Tuesday, November 11, 2014

Sebab Sebab Kekafiran.

Sebab Sebab Kekafiran.
Asal mula makna kata kufur (kata jadian dari kafara), adalah “tidak dapat melihat sesuatu karena tertutup oleh sesuatu”, “tidak memahami sesuatu yang berada dibaliknya” atau “tidak memahami asal mula sesuatu/ hakikat sesuatu karena tertutup oleh kondisi keadaan sesuatu saat sekarang”. Kemudian dalam Islam diartikan dengan “hati tidak dapat melihat Tuhan dan kekuasann-Nya karena tertutup oleh makhluk” atau tidak dapat memahami asal mula dan akhir alam karena terjebak dengan keadaan alam sekarang. Karena tertutup oleh makhluk hati seseorang mengingkari keberadaan dan kekuasaan Tuhan Pengatur semesta alam, dan ia disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati, dan hanyalah mahluk yang tampak dalam hati dan fikiran.  Allah Swt berfirman Qs. al-‘Alaq : 6-7  :
إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغِى أَنْ رَأَهُ استَغْنَى
Sesungguh manusia itu suka melampaui batas. Ia berpikir cukup hanya dengan dirinya.
Didalam jiwa setiap manusia terdapat potensi keburukan/ kekafiran. Hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi Saw. bersabda :
          أَلاََ اِ نَّ فِي الجَسَدِ لَمُضْغَةً اِذَا صَلحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَد َتِ فَسَدالجَسَدُ كُلُّهُ اَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Sesungguhnya  di dalam  jasad  terdapat segumpal darah, jika darah itu baik maka baiklah seluruh jasad,  dan jika  jelek jeleklah seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati.
Manusia memiliki watak angkuh dan sombong. Kapada Tuhan saja, ia sering tidak membtutuhkan Tuhan, dan merasa cukup dengan dirinya sendiri atau dengan sesama makhluk. Dikala dalam keadaan senang, ia tidak membutuhkan-Nya bakhan melupakan-Nya. Dan baru membutuhkan Tuhan ketika ia dalam keadaan tidak senang. Dan, na’udzu billah. Padahal, jika mata hati tidak tertutup nafsu (keakuannya), pasti ia akan memahami segala sesuatu bermula dan akan berakhir pada-Nya.
Seseorang wajib memahami garis pembatas (garis demarkasi/ al-had al-fashil) antara sifat kafir dengan sifat mukmin. Dengan memahami garis batas antara keduanya, seseorang dengan mudah memahami dirinya sendiri berada dalam keadaan mukmin atau kafir.  Agar mudah membedakan anatara keduanya, dalam tulisan ini dilengkapi ulasan tentang tanda-tanda kemunafikan. Dan yang perlu diperhatikan, ulasan ini bertujuan agar kita para pengamal dan khadimul Wahidiyah dapat mengadakan introspeksi diri dalam meningkatkan iman, islam dan ihsan. Dan bukan untuk menilai atau menghakimi iman, islam dan ihsan orang lain.

1.       Sifat Sifat Orang Kafir
Supaya terhindar dari sifat-sifat orang kafir dan munafiq, Allah Swt memerintahkan kepada orang yang beriman untuk memahami  sifat-sifat kekafiran dan kemunafikan, yang  antara lain :
a.         Dalam melihat kebenaran, orang kafir tidak mau menggunakan akal sehat.
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الصُمُّ البُكْمُ الذِيْنَ لاَيَعْقِلُونَ.
Sesungguhnya sejelek-jelek mahluk (diatas bumi) menurut Allah adalah ketulian dan kebisuan (hati), merekalah orang-orang yang tidak berakal. (Qs. al-Anfal : 22).
 إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَيُؤْمِنونَ
Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang berjalan diatas bumi menurut Allah adalah orang kafir, dan mereka itu tidak beriman. (Qs. al-Anfal : 55). 
  أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إلاَّ كالآْنعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً
Apakah engkau mengira, bahwa kebanyakan mereka mau mendengarkan atau menggunakan akal?. Mereka sekali-kali tidak (dapat digambarkan), kecuali seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi jalan hidupnya. (Qs. al-Furqan: 44).
Dengan jelas. ayat ini mengabarkan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya, tak ubahnya seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat lagi, jika mereka dapat membaca kalimah suci dalam al-Qur’an. Sebgaiamana yang tercermin dalam, Rasulullah Saw bersabda  :
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهنمََ
            Barang siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka jahanam (HR. ad-Darimi dalam Sunan juz I).
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ. قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبُهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ  عَلى فُوقِهِ. وَهُمْ شَرُّ الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu) kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an.  Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek mahluk  (HR. Abu Daud).   

Karena hewan tidak memiliki akal, wajar jika tindakannya hanya didorong oleh  naluri, insting atau emosional saja. Namun  sayang sekali, kita sebagai manusia, yang diberi akal oleh Allah Swt, sering dalam bertindak hanya mengedapankan emosional, serta melupakan daya rasional dan kecerdasan jiwa yang kita miliki. Seseorang yang hanya menghidupkan emosionalnya saja, sudah tentu daya rasional dan mata hati akan semakin redup, bahkan menjadi mati (na’udzu billah). Dan ketika akal sehat dan mata hati tidak difungsikan, rasanya sulit manusia dapat mengenal Allah Swt, apalagi kekuasaan-Nya yang terpancar kepada Rasulullah Saw wa Ghautsuz Zaman Ra.
b.         Menganggap bodoh kepada orang-orang yang beriman serta mentertawakannya.
  وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ أَمِنُوا كَمَا أَمَنَ النَاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا أَمَنَ السُفَهَاءُ, أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka  : berimanlah kamu semua seperti manusia lain.  Mereka menjawab : “Apakah kami beriman seperti yang diimani oleh orang-orang yang bodoh”. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu bodoh, tetapi mereka tidak menyadari. (Qs. al-Baqarah : 13).
Menurut orang kafir, orang mukmin adalah manusia bodoh yang kehilangan ego dan harga diri. Orang mukmin - menurut orang kafir -, rela menanggalkan kehormatan diri demi mengikuti tuntunan dan taslim kepada Rasulullah Saw serta para ulama penerus risalah Islam (al-Ghauts Ra). Padahal, merekalah orang-orang yang bodoh. Sebab, hakikinya yang mereka, adalah nafsu (setan yang menyatu dengan ego diri), linafsih - binafsih.
c.         Bagi orang kafir, tidak ada artinya diberi penjelasan tentang kebenaran atau tidak.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya  orang-orang kafir, sama saja apakah engkau peringatkan atau tidak, tetap tidak mau beriman. (Qs. al-Baqarah : 6).
Bagi orang kafir, kebenaran bukan terletak pada nilai ilmiyah dan etika. Tetapi terletak pada keuntungan atau kerugian terhadap kehormatan diri. Jika membawa keuntungan duniawi itulah kebenaran, dan jika membawa kerugian duniawi itulah kebatilan.
d.                  Jika ditimpa kesusahan mereka mudah berkeluh kesah. Namun, ketika kenikmatan datang, diakuinya dari hasil usaha sendiri. Allah Swt berfirman, Qs. az-Zumar : 8 :
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Ketika manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (mengembalikan seluruh kejadian kepada Allah Swt). Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan dari-Nya, ia lupa kalau pernah berdoa kepada-Nya. Dan (kemudian) mejnadikan (dirinya) sebagai tandingan terhadap Allah, hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah (Muhammad) : “(wahai orang-orang yang kufur) bersenang-senanglah kamu dalam waktu sebantar (didunia).  Sesungguhnya kamu dari golongan penghuni neraka”.
e.         Memisahkan kekuatan (haul dan quwwah) Rasulullah Saw dari kekuatan Allah Swt.
إِنَّ الذِيْنَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ, وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُولَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkufuri Allah  dan rasul-Nya, dan mereka ingin memisahkan antara Allah dan rasul-Nya. Mereka berkata : kami mempercayai sebagian dan mengkufuri yang sebagian. Dan mereka ingin mengambil jalan tengah diantaranya. Merekalah orang-orang kafir yang semestinya. Dan Kami sediakan untuk orang kafir siksa yang sangat menghinakan. (Qs. An-Nisa’: 150 – 151).
Dalam kitab tafsir Shawi dijelaskan : kekafiran mereka disebabkan oleh paham yang memisahkan antara Allah Swt dan Rasul-Nya, dan bukan oleh paham syirik :
 فَكُفْرُهُمْ بِالتَفَرُّقَةِ لاَبِاعْتِقَادِ الشِرْكِ للهِ   :  Kekafiran mereka, disebabkan pemisahan (antara kekuatan rasul dari kekuatan Allah), dan bukan karena syirik (menyekutukan Allah dengan Rasul).
Dalam al-Qur’an surat al-Anfal ayat 17, ditegaskan bahwa kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata :  وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى: Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika engkau melempar, tetapi  Allah-lah yang melempar.
Ayat ini dapat dipahami bahwa mendekat kepada Rasulullah Saw berarti mendekat kepada rahmat Allah Swt yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw. Dengan demikian, tidak bertawassul atau tidak beristighatsah kepada Rasulullah Saw, seseorang tetap dikatakan kafir dari kekuasaan-Nya (musyrik/ menyekutukan Allah Swt dengan Rasulullah Saw), selama tidak dapat memahami kekuatan Rasulullah Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Dan, bertawassul atau beristighatsah kepada Rasulullah Saw, tetap dinamakan bertauhid selama memahami kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah tempat tajalli (penampakkan sifat) Allah Swt yang sempurna.
Berkaitan dengan keagungan Rasulullah Saw, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Nabhani Ra, dalam kitabnya Syawahidul Haq, menerangkan :
وَأَمَّا كَوْنُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي وَيَمْنَعُ وَيَقَضِي حَوَائِجَ السَائِلِيْنَ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُوبِيْنَ وَأَنَّهُ يَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَلاَشَكَّ فِيْهِ وَلاَ يَتَرَدَّ دُ بِصِحَّتِهِ وَوُقُُوعِهِ اِلاَّ كُلُّ مَنْ تَرَاكَمَ عَلَى قَلْبِهِ الجَهْلُ وَالظَلاَّمُ أَنَّهُ يُعْطِي باللهِ وَيَمْنَعُ باللهِ وَيَقْضِي حَوَئِجَ السَائِلِيْنَ باللهِ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُبِيْنَ باللهِ وَيَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ بِتَشْفِعِ اللهِ لَه.ُ وَلَمْ يَعْتَقِدْ أَحَدٌ مِنَ المُسْلِمِيْنَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ مِنْ ذَالِكَ شَيْئًا بِنَفْسِه.ِ مَعَ اِعْتِقَادٍ أَنَّهُ سَيِّدُ عَبِيْدِ اللهِ وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ وَاَحَبُّهُمْ وَاَقْرَبُهُمْ اِلَى اللهِ
Keberadaan Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan hajat para pemohon,  membereskan kekacauan orang. Sesungguhnya Beliau Saw memberi syafa’at kepada orang yang dihendakinya, memasukkan surga kepada orang yang dikehendakinya. Kebenaran hal ini tidak diragukan lagi, kecuali bagi orang yang hatinya dipenuhi kebodohan dan kegelapan.
Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan hajat orang, membereskan permasalahan orang tersebut dengan izin Allah (billah), dan memberi safaat orang yang Beliau kehendaki, dengan pertolongan Allah. Tidak ada orang Islam yang memiliki keyakinan, bahwa Rasulullah Saw melakukan semua itu berdasar kekuatannya sendiri. Setiap muslim, memiliki keyakinan bahwa Rasulullah Saw adalah pemimpinan hamba-hamba Allah, mulianya mahluk disisi Allah, dan manusia yang paling cinta dan dekat kepada Allah. 
Jadi, hakikat bertawassul atau beristighatsah, adalah untuk mendekati “Nur Ilahiyah”-nya Allah Swt  yang ada pada pribadi Rasulullah Saw atau pribadi al-Ghauts Ra.

2.                Sifat-Sifat Orang Munafiq
Setinggi apapun kemampuan akal manusia tidak mampu mengingkari keberadaan Tuhan, sebagaimana ketidakmampuan akal untuk membuktikan keberadaan-Nya secara musyahadah. Kesimpulan ilmu pengetahuan bukan bukti terakhir, karena ia bersifat sementara dan tidak tetap. Kesimpulan ilmiyah tempo dulu dimentahkan oleh hasil kajian saat sekarang, dan hasil kajian saat sekarang akan dimentahkan oleh kajian ilmiyah berikutnya, dan demikian pula seterusnya. Kesimpulan yang diberikan oleh al-Qur’an dan hadis tidak pernah bertentangan dengan kebenaran ilmiyah. Dan yang bertentangan hanyalah persepsi atau kesimpulan para ilmuawan. Oleh karenanya, seseorang yang menganggap kesimpulan ilmiyah sebagai bukti akhir, apalagi bukti tertinggi, berarti ia tidak mampu melihat kesimpulan ilmiyah para ilmuawan bersifat sementara dan relatif. Banyak orang menjadi kafir atau munafiq (tidak dapat memahami Allah Swt serta keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw) disebabkan hanya berpegang kepada kajian ilmiyah. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
a.     HR. Imam Ahmad dalam Musnad dan al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman  (kitab Jami’ as-Shagir juz I dalam bab alif), Rasulullah Saw sabda :  أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا:  Kebanyakan munafiqnya ummat-ku adalah para pembaca ilmu (pengkaji ilmiyah).
b.     HR. Imam Ahmad dari Umar Ibn al-Khatthab (kitab Jami’ as-Shaghir, juz I, bab alif), Imam Suythi mengatakan hadis ini berderajat “shahih”.
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمُ اللِسَانِ 
Sungguh yang paling aku takuti dari sesuatu yang aku takutkan pada ummatku, adalah orang munafiq  yang pandai berbicara.
c.      HR. Imam Thabrani dari Abu Darda’ (kitab Jami’ as-Shagir,  juz I, pada bab alif).
 أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةُ عَالِمٍ وَجَدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبِ بِالقَدَرِ 
Aku takutkan tiga perkara terhadap ummatku : hilangnya orang alim, perdebatan orang munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir.
d.     HR. Ad-Dailami dari Ibnu Abbas Ra, (kitab Jami’ as-Shaghir,  juz I, pada bab alif).
  أَفَةُ الدِيْنِ ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ : Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang durhaka, imam yang tidak adil dan mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis) yang bodoh.

Diantara ciri-ciri kemunafikan yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadis :
1.                 Malas mendirikan shalat, suka berbuat riya’ (pamer) dengan amal kebaikannya, dan tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali. :
إِنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak ingat Allah kecuali sedikit (Qs. an-Nisa’ : 142).
Ayat ini dengan jelas menerangkan  seseorang masih dinilai sebagai munafiq (bahkan kafir), ketika melaksanakan shalat hatinya tertutup dari kebesaran dan kebaradaan Allah Swt.
إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ 
 Sesungguhnya mereka adalah orang kafir kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa  (Qs. at-Taubah : 54).
Hadis riwayat Imam Dailami (kitab ad-Durar al-Muntatsirah-nya Imam Suyuthi Ra) :
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ  صَلاَتُهُ عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak akan bertambah,  kecuali jauh  dari Allah.
2.           Suka berbicara bohong, mengkhianati kepercayaan dan mengingkari perjanjian.
HR, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahma (Rasulullah Saw bersabda :
 أَيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ: إِذَا أَحْدَثَ كَذَبَ,  وَإِذَا أْؤتُمِنَ خَانَ,  وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda orang munafiq ada tiga; ketika berbicara ia berdusta, ketika dipercaya ia menghianati, dan ketika berjanji ia mengingkari
3.                 Mencintai mahluk sebagaimana mencintai Allah Swt, serta menjadikan mahluk sebagai tandingan/ sekutu bagi Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165  :
 وَمِنَ النَاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
Dan diantara manusia terdapat orang yang mengambil (menjadikan) selain Allah sebagai tandingan (bagi Allah), serta mencintainya seperti mencintai Allah.
4.                 Tidak bersedia diajak berjuang dijalan kebenaran. Dan hanya diri atau keluarga yang diperjuangkan. Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ali Imran: 167  :
وَلِيَعْلَمَ الذِيْنَ نَاقَقُوا, وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوافِي سَبِيْلِ اللهِ أَوِادْفَعُوا قَالُوالَوْ نَعْلَمُ قِتَالاً لاًتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلإيْمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَالَيْسَ فِيْ قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كُنْتُمْ يَكْتُمُونَ.
Agar Dia (Allah) mengetahui siapa orang yang munafiq. Jika dikatakan kepada mereka : Marilah berjuang dijalan Allah, atau hanya mempertahankan dirimu”. Mereka menjawab : “Sekiranya kami mengetahui perjuangan itu kebenaran, niscaya kami akan mengikuti kamu”.
 Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah mengetahui dengan sesuatu yang mereka sembunyikan.
5.           Menghalang-halangi perjuangan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ :  61  :
وَإذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَسُولِ رَأَيْتَ المُنَافِقِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Dan jika dikatakan kepada mereka : “Kemarilah kalian (hai manusia), kepada sesuatu (tuntunan) yang diturunkan oleh Allah, dan kepada rasul”.  Niscaya engkau (Muhammad) akan melihat mereka (munafiq) menghalang-halangi manusia, (agar menjauh) dari kamu dengan sekuat tenaga.

3.                Sifat-Sifat Orang Beriman
Mengetahui, adalah perbuatan akal. Sedangkan beriman, merasa dekat dan takut kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mencintai dan mengagungkan-Nya adalah perbuatan hati. Antara memiliki ilmu ketuhanan dengan beriman kepada-Nya sangatlah berbeda. Seseorang yang memiliki berbagai macam ilmu agama (ilmu tafsir, ilmu hadis dan lainnya, atau bahkan ilmu makrifat sekalipun), belum tentu dapat merasa dilihat dan dikuasai oleh Allah, hingga ia tidak memiliki perasaan malu apalagi takut kepada-Nya. Dan meskipun hanya memiliki ilmu agama yang pokok-pokok saja, seseorang dapat merasa malu dan takut kepada Allah Swt. Iman merupakan “Nur Ilahiyah” yang diletakkan oleh Allah Swt kedalam hati orang yang dikehendaki-Nya. Sebagaiman firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 22
 فَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ للإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
Barang siapa yang Allah melapangkan dadanya untuk Islam, maka ia dalam cahaya dari Tuhannya.
HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ اللهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena nur tersebut, maka ia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.
Tafsir Ibnu Katsir dalam ayat 122 surat  al-An’am, tertulis hadis riwayat al-Hakim dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra, Rasulullah Saw bersabda :
  إِنَّ النُوْرَ إِذَا دَخَلَ القَلْبَ انْتَسَحَ وَانْشَرَحَ, فَقِيْلَ : يَارَ سُولَ اللهِ هَلْ لِذَالِكَ مِنْ عَلاَمَاتِ يُعْرَفُ بِهَا ؟. فَقَالَ : التَجَافَى عَنْ دَارِ الغُرُورِ  وَالإِنَابَة إِلَى دَارِالخُلُودِ وَالإَسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُولِ المَوْتِ
Sesungguhnya “nur (ilahiyah)” ketika masuk kedalam hati, maka Allah melebarkan hatinya. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah untuk hal tersebut, apakah ada tanda-tanda untuk mengetahuinya ?. Rasulullah menjawab : berpaling dari kehidupan duniawi yang menipu dan kembali (inaabah) kepada rumah abadi (Allah)  serta mempersiapkan  mati sebelum datangnya kematian.

Ciri-ciri orang mukmin  :
1.                 Sangat mencintai Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165  :  وَالذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ : Dan orang-orang  yang beriman sangat mencintai Allah.
2.         Hati mukmin mudah bergetar ketika nama Allah disebut serta iman bertambah ketika dibacakan ayat-ayat-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya mereka berserah diri.  
3.         Mencintai Rasulullah Saw dengan mengalahkan cinta kepada yang lain.
 لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam memberi penjelasan hadits riwayat Bukahri  dan  Muslim ini, al-Ghauts fi Zamanihi Ra Imam al-Qusthalani (kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qusthalani), menjelaskan  :
حََقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لا َتَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقِيْقِ أَعْلإَِ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى  كُلِّ وَالِدٍ وََوَلَدٍ ومُحْسِنٍ  فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ. يُبَيِّنُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat disempurnakan, kecuali dengan memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah), diatas kedudukan orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa tidak memiliki kepercayaan seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ukuran derajat  mukmin, tergantung seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw.   
Firman Allah Swt,  Qs, at-Taubah : 24  :
قُلْ اِنْ كَانَ أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُكُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم وَعَشِيْرَتُكُم وَأَمْوَالٌ اقتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهاَ أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه فَتَرَبّصُوا حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ الفَا سِقِيْنَ
Katakanlah (Muhammad): jika sekiranya bapak, anak, saudara, suami atau istri dan keluarga kamu semua, serta harta yang telah kalian kumpulkan, perniagaan yang kalian takut kebangkrutannya dan tempat tinggal yang kalian rela didalamnya, lebih kalian cintai dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan dijalan-Nya, maka tunggulah, sampai datangnya keputusan Allah. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang fasik.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelaskan ayat ini dengan hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Bukhari dari Umar bin Khatthab Ra :
وَاللهِ يَارَسُولَ اللهِ أَنْتَ لآَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : لاَ يُؤْمِن ُ أَحَدُ كُمْ حَتَى أَنْ اَ كُونَ أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ , فَقَالَ عُمَرُ : فَأَنْتَ الآَنَ وَاللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : الآَنَ يَا عُمَرُ
Demi Allah, wahai Rasulullah, Engaku niscaya lebih aku cintai dari pada segala sesuatu, kecuali kepada diriku sendiri. Rasulullah Saw menjawab : Tidak sempurna iman seseorang, sehingga Aku, lebih dicintainya dari pada dirinya. Umar berkata : Demi Allah sekarang Engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Rasulullah Saw. menjawab : Sekarang wahai Umar telah sempurna imanmu.
Mahabbah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, merupakan tanda-tanda pokok bagi setiap mukmin. Sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagi kitab yang ditulis oleh para ulama :
a.             Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’al-Afham, menjelaskan :  Sahabat  Mu’ad  bin
 Jabbal Ra berkata : قَلْبُ المُؤْمِن ِتَوحِيْدُ اللهِ وَذِ كْرُرَسُولِهِ مَكْتُوبَانِ فِيْهِ لاَ يَتَطَرَقُ اِلَيْهِمَا مَحْوٌوَلاَ اِزَلَةٌ : Hati orang mukmin senantiasa mengesakan Allah. Dan dzikir kepada  Rasulullah tertulis didalam hati orang mukmin. Maka tidak boleh ada usaha untuk menghapus dan menghilangkan keduanya.
b.             Dalam kitab Saadah ad-Daraini-nya al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1350 H) dalam bab 10 “faidah shalawat Nabi Saw & buahnya”,  beirut, “dar-al-Fikri” tt, hlm : 506 – 507, menjelaskan : para waliyullah Ra telah bersepakat bahwa  :
وَأَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعَالى وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ. مِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan sesungguhnya barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw, maka ia akan merasakan nikmatnya wushul kepada Allah Swt. Dan barang siapa yang memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat. Diantara jalan wushul yang paling utama adalah ta’alluq (menghubungkan jiwa) kepada Nabi Saw kekasih Allah Swt  serta memperbanyak bershalawat kepadanya Saw.
c.             Syeh Abdul Wahab Sya’rani dalam kitabnya Thabaqat al-Kubra, menjelaskan fatwa gurunya (al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ali al-Khawash Ra, w. 951 H) yang mengatakan :
 نَحْنُ فِي سَنَةِ إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وتِسْعِمِائَةٍ جَمِيْعُ أَبْوَابِ الآَوْلِيَاءِ قَدْتَزَحْزَحَتْ لِلْغَلْقِ وَمَا بَقِيَ الانَ مَفْتُوحًا إِلاَّ بَابُ رَسُولُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kita yang hidup pada tahun 941 H, semua pintu kewalian telah tertutup. Dan dewasa ini tidak terbuka kembali, kecuali melalui pintu Rasulullah Saw.
4.         Mukmin hanya takut Allah Swt, dan memang hanya Dia yang patut ditakuti.
 أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ  
Mengapa kamu takut kepada mereka ?. Padahal, Allah-lah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar beriman (Qs. At-Taubah : 13).
6.                 Ketika dibacakan ayat-ayat Allah Swt, air mata mukmin mudah mengalir. (Qs. Maryam : 58) :
وَمِمِّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَحْمَنْ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا.   
Diantara orang yang Kami telah memberikan hidayah, dan telah Kami pilih, (adalah orang yang) ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat Tuhan Yang Maha Kasih, mereka tersungkur sujud dan menangis.
7.                 Mudah melihat dosa diri, serta mudah merasa takut kepada Allah Swt.
المُؤْمِنُ يَرَى ذُنُوبَهُ كَقَاعِدٍ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَهُ وَالمُنَافِقُ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ يَقَعُ عَلَى أَنْفِهِ فَيَطِيْرُ
Orang yang beriman itu dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang yang duduk dibawah gunung yang takut akan longsor dan akan menimpanya. (HR. Imam Bukhari).
            Merasa malu dan takut kepada Allah Swt, sangat berkaitan dengan kepekaan jiwa. Semakin peka jiwa seseorang terhadap jenis-jenis kesalahan, maka semakin memiliki perasaan malu dan takut kepada-Nya. Demikian pula sebaliknya, tidak adanya perasaan malu dan takut kepada-Nya, akibat dari tipisnya kepekaan jiwa terhadap jenis-jenis kesalahan/ kemaksiatan. Rasulullah Saw bersabda :
            جُمُوْدُ العَيْنِ مِنْ قَسْوَةِ القُلُوبِ, وَقَسْوَةُ القُلُوْبِ مِنْ كَثْرَةِ الذُنُوبِ :  Kerasnya mata disebakan kerasnya hati. Dan kerasnya hati disebabkan banyaknya dosa.

4.      Sebab-Sebab Kekafiran Iblis.
Oleh al-Qur’an, iblis digolongkan dalam kelompok orang kafir. Kekafirannya, bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan, tetapi lebih disebabkan tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang ada dalam jiwa Nabi Adam As. Karena tertutup oleh ke-aku-annya,  iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi Adam As. Berbagai alasan yang diajukan kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah untuk menutupi keakuan serta keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan setinggi-tingginya. Untuk menutupi keakuannya dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Adam As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan ilmu bila dibandingkan dengan kelompok malaikat (Qs. al-Baqarah : 30). Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt dibumi. Sedangkan malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci dan lagi berusia lebih tua, sangat patut dan pantas menjadi khalifah.
Kuatnya dorongan membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap sifat kekuasaan Allah Swt
yang dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Nabi Adam As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh kecintaan kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis tidak dapat melihat kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada dirinya mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga, meskipun para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As, iblis tetap mempertahankan keakuan dan keangkuhannya serta tetap tidak mau menerima kekhalifahan Nabi Adam As. (Semoga Allah Swt melindungi kita dari bujukan iblis).
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat. Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai makhluk yang lemah, dan yang harus taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu daya dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka dapat memahami keberadaan dirinya serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Serta dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru Ruhani  bagi mereka dalam bermunajat kepada Allah Swt. Sebagaimana penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitab al-Ghunyah juz II dalam bab ma yajibu ‘ala al-mubtadi) : فَصَارتِ المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai guru malaikat. Adam mengajarkan  nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan.  Dalam keterangan selanjutnya, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan :                فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ. :          Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya. Dan sebagai pintu masuk dalam  menuju kepada-Nya.
Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan menerimanya sebagai pimpinan dan guru ruhani, disebabkan awal penolakannya bukan karena pembelaan terhadap ego diri atau kelompoknya, akan tetapi lebih disebabkan belum mengetahui tentang Nurul Khalifah al-Ilahiyah yang ada pada diri Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad : 71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani) manusia (Adam) dari tanah.  Ketika Aku telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah , pada ulasan terhadap Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ, كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk memulyakannya. Sebagaimana ka’bah sebagai kiblat untuk shalat. Sedangkan shalat sujudnya untuk Allah.
Dan Imam Shawi Ra juga menjelaskan : وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ للهِ  : Nabi Adam As sebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud hanya untuk Allah.  Dan dalam ulasan kalimah : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ  : Sujudlah kalian kepada Adam, dijelaskan : أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ قِبْلَتَكُمْ  : Sujudlah kalian kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian (kitab Tafsir Shawi).
Keterangan yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M. Quraisyi Syihab (penerbit Lentera Hati, cet. tahun Agustus 2005, halaman 153),  dalam ulasan ayat 34 surat al-Baqarah. Sebagaimana ulasannya : “Bahkan tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud sebagaimana  Ka’bah di Mekah dewasa ini menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.
            Dan dalam keterangan beberapa kitab tafsir diatas, setalah syariat Islam datang, perbuatan sujud tersebut dibatalkan, dan diganti dengan bershalawat dan bertaslim yang semestinya kepada Rasulullah Saw : يَأَيُهَا الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا  : Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya (Nabi) dan taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya (Qs. al-Ahzaab : 56).
            Kata  سَلِّمُوْا / sallimuu, memiliki dua makna yang mana setiap mukmin diperintah untuk mengamalkan semuanya. Sebagaimana Firman Allah Swt : 


No comments:

Post a Comment