Sebab Sebab Kekafiran.
Asal mula makna kata kufur (kata jadian dari kafara),
adalah “tidak dapat melihat sesuatu karena
tertutup oleh sesuatu”, “tidak memahami sesuatu yang berada dibaliknya” atau
“tidak memahami asal mula sesuatu/ hakikat sesuatu karena tertutup oleh kondisi
keadaan sesuatu saat sekarang”. Kemudian dalam Islam diartikan dengan “hati
tidak dapat melihat Tuhan dan kekuasann-Nya karena tertutup oleh makhluk” atau
tidak dapat memahami asal mula dan akhir alam karena terjebak dengan keadaan
alam sekarang. Karena tertutup oleh makhluk hati seseorang mengingkari keberadaan dan kekuasaan Tuhan Pengatur
semesta alam, dan ia disebut orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak
dalam hati, dan hanyalah mahluk yang tampak dalam hati dan fikiran.
Allah Swt berfirman Qs. al-‘Alaq :
6-7 :
إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغِى أَنْ رَأَهُ استَغْنَى
Sesungguh manusia itu suka melampaui batas. Ia berpikir cukup hanya dengan dirinya.
Didalam jiwa setiap manusia terdapat
potensi keburukan/ kekafiran. Hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi Saw. bersabda :
أَلاََ اِ
نَّ فِي الجَسَدِ لَمُضْغَةً اِذَا صَلحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَد
َتِ فَسَدالجَسَدُ
كُلُّهُ اَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Sesungguhnya di
dalam jasad terdapat segumpal darah, jika darah itu baik
maka baiklah seluruh
jasad, dan jika jelek
jeleklah seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati.
Manusia memiliki
watak angkuh dan sombong. Kapada Tuhan saja, ia sering tidak membtutuhkan
Tuhan, dan merasa cukup dengan dirinya sendiri atau dengan sesama makhluk. Dikala
dalam keadaan senang, ia tidak membutuhkan-Nya bakhan melupakan-Nya. Dan baru
membutuhkan Tuhan ketika ia dalam keadaan tidak senang. Dan, na’udzu billah.
Padahal, jika mata hati tidak tertutup nafsu (keakuannya), pasti ia akan
memahami segala sesuatu bermula dan akan berakhir pada-Nya.
Seseorang wajib memahami garis pembatas (garis demarkasi/
al-had al-fashil) antara sifat kafir dengan sifat mukmin. Dengan memahami garis
batas antara keduanya, seseorang dengan mudah memahami dirinya sendiri berada dalam
keadaan mukmin atau kafir. Agar mudah
membedakan anatara keduanya, dalam tulisan ini dilengkapi ulasan tentang tanda-tanda
kemunafikan. Dan
yang perlu diperhatikan, ulasan ini bertujuan agar kita para pengamal dan
khadimul Wahidiyah dapat mengadakan introspeksi diri dalam meningkatkan iman, islam
dan ihsan. Dan bukan untuk menilai atau menghakimi iman, islam dan ihsan orang lain.
1. Sifat
Sifat Orang Kafir
Supaya terhindar dari sifat-sifat orang kafir dan munafiq, Allah Swt memerintahkan
kepada orang yang beriman untuk memahami
sifat-sifat kekafiran dan kemunafikan, yang antara lain
:
a.
Dalam melihat kebenaran, orang kafir tidak mau menggunakan akal
sehat.
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد
اللهِ الصُمُّ البُكْمُ الذِيْنَ لاَيَعْقِلُونَ.
Sesungguhnya sejelek-jelek mahluk (diatas bumi) menurut Allah
adalah ketulian dan kebisuan (hati), merekalah orang-orang yang tidak berakal. (Qs. al-Anfal : 22).
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الذِيْنَ
كَفَرُوا فَهُمْ لاَيُؤْمِنونَ
Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang berjalan diatas bumi
menurut Allah adalah orang kafir, dan mereka itu tidak beriman. (Qs. al-Anfal : 55).
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إلاَّ كالآْنعامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيْلاً
Apakah engkau mengira, bahwa kebanyakan mereka mau mendengarkan
atau menggunakan akal?. Mereka sekali-kali tidak (dapat digambarkan), kecuali
seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi jalan hidupnya. (Qs. al-Furqan: 44).
Dengan jelas. ayat ini mengabarkan manusia yang tidak menggunakan
akal sehatnya, tak ubahnya seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat lagi,
jika mereka dapat membaca kalimah suci dalam al-Qur’an. Sebgaiamana yang tercermin
dalam, Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ
العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ
السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهنمََ
Barang siapa mencari ilmu untuk
bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang bodoh atau berharap agar
manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka
jahanam (HR. ad-Darimi dalam
Sunan juz I).
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ. قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ
القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبُهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ
حَتَّى يَرْتَدَّ عَلى فُوقِهِ. وَهُمْ
شَرُّ الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu)
kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada
perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara
mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an. Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan
terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam
kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek
mahluk (HR. Abu Daud).
Karena
hewan tidak memiliki akal, wajar jika tindakannya hanya didorong oleh naluri, insting atau emosional saja. Namun sayang sekali, kita sebagai manusia, yang
diberi akal oleh Allah Swt, sering dalam bertindak hanya mengedapankan
emosional, serta melupakan daya rasional dan kecerdasan jiwa yang kita miliki.
Seseorang yang hanya menghidupkan emosionalnya saja, sudah tentu daya rasional dan
mata hati akan semakin redup, bahkan menjadi mati (na’udzu billah). Dan
ketika akal sehat dan mata hati tidak difungsikan, rasanya sulit manusia dapat mengenal
Allah Swt, apalagi kekuasaan-Nya yang terpancar kepada Rasulullah Saw wa
Ghautsuz Zaman Ra.
b.
Menganggap
bodoh kepada orang-orang yang beriman serta mentertawakannya.
وَإِذَا قِيْلَ
لَهُمْ أَمِنُوا كَمَا أَمَنَ النَاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ
كَمَا أَمَنَ السُفَهَاءُ, أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ
يَعْلَمُونَ
Dan
jika dikatakan kepada mereka :
berimanlah kamu semua seperti manusia lain. Mereka menjawab : “Apakah kami beriman seperti
yang diimani oleh orang-orang yang bodoh”. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu
bodoh, tetapi mereka tidak menyadari. (Qs.
al-Baqarah : 13).
Menurut
orang kafir, orang mukmin adalah manusia bodoh yang kehilangan ego dan harga
diri. Orang mukmin - menurut orang kafir -, rela menanggalkan kehormatan diri
demi mengikuti tuntunan dan taslim kepada Rasulullah Saw serta para ulama
penerus risalah Islam (al-Ghauts Ra). Padahal, merekalah orang-orang
yang bodoh. Sebab, hakikinya yang mereka, adalah nafsu (setan yang menyatu
dengan ego diri), linafsih - binafsih.
c.
Bagi
orang kafir, tidak ada artinya diberi penjelasan tentang kebenaran atau tidak.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja apakah engkau peringatkan atau tidak, tetap
tidak mau beriman. (Qs. al-Baqarah : 6).
Bagi orang kafir, kebenaran
bukan terletak pada nilai ilmiyah dan etika. Tetapi terletak pada keuntungan atau
kerugian terhadap kehormatan diri. Jika membawa keuntungan duniawi itulah
kebenaran, dan jika membawa kerugian duniawi itulah
kebatilan.
d.
Jika
ditimpa kesusahan mereka mudah berkeluh kesah. Namun, ketika kenikmatan datang,
diakuinya dari hasil usaha sendiri. Allah Swt berfirman, Qs. az-Zumar : 8 :
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ
إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ
وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيْلاً
إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Ketika
manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (mengembalikan
seluruh kejadian kepada Allah Swt). Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan
dari-Nya, ia lupa kalau pernah berdoa kepada-Nya. Dan (kemudian) mejnadikan
(dirinya) sebagai tandingan terhadap Allah, hingga ia tersesat dari jalan-Nya.
Katakanlah (Muhammad) : “(wahai orang-orang yang kufur)
bersenang-senanglah kamu dalam waktu sebantar (didunia). Sesungguhnya kamu dari golongan penghuni
neraka”.
e.
Memisahkan
kekuatan (haul dan quwwah) Rasulullah Saw dari kekuatan Allah Swt.
إِنَّ الذِيْنَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ
وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ,
وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُونَ أَنْ
يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُولَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ حَقًّا
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا.
Sesungguhnya
orang-orang yang mengkufuri Allah dan
rasul-Nya, dan mereka ingin memisahkan antara Allah dan rasul-Nya. Mereka
berkata : kami mempercayai sebagian dan mengkufuri yang sebagian. Dan mereka
ingin mengambil jalan tengah diantaranya. Merekalah orang-orang kafir yang semestinya. Dan Kami sediakan untuk orang kafir siksa yang
sangat menghinakan. (Qs. An-Nisa’: 150 – 151).
Dalam kitab
tafsir Shawi dijelaskan : kekafiran
mereka disebabkan oleh paham yang memisahkan antara Allah Swt dan Rasul-Nya,
dan bukan oleh paham syirik :
فَكُفْرُهُمْ
بِالتَفَرُّقَةِ لاَبِاعْتِقَادِ الشِرْكِ للهِ : Kekafiran mereka, disebabkan pemisahan (antara
kekuatan rasul dari kekuatan Allah), dan bukan karena syirik (menyekutukan
Allah dengan Rasul).
Dalam al-Qur’an
surat al-Anfal ayat 17, ditegaskan bahwa kekuatan Rasulullah Saw adalah
kekuatan Allah Swt semata : وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى:
Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar
ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Ayat ini dapat
dipahami bahwa mendekat kepada Rasulullah Saw berarti mendekat kepada rahmat
Allah Swt yang dipancarkan melalui Rasulullah Saw. Dengan demikian, tidak bertawassul atau tidak
beristighatsah kepada Rasulullah Saw,
seseorang tetap dikatakan kafir dari
kekuasaan-Nya (musyrik/ menyekutukan Allah Swt dengan Rasulullah Saw), selama tidak dapat memahami kekuatan
Rasulullah Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Dan, bertawassul atau
beristighatsah kepada Rasulullah Saw, tetap dinamakan bertauhid selama memahami kekuatan Rasulullah Saw
adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah tempat tajalli (penampakkan sifat) Allah Swt
yang sempurna.
Berkaitan dengan keagungan Rasulullah Saw, al-Ghauts Fii
Zamanihi Syeh Nabhani Ra, dalam
kitabnya Syawahidul Haq, menerangkan :
وَأَمَّا كَوْنُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُعْطِي وَيَمْنَعُ وَيَقَضِي حَوَائِجَ السَائِلِيْنَ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُوبِيْنَ وَأَنَّهُ
يَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ
وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ يَشَاءُ
وَهُوَلاَشَكَّ فِيْهِ وَلاَ يَتَرَدَّ دُ بِصِحَّتِهِ وَوُقُُوعِهِ اِلاَّ كُلُّ
مَنْ تَرَاكَمَ عَلَى قَلْبِهِ الجَهْلُ وَالظَلاَّمُ أَنَّهُ يُعْطِي باللهِ
وَيَمْنَعُ باللهِ وَيَقْضِي حَوَئِجَ السَائِلِيْنَ باللهِ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ
المَكْرُبِيْنَ باللهِ وَيَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ بِتَشْفِعِ اللهِ لَه.ُ وَلَمْ
يَعْتَقِدْ أَحَدٌ مِنَ المُسْلِمِيْنَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَفْعَلُ مِنْ ذَالِكَ شَيْئًا بِنَفْسِه.ِ مَعَ اِعْتِقَادٍ أَنَّهُ سَيِّدُ
عَبِيْدِ اللهِ وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ وَاَحَبُّهُمْ وَاَقْرَبُهُمْ اِلَى اللهِ
Keberadaan Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan hajat
para pemohon, membereskan kekacauan
orang. Sesungguhnya Beliau Saw memberi syafa’at kepada orang yang dihendakinya,
memasukkan surga kepada orang yang dikehendakinya. Kebenaran hal ini tidak
diragukan lagi, kecuali bagi orang yang hatinya dipenuhi kebodohan dan
kegelapan.
Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan
hajat orang, membereskan permasalahan orang tersebut dengan izin Allah
(billah), dan memberi safaat orang yang Beliau kehendaki, dengan pertolongan
Allah. Tidak ada orang Islam yang memiliki keyakinan, bahwa Rasulullah Saw
melakukan semua itu berdasar kekuatannya sendiri. Setiap muslim, memiliki
keyakinan bahwa Rasulullah Saw adalah pemimpinan hamba-hamba Allah, mulianya
mahluk disisi Allah, dan manusia yang paling cinta dan dekat kepada Allah.
Jadi, hakikat
bertawassul atau beristighatsah, adalah untuk mendekati “Nur Ilahiyah”-nya
Allah Swt yang ada pada pribadi
Rasulullah Saw atau pribadi al-Ghauts Ra.
2.
Sifat-Sifat
Orang Munafiq
Setinggi apapun kemampuan akal manusia
tidak mampu mengingkari keberadaan Tuhan, sebagaimana ketidakmampuan akal untuk
membuktikan keberadaan-Nya secara musyahadah. Kesimpulan ilmu pengetahuan bukan bukti terakhir,
karena ia bersifat sementara dan tidak tetap. Kesimpulan ilmiyah tempo dulu dimentahkan oleh
hasil kajian saat
sekarang, dan hasil kajian saat
sekarang akan dimentahkan oleh
kajian ilmiyah berikutnya, dan demikian pula seterusnya. Kesimpulan yang diberikan oleh al-Qur’an dan hadis tidak
pernah bertentangan dengan kebenaran ilmiyah. Dan yang bertentangan hanyalah
persepsi atau kesimpulan para ilmuawan. Oleh karenanya, seseorang yang menganggap kesimpulan
ilmiyah sebagai bukti akhir, apalagi bukti tertinggi, berarti ia tidak mampu
melihat kesimpulan ilmiyah para ilmuawan bersifat sementara dan relatif. Banyak
orang menjadi kafir atau munafiq (tidak dapat memahami Allah Swt serta
keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw) disebabkan hanya berpegang kepada
kajian ilmiyah. Sebagaimana yang tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :
a. HR.
Imam Ahmad dalam Musnad dan al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman (kitab
Jami’ as-Shagir juz I dalam bab alif), Rasulullah Saw sabda : أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا: Kebanyakan
munafiqnya ummat-ku adalah para pembaca ilmu (pengkaji ilmiyah).
b. HR. Imam Ahmad dari Umar Ibn
al-Khatthab (kitab Jami’
as-Shaghir, juz
I, bab alif), Imam Suythi mengatakan hadis ini berderajat
“shahih”.
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ
عَلِيْمُ اللِسَانِ
Sungguh yang paling aku takuti dari sesuatu yang aku takutkan pada
ummatku, adalah orang munafiq yang pandai
berbicara.
c. HR.
Imam Thabrani dari Abu Darda’ (kitab Jami’
as-Shagir, juz I, pada bab alif).
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةُ عَالِمٍ وَجَدَالُ مُنَافِقٍ
بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبِ بِالقَدَرِ
Aku takutkan tiga perkara terhadap ummatku : hilangnya orang
alim, perdebatan orang munafiq tentang al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir.
d. HR.
Ad-Dailami dari Ibnu Abbas Ra, (kitab Jami’ as-Shaghir, juz I, pada bab alif).
أَفَةُ الدِيْنِ
ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ : Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang durhaka, imam yang tidak adil dan
mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis) yang bodoh.
Diantara ciri-ciri kemunafikan yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an
dan hadis :
1.
Malas
mendirikan shalat, suka berbuat riya’ (pamer) dengan amal kebaikannya, dan
tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali. :
إِنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ
اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى
يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya
orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika
mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas serta pamer kepada manusia,
sera mereka tidak ingat Allah kecuali sedikit (Qs. an-Nisa’ : 142).
Ayat ini dengan jelas menerangkan
seseorang masih dinilai sebagai munafiq (bahkan kafir), ketika
melaksanakan shalat hatinya tertutup dari kebesaran dan kebaradaan Allah Swt.
إِنَّهُمْ
كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى
وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ
Sesungguhnya mereka adalah orang kafir kepada Allah dan
rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa (Qs. at-Taubah : 54).
Hadis riwayat Imam Dailami (kitab ad-Durar al-Muntatsirah-nya Imam
Suyuthi Ra) :
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ صَلاَتُهُ
عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya
tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak akan
bertambah, kecuali jauh dari Allah.
2.
Suka
berbicara bohong, mengkhianati kepercayaan dan mengingkari perjanjian.
HR, Bukhari,
Muslim, Tirmidzi dan Ahma (Rasulullah Saw bersabda :
أَيَةُ
المُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ: إِذَا أَحْدَثَ كَذَبَ,
وَإِذَا أْؤتُمِنَ خَانَ, وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda
orang munafiq ada tiga; ketika berbicara ia berdusta, ketika dipercaya ia
menghianati, dan ketika berjanji ia mengingkari
3.
Mencintai
mahluk sebagaimana mencintai Allah Swt, serta menjadikan mahluk sebagai
tandingan/ sekutu bagi Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ النَاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
Dan diantara manusia terdapat orang yang mengambil (menjadikan) selain
Allah sebagai tandingan (bagi Allah), serta mencintainya seperti mencintai
Allah.
4.
Tidak
bersedia diajak berjuang dijalan kebenaran. Dan hanya diri atau keluarga yang
diperjuangkan. Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ali Imran: 167 :
وَلِيَعْلَمَ
الذِيْنَ نَاقَقُوا, وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوافِي سَبِيْلِ اللهِ
أَوِادْفَعُوا قَالُوالَوْ نَعْلَمُ قِتَالاً لاًتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ
أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلإيْمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَالَيْسَ فِيْ
قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كُنْتُمْ يَكْتُمُونَ.
Agar
Dia (Allah) mengetahui siapa orang yang munafiq. Jika dikatakan kepada mereka : Marilah berjuang dijalan Allah, atau hanya mempertahankan
dirimu”. Mereka menjawab : “Sekiranya kami mengetahui perjuangan itu
kebenaran, niscaya kami akan mengikuti kamu”.
Mereka pada hari itu lebih
dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya
sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah mengetahui dengan sesuatu yang
mereka sembunyikan.
5.
Menghalang-halangi
perjuangan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 61 :
وَإذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ
وَإِلَى الرَسُولِ رَأَيْتَ المُنَافِقِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Dan jika dikatakan kepada mereka : “Kemarilah kalian (hai manusia),
kepada sesuatu (tuntunan) yang diturunkan oleh Allah, dan kepada rasul”. Niscaya engkau (Muhammad) akan melihat mereka (munafiq) menghalang-halangi manusia, (agar menjauh) dari kamu
dengan sekuat tenaga.
3.
Sifat-Sifat
Orang Beriman
Mengetahui, adalah perbuatan akal. Sedangkan beriman, merasa dekat dan takut
kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mencintai dan mengagungkan-Nya adalah
perbuatan hati. Antara memiliki ilmu ketuhanan dengan beriman kepada-Nya sangatlah berbeda. Seseorang yang memiliki
berbagai macam ilmu agama (ilmu tafsir, ilmu hadis dan lainnya, atau bahkan
ilmu makrifat sekalipun), belum tentu dapat merasa dilihat dan dikuasai oleh
Allah, hingga ia tidak memiliki perasaan malu apalagi takut kepada-Nya. Dan
meskipun hanya memiliki ilmu agama yang pokok-pokok saja, seseorang dapat
merasa malu dan takut kepada Allah Swt. Iman merupakan “Nur Ilahiyah” yang diletakkan oleh
Allah Swt kedalam hati orang yang dikehendaki-Nya. Sebagaiman firman Allah Swt, Qs. az-Zumar : 22
فَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ للإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ
رَبِّهِ
Barang siapa yang Allah melapangkan dadanya untuk Islam,
maka ia dalam cahaya dari Tuhannya.
HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ اللهَ
خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ
أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya
Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya kedalam
hati mereka. Barang siapa yang terkena nur tersebut, maka ia mendapat hidayah,
dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.
Tafsir Ibnu
Katsir dalam ayat 122 surat al-An’am, tertulis hadis riwayat al-Hakim
dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ النُوْرَ
إِذَا دَخَلَ القَلْبَ انْتَسَحَ وَانْشَرَحَ, فَقِيْلَ : يَارَ سُولَ اللهِ هَلْ
لِذَالِكَ مِنْ عَلاَمَاتِ يُعْرَفُ بِهَا ؟.
فَقَالَ : التَجَافَى عَنْ دَارِ الغُرُورِ وَالإِنَابَة إِلَى دَارِالخُلُودِ
وَالإَسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُولِ المَوْتِ
Sesungguhnya “nur (ilahiyah)” ketika masuk kedalam hati, maka Allah
melebarkan hatinya. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah untuk hal
tersebut, apakah ada tanda-tanda untuk mengetahuinya ?. Rasulullah menjawab :
berpaling dari kehidupan duniawi yang menipu dan kembali (inaabah) kepada rumah
abadi (Allah) serta mempersiapkan mati sebelum datangnya kematian.
Ciri-ciri orang mukmin :
1.
Sangat
mencintai Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165
: وَالذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا للهِ : Dan
orang-orang yang beriman sangat mencintai
Allah.
2. Hati mukmin mudah bergetar ketika nama
Allah disebut serta iman bertambah ketika dibacakan ayat-ayat-Nya. Firman Allah
Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا
ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut,
bergetar hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta
kepada Tuhannya mereka berserah diri.
3. Mencintai
Rasulullah Saw dengan mengalahkan cinta kepada yang lain.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak
sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari
pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam memberi penjelasan hadits riwayat Bukahri dan Muslim
ini, al-Ghauts fi Zamanihi Ra Imam al-Qusthalani (kitab Jawahir al-Bukhari
wa Syarh al-Qusthalani), menjelaskan
:
حََقِيْقَةُ
الاِيْمَانِ لا َتَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقِيْقِ أَعْلإَِ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وََوَلَدٍ ومُحْسِنٍ
فَمَنْ
لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ. يُبَيِّنُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ علَيْهِ
وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan
tidak dapat disempurnakan, kecuali dengan memahami tingginya kedudukan
Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah), diatas kedudukan orang tua, anak dan
para pelaku kebaikan. Barang siapa tidak memiliki kepercayaan seperti ini,
maka ia tidak disebut mukmin. Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ukuran
derajat mukmin, tergantung seberapa rasa
cintanya kepada Rasulullah Saw.
Firman Allah Swt, Qs, at-Taubah :
24 :
قُلْ اِنْ كَانَ
أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُكُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم وَعَشِيْرَتُكُم
وَأَمْوَالٌ
اقتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهاَ
أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه فَتَرَبّصُوا
حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ الفَا سِقِيْنَ
Katakanlah
(Muhammad): jika sekiranya bapak, anak, saudara, suami atau istri dan keluarga
kamu semua, serta harta yang telah kalian kumpulkan,
perniagaan yang kalian takut kebangkrutannya dan tempat
tinggal yang kalian rela didalamnya, lebih kalian cintai
dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan dijalan-Nya, maka tunggulah, sampai datangnya
keputusan Allah. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang fasik.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab
tafsirnya, menjelaskan ayat ini dengan hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam
Bukhari dari Umar bin Khatthab Ra :
وَاللهِ يَارَسُولَ اللهِ أَنْتَ
لآَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ رَسُولِ
اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : لاَ يُؤْمِن ُ أَحَدُ كُمْ حَتَى أَنْ اَ كُونَ
أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ ,
فَقَالَ عُمَرُ : فَأَنْتَ الآَنَ وَاللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : الآَنَ يَا عُمَرُ
Demi Allah, wahai Rasulullah, Engaku niscaya lebih aku cintai
dari pada segala sesuatu,
kecuali kepada diriku sendiri. Rasulullah Saw menjawab : Tidak sempurna iman seseorang,
sehingga Aku, lebih dicintainya dari pada dirinya. Umar berkata : Demi
Allah sekarang Engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Rasulullah
Saw. menjawab : Sekarang wahai Umar telah sempurna imanmu.
Mahabbah kepada Allah Swt dan
Rasul-Nya, merupakan tanda-tanda pokok bagi setiap mukmin. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam berbagi kitab yang ditulis oleh para ulama :
a.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah
dalam kitabnya Jala’al-Afham, menjelaskan : Sahabat Mu’ad bin
Jabbal Ra berkata
: قَلْبُ المُؤْمِن ِتَوحِيْدُ اللهِ وَذِ كْرُرَسُولِهِ
مَكْتُوبَانِ فِيْهِ لاَ يَتَطَرَقُ اِلَيْهِمَا مَحْوٌوَلاَ اِزَلَةٌ : Hati
orang mukmin senantiasa mengesakan Allah. Dan dzikir kepada Rasulullah tertulis didalam hati orang mukmin.
Maka tidak boleh ada usaha untuk menghapus dan menghilangkan keduanya.
b.
Dalam kitab Saadah ad-Daraini-nya al-Ghauts fii
Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra (w. 1350 H) dalam bab 10 “faidah shalawat
Nabi Saw & buahnya”, beirut,
“dar-al-Fikri” tt, hlm : 506 – 507, menjelaskan : para waliyullah Ra telah bersepakat
bahwa :
وَأَنَّ
مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ
لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعَالى وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ
لِلْمَعْرِفَةِ. مِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ
وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Dan sesungguhnya barangsiapa yang dapat
merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw, maka ia akan merasakan
nikmatnya wushul kepada Allah Swt. Dan barang siapa yang memisahkan kedua
wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat. Diantara jalan wushul yang
paling utama adalah ta’alluq (menghubungkan
jiwa) kepada Nabi Saw kekasih Allah Swt
serta memperbanyak bershalawat kepadanya Saw.
c.
Syeh Abdul Wahab Sya’rani dalam kitabnya Thabaqat al-Kubra, menjelaskan fatwa gurunya (al-Ghauts
fii Zamanihi Syeh Ali al-Khawash Ra, w. 951
H) yang mengatakan :
نَحْنُ فِي
سَنَةِ إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وتِسْعِمِائَةٍ جَمِيْعُ أَبْوَابِ الآَوْلِيَاءِ
قَدْتَزَحْزَحَتْ
لِلْغَلْقِ وَمَا بَقِيَ
الانَ مَفْتُوحًا إِلاَّ بَابُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kita
yang hidup pada tahun 941 H, semua pintu
kewalian telah tertutup. Dan dewasa ini tidak terbuka kembali, kecuali melalui
pintu Rasulullah Saw.
4. Mukmin hanya takut Allah Swt, dan
memang hanya Dia yang patut ditakuti.
أَتَخْشَوْنَهُمْ
فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Mengapa kamu takut kepada mereka ?. Padahal, Allah-lah yang berhak
kamu takuti, jika kamu benar-benar beriman (Qs.
At-Taubah : 13).
6.
Ketika
dibacakan ayat-ayat Allah Swt, air mata mukmin mudah mengalir. (Qs. Maryam : 58) :
وَمِمِّنْ
هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَحْمَنْ خَرُّوا
سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
Diantara
orang yang Kami telah memberikan hidayah, dan telah Kami pilih, (adalah orang
yang) ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat Tuhan Yang Maha Kasih, mereka
tersungkur sujud dan menangis.
7.
Mudah
melihat dosa diri, serta mudah merasa takut kepada Allah Swt.
المُؤْمِنُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَقَاعِدٍ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَهُ وَالمُنَافِقُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ يَقَعُ عَلَى أَنْفِهِ فَيَطِيْرُ
Orang
yang beriman itu dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang
yang duduk dibawah gunung yang takut akan longsor dan akan menimpanya. (HR. Imam Bukhari).
Merasa malu dan takut kepada Allah
Swt, sangat berkaitan dengan kepekaan jiwa. Semakin peka jiwa seseorang
terhadap jenis-jenis kesalahan, maka semakin memiliki perasaan malu dan takut
kepada-Nya. Demikian pula sebaliknya, tidak adanya perasaan malu dan takut
kepada-Nya, akibat dari tipisnya kepekaan jiwa terhadap jenis-jenis kesalahan/
kemaksiatan. Rasulullah Saw bersabda :
جُمُوْدُ
العَيْنِ مِنْ قَسْوَةِ القُلُوبِ, وَقَسْوَةُ القُلُوْبِ مِنْ كَثْرَةِ الذُنُوبِ
: Kerasnya mata disebakan kerasnya
hati. Dan kerasnya hati disebabkan banyaknya dosa.
4. Sebab-Sebab
Kekafiran Iblis.
Oleh al-Qur’an, iblis digolongkan dalam kelompok orang kafir.
Kekafirannya, bukan karena mengingkari keberadaan Tuhan, tetapi lebih
disebabkan tidak dapat memahami Nur Ilahiyah yang ada dalam jiwa Nabi
Adam As. Karena tertutup oleh ke-aku-annya,
iblis menolak perintah Allah Swt untuk sujud (menghormat) kepada Nabi
Adam As. Berbagai alasan yang diajukan kepada Tuhan dan para malaikat, hanyalah
untuk menutupi keakuan serta keangkuhannya. Bagi iblis, tidak ada
kebenaran kecuali membela dan menjunjung keakuan setinggi-tingginya. Untuk
menutupi keakuannya dihadapan para malaikat, iblis menciptakan opini bahwa Adam
As tidak lebih mulia serta tidak luas dalam penguasaan ilmu bila dibandingkan
dengan kelompok malaikat (Qs. al-Baqarah
: 30). Dan karenanya, tidak patut menjadi khalifah Allah Swt dibumi. Sedangkan
malaikat sebagai kelompok mahluk yang suci dan lagi berusia lebih tua, sangat
patut dan pantas menjadi khalifah.
Kuatnya dorongan membela keakuan, menjadikan iblis lupa terhadap
sifat kekuasaan Allah Swt
yang
dapat menentukan serta menjadikan segala hal (termasuk menjadikan Nabi Adam
As melebihi malaikat) dalam waktu sekejap. Karena tertutup oleh kecintaan
kepada ego dan kehormatan diri yang berlebihan, mata hati iblis tidak dapat
melihat kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Kecintaan iblis kepada dirinya
mengalahkan kecintaannya kepada Tuhan Yang menciptakannya. Hingga, meskipun
para malaikat telah menerima kekhalifahan Nabi Adam As, iblis tetap
mempertahankan keakuan dan keangkuhannya serta tetap tidak mau menerima
kekhalifahan Nabi Adam As. (Semoga Allah Swt melindungi kita dari bujukan
iblis).
Dan oleh al-Qur’an, malaikat digolongkan kedalam hamba yang taat.
Mereka dapat memahami posisi dirinya sebagai makhluk yang lemah, dan yang harus
taat dengan segala perintah-Nya. Awalnya malaikat terpengaruh oleh tipu daya
dan pandangan iblis. Namun, setelah kalah dalam diskusi serta adu kebolehan
ilmu dengan Nabi Adam As, akhirnya mereka dapat memahami keberadaan dirinya
serta keunggulan ilmu Nabi Adam As. Serta dapat memahami kekhalifahan Nabi Adam
As dan sekaligus sebagai Imam dan Guru Ruhani bagi mereka dalam bermunajat kepada Allah Swt.
Sebagaimana penjelasan al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Abdul Qadir Jailani Ra (kitab al-Ghunyah juz II dalam bab ma yajibu ‘ala al-mubtadi) : فَصَارتِ
المَلائكَةُ تَلامِيْذًا لأدمَ وأدَمُ شَيْخُهُمْ, فَأَنْبَأَهُمْ بَأَسْمَاءِ
الأشْيَاِ كُلِّهَا : Malaikat menjadi murid nabi Adam, dan nabi Adam sebagai
guru malaikat. Adam mengajarkan
nama-nama segala sesuatu (dalam alam) secara keseluruhan. Dalam keterangan selanjutnya, Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra
menjelaskan : فَالمَشَايِخُ
هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي
يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ. : Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan
sebagai bukti keberadaan-Nya. Dan sebagai pintu masuk dalam menuju kepada-Nya.
Malaikat dapat mengakui keunggulan Nabi Adam As dan menerimanya
sebagai pimpinan dan guru ruhani, disebabkan awal penolakannya bukan karena
pembelaan terhadap ego diri atau kelompoknya, akan tetapi lebih disebabkan
belum mengetahui tentang Nurul Khalifah
al-Ilahiyah yang
ada pada diri Nabi Adam As. Sebagaimana keterangan dalam firman-Nya Qs. Shaad :
71 – 72 :
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُوحِي
فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.
Ketika
Tuhanmu bersabda kepada malikat : Sesumgguhnya Aku menciptakan (jasmani)
manusia (Adam) dari tanah. Ketika Aku
telah menyempurnakannya dan Aku tiupkan ruh (dari)-Ku kedalamnya, maka segara
saja para malaikat bersujud kepadanya (Adam).
Sujudnya para malikat kepada Nabi Adam As ini, Syeh
Sulaiman bin Umar al-‘Ajiiliy dalam tafsirnya al-Futuuhaat al-Ilaahiyah ,
pada ulasan terhadap Qs. al-Baqarah : 34, menjelaskan :
فَالْمَسْجُوْدُ لَهُ فِي الحَقِيْقَةِ هُوَ
اللهُ تَعَالَى وَجَعَلَ آدَمَ قِبْلَةَ سُجُوْدِهِمْ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ,
كَمَا جُعِلَتْ الكَعْبَةُ قِبْلَةً لِلصَلاَةِ, وَالصَلاَةُ للهِ.
Yang disujudi (oleh malaikat) pada hakikinya, hanyalah
Allah Swt. Dan Adam dijadikan sebagai kiblat bagi sujudnya para malikat, untuk
memulyakannya. Sebagaimana ka’bah sebagai kiblat untuk shalat. Sedangkan shalat
sujudnya untuk Allah.
Dan Imam
Shawi Ra juga menjelaskan : وَاَدَمُ قِبْلَةٌ كَالْكَعْبَةِ فَالسُجُودُ
للهِ : Nabi Adam As sebagai kiblat seperti ka’bah. Sedangkan sujud hanya
untuk Allah. Dan dalam ulasan kalimah : أسْجُدُوْا لأَِدَمَ : Sujudlah
kalian kepada Adam, dijelaskan : أسْجُدُوْا جِهَّةَ اَدَمَ فَاجْعَلُوْهُ
قِبْلَتَكُمْ : Sujudlah kalian
kepada arah Adam, jadikahlah ia sebagai kiblat kalian (kitab Tafsir Shawi).
Keterangan
yang sama, juga diulas dalam buku tafsir al-Mishbah-nya Prof. M.
Quraisyi Syihab (penerbit Lentera Hati, cet. tahun
Agustus 2005, halaman 153), dalam ulasan
ayat 34 surat al-Baqarah.
Sebagaimana ulasannya : “Bahkan
tidak mustahil sujud yang diperintahkan Allah itu dalam arti sujud kepada Allah
Swt, dengan menjadikan posisi Adam As ketika itu sebagai arah bersujud
sebagaimana Ka’bah di Mekah dewasa ini
menjadi arah kaum muslimin sujud kepada-Nya”.
Dan dalam
keterangan beberapa kitab tafsir diatas, setalah syariat Islam datang, perbuatan sujud tersebut dibatalkan,
dan diganti dengan bershalawat dan bertaslim yang semestinya kepada Rasulullah
Saw : يَأَيُهَا
الذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا : Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu semua kepadanya
(Nabi) dan taslimlah kamu semua dengan taslim yang semestinya (Qs. al-Ahzaab : 56).
Kata
سَلِّمُوْا /
sallimuu, memiliki dua makna yang mana setiap mukmin diperintah untuk
mengamalkan semuanya. Sebagaimana Firman Allah Swt :
No comments:
Post a Comment