakit manusia serta dapat meningkatkan (jallab)
kesehatan manusia. Begitu pula mahluk
lain. Semestinya seluruh kekuatan mahluk itu milik Allah Swt.
Kemampuan sallab jallab ini, tidak akan dapat dipahami oleh mukmin yang
memiliki keimanan yang bercampur dengan paham syirik (menyekutukan kekuatan
makhluk dengan kekuatan Allah).
Misalnya, meyakini bahwa
kemampuan tersebut semata-mata dari kekuatan al-Ghauts Ra sendiri. Jallab dan
sallaabnya al-Ghauts Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang imannnya tidak
bercampur syirik, orang yang telah memahami ke-Maha Esa-an kekuatan dan
kekuasaan Allah Swt dalam alam semesta (memiliki iman Wahidiyah).
Dalam bahasa sehari-hari, pada adat jawa terdapat istilah kuwalat
(dengan orang tua atau kiyai) yang artinya sama dengan sallab,
dan mendapat berkah sama arti dengan jallab.
Dengan demikian, salaab (mencabut, melorot, menurunkan - iman
seseorang) dan jalaab merupakan karomah yang diberikan oleh Allah Swt
kepada al-Ghauts
Ra. Dan karomah tersebut bukan
muncul dan keluar dari pribadi Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra semata. Rasulullah
Saw, al-Ghauts Ra, para waliyullah, para ulama dan kiyai atau bahkan semua
makhluk hanyalah tempat tajalli (penampakan) kekuasaan Allah Swt.
Kedua sifat (jalaab dan salaab) ini, sebagai kesimpulan dari beberapa
hadits yang berderajat shahih dan hasan, antara lain :
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ
Barangsiapa
menghina Sultan, maka Allah akan
menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan dalam hadis ini, kitab Dalil
al-falihin juz III dijelaskan, hal-hal yang dapat
dikatakan menghina antara lain
: menganggap ringan perintahnya.
Dan yang dimaksud Allah akan menghinakannya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan
terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang
pedih.
Hadis
ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama,
waliyullah wabil khusus sulthanul auliya.
2)
Hadits
riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw bersabda
:
اِنَّ
اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى
لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ
بِالحَرْبِ
Sesungguhnya
Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku menyatakan perang kepadanya.
Hadis
ini juga mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama,
waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
3)
Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih
Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"), Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ
لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ
إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan
dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan
sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir) jahiliyah.
Hadis
ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama,
waliyullah wabil khusus sulthanul auliya. Sebab keluar dari jamaah sulthanul
auliya, menyebabkan mati seperti matinya orang kafir jahiliyah. Artinya, iman
akan tercabut (sallab).
4)
HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra,
Rasulullah Saw, bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى
اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري
فَقَدْ عَصَانِي
Barang siapa taat kepada-Ku (Rasulullah), berarti ia taat
kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada-Ku, berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat
kepada Amir-Ku, berarti taat kepad-Ku, dan barang siapa yang durhaka kepada
Amir-Ku, berarti ia durhaka kepada-Ku
Apabila kata “amir” dimaknai dengan ulama, waliyullah atau
sulthanul auliya’, maka hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab dan
jallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul
auliya.
Makna kata sulthan yang berkaitan dengan
iman dan Islam, para ulama kaum sufi tidak memaknainya dengan sulthanul balad
(pimpinan pemerintahan) Pendapat ini didasarkan kepada :
Hadis riwayat
Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ
بُعْدًا
Tidaklah
seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia
semakin jauh dari Allah. [3]
Dan hadis riwayat
Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa
mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
Kedua
hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli
Allah Swt.
5)
Hadis riwayat Muslim (dalam Shahih, bab
‘iyadatu maridl”) Rasulullah Saw bersabda : Allah berfirman :
إِنَّ مِنَ
النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat
seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik)
melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟.
قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah
kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka
menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah
orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Hadis riwayat Muslim (5), Thabrani (6) dan
Ahmad (7) diatas dengan jelas, menjelaskan adanya sifat jallab yang
dimiliki oleh para guru ruhani, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra.
8)
Imam Abul
Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam
surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus
adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[6]
Kaum sufi, didukung oleh beberapa hadits dan
al-Qur’an, menerangkan bahwa yang dimaksud “amir” atau “sulthan” dalam hadits diatas, adalah waliyullah yang
berpangkat al-Ghauts Ra. Dan dengan kata lain, hadits diatas dapat diterjemahkan
dengan :
“Taat kepada Al-Ghauts Ra, berarti taat
kepada Rasulullah Saw,
yang sekaligus taat kepada Allah Swt. Dan, durhaka kepada Al-Ghauts Ra, berarti durhaka kepada Rasulullah SAW yang sekaligus
durhaka kepada Allah Swt. Ketaatan mukmin akan mendatangkan peningkatan iman
dan kesadaran kepada Allah Swt. Dan kedurhakaan kepada Beliau Ra, akan
menjadikan turunnya iman dan makrifat seseorang”.
Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H), Guru Agung Pemandu kaum sufi pada zamannya,
menyimpulkan makna hadits diatas sebagai berikut :
قلْبُ العَارِفِ حضْرَةُ اللهِ فمَنْ
تقَرَّ بَ اِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتحَتِ لَهُ أَبْوَابُ الحَضْرَةِ
Hati orang arif (apalagi Amirul
Arifin/ al-Ghauts RِِِِA) itu, hadrah (lambang kehadiran)
Allah. Barang siapa mendekat kepadanya dengan cara pendekatan yang semestinya,
maka akan terbukalah baginya pintu-pintu kehadiran (Allah)”.
Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif -nya al-Ghauts fii
Zamanihi Syekh Syihabuddin Suhrawardi Ra, dalam bab ke 10), diterangkan :
َ الشَّيْخُ يُعْطِي
بِاللهِ وَيمْنَعَُ بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ
مُرَادَهُ فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ
نَفْسِهِ.
Syekh (al-Ghauts Ra), memberi atas kehendak Allah, dan menolak atas
kehendak Allah. Bahkan dia bersama kehendak Allah. Dan Allah mengetahui segala
kehendaknya. Maka kehendak Syekh dalam segala sesuatu dengan kehendak Allah Swt,
dan bukan dengan kehendaknya sendiri.
Jallab dan sallab yang dimiliki makhluk.
b.
Sallab
Malikat Izrail As.
Sebagaimana diketahui, setiap kematian, pencabut (sallab) nyawa adalah
malikat Izrail As. Namun secara hakiki yang mematikan dan yang menghidupkan makhluk
hanyalah Allah Swt semata.
c.
Jallab
Malikat Mikail As.
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagi (jalab) serta
pengambil (salab) rizki, baik rizki lahir atau batin, setiap makhluk, secara
hakiki hanyalah Allah Swt, sedangkan secara lahiriyah atau syriat adalah
malikat Mikail As.
d.
Jallab
Malikat Jibril As.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari
Anas Ibn Malik dijelaskan, ketika menjelang
keberangkatan Rasulullah Saw melaksanakan mi’raj ke langit, malaikat Jibril
atas perintah Allah Swt, meningkatkan (jalaab) iman Rasulullah Saw. Sebagaimana
keterangan dalam sabda Rasulullah Saw :
فُرِجَ
عَنْ سَقْفِ بَيْتِي فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ
ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku
terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku.
Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang
terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan
hikmah) jibril menuangkannya kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku)
jibril menutupnya kembali.
Perbuatan Jibril As “menuangkan” iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah Saw,
dapat dikatakan perbuatan Jalllab, yang secara lahiriyah dilakukan oleh
mahluk (Jibril As).
e.
Jalaabnya
ayat-ayat al-Qur’an.
Firman Allah Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا
ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan
ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya
mereka berserah diri.
Secara
lahirinya, ayat-ayat Allah memiliki kemampuan jallabul iman (meningkat
iman), namun secara hakiki yang meningkatkan iman, hanyalah Allah Swt semata.
f.
Setan/
Iblis dapat menghilangkan (sallab) iman
Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36
– 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan
barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami
adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan
menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira
sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Ayat ini jika salah memahaminya, akan
menyimpulkan bahwa pencabut iman bagi orang berkawan dengan iblis, adalah iblis
dan bukan Allah Swt. Namun secara hakiki, pencabut dan pemberi iman, hanyalah
Allah Swt semata.
g.
Sallab
Jallab Rasulullah Saw.
Sahabat Dzul Khuwairitsah at-Tamimi memiliki keturunan yang merugikan Islam,
setelah menyakiti hati Rasulullah
Saw serta mendapat efek dari sallab jallab.
Sepulang dari perang thaif dan hunain, kaum muslimin mendapat ghanimah
yang banyak . Rasulullah Saw membaginya kepada para sahabat. Masing-masing
mendapatkan sesuai kadar pengabdian dan jasa yang mereka berikan. Namun dalam
pandangan al-Khuwairitsah, terdapat keputusan kurang adil, yakni kepada Abu
Sufan yang baru masuk Islam, mandapatkan bagian lebih besar bila
dibandingkan bagian Abu Bakar dan Umar,
yang notabene masuknya Islam lebih dahulu. Kepada Rasulullah Saw al-Khuwasirah
berkata : Wahai Muhammad, berbuat adillah kamu. Beliau Saw menjawab : Wahai, khuwairitsah : Mana mungkin manusia akan berbuat adil, jika
aku tidak berbuat adil.
Umar bin Khatthab ketika melihat kejadian ini, berdiri serta berkata :
Wahai Rasulullah Saw, biar kupenggal leher orang itu. Beliau Saw bersabda : Biarkan orang itu.
Mendengan ucapan Umar, Dzul Khuwasirah
pergi meninggalkan ruang persidangan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an,
tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam
seperti keluarnya anak panah yang menembus binatang buruan. Mereka memerang
orang Islam serta membiarkan kaum penyembah berhala. Jika aku menemui mereka
niscaya kepenggal lehernya, seperti halnya kauj Ad (HR. Muslim). [7]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga, Rasulullah Saw
bersabda : Mereka
itu sejelek-jelek makhluk, bahkan sejelek-jelek binatang. Mereka tidak termasuk
golongan-Ku, dan Aku tidak termasuk golongan mereka.
Lahirnya keturunan buruk dari Dzul Khuwaisirah, secara hakiki disebabkan
dari sallab jallabnya Allah Swt semata, yang dipancarkan melalui Rasulullah
Saw.
h.
Sallab
Jallab para Waliyullah Ra :
Sebelum Wali Songo memperjuangkan Islam di
Indonesia, masarakat tidak memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Dan setelah mereka berjuang di Indonesia dan khususnya tanah Jawa, masarakat
hatinya memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Iman masarakat
dapat dikatakan sebagai Jallab dari para waliyullah tersebut.
Hadis riwayat Thabrani, Rasulullah Saw
bersabda :
لاَيَزَالُ
أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ
يَدْفَعُ اللهُ بِهِمْ عَنْ أَهْلِ الأَرْضِ يُقَالُ لَهُمْ الأَبْدَالُ,
إِنَّهُمْ لَمْ يُدْرِكُوْهَا بِصَلاَةٍ وَلاَ بِصَوْمٍ وَلاَ بِصَدَقَةٍ,
قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ فَبِمَ أَدْرَكُوْهَا ؟. قَالَ : بِالسَخَاءِ
وَالنَصِيْحَةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ.
Tidak sepi ….
Syeh Sya,rani menjelaskan bahwa Ibnu
Makhalla salah satu diantara beberapa
al-Ghauts Ra yang buta huruf. Diantara fatwa Syeh Ibnu Makhala :
لِلْوَلِيِّ نُورَانِ نٌُورُ عَطْفٍ وَرَحْمَةٍ يَجْذِبُ بِهِ أَهْلَ
العِنَايَةِ وَنُورُ قَبْضٍ وَعِزَّةٍ وَقَهْرٍ يَدْفَعُ بِهِ أَهْلَ البُعْدِ
وَالغَوَايَةِ
Setiap Wali memiliki
dua cahaya batin : (1) nur yang
bersifat menarik dan kasih, dengan nur ini tertariklah orang-orang yang
mendapat pertolongan (Allah wa Rasulihi Saw), (2) nur yang bersifat genggaman,
peninggian dan pemaksaan, dimana dengan nur wali ini tertolaklah orang-orang yang yang jauh
dan tersesat (dari Allah wa Rasulihi Saw).[8]
Al-Ghautts
Radan para waliyullah menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain
hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan
Abu Nuaim dari ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ
بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ
يُنْصَرُون
Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi
tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [9]
Demikian pula dalam keyakinan setiap pengamal tarekat (apapun jenisnya), misalnya tarekat “Qadiriyah” meyakini Syeh
Abdul Qadir memiliki karomah Sallaab dan Jallab. Sebagaimana yang disamapiakan
oleh Syeh Abdul Qadir berkata :
أَنَاَ سَلاَّبُ الاَحْواَلِ
Aku adalah pencabut kondisi batiniyah seseorang.
(Kitab
Lujain ad-Daani, bab “fatwa dan karamah”).
Dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah, Imam Ibnu
Hajar al-Haitami, menerangkan : Syeh Ibnu as-Saqaa, menjadi murtad setelah
menyakiti hati dan suul adab kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’kub Yusuf
al-Hamadzani Ra (guru al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul al-Jailani Ra).
i.
Sallab
Jallab para Ulama.
Setiap daerah yang ditempati
oleh seorang ulama, sudah tentu iman dan ketekunan ibadah masarakat akan
meningkat. Ini dapat dikatakan sebagai karomah Jallab yang dimiliki oleh
setiap ulama.
Demikian uraian dalam
makalah ini. Dan makalah inipun kami akhiri. Semoga dapat menambah motifasi
yang positif kepada kita semua dalam berkhidmah kepada Perjuangan Wahidiyah,
dan khususunya kepada Beliau Kenjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan
Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur, sebagai Guru
Ruhani kita semua.
[1]. Dalam prinsip
tasawuf terdapat istilah “maqam” dan “hal” (ahwal). Maqam adalah jenjang
akhlakul karimah yang harus ditempuh oleh setiap salik dalam pendekatannya
kepada Allah Swt. Misalnya, taubat, zuhud, taqwa, qana’ah, ridla, tawakkal,
syukur dan lainnya. Jenjang akhlak ini dapat menjadi sempurna jika salik berada
dalam bimbingan guru ruhani yang telah berpengalaman dalam permasalahan
tersebut. Sedangkan hal (ahwal) adalah kondisi batin yang datangnya dari Allah
Swt. Maqam dapat diupayakan oleh salik, sedangkan hal tidak dapat diusahakan,
ia semata-mata anugrah Allah Swt kepada salik.
[2]. Lihat kitab Dalil
al-Falihin juz III, bab ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer : 10.
[3]. Tentang ulasan
tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam
kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan
penguasa yang dlalim”
[4]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab
“alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[5]. HR.
Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[6]. Kitab
as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I
pada pasal 1.
[7]. Ulasan dari
Prof. Dr. KH. Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PB NU 2012) dalam memberikan
pengantar buku “Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahhabi”, penerbit Pustaka Pesantren cet. XX tahun 2012) karya Syeh
Idahram. Hadis diatas tertulis dalam Shahih Muslim pada kitab Zakat dan Qismah.
[8]. Yang dimaksud
“wali” disini adalah al-Ghauts Ra. Lihat
penjelasan sebelum dan sesudahnya dalam kitab Thabaqat juz I,
pada halaman 188 – 201, percetakan “Darul Fikri”, Beirut – Libanon, tahun
Nopember 1954 M.
[9]. Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II,
hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab
Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.