Wednesday, June 24, 2015

).

D.    Sallaab Jallaab

Ilmu nahwu/ sharaf, biologi, ushul fiqh, astronomi, secara tekstual tidak ada dalam al-Qur’aan. Namun, - menurut para ahlinya – ilmu tersebut telah tersirat dalam al-Qur’an. Begitu pula kata Jallab dan Sallaab, yang secara tekstual, tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Namun, keduanya telah mengisyaratkan adanya kemampuan makhluk yang dapat dikategorikan kepada sallab dan jallab.
Jallaab adalah kata yang berasal dari bahasa arab, serta sebagai kata jadian dari : جَلَبَ  menarik, membawa, mendatangkan. Dan kemudian kata  جَلاَّب memiliki arti : Penarik / pedagang/ yang mendatangkan. Sepert istilah yang sering kita dengar tentang doa atau usaha jalbur rizqi (doa/ atau usaha yang dapat menarik / mendatangkan rizqi). Dan sallaab sebagai kata jadian dari : سَلَبَ  (salaba) : merampas, merampok, mencuri. Dan kemudian kata  سَلاَّب (salaab) memiliki arti perampas, pencabut, perampok, pencuri. Dengan kata lain, sallaab memiliki arti mencabut, mengambil, mencuri atau makna lain yang sepadan; dan jalaab memiliki arti mendatangkan, menambah, meningkatkan, menaikkan atau makna lain yang sepadan. Kata  جَلَبَ (jalaba) : mendapatkan atau memperoleh, dan  جَلاَّب (jalaab)   dapat diartkan prang yang mendapatkan atau memperoleh. Seperti kata-kata : جَلَبَ لآِهْلِهِ  : mendapatkan nafkah untuk keluarganya.
Jallaab dan sallaab memiliki makna umum dan khusus. Makna umum dapat dimiliki oleh setiap makhluk. Misalnya, air dapat men-salaab (merampas) rasa haus, serta dapat men-jalaab (mendangkan) kesegaran tenggorokan atau tubuh, api dapat men-jalaab (mendatangkan, membuat) masakan menjadi masak, serta dapat men-salaab air (membuat air berubah menjadi uap). Jika, seseorang memahami kekuatan air atau api keluar dari diri air atau api (tanpa izin dari Allah Swt, tanpa didasari prinsip billah) itu sendiri, maka iman orang tersebut masih bercampur dengan paham syirik.  Sedangkan makna khusus hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dikehendaki oleh Allah Swt, dan sangat berkaitan dengan sesuatu yang gaib, seperti kondisi ahwal [1] setiap salik atau keimanan seseorang. Misalnya, bila dalam lingkungan suatu kaum terdapat seorang Ulama atau Kiyai, maka iman masarakat akan meningkat, atau bila dalam lingkungan masarakat terdapat tempat maksiat, maka iman sebagian masarakat akan melorot. Jika dipahami dengan paham yang syirik, maka timbul kesimpulan bahwa iman manusia dapat naik atau turun bukan disebabkan oleh kekuasaan Allah Swt, namun oleh manusia lain atau oleh lingkungan.
Didalam kaidah Islam, tidak ada makhluk (termasuk Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra) yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau menolak kerugian tanpa izin Allah Swt. Jika makhluk dapat mendatangkan manfaat atau menolak kemadlaratan, baik untuk dirinya atau untuk yang lainnya, semata-mata hanya atas izin dan kehendak dari Allah Swt. Sebagaimana yang tercermin dalam
1.                Firman Allah Swt, Qs. al-A’raf : 108 :
       قُلْ لاَ أَمْلِكُ لنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرَّا إِلاَّ مَاشَاءَ اللهُ.
            Katakanlah (Muhammad) : Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatn dan menolak kemadlaratan untuk diriku, kecuali sesuatu yang telah dikehendaki oleh Allah.
2.                Firman Allah Swt, Qs.   :
ومَا النَصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ
Tidak ada pertolongan kecuali dari sisi Allah Yang Maha Agung lagi Maha bijaksana.
3.                Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah :   :
مَنْ ذَا الذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak ada sesuatu (seseorang) dapat menolong disisi-Nya, kecuali atas izin-Nya.
Jallab dapat diartikan “sifat yang meningkatkan”, dan Sallaab sebagai “sifat mengurangi atau menghilangkan”. Kedua sifat ini secara umum, ada pada setiap mahluk Allah Swt. Hanya saja beda dalam manfaat dan obyeknya. Misalnya, air dapat mencabut (sallaab) rasa haus manusia, serta dapat meningkatkan (jallaab) bagi kesehatan dan kesegaran badan. Racun dapat mencabut nyawa manusia. Obat dapat mencabut (sallab) penyakit manusia serta dapat meningkatkan (jallab) kesehatan manusia. Begitu  pula mahluk lain. Semestinya seluruh kekuatan mahluk itu milik Allah Swt.
Kemampuan sallab jallab ini, tidak akan dapat dipahami oleh mukmin yang memiliki keimanan yang bercampur dengan paham syirik (menyekutukan kekuatan makhluk dengan kekuatan Allah).  Misalnya,  meyakini bahwa kemampuan tersebut semata-mata dari kekuatan al-Ghauts Ra sendiri. Jallab dan sallaabnya al-Ghauts Ra hanya dapat dipahami oleh orang yang imannnya tidak bercampur syirik, orang yang telah memahami ke-Maha Esa-an kekuatan dan kekuasaan Allah Swt dalam alam semesta (memiliki iman Wahidiyah).
Dalam bahasa sehari-hari, pada adat jawa terdapat istilah kuwalat (dengan orang tua atau kiyai) yang artinya sama dengan sallab, dan mendapat berkah sama arti dengan jallab.
Dengan demikian, salaab (mencabut, melorot, menurunkan - iman seseorang) dan jalaab merupakan karomah yang diberikan oleh Allah Swt kepada al-Ghauts Ra. Dan karomah tersebut bukan muncul dan keluar dari pribadi Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra semata. Rasulullah Saw, al-Ghauts Ra, para waliyullah, para ulama dan kiyai atau bahkan semua makhluk hanyalah tempat tajalli (penampakan) kekuasaan Allah Swt.   
Kedua sifat (jalaab dan salaab) ini, sebagai kesimpulan dari beberapa hadits yang berderajat shahih dan hasan, antara lain  :
1)              Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abi Bakrah Ra, Rasulullah Saw bersabda    : [2]
مَنْ أَهَانَ السُلطَانَ أَهَانَهُ اللهُ  
Barangsiapa menghina Sultan, maka Allah  akan menghinakannya”
Yang dimaksud mengina sultan dalam hadis ini, kitab Dalil al-falihin juz III dijelaskan, hal-hal yang dapat dikatakan menghina antara lain : menganggap ringan perintahnya. Dan yang dimaksud Allah akan menghinakannya, adalah jalan hidupnya didunia akan semakin tersesat dan terperosok kejalan setan, dan diakhirat akan menerima siksa Allah Swt yang pedih.
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya.
2)              Hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Ra , Rasulullah Saw  bersabda   : 
اِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا, فَقَدْ اَذَ نْتُهُ بِالحَرْبِ  
Sesungguhnya Allah Swt berfirman : Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku  menyatakan perang kepadanya.
Hadis ini juga mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
3)              Hadis riwayat Imam Muslim dari Ibn Abbas (Shahih Muslim Kitab "Imarah" bab "Luzumul Jama'ah"),  Rasulullah Saw bersabda :
 مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْعَلَيهِ, فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَاسِ يَخْرُجُ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Barangsiapa yang (melihat sesuatu) yang kurang menyenangkan dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Sultan sejenggkal saja, kemudian ia mati, maka ia mati dengan mati (kafir)  jahiliyah. 
Hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah wabil khusus sulthanul auliya. Sebab keluar dari jamaah sulthanul auliya, menyebabkan mati seperti matinya orang kafir jahiliyah. Artinya, iman akan tercabut (sallab).
4)              HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw, bersabda  :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاع اللهَ وَمَنْ عَصانِي فَقَدْ عَصَى اللهُ وَمَنْ أَطَاع أَمِيْرِي فَقَدْ أطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيْري فَقَدْ عَصَانِي
Barang siapa taat kepada-Ku (Rasulullah), berarti ia taat kepada Allah. Dan barang siapa durhaka kepada-Ku,  berarti ia durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada Amir-Ku, berarti taat kepad-Ku, dan barang siapa yang durhaka kepada Amir-Ku, berarti ia durhaka kepada-Ku
Apabila kata “amir” dimaknai dengan ulama, waliyullah atau sulthanul auliya’, maka hadis ini mengisyaratkan adanya sifat sallab dan jallab yang dimiliki oleh ulama, waliyullah, dan wabil khusus sulthanul auliya.
 Makna kata sulthan yang berkaitan dengan iman dan Islam, para ulama kaum sufi tidak memaknainya dengan sulthanul balad (pimpinan pemerintahan) Pendapat ini didasarkan kepada :
Hadis riwayat Tirmidzi dan Nasai, Rasulullah Saw :
وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُلْطَانِ قُرْبًا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا
Tidaklah seseorang semakin bertambah dekat hubugannya dengan penguasa, melainkan dia semakin jauh dari Allah. [3]
Dan hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud, Rasulullah Saw :
مَنْ أَتَى أَبْوَابَ السَلاَطِيْنَ أُفْتُتِنَ
Barang siapa mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia akan mendapat ujian.
          Kedua hadis ini, menujukkan sultan, selain sulthanul auliya, bukan tempat tajalli Allah Swt.
5)              Hadis riwayat Muslim (dalam Shahih, bab ‘iyadatu maridl”) Rasulullah Saw bersabda : Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ لاِبْنِ أَدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ : يَا بْنَ أَدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي, قَالَ يَارَبِّ كَيْفَ عَدْتُ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ : أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا قَدْ مَرِضَ وَإِنْ عَدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِيْنِي قَالَ: يَارَبِّ سَقَيْتُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ. قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَسْقَاكَ وَإِنْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَابْنَ أَدَمَ إِسْتَطعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي, قَالَ : يَارَبِّ كَيْفَ اُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَلَمِيْنَ, قَالَ: أَمَّا عَلِمْتَ إِنَّ عَبْدِي فُلاَنًا إسْتَطْعَمَكَ وَإِنْ اَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ.
Sesungguhnya Allah pada hari kiamat bersabda : Hai anak Adam, Aku sakit, mengapa kamu tidak membesuk-Ku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku membesuk-Mu, sedangkan Paduka adalah Penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama (fulan/ .....) sedang sakit. Jika kamu membesuknya, niscaya kamu akan menemukan AKU disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu, dan mengapa kamu tidak mau memberi minum Aku. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi minum Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba bernama Fulan, saat itu sedang haus dan mengharapkan minuman dari kamu. Jika kamu memberinya minum, niscaya kamu menemukan Aku disisinya.
Hai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu,  mengapa kamu tidak memberi-Ku makan. Jawab manusia : Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi makan Paduka, sedangkan Paduka adalah penguasa alam?. Allah bersabda : Wahai anak Adam, Aku memiliki hamba yang bernama Fulan saat itu sedang meminta makan kamu. Jika kamu memberinya makan, niscaya kamu akan menemukan Aku disisinya.

6)              Hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda  : [4]
   إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
7)             Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [5]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Hadis riwayat Muslim (5), Thabrani (6) dan Ahmad (7) diatas dengan jelas, menjelaskan adanya sifat jallab yang dimiliki oleh para guru ruhani, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra.

8)              Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[6]
Kaum sufi, didukung oleh beberapa hadits dan  al-Qur’an, menerangkan bahwa yang dimaksud  “amir” atau “sulthan” dalam hadits diatas, adalah waliyullah yang berpangkat al-Ghauts Ra.  Dan dengan kata lain, hadits diatas dapat diterjemahkan dengan :
Taat kepada Al-Ghauts Ra,  berarti taat kepada Rasulullah Saw,  yang sekaligus taat kepada Allah Swt. Dan, durhaka kepada Al-Ghauts Ra, berarti durhaka kepada Rasulullah SAW yang sekaligus durhaka kepada Allah Swt. Ketaatan mukmin akan mendatangkan peningkatan iman dan kesadaran kepada Allah Swt. Dan kedurhakaan kepada Beliau Ra, akan menjadikan turunnya iman dan makrifat seseorang”.
Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H), Guru Agung Pemandu kaum sufi pada zamannya, menyimpulkan makna hadits diatas sebagai berikut :
قلْبُ العَارِفِ حضْرَةُ اللهِ فمَنْ تقَرَّ بَ اِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتحَتِ لَهُ أَبْوَابُ الحَضْرَةِ
Hati orang arif (apalagi Amirul Arifin/ al-Ghauts RِِِِA) itu, hadrah (lambang kehadiran) Allah. Barang siapa mendekat kepadanya dengan cara pendekatan yang semestinya, maka akan terbukalah baginya pintu-pintu kehadiran (Allah)”.
Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif -nya al-Ghauts fii Zamanihi Syekh Syihabuddin Suhrawardi Ra, dalam bab ke 10), diterangkan  :
َ          الشَّيْخُ يُعْطِي بِاللهِ وَيمْنَعَُ بِاللهِ. بَلْ هُوَ مَعَ مُرَادِ الحَقِّ وَالحَقُّ يَعْرِفُهُ مُرَادَهُ فَيَكُوْنُ فِي الاَشْيَاءِ بِمُرَادِ اللهِ تَعَالَى لاَبِمُرَادِ نَفْسِهِ.
Syekh (al-Ghauts Ra), memberi atas kehendak Allah, dan menolak atas kehendak Allah. Bahkan dia bersama kehendak Allah. Dan Allah mengetahui segala kehendaknya. Maka kehendak Syekh dalam segala sesuatu dengan kehendak Allah Swt, dan bukan dengan kehendaknya sendiri.

Jallab dan sallab yang dimiliki makhluk.
b.        Sallab Malikat Izrail As.
Sebagaimana diketahui, setiap kematian, pencabut (sallab) nyawa adalah malikat Izrail As. Namun secara hakiki yang mematikan dan yang menghidupkan makhluk hanyalah Allah Swt semata.
c.        Jallab Malikat Mikail As.
Sebagaimana yang telah diketahui, pembagi (jalab) serta pengambil (salab) rizki, baik rizki lahir atau batin, setiap makhluk, secara hakiki hanyalah Allah Swt, sedangkan secara lahiriyah atau syriat adalah malikat Mikail As.
d.        Jallab Malikat Jibril As.
Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas Ibn Malik  dijelaskan, ketika menjelang keberangkatan Rasulullah Saw melaksanakan mi’raj ke langit, malaikat Jibril atas perintah Allah Swt, meningkatkan (jalaab) iman Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw  :
فُرِجَ عَنْ سَقْفِ بَيْتِي فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَرَجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ جَاء بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مُمْتَلِئٍ حِكْمَةً وَإِيْمَانًا فَأَفْرَغَهُ فِي صَدْرِي ثُمَّ أَطْبَقَهُ
Atap rumah-Ku terbuka, saat itu Aku berada di Makkah. Jibril turun dan membelah dada-Ku. Kemudian mencucinya dengan air zamzam. Kemudian didatangkan satu bejana yang terbuat dari emas, yang berisi hikmah dan iman. Lalu (iman dan hikmah) jibril menuangkannya kedalam dada-Ku, kemudian (dada-Ku) jibril menutupnya kembali.
Perbuatan Jibril As “menuangkan”  iman dan hikmah kedalam dada Rasulullah Saw, dapat dikatakan perbuatan Jalllab, yang secara lahiriyah dilakukan oleh mahluk (Jibril As).  
e.        Jalaabnya ayat-ayat al-Qur’an.
Firman Allah Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya mereka berserah diri.  
Secara lahirinya, ayat-ayat Allah memiliki kemampuan jallabul iman (meningkat iman), namun secara hakiki yang meningkatkan iman, hanyalah Allah Swt semata.
f.         Setan/ Iblis dapat menghilangkan (sallab) iman
Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Ayat ini jika salah memahaminya, akan menyimpulkan bahwa pencabut iman bagi orang berkawan dengan iblis, adalah iblis dan bukan Allah Swt. Namun secara hakiki, pencabut dan pemberi iman, hanyalah Allah Swt semata.


g.        Sallab Jallab Rasulullah Saw.
Sahabat Dzul Khuwairitsah at-Tamimi memiliki keturunan yang merugikan Islam, setelah menyakiti hati Rasulullah Saw serta mendapat efek dari sallab jallab.
Sepulang dari perang thaif dan hunain, kaum muslimin mendapat ghanimah yang banyak . Rasulullah Saw membaginya kepada para sahabat. Masing-masing mendapatkan sesuai kadar pengabdian dan jasa yang mereka berikan. Namun dalam pandangan al-Khuwairitsah, terdapat keputusan kurang adil, yakni kepada Abu Sufan yang baru masuk Islam, mandapatkan bagian lebih besar bila dibandingkan  bagian Abu Bakar dan Umar, yang notabene masuknya Islam lebih dahulu. Kepada Rasulullah Saw al-Khuwasirah berkata : Wahai Muhammad, berbuat adillah kamu. Beliau Saw menjawab : Wahai, khuwairitsah : Mana mungkin manusia akan berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil.
Umar bin Khatthab ketika melihat kejadian ini, berdiri serta berkata : Wahai Rasulullah Saw, biar kupenggal leher orang itu. Beliau Saw bersabda :  Biarkan orang itu.
Mendengan ucapan Umar, Dzul Khuwasirah pergi meninggalkan ruang persidangan. Kemudian Rasulullah Saw bersabda : Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam seperti keluarnya anak panah yang menembus binatang buruan. Mereka memerang orang Islam serta membiarkan kaum penyembah berhala. Jika aku menemui mereka niscaya kepenggal lehernya, seperti halnya kauj Ad (HR. Muslim). [7]
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim juga, Rasulullah Saw bersabda :  Mereka itu sejelek-jelek makhluk, bahkan sejelek-jelek binatang. Mereka tidak termasuk golongan-Ku, dan Aku tidak termasuk golongan mereka.
Lahirnya keturunan buruk dari Dzul Khuwaisirah, secara hakiki disebabkan dari sallab jallabnya Allah Swt semata, yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw.
h.        Sallab Jallab para Waliyullah Ra :
Sebelum Wali Songo memperjuangkan Islam di Indonesia, masarakat tidak memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Dan setelah mereka berjuang di Indonesia dan khususnya tanah Jawa, masarakat hatinya memiliki keimanan kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw. Iman masarakat dapat dikatakan sebagai Jallab dari para waliyullah tersebut.
Hadis riwayat Thabrani, Rasulullah Saw bersabda :
لاَيَزَالُ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ إِبْرَاهِيْمَ يَدْفَعُ اللهُ بِهِمْ عَنْ أَهْلِ الأَرْضِ يُقَالُ لَهُمْ الأَبْدَالُ, إِنَّهُمْ لَمْ يُدْرِكُوْهَا بِصَلاَةٍ وَلاَ بِصَوْمٍ وَلاَ بِصَدَقَةٍ, قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللهِ فَبِمَ أَدْرَكُوْهَا ؟. قَالَ : بِالسَخَاءِ وَالنَصِيْحَةِ لِلْمُسْلِمِيْنَ.
 Tidak sepi ….
Syeh Sya,rani menjelaskan bahwa Ibnu Makhalla  salah satu diantara beberapa al-Ghauts Ra yang buta huruf. Diantara fatwa Syeh Ibnu Makhala  :
لِلْوَلِيِّ نُورَانِ نٌُورُ عَطْفٍ وَرَحْمَةٍ يَجْذِبُ بِهِ أَهْلَ العِنَايَةِ وَنُورُ قَبْضٍ وَعِزَّةٍ وَقَهْرٍ يَدْفَعُ بِهِ أَهْلَ البُعْدِ وَالغَوَايَةِ
Setiap Wali memiliki  dua cahaya batin : (1) nur yang bersifat menarik dan kasih, dengan nur ini tertariklah orang-orang yang mendapat pertolongan (Allah wa Rasulihi Saw), (2) nur yang bersifat genggaman, peninggian dan pemaksaan, dimana dengan nur wali  ini tertolaklah orang-orang yang yang jauh dan tersesat (dari Allah wa Rasulihi Saw).[8]

Al-Ghautts Radan para waliyullah menjaga (dengan doa dan sirri batiniyah) kelestarian alam semesta.
Telah banyak hadits shahih yang menjelaskan tugas ini. Antara lain hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani  dan Abu Nuaim dari ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُون
 Tidak sepi dalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, manusia diberi hujan, dan manusia tertolong. [9]
Demikian pula dalam keyakinan setiap pengamal tarekat (apapun jenisnya), misalnya tarekat “Qadiriyah” meyakini Syeh Abdul Qadir memiliki karomah Sallaab dan Jallab. Sebagaimana yang disamapiakan oleh Syeh Abdul Qadir berkata  :
 أَنَاَ سَلاَّبُ الاَحْواَلِ
Aku adalah pencabut kondisi batiniyah seseorang.
(Kitab Lujain ad-Daani, bab “fatwa dan karamah”).
Dalam kitab al-Fatawi al-Haditsiyah, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menerangkan : Syeh Ibnu as-Saqaa, menjadi murtad setelah menyakiti hati dan suul adab kepada al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Ya’kub Yusuf al-Hamadzani Ra (guru al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul al-Jailani Ra).

i.             Sallab Jallab para Ulama.
Setiap daerah yang ditempati oleh seorang ulama, sudah tentu iman dan ketekunan ibadah masarakat akan meningkat. Ini dapat dikatakan sebagai karomah Jallab yang dimiliki oleh setiap ulama.
Demikian uraian dalam makalah ini. Dan makalah inipun kami akhiri. Semoga dapat menambah motifasi yang positif kepada kita semua dalam berkhidmah kepada Perjuangan Wahidiyah, dan khususunya kepada Beliau Kenjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Kota Kediri Jawa Timur, sebagai Guru Ruhani kita semua.


Al-Fatihah                                                    x  1
Yaa Ayyuhal Ghautsu Salamullah               x  3
Yaa Sayyidi Yaa Ayyuhal Ghauts               x  7
Al-Fatihah                                                    x  1


 



[1].     Dalam prinsip tasawuf terdapat istilah “maqam” dan “hal” (ahwal). Maqam adalah jenjang akhlakul karimah yang harus ditempuh oleh setiap salik dalam pendekatannya kepada Allah Swt. Misalnya, taubat, zuhud, taqwa, qana’ah, ridla, tawakkal, syukur dan lainnya. Jenjang akhlak ini dapat menjadi sempurna jika salik berada dalam bimbingan guru ruhani yang telah berpengalaman dalam permasalahan tersebut. Sedangkan hal (ahwal) adalah kondisi batin yang datangnya dari Allah Swt. Maqam dapat diupayakan oleh salik, sedangkan hal tidak dapat diusahakan, ia semata-mata anugrah Allah Swt kepada salik.
[2].     Lihat kitab Dalil al-Falihin  juz III, bab  ‘wajib taat pimpinan”, hadis nomer  : 10.
[3].     Tentang ulasan tentang hadis kenegatifan sultan selain sulthanul auliya, silahkan lihat dalam kitab Minhajul Qashdin-nya Ibnu Qudamah pada bab “bergaul dengan penguasa yang dlalim”
[4].     . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[5].     HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[6].     Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[7].        Ulasan dari Prof. Dr. KH. Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PB NU 2012) dalam memberikan pengantar  buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahhabi”, penerbit Pustaka Pesantren cet. XX tahun 2012) karya Syeh Idahram. Hadis diatas tertulis dalam Shahih Muslim pada kitab Zakat dan Qismah.   
[8].     Yang dimaksud “wali” disini adalah al-Ghauts Ra. Lihat  penjelasan sebelum dan sesudahnya dalam kitab Thabaqat juz I, pada halaman 188 – 201, percetakan “Darul Fikri”, Beirut – Libanon, tahun Nopember 1954 M.
[9].     Kitab Siraj at-Thalibiin, juz II, hlm : 74, dan kitab al-Hawi lil Fatawi nya Imam Suyuthi, juz II, bab Wujud al-Auliya wal-Quthub, dan kitab Kasyful Khafa’-nya Syeh ‘Ajuluuni.

No comments:

Post a Comment