A.
Sebab-Sebab Menangis
Kebutaan hati kita terhadap kemurkaan
Allah Swt terhadap dosa-dosa diri serta kelalaian dari memikirkan azab yang
pedih diakhirat, menyebabkan seseorang tidak memiliki rasa susah padahal diri
banyak dosa. Dan jika sekiranya, mukmin mengetahui sebagaimana yang diketahui
oleh Rasulullah Saw, niscaya mudah menangis dan malu kepada-Nya. Rasulullah Saw
bersabda (diriwayatkan dari sahabat Anas
Ibn Malik Ra) : [1]
لَوْ تَعْلَمُوْنَ
مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا. قَالَ: فَغَطَّى أَصْحَاب رَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ وُجُوهَهُم لَهُمْ خَنِيْنٌ
Jika kamu semua mengetahui
seperti apa yang aku ketahui, pasti kamu semua sedikit tertawa dan banyak
menangis. Sahabat Anas berkata : Kemudian semua
sahabat Rasulullah Saw menyembunyikan wajahnya (karena malu), dan menangis
bersenggukan.
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً
وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا وَمَا تَلَذَّ ذْتُمْ بِالنِسَاءِ, وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى الصَعَدَا تِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللهِ
Dan kamu semua tidak terlalu berpuas-puas dengan wanita ditempat tidur,
dan pasti kamu semua keluar menuju tempat yang ramai, kemudian kamu mengeraskan
suara (untuk menangis).
Arti kata ( الصُعَدَاتِ = as-sha’adaat),
adalah : jalan atau tempat yang ramai dan yang banyak dilewati manusia,
sehingga manusia dapat ikut bertaubat dan menangis kepada Allah Swt. Sedangkan
asal arti kata taj-aruun adalah : agak mengeraskan suara (menangis
dengan suara yang dapat didengar oleh banyak orang).[3]
لاَتَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلاَءِ المُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَكُونُوا
بَاكِيْنَ, فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِيْنَ فَلاَ تَدْخُلُواعَلَيْهِمْ
لاَيُصِيْبُكُمْ مَاأَصَابَهُمْ.
Janganlah kamu semua masuk
kedalam lingkungan orang-orang yang berbuat dosa, kecuali kamu menangis. Jika
kami tidak menangis, janganlah kamu memasukinya, kamu tidak akan mendapatkan
musibah seperti yang menimpa mereka.
مَنْ ذَكَرَ اللهُ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ مِنْ خَشْيَةِ
اللهِ حَتَّى يُصِيْبَ الأَرْضُ مِنْ دُمُوعِـهِ لَمْ يُعَذِّبْهُ يَوْمَ
القِيَامَةِ
Barang siapa yang ingat kepada Allah
kemudian mengalir airmatanya dari takut kepada Allah hingga bumi kejatuhan
airmatanya, maka Allah tidak akan menyiksanya dihari kiamat
أللهُمَّ ارْزُقْنِي عَيْنَيْنِ هَطَالَتَانِ
Ya Allah, berilah aku dua mata yang mudah menangis.
Hal ini tercermin dalam hadis
lain yang diriwayatkan dari Abdullah Ibn Mas’ud Ra, Rasulullah Saw bersabda : [7]
إِنَّ المُؤْمِنُ يَرَى ذَنُوْبَهُ
كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلِ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الفَاجِرَ
يَرَى ذَنُـوبَهُ كَـذُبَابِ مَرَّ عَلَى أَنْـفِهِ
Sesungguhnya orang yang beriman adalah (orang) yang dapat melihat dosa-dosanya
bagaikan orang yang duduk dibawah gunung, dia takut akan kejatuhan gunung.
Sedang orang yang durhaka, dalam melihat dosa-dosanya bagaikan orang melihat
lalat yang menempel diatas hidungnya dan yang mudah diusir.
Menangis merupakan gejala dan fenomena
psikologis (peristiwa kejiwaan). Setiap manusia pernah mengalami menangis. Baik
ketika bayi, masa kanak-kanak, dewasa menjadi remaja, ketika sudah menjadi
orang tua bahkan menjadi nenek-nenekpun bisa menangis.
Motifasi (dorongan) menangis itu bisa
terjadi dari berbagai macam sebab. Tangisan bayi merupakan bahasa untuk memberi
tahukan keadaan dirinya dan apa yang dibutuhkan; lapar, haus, badan terasa
kotor, terkena pipis, badan tidak enak/ sakit dan sebagainya. Rasulullah Saw
mengabarkan bahwa; tangisan bayi yang baru lahir, dikarenakan disentuh oleh
setan. Sedangkan tangis bayi sampai umur 4 tahun adalah merupakan istighfar
permohonan magfirah atas dosa kedua
orang tuanya.
Orang yang susah karena mengalami
musibah atau penderitaan yang berat seperti sakit, kematian sanak famili,
kehilangan kekasih, kehilangan harta benda dan sebagainya bisa menangis. Orang
yang terlalu senang dan gembira juga bisa menangis.
Terlalu takut kepada sesuatu
juga bisa menangis. Pokoknya, menangis dapat selalu terjadi dalam situasi dan
kondisi yang bermacam-macam, selama fikiran masih normal. Orang gila atau orang
yang tidak normal otaknya tidak bisa menangis. Kalaupun kedengaran suara dia
menangis, tidak keluar air mata, sebagaimana tangisnya orang yang masih normal
fikirannya.
Jelaslah bahwa dorongan menangis itu
datang dari jiwa diri orang yang menangis itu sendiri, karena adanya sentuhan
jiwa atau rangsangan batin. Tangis tidak bisa diada-adakan atau dipaksakan dari
luar tanpa ada sesuatu yang merangsang menyentuh kedalam jiwa. Begitu juga kita
tidak dapat memberhentikan orang yang sedang menangis begitu saja. Bagaimanapun
usaha kita, dengan kekerasan sekalipun, kita tidak dapat menahan orang jangan
menangis atau supaya berhenti menangis. Tangis itu akan berhenti dengan
sendirinya juga telah datang “sesuatu“ yang merangsang jiwanya, yang meredakan
kegoncangan batinnya. Usaha menahan tangis dari luar, hanya sekedar membantu
proses datangnya “sesuatu“ yang menentramkan kegoncangan jiwa tadi. Jadi juga
ada manfaatnya. Dan memang harus diusahakan oleh orang-orang yang ada di
sekeliling orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa seperti itu.
Didalam Mujahadah Wahidiyah, banyak
kita jumpai dan bahkan sering kita sendiri mengalami menangis. Dalam pada itu
sering kita menangis tidak mengetahui sebab-sebabnya. Tahu-tahu menangis begitu
saja tanpa ada sebab. Tetapi pada satu tempo kita mencoba mengusahakan dan
memaksakan diri kita untuk bisa menangis, tetapi itu juga tidak berhasil bisa
menangis, walaupun dalam keadaan mujahadah sekalipun. Begitu juga pernah
terjadi bahwa pada satu tempo ketika bermujahadah kita tidak dapat menguasai
diri dari menangis, tidak mampu mengendalikan tangis sampai tercetus suara
jeritan-jeritan yang keras. Mengapa begitu ?. Jawabnya yang tepat : Allahu
A’lam. Kemampuan rasio tidak mampu mengadakan pendekatan-pendekatan,
lebih-lebih membuat analisa rasional.
Menangis, sangat berkaitan dengan
kepekaan atau sensitifitas jiwa terhadap sesuatu yang ditangisi atau disesali.
Sebagai misal, ditengah-tengah masyarakat terdapat seseorang yang cepat dan
mudah merasa malu serta menyesal dengan kesalahan yang sederhana atau sedikit. Namun
ada juga seseorang yang memiliki kesalahan yang cukup banyak dan berat, namun
tidak memiliki malu dengan tetangga lingkungan, tidak ada penyesalan, bahkan
bangga dengan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Diantara manusia;
ada yang memiliki rasa belas kasihan kepada kaum yang lemah, kaum yang
tertindas, dan kemudian membela dan memperjuangkannya. Namun ada juga seseorang
yang tidak memiliki perhatian dan keprihatinan sama sekali terhadap kaum
tersebut. Rasa kasihan dan ingin membela kaum yang lemah, keprihatinan terhadap
dekadensi moral, atau memiliki rasa malu tentang kesalahan diri, baik kepada
diri sendiri, kepada ummat masyarakat, lebih-lebih kepada Allah Swt wa Rasulihi
Saw, tidak berkaitan dengan keintelektualan seseorang, tapi berkaitan dengan
kepekaan jiwa.
Demikian pula kepada Allah Swt,
diantara mukmin ada yang mudah memiliki rasa malu dan benar-benar takut kepada
Allah Swt dengan kesalahan ringan (dosa kecil) apalagi dosa besar, dan kemudian
menyesal dan menagis serta sungguh-sungguh bertaubat. Dan ada juga diantara
mukmin yang mengerti jika dirinya banyak dosa, penuh kesalahan dan sangat
sedikit kebaikannya, akan tetapi hatinya tidak memiliki rasa malu apalagi takut
kepada Allah Swt. Jelasnya, menangis kepada Allah Swt berkaitan sekali dengan
kepekaan jiwa seseorang terhadap dosa yang dilakukan, dan bukan berkaitan
dengan akal dan banyaknya ilmu yang dikuasainya. Artinya, hampir setiap orang
memiliki pengertian, kalau manusia merupakan makhluk yang banyak berdosa kepada
Allah Swt, namun mereka tidak merasa malu kepada Allah Swt. Rasa malu dan takut
bukanlah perbuatan akal, melainkan perbuatan hati. Sebagaimana iman, juga bukan
merupakan perbuatan akal dan fikiran, akan tetapi perbuatan hati atau jiwa.
[1]. HR. Bukhari Muslim.
Lihat kitab Dalil Falihin, juz II, bab “khauf”, hadis nomer : 06 dan bab
“fadlul buka”, hadis nomer : 02. Dan lihat kitab As-Syifa’, juz I, bab
“khaufun Nabi rabbahu”, hlm : 96.
[2] kitab As-Syifa bi
Ta’rifi Huquq al-Mushthafa ’juz I, halaman 96,
[3] Kitab Muziil
al-Khafa ‘an Alfadh as-Syifa’ al-Allamah Syeh Ahmad Ibn Muhammad As-Syumni
(w. 872 H), catatan kaki kitab as-Syifa’. Lihat kitab As-Syifa’,
juz I, bab “khaufun Nabi Rabbahu”.
[4]. Lihat kitab Riyaadlus
Shalihin-nya Imam Nawawi Ra, dalam bab “Menangis dan Takut Kepada Allah”,
nomer hadis : 01. Sebagian ulama menafsirkan makna “menangis” dalam hadis ini
dengan : setidak-tidaknya memasuki lingkungan maksiyat dengan keprihatinan
dan kesedihan yang mendalam.
[5]. HR. al-Hakim dari dari
Anas. Imam Suyuthi mengatakan hadis ini berajat hasan (kitab Jami’
as-Shaghir, juz II dalam bab “mim”.
[6]. Kitab ‘Awarif
al-Ma’arif-nya Imam Suhrawardi dalam bab 24.
Dan perlu diketahui; terdapat 3 ulama yang dipanggil dengan nama
Suhrawardi. Imam Suhrawardi al-Maqtul (yang terbunuh karena dituduh sesat, w.
523 H), Syeh Abun Najiib As-Suhrawardi
(w. 578 H) dan Syeh Syihabuddin as-Suhrawadi (penulis kitab Awarif
al-Ma’aarif, w. 632 H). Dan yang terakhir adalah ulama dalam madzhab
Syafi’i, ahli ushul fiqh, ahli hadis, penyair, seorang hakim pada waktu itu,
ahli sastra, ahli dalam bidang tarekat dan tasawuf. Dalam hidupnya beliau
senantiasa riyadlah, mujahadah dan air matanya mudah keluar ketika dzikrullah.
Dalam penulisan hadis, Beliau memiliki sanad hadis yang bersambung kepada
Rasulullah Saw.
[7]. HR. Bukhari, ibid
nh : 698. Ulasan hadis lebih jelas dapat dilihat dalam kitab al-Ghunyah-nya
Syeh Abdul Qadir al-Jilli Ra, juz I, dalam bab “al-Itii’adz bi Mawa’idzil
Qur’an” pada pasal ke 20.
No comments:
Post a Comment