Thursday, May 8, 2014

MENCARI GURU UNTUK WUSHUL ILALLOH WA ROSUULIHI SAW

  1. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    MENCARI GURU UNTUK WUSHUL ILALLOH WA ROSUULIHI SAW

    Guru Tuan Syaikh Ibnu Athaillah Ra Assakandari banyak tapi beliau berirtibat pada Syaikh Mursi sebagai Guru Wushulnya (Guru Sepiritualnya).

    Begitu juga Syaikh-Syaikh yang lain mendapatkan Guru kamil mukamil sebagai Guru Wushulnya, bahkan Syaikh Imam Sadzali Ra yang sudah 'alim rela melakukan perjalanan jauh hanya mencari Guru Wushul Ilalloh wa Rosuulihi SAW.

    Tentang perjalanan Asy Syaikh Hasan Ali asy Syadzily al Hasani Ra mencari Guru Wushul

    Asy Syekh al Imam al Quthub al Ghouts Sayyidina Syarif Abil Hasan Ali asy Syadzily al Hasani bin Abdullah bin Abdul Jabbar Ra, terlahir dari rahim sang ibu di sebuah desa bernama Ghomaroh, tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib al Aqsho atau Marokko, Afrika Utara bagian ujung paling barat, pada tahun 593 H / 1197 M. Beliau merupakan dzurriyah atau keturunan ke dua puluh dua dari junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW

    Segera setelah pertemuan dengan Nabiyyullah Khidir As tersebut, Beliau segera menghadap Syekh Abi Said al Baji, rohimahullah, salah seorang ulama besar di Tunis pada waktu itu, dengan maksud untuk mengemukakan segala peristiwa yang Beliau alami sepanjang hari itu. Akan tetapi pada saat sudah berada di hadapan Syekh Abi Said, sebelum Beliau mengungkapkan apa yang menjadi maksud dan tujuannya menghadap, ternyata Syekh Abi Said al Baji sudah terlebih dahulu dengan jelas dan runtut menguraikan tentang seluruh perjalanan Beliau sejak keberangkatannya dari rumah sampai diangkat dan ditetapkannya Beliau sebagai Wali Agung pada hari itu. Sejak saat itu Beliau tinggal bersama Syekh Abi Said sampai beberapa tahun guna menimba berbagai cabang ilmu agama. Dari Syekh Abi Said Beliau banyak belajar ilmu-ilmu tentang Al Qur'an, hadits, fiqih, akhlaq, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat. Selain itu, karena kedekatan Beliau dengan sang guru, Beliau juga berkesempatan mendampingi Syekh Abi Said menunaikan ibadah haji ke Mekkah al Mukarromah sampai beberapa kali. Namun, setelah sekian tahun menuntut ilmu, Beliau merasa bahwa seluruh ilmu yang dimilikinya, mulai dari ilmu fiqih, tasawwuf, tauhid, sampai ilmu-ilmu tentang al Qur'an dan hadist, semuanya itu Beliau rasakan masih pada tataran syariat atau kulitnya saja. Karena itu Beliau berketetapan hati untuk segera menemukan jalan (thoriqot) itu sekaligus pembimbing (mursyid)-nya dari seorang Wali Quthub (Al-Ghouts) yang memiliki kewenangan untuk memandu perjalanan ruhaniyah Beliau menuju ke hadirat Allah SWT ? Maka dengan tekad yang kuat Beliau memberanikan diri untuk berpamitan sekaligus memohon doa restu kepada sang guru, syekh Abi Said al Baji, untuk pergi merantau demi mencari seseorang Guru Ruhani yang berkedudukan sebagai Wali Quthub (Al-Ghouts).

    YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    2Suka ·  · Promosikan · 
  2. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    KISAH DAN PETUAH ( Kisah Ini Sering Dikisahkan oleh Kanjeng Romo Yahi Ra)

    KAROMAH SYAIKH IBNU ATHOILLAH RA AL-GHOUTS FII ZAMANIHI

    Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam Syaikh Ibnu Aththoillah Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat gurunya Syeh Ibn Athoillah Ra sedang membimbingnya thawaf. Dia juga melihat sang guru Syeh Ibn Athoillah ada di belakangnya di maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah dll.

    Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. "Beliau sang Guru tidak pergi haji", kata teman-temannya.

    Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru secara langsung. Kemudian pembimbing spiritual Syeh Ibn Athoillah ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ketika haji ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana beribadah haji “. Dengan tersenyum al-arif billah Syeh Ibn Athoillah ini menerangkan :

    “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb (Al-Ghouts) itu di panggil dari liang tanah sekalipun, dia (Al-Ghouts) pasti hadir menjawabnya”.

    YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    3Suka ·  · Promosikan · 
  3. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    Sang Penulis Kitab Al-Hikam, Syaikh Ibnu Aththoillah ra.

    Dalam rangka meneladani kehidupan para kekasih Allah ra., kali ini kami sajikan tulisan tentang Kisah Kehidupan Syeikh Ibnu Aththailah penulis kitab Al-Hikam yang penuh hikmah.
    Semoga Allah membimbing kita untuk mengambil bermanfaat…amin.

    =======================================

    Kelahiran dan keluarganya
    Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Iskandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Beliau berasal dari bangsa Arab. Nenek moyang beliau berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarga beliau tinggal dan kakek beliau mengajar. Kendatipun nama beliau hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

    Ayah beliau termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadzil iyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

    Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayah beliau adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tashawwuf dan para Auliya’ Sholihin.
    Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang¬terangan tidak menyukainya.
    Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : Bahwa kakek belau adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari sang kakek. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang Quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”.

    Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.
    Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi 3 masa :

    Masa pertama
    Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

    Masa kedua
    Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak beliau bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkaran beliau terhadap ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, beliau jatuh kagum dan simpati. Akhirnya beliau menjadi pengikut Thariqah Syaziliyyah dan belajar langsung dari guru beliau ini.
    Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “Apakah seharusnya aku membenci tasawuf? Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi? setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.
    Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka demikianlah, ketika beliau sudah mencicipi manisnya tasawuf hati beliau semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai beliau punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meninggalkan aktivitas lain. Namun demikian beliau tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

    Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya thariqah kita. Kemudian ia menghadapiku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu thariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.

    Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Shiddiqqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

    Masa ketiga
    Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahan beliau ke haribaan Yang Maha Kasih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Beliau membedakan antara Uzlah dan Kholwah. Uzlah menurut beliau adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri di hadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.

    Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.

    Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini beliau emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, beliau bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
    Ibnu Hajar berkata: “Syaikh Ibnu Atho’illah berceramah di Al- Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.

    Sebagai seorang sufi yang alim Syaikh Ibn Atho’ meninggalkan karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

    Karomah Ibn Athoillah
    Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-Durriyyah” mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada di antara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Syaikh Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.

    Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

    Ibn Atho’illah wafat
    Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.[]

    Sumber Tulisan:
    1. http://www.al-hasani.com/
    2. http://serambitashawwuf.blogsome.com/2009/12/07/ibnu-athoilah-al-iskandary-sang-penulis-kitab-al-hikam/
    3. http://tokohsufi.wordpress.com/2009/11/08/syekh-ibn-‘atha’illah/
    Tulisan Terkait:
    Pojok Terjemah Al-Hikam Karya Syaikh Ibnu Aththoillah oleh Ustadz Salim Bahreisy Hikmah no 1

    Sumber Gambar:
    1. http://serambitashawuf.files.wordpress.com/2011/01/alhikam1.jpg
    2.http://images.ishakq.multiply.com/image/1/photos/upload/300×300/RyAhWgoKCpsAAHAN75o1/Al%20Hikam%20Salim.jpg?et=QT8YPh21UhpsL4bMgOsxiQ
    9Suka ·  · Promosikan · 
  4. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam

    Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

    Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

    Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

    Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

    Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

    Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

    Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

    Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

    Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

    Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

    Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.

    Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.

    "Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

    Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

    Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

    Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

    Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

    Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

    Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
     — bersama Waridan Bin Ngabdillah.
    3Suka ·  · Promosikan · 
  5. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    Manaqib Al-HaBiB Syeh AbU aL-HaSaN aS-SyAzuLi Al-HaSaNi Qs wa Ra ♡

    Sayyidina Syeikh Abul Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy Syadzili Al Maghribi Al-Hasani Al Idrisi Qs wa Ra lahir di Ghamarah, desa dekat Sabtah, Maroko, Afrika Utara pada tahun 591 H / 1195 M.

    Berikut ini nasab Syeh Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan, bin Abdullah Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Hatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya', bin Ward, bin Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Muhammad, bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.

    Di Fitnah nasab beliau tidak bersambung dengan nasab Sayyiduna Rosululloh SAW.

    Di Zaman beliau Nuqoba' Asyraf di mesir tidak meyakini dan meragui tentang nasab beliau, sehingga pelbagai fitnah yang menimpa terhadap beliau,kerana ramai yang tidak berpuas hati dengan beliau . Bila di tanyakan kepada beliau oleh murid beliau Sayyidi Abul Abas Mursi Ra , Al-Syaikh Sayyid Abul Hasan al-Syadzili Ra menjawab :

    كفي باءقرار سيدنا النبي
    لاَ يَكْمُلُ عَالِمٌ فِي مَقَامِ الْعِلْمِ حَتَّى يُبْلَى بِأَرْبَعٍ : شَمَاتَةِ اْلأَعْدَاءِ ، وَمَلاَمَةِ اْلأَصْدِقَاءِ ، وَطَعْنِ الْجُهَّالِ ، وَحَسَدِ الْعُلَمَاءِ ، فَإِنْ صَبَرَ جَعَلَهُ اللهُ إِمَامًا يُقْتَدَى بِهِ.

    " Manusia tidak mengakui, itu tidak mengapa, asal sahaja Sayyiduna Muhammad SAW yang mengakuinya, Memadai dengan pengakuan Baginda SAW.
    Seorang ‘alim tidak akan sempurna keilmuannya sehingga dia diuji dengan empat hal;
    1) dimaki oleh musuh-musuhnya,
    2) dicela oleh teman-temannya,
    3) dicacat oleh orang-orang bodoh,
    4) diiri oleh orang-orang pandai.

    Maka barangsiapa yang sabar menghadapi ujian-ujian ini, niscaya Allah akan menjadikannya sebagai imam(pemimpin) yang diikuti.

    " Takdir Allah Ta'ala, seorang sayyid bermimpi berjumpa Baginda SAW. Lalu si sayyid itu bertanya "

    يا رسول الله, هل شذولي من ذريتك؟؟

    Ya RosuluLLAH, Adakah Abul Hasan Syazuli itu dzuriyyat mu??"

    Sabda Sayyiduna Muhammad SAW : " نعم, ومن تعلق بالجزء فقد تعلق بالكل"

    "Ya beliau zuriyyatku, dan siapa berpegang dengannya maka sungguhnya berpegang ia akan aku".

    Keistimewaan nasab ini tampak dalam budi pekerti beliau yang indah lagi terpuji dan mengagumkan banyak orang, sehingga mereka banyak mengambil pelajaran dan hikmah dari beliau QS WA RA.

    Perjalanan Sufi Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili Qs wa Ra

    Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, Bilakah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?” Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja” Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?” Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.
    Asy-Syadzili berkulit sawo matang, berbadan kurus, perawakannya tinggi, pipinya tipis, jari-jari kedua tangannya panjang, dan lidahnya fasih serta perkataannya baik. Dia tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Dia selalu mengenakan pakaian yang indah setiap kali memasuki masjid. Dia tidak pernah terlihat memakai baju-baju bertambalan sebagaimana yang dipakai oleh sebagian sufi, bahkan selalu mengenakan pakaian bagus. Dia menyukai kuda, memelihara, dan menungganginya

    Syadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu. Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’. Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw.

    Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya. Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”. Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”. Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”. Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”. Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.

    Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”. Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt.

    Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili. Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya? Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”.
    Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swty. apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi saw. Menjawab, “Abul Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawashul kepada Abul Hasan, maka berarti dia sama saja bertawashul kepadaku”. Pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis terdapat seorang faqir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang faqir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus. Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”. Kemudian Syekh Abul Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah makam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertaubat”.

    Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili:

    1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat. Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.

    2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar. Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt. Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.

    Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap keramat (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak. Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

    Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :

    1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).

    2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).

    3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

    Diantara keramatnya Wali Qutub/Al-Ghouts ialah :

    1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.

    2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain (sebelumnya).

    3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

    4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

    Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu. Radiya allahu ‘anhu wa ‘aada ‘alaina min barakatihi wa anwarihi wa asrorihi wa ‘uluumihi wa ahlakihi, Allahumma Amiin. (Al-Mihrab).

    Syeikh Syadzili RA Wafat


    درة الاسرار وتحفة الابرار في مناقب سيدي ابي الحسن الشاذلي
    ابن الصباغ، محمد بن أبي القاسم الحميري



    Syekh Abu al-Abbas al-Mursy Ra , murid kesayangan dan penerus thariqah Syadziliyah mengatakan bahwa gurunya setiap tahun menunaikan ibdah haji, kemudian tinggal di kota suci mulai bulan Rajab sampai masa haji habis. Seusai ibadah haji beliau pergi berziarah ke makam Nabi SAW di Madinah. Pada musim haji yang terakhir yaitu tahun 656H, sepulang dari haji beliau memerintahkan muridnya untuk membawa kapak minyak wangi dan perangkat merawat jenazah lainnnya. Ketika muridnya bertanya untuk apa kesemuanya ini, beliau menjawab, "Di Jurang Humaistara (di samping Bahr al-Ahmar) akan terjadi kejadian yang pasti. maka di sanalah beliau meninggal.



    Antara amalan-amalan yang di nisbahkan kepada Al-Habib:

    HIZIB BAHR
    ( Yg disusun oleh Al-Imam Al-Qutub Abu Hasan Asy-Syadzili R.A )
    Hizb Bahr merupakan Hizb yg di susun oleh Al-‘Alamah Al-Kabir Al-Imam Al-Qutub Abu Hasan Asy-Saydzili yg juga menyusun Hizb Nasr & Kitab Sirrul Jalil.
    Kegunaan Hizb Bahr adalah tergantung niat si pembaca dan tergantung apa yg di inginkannya dari menarik segala sesuatu yg baik seperti Mahabbah ( Asihan ), Jalbur Rizqi ( Menarik Rizqi ) baik yang Dzohir atau yg Min Ghoibillahi ( Rizqi dari Alam Ghaibnya Alloh S.W.T ), Menyatukan Hati, Penglaris, Pemimpin, Kewibawaan, Karir, Menundukkan hati semua mahluk, di ta’ati ucapannya dll Atau Mencegah dari sesuatu yg buruk dan jahat seperti Menolak Ilmu Sihir, Ilmu Hitam dan sejenisnya, Benteng/ Penjagaan dari orang2 yg Hasud, Dzolim, Iri dengki, Mencegah mara bahaya dan Bala’ Bencana, Keselamatan, Anti Sajam, tahan pukul dll.
    Telah berkata Syeikh Abdurrohman Al-Busthamy R.A “ Hizib Bahr merupakan Mutiara2 indah yg akan menghiasi pembacanya dengan berbentuk kilauan2 cahaya beraneka warna yg senantiasa menjaga pembaca nya dari segala macam mara bahaya”, Dan telah berkata sebagian Ulama’ ahli hikmah “ Didalam Hizib Bahr terkandung Asmaul ‘Adzom dan Rahasia Isim Jami’ Kabir ( isim keseluruhan yg maha Agung )

    Telah berkata penyusun Hizb Bahr ini yaitu Syeikh Al-Imam Al-Qutub Abu Hasan Asy-Syadzili R.A “ Hizb Bahr terkandung di dalamnya rahasia2 untuk melapangkan segala macam kesusahan dengan Lathoif al-Ghuyub ( Kelembutan2 Alam Ghaib ), Tidaklah Hizb ini dibaca di suatu tempat kecuali tempat tsb akan selamat dari berbagai macam penyakit, dan terjaga dari kejadian2 yg tidak menyenangkan, Untuk pembacanya akan masuk pada dirinya rahasia2 Syafiyyah ( kesembuhan / obat ) dan akan masuk pada pembacanya Anwar As-Shofiyyah ( cahaya2 yg jernih serta terang benderang ), Barang siapa yang senantiasa membacanya setiap hari 1 x, ketika terbit matahari, Niscaya Alloh S.W.T akan senantiasa melaksanakan semua permohonannya ( Do’a nya ), dilapangkan dari segala kesusahannya, di angkat derajatnya, Dipenuhi hatinya dengan Ilmu Tauhid, Dimudahkan segala urusannya, dimudahkan setiap kesukarannya, Senantiasa dijaga dari kejahatan Manusia dan Jin, Di amankan dari segala kejahatan malam dan siang, dan tidaklah seseorang yg melihat kepadanya kecuali dia akan dicintai oleh orang yg melihatnya, Dan apabila Hizb Bahr ini dibaca rutin setelah selesai Sholat fardhu 1 x, Maka Alloh S.W.T akan membuatnya Kaya Raya, Dimudahkan kepadanya sebab2 kebahagiaan pada semua gerakannya dan diamnya, Dan barang siapa yg membacanya pada hari Jum’at maka Alloh S.W.T akan meletakkan kecintaannya di setiap hati manusia”

    Tata cara mengamalkan Hizib Bahr
    1. Berpuasa 7 hari yg dimulai hari Minggu
    2. Berbuka dengan tidak memakan makanan yg bernyawa
    3. Membaca Hizib Bahr tiap selesai Sholat Fardhu 3 x
    4. Tiap malam membaca Hizib Bahr 11 x
    5. Dibaca secara Istiqomah selesai puasa tiap hari 1 x
    Untuk dilaksanakan semua hajat hajat apasaja Hizib Bahr cukup dibaca 3 x, dengan Niat yg di khususkan ( Niatnya apa saja tergantung keinginan anda )
    Sebelum membaca Hizib Bahr terlebih dahulu memberikan Hadiah Surat Alfatihah kepada :

    1. Syeikh Al-Imam Al-Qutub Abu Hasan Asy-Syadzili
    2. Syeikh Ahmad bin Muhammad Bin ‘Iyadz Asy-Syafi’i
    3. Syeikh Al—‘Arif Billah Syihabuddin Ahmad Al-Qorsyi
    4. Syeikh Abu Abdillah Muhammad Basyis
    5. Syeikh Abu Muhammadin Sholih Ad-Dakaaly Al-Maliky
    6. Syeikh Abu Madyan Al-Andalusy Asy-Syibli
    7. Syeikh Abi Syuaib As-Sonhaji
    8. Syeikh Kabir Al-Walii Abi Muhammad Tanuri
    9. Syeikh Sirri As-Saqoti
    10. Syeikh Al-Imam Ma’ruf Al-Karkhi
    11. Syeikh Dawud At-Tho-i
    12. Al-Imam Habibul ‘Azami

    Masing 2 nama hadiahkan surat Al-Fatihah 1 x
    Inilah Hizb Bahr Yg dimaksud :
    Menurut Riwayat Sayyidina ‘Abbas dan sebagian Ulama’ Salafus Sholih ditambah dengan bacaan2 ( Aslinya Hizb Bahr ) di bawah ini :
    Membaca Surat Al-Ikhlas

    الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
    أَحَدٌ كُفُواً لَّهُ يَكُن وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَلِدْ لَمْ اللَّهُ الصَّمَدُ أَحَدٌ اللَّهُ هُوَ قُلْ
    Membaca surat Al-Falaq
    وَقَبَ إِذَا غَاسِقٍ شَرِّ وَمِن خَلَقَ مَا شَرِّ مِن الْفَلَقِ بِرَبِّ أَعُوذُ قُلْ
    حَسَدَ إِذَا حَاسِدٍ شَرِّ وَمِن الْعُقَدِ فِي النَّفَّاثَاتِ شَرِّ وَمِن
    Membaca surat An-Nass
    الْخَنَّاسِ الْوَسْوَاسِ شَرِّ مِن النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ بِرَبِّ أَعُوذُ قُلْ
    النَّاسِ وَ الْجِنَّةِ مِنَ النَّاسِ صُدُورِ فِي يُوَسْوِسُ الَّذِي
    مَالِكِ الرَّحِيمِ الرَّحْمـنِ الْعَالَمِينَ رَبِّ للّهِ الْحَمْدُ الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
    صِرَاطَ المُستَقِيمَ الصِّرَاطَ اهدِنَــــا نَسْتَعِينُ وإِيَّاكَ نَعْبُدُ إِيَّاكَ الدِّينِ يَوْمِ
    الضَّالِّينَ وَلاَ عَلَيهِمْ المَغضُوبِ غَيرِ عَلَيهِمْ أَنعَمتَ الَّذِينَ
    Kemudian membaca surat Al-Baqoroh ayat 1 sampai ayat 5
    الَّذِينَ لِّلْمُتَّقِينَ هُدًى فِيهِ رَيْبَ لاَ الْكِتَابُ ذَلِكَ ملا الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
    يُؤْمِنُونَ والَّذِينَ يُنفِقُونَ رَزَقْنَاهُمْ وَمِمَّا الصَّلاةَ وَيُقِيمُونَ بِالْغَيْبِ يُؤْمِنُونَ
    هُدًى عَلَى أُوْلَـئِكَ يُوقِنُونَ هُمْ وَبِالآخِرَةِ قَبْلِكَ مِن أُنزِلَ وَمَا إِلَيْكَ أُنزِلَ بِمَا
    الْمُفْلِحُونَ هُمُ وَأُوْلَـئِكَ رَّبِّهِمْ مِّن
    Kemudian membaca surat Al-Baqoroh ayat 163
    الرَّحِيمُ الرَّحْمَنُ هُوَ إِلاَّ إِلَهَ لاَّ وَاحِدٌ إِلَهٌ وَإِلَـهُكُمْ
    Kemudian membaca Surat Al-Baqoroh ayat 255 sampai ayat 257
    وَمَا السَّمَاوَاتِ فِي مَا لَّهُ نَوْمٌ وَلاَ سِنَةٌ تَأْخُذُهُ لاَ الْقَيُّومُ الْحَيُّ هُوَ إِلاَّ إِلَـهَ لاَ اللّهُ وَلاَ خَلْفَهُمْ وَمَا أَيْدِيهِمْ بَيْنَ مَا يَعْلَمُ بِإِذْنِهِ إِلاَّ عِنْدَهُ يَشْفَعُ الَّذِي ذَا مَن الأَرْضِ فِي وَلاَ وَالأَرْضَ السَّمَاوَاتِ كُرْسِيُّهُ وَسِعَ شَاء بِمَا إِلاَّ عِلْمِهِ مِّنْ بِشَيْءٍ يُحِيطُونَ الْعَظِيمُ الْعَلِيُّ وَهُوَ حِفْظُهُمَا يَؤُودُهُ
    بِاللّهِ وَيُؤْمِن بِالطَّاغُوتِ يَكْفُرْ فَمَنْ الْغَيِّ مِنَ الرُّشْد تَّبَيَّنَ قَد الدِّينِ فِي إِكْرَاهَ لاَ عَلِيمٌ سَمِيعٌ وَاللّهُ لَهَا انفِصَامَ لاَ الْوُثْقَىَ بِالْعُرْوَةِ اسْتَمْسَكَ فَقَدِ
    أَوْلِيَآؤُهُمُ كَفَرُواْ وَالَّذِينَ النُّوُرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ مِّنَ يُخْرِجُهُم آمَنُواْ الَّذِينَ وَلِيُّ اللّهُ
    فِيهَا هُمْ النَّارِ أَصْحَابُ أُوْلَـئِكَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ مِّنَ يُخْرِجُونَهُم الطَّاغُوتُ خَالِدُونَ
    Kemudian membaca surat l-Baqoroh ayat 284 sampai ayat 286
    تُخْفُوهُ أَوْ أَنفُسِكُمْ فِي مَا تُبْدُواْ وَإِن الأَرْضِ فِي وَمَا السَّمَاواتِ فِي مَا لِّلَّهِ
    قَدِيرٌ شَيْءٍ كُلِّ عَلَى وَاللّهُ يَشَاءُ مَن وَيُعَذِّبُ يَشَاءُ لِمَن فَيَغْفِرُ اللّهُ بِهِ يُحَاسِبْكُم
    وَكُتُبِهِ وَمَلآئِكَتِهِ بِاللّهِ آمَنَ كُلٌّ وَالْمُؤْمِنُونَ رَّبِّهِ مِن إِلَيْهِ أُنزِلَ بِمَا الرَّسُولُ آمَنَ
    وَإِلَيْكَ رَبَّنَا غُفْرَانَكَ وَأَطَعْنَا سَمِعْنَا وَقَالُواْ رُّسُلِهِ مِّن أَحَدٍ بَيْنَ نُفَرِّقُ لاَ وَرُسُلِهِ الْمَصِيرُ
    تُؤَاخِذْنَا لاَ رَبَّنَا اكْتَسَبَتْ مَا وَعَلَيْهَا كَسَبَتْ مَا لَهَا وُسْعَهَا إِلاَّ نَفْساً اللّهُ يُكَلِّفُ لاَ
    قَبْلِنَا مِن الَّذِينَ عَلَى حَمَلْتَهُ كَمَا إِصْراً عَلَيْنَا تَحْمِلْ وَلاَ رَبَّنَا أَخْطَأْنَا أَوْ نَّسِينَا إِن مَوْلاَنَا أَنتَ وَارْحَمْنَا لَنَا وَاغْفِرْ عَنَّا وَاعْفُ بِهِ لَنَا طَاقَةَ لاَ مَا تُحَمِّلْنَا وَلاَ رَبَّنَا
    الْكَافِرِينَ الْقَوْمِ عَلَى فَانصُرْنَا
    Kemudian membaca Surat Ali Imran Ayat 1 sampai ayat 4 sampai kalimat furqon( pertengahan ayat 4 )
    الْقَيُّومُ الْحَيُّ هُوَ إِلاَّ إِلَـهَ لاَ اللّهُ م لا
    وَالإِنجِيلَ التَّوْرَاةَ وَأَنزَلَ يَدَيْهِ بَيْنَ لِّمَا مُصَدِّقاً بِالْحَقِّ الْكِتَابَ عَلَيْكَ نَزَّلَ
    الْفُرْقَانَ وَأَنزَلَ لِّلنَّاسِ هُدًى قَبْلُ مِن
    Kemudian Membaca Surat Al-Mudatsir ayat 1 sampai ayat 7
    فَاهْجُرْ وَالرُّجْزَ فَطَهِّرْ وَثِيَابَكَ فَكَبِّرْ وَرَبَّكَ فَأَنذِرْ قُمْ الْمُدَّثِّرُ أَيُّهَا يَا
    فَاصْبِرْ وَلِرَبِّكَ تَسْتَكْثِرُ تَمْنُن وَلَا
    Kemudian membaca Surat Al-‘Alaq Ayat 1 sampai ayat 5
    الْأَكْرَمُ وَرَبُّكَ اقْرَأْ عَلَقٍ مِنْ الْإِنسَانَ خَلَقَ خَلَقَ الَّذِي رَبِّكَ بِاسْمِ اقْرَأْ
    يَعْلَمْ لَمْ مَا الْإِنسَانَ عَلَّمَ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
    Kemudian membaca Surat Ar-Rahman Ayat 1 sampai ayat 27
    بِحُسْبَانٍ وَالْقَمَرُ الشَّمْسُ الْبَيَانَ عَلَّمَهُ الْإِنسَانَ خَلَقَ الْقُرْآنَ عَلَّمَ الرَّحْمَنُ
    تَطْغَوْا أَلَّا الْمِيزَانَ وَوَضَعَ رَفَعَهَا وَالسَّمَاء يَسْجُدَانِ وَالشَّجَرُ وَالنَّجْمُ
    وَضَعَهَا وَالْأَرْضَ الْمِيزَانَ تُخْسِرُوا وَلَا بِالْقِسْطِ الْوَزْنَ وَأَقِيمُوا الْمِيزَانِ فِي
    وَالرَّيْحَانُ الْعَصْفِ ذُو وَالْحَبُّ الْأَكْمَامِ ذَاتُ وَالنَّخْلُ فَاكِهَةٌ فِيهَا لِلْأَنَامِ
    الْجَانَّ وَخَلَقَ كَالْفَخَّارِ صَلْصَالٍ الْإِنسَانَ خَلَقَ مِن تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ
    الْمَغْرِبَيْنِ وَرَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ رَبُّ تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ نَّارٍ مَّارِجٍ مِن مِّن
    يَبْغِيَانِ لَّا بَرْزَخٌ بَيْنَهُمَا يَلْتَقِيَانِ الْبَحْرَيْنِ مَرَجَ تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ
    تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ وَالْمَرْجَانُ اللُّؤْلُؤُ مِنْهُمَا يَخْرُجُ تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ
    تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا آلَاء فَبِأَيِّ كَالْأَعْلَامِ لْبَحْرِ افِي الْمُنشَآتُ الْجَوَارِ وَلَهُ
    وَالْإِكْرَامِ الْجَلَالِ ذُو رَبِّكَ وَجْهُ وَيَبْقَى فَانٍ عَلَيْهَا مَنْ كُلُّ
    Membaca Tasbih 3 x ( Subhana Robiyal ‘Adzimi 3x ), kemudian membaca :
    Surat Al-Hadid ayat 1 sampai ayat 6
    الْحَكِيمُ الْعَزِيزُ وَهُوَ الْأَرْضِ فِي وَمَا السَّمَاوَاتِ فِي مَا لِلَّهِ سَبَّحَ
    قَدِيرٌ شَيْءٍ كُلِّ عَلَى وَهُوَ وَيُمِيتُ يُحْيِي وَالْأَرْضِ السَّمَاوَاتِ مُلْكُ لَهُ
    عَلِيمٌ شَيْءٍ بِكُلِّ وَهُوَ وَالْبَاطِنُ وَالظَّاهِرُ وَالْآخِرُ الْأَوَّلُ هُوَ
    مَا يَعْلَمُ الْعَرْشِ عَلَى اسْتَوَى ثُمَّ أَيَّامٍ سِتَّةِ فِي وَالْأَرْضَ السَّمَاوَاتِ خَلَقَ الَّذِي هُوَ وَهُوَ فِيهَا يَعْرُجُ وَمَا السَّمَاء مِنَ يَنزِلُ وَمَا مِنْهَا يَخْرُجُ وَمَا الْأَرْضِ فِي يَلِجُ
    بَصِيرٌ تَعْمَلُونَ بِمَا وَاللَّهُ كُنتُمْ مَا أَيْنَ مَعَكُمْ
    لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ
    يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
    Kemudian membaca Surat Al- Hasyr ayat 22 sampai ayat 24
    هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
    هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُصَوِّرُ الْبَارِئُ الْخَالِقُ اللَّهُ هُوَ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
    الْحَكِيمُ الْعَزِيزُ وَهُوَ وَالْأَرْضِ السَّمَاوَاتِ فِي مَا لَهُ يُسَبِّحُ الْحُسْنَى الْأَسْمَاء لَهُ
    Kemudian membaca Do’a dibawah ini :
    Kemudian membaca surat Al-Fath ayat 29
    رُكَّعاً تَرَاهُمْ بَيْنَهُمْ رُحَمَاء الْكُفَّارِ عَلَى أَشِدَّاء مَعَهُ وَالَّذِينَ اللَّهِ رَّسُولُ مُّحَمَّدٌ
    السُّجُودِ أَثَرِ مِّنْ وُجُوهِهِم فِي سِيمَاهُمْ وَرِضْوَاناً اللَّهِ مِّنَ فَضْلاً يَبْتَغُونَ سُجَّداً فَاسْتَغْلَظَ أَخْرَجَ فَآزَرَهُ شَطْأَهُ كَزَرْعٍ الْإِنجِيلِ فِي مَثَلُهُمْوَ التَّوْرَاةِ فِي مَثَلُهُمْ ذَلِكَ آمَنُوا الَّذِينَ اللَّهُ وَعَدَ الْكُفَّارَ بِهِمُ لِيَغِيظَ الزُّرَّاعَ يُعْجِبُ سُوقِهِ عَلَى فَاسْتَوَى مِنْهُم عَظِيماً وَأَجْراً مَّغْفِرَةً الصَّالِحَاتِ وَعَمِلُوا
    Kemudian membaca Rajanya Asmaul’ Adzom
    AHUUNUN QOOFUN ADUMMA HAMMA HAA-IN AMIININ حزب اللطف
    لسيدي أبو الحسن الشاذلي رضي الله عنه وقدس روحه
    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ.

    {الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّين إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ} آمين.

    اللَّهُمَّ أجْعَل أفْضَلَ الصَّلوَات وأنْمَى البَرَكَات فِي كُلِ الأوقَات عَلى سَيِدْنَا مُّحَمَّدٍ أكْمَل أهْلَ الأرْضِ والسمواتِ، وسلِم عَليهِ يَارَبَّنَا أزكي التَحِيَات في جَميعِ الحَضَرات.

    اللَّهُمَّ يَا مَن لُطْفِهِ بخَلْقِهِ شَاملٌ وَخَيِرهِ لعبَادهِ وأصلٌلاتُخْرجني عَن دائرةِ الألطَّاف وآمْنِي مِن كُلِ مَا أخَاف، وكُنْ لِي بلطفِكَ الخَفي الظَاهر يَابَاطِن يَاظاهر.

    يا لطِيفُ أسألَكَ وقَايةََ اللطفِ في القَضَا والتَسلِيم مَعَ السلاَمةِ عِندَ نزُولهِ والرِضَا.

    اللَّهُمَّ إنَكَ أنْتَ العَلِيمُ بمَا سَبَقَ في الأزْلِ فَحُفَني بلطفِكَ فِيمَا لَمْ يَنزلْ وَفِيمَا نَزَلِ يَا لَطِيفَاً لَمْ يَزلْ. واجعَلني في حِصنِ التَحصِين بِكَ يَا أََّّْوْلُ، يَا مَن إليِه المُلتَجأُ وعَليِهِ المُعَولُ.

    اللَّهُمَّ يَا مَن ألقَى خَلقهِ في بَحرِ قضَائهِ وحَكَمَ عَليهِم بحكمِ قهرهِ وابتلائِهِ اجْعَلنِي مِمَن حُمِلَ في سَفِينةِ النجاةِ وقنِي مِن جَميعِ الآفاتِ.

    اللَّهُمَّ مَن رَعَتْهُ عَيِنُ عنَايَتَكَ كَانَ مَلطُوفَاً بِهِ في التَقدِير مَحفُوظَاً مَلحُوظَاً بعَيِنِ رعَايِتِكَ يَا قََدِيريَا سَمِيعُ يَا قَرِيبُ يَا مُجِيبُ الدُعَاَ إرْعِنَي بعَينِ رعَايتَكَ يَاخَيرَ مَن رَعَى.

    اللَّهُمَّ لُطْفُكَ الخَفِي ألطَفَ مِن أن يُرى وأنْتَ اللَطّيِفُ الذي لَطّفتَ بجَميعِ الوَريَ حَجَبتَ سَرَيَان سِركَ فِي الأكوَان فلاَ يَشْهدَهُ إلاَ أهْلَ المَعْرفَةِ والعَيِان، فَلَمَّا شَهِدُوا سِرَ لُطفِكَ بكُلِ شيءٍ أمِنْوُا مِن سُوءِ كُلِ شَيءٍ فَأشْهَدنِي سِرَ هَذا اللُطفُ الوَاقِي مَا دَاَمَ لُطْفُكَ الدَّاَئِمُ بَاَقِي.

    اللَّهُمَّ حُكْمُ مَشِيئَتِكَ فِي العَبِيد لاَ ترَاهُ همَّةَ عَارِفٌ وَلاَ مٌرِيدٌ، لَكِنَّكَ فَتَحتَ لي أبْوُابَ الألطَافَ الخَفِية المَانِعَةُ حصُونِها مِن كُلِ بَليِة، فأدْخِلنِي بلُطْفِكَ تِلكِ الحُصُونُ يَا مَن يَقُولُ للشَيءِ كُنْ فَيَكُونُ.

    اللَّهُمَّ أنْتَ اللَطِيفُ بعبَادِكَ لاَسِيَمَّا بأهْلِ مَحَبَتِكَ وَوِدَادِكَ، فبأهْلِ المَحَبَةِ وَالوُدَادِ خُصَّنِي بلطَائِفِ اللُطْفَ يَاجَوَاد.

    اللَّهُمَّ اللُطْفُ صِفَتِكَ وَالألْطَافُ خَلقِكَ وَتَنْفِيذُ حُكْمِكَ فِي خَلقِكَ حَقِكَ، ورَأفةَ لُطْفِكَ بالمَخلُوقِينَ تَمنَعَ إسْتقصَاءَ حَقَكَ فِي العَالَمِينَ، وَقَدْ لَطَفْتَ بِى قَبلَ كَوُنِي وأنا للُطْفِ غَيرَ مُحتَاجٌ، أفَتَمْنَعَنِى مِنهُ مَعَ الحَاجَةِ لهُ وأْنْتَ أرْحَمَ الرَاحْمِينَ حَاشَا لُطْفِكَ الكَافِي وَجُودِكَ الوَافِي.

    اللَّهُمَّ لُطْفِكَ هُوَ حِفْظَكَ إذَّا رَعِيتَ وَحِفْظَكَ هُوَ لُطْفِكَ إذَّا وَقِيتَ، فأدخْلنِي سُرَادِقَاتِ لُطْفِكَ واضْرب عليّّ أسوَارَ حِفظِكَ.

    يَا لَطْيِفٌ أسأَلَكَ اللُطفَ ابَدا، يَا حَفِيظٌ قِني السِوىَ وَشَرَ العِدا يَا لَطْيِفٌ مَن لعَبدِكَ العَاجزُ الخَائفُ الضَّعِيفُ. ثلاثا.

    اللَّهُمَّ كَما لَطَفَْتَ بِي قَبلَ سُؤَالي وَكَوْنِي، كُن لِي لاَعَليَّّ يَا أمنِي وَعَوْنِى ثلاثا.

    {اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ وَهُوَ الْقَوِيُّ العَزِيز} آنِسَنِي بِلُطفِكَ يَا لَطِيف أُنْس الْخَائِف فِي حَالِهِ الْمُخِيف، تَأَنَستُ بِلُطفِكَ يَالَطِيف، وَوْقِيتُ بِلُطفِكَ الْرَديَ وَتَحَجَبتُ بِلُطفِكَ مِن الْعِدا يَالَطِيفُ يَاحَفيظُ {بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ فِي لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ} نََجَوْتُ مِن كُلِّ خَطبٍ جَسيمُ بِقَوْلِ رَبِّيَ {وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ} سَلَِمتُ مِنْ كُلِّ شَّيْطَانٍ وَحَاسِدٍ بِقَولِ رَبِّي {وَحِفْظاً مِّن كُلِّ شَيْطَانٍ مَّارِدٍ} كُفِيتُ كُلَّ هَمٍ فِي كُلِّ سَبيلٍ بِقَولي حَسْبيَ اللهُ وَنَعْمَ الْوَكِيلُ {اللّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ} {لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ} {اللّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوُرِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} {لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ اللّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ} {لإيلافِ قُرَيْشٍ إِيلافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاء وَالصَّيْفِ فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ} وَاكْتَفَيتُ ب كهيعص وَاحْتَمَيتُ ب حم عسق وَقَولُهُ الْحَق وَلَهُ الْمُلكُ، سَلامٌ قَوْلاً مِن رَّبٍّ رَّحِيمٍ.



    Hizb Nasr


    حِزْبُ النـَّصـْرِ المُبـَارَكِ
    لِسـَيـِّدي أبـِي الحـَسـَنِ الشـَّاذلـِي
    بـِـسْـمِ اللهِ الرَّحمـنِ الرَّحـيمِ
    اللهـُمَّ بـِسَطـْوَةِ جَبـَروتِ قـَهـْرِكَ وبـِسُرْعـَةِ إغـَاثـَةِ نـَصـْرِكَ وَبـِغِـيرَتـِكَ لإنـْـتـِهـَاكِ حُرُمَـاتِكَ وَبـِحـِمَايَتِكَ لِـمَن إحـْـتـَمـَى بـِآياتِكَ أسألـُكَ يا اللهُ يَا سَميعُ يَا قـَريبُ يَا مُجـِيبُ يَا سَريعُ يَا مُنـْتـَـقِمُ يَا شـَديدَ البَـطـْشِ يَا جَبََّارُ يَا قـَهـَّارُ يَا مَنْ لا يُعْـجـِزُهُ قـَهـْرُ الجَبـَابـِرَةِ ولا يَعْظـُمُ عـَلـَيْهِ هَلاكُ المُتـَمَرِّدَةِ مِنَ المُلوكِ والأكـَاسِرَةِ أن تـَجْـعَلَ كـَيـْدَ مَنْ كـَادَنِي في نـَحْرِهِ وَمَكـْرَ مَنْ مَكـَرَ بي عَـائِداً عَليهِ وَحُـفـْرَة مَنْ حَفـَرَ لي وَاقِعاً فيها وَمَنْ نـَصَبَ لي شـَبـَكـَة الخَدَاعِ إجْعَلـْهُ يا سَيِّدي مُسَاقاً إليها وَمُصَـاداً فيها وَأسِيراً لـَدَيْهـَا اللهُمَّ بـِحَقِّ كـهيعص إكـْـفِـنـَا هَمَّ العِدا وَلـَقـِّهـِمْ الرَّدَى وَإجْعـَلهُمْ لِكـُلِّ حَبيبٍ فِداً وَسَلـِّط عَلـَيـْهـِمْ عَاجـِلَ النـِّقـْمـَةِ في اليَوْمِ والغـَدِ. اللهُمَّ بَدِّدْ شـَمْلـَهـُمْ، اللهُمَّ فـَرِّق جَمْـعَـهـُم اللهُمَّ أقـْلِلْ عَدَدَهـُمْ، اللهُمَّ فـُلَّ حَدَّهُمْ، اللهُمَّ إجْعَلْ الدَّائِرَة عَلـَيـْهـِمْ اللهُمَّ أرْسِلْ العَذابَ إليهـِمْ، اللهُمَّ أخـْرِجْـهـُمْ عَنْ دَائِرَةِ الحِلـْمِ وَإسْـلـُبـْهـُمْ مَدَدَ الإمْـهـَالِ وغـُلَّ أيْديَهـُمْ وإرْبـِط عَلـَى قـُلوبـِهـِمْ ولا تـُبـَلـِّغـْهـُمْ الآمال، اللهُمَّ مَزِّقـْهـُمْ كـُلَّ مُمَزَّقٍ مَزَّقـْـتـَهُ لأعْدَائِكَ إنـْـتِصـَاراً لأنـْبـِيائِكَ وَرُسُـلِكَ وَأولِيائِـكَ اللهُمَّ إنـْـتـَصِرْ لنا إنـْـتـِصَـارَكَ لأحْبـَابـِكَ على أعْدَائِكَ، اللهُمَّ لا تـُمَكـِّنْ الأعْداءَ فينا ولا تـُسـَلـِطـَهـُمْ عَـلـَيْـنـَا بـِذنوبـِنـَا حم حم حم حـــم حم حم حم حُـمَّ الأمْرُ وَجَاءَ النـَصـْرُ فـَعـَلينـْا لا يـُنـْصـَرون حمعسق حِمَايَتـُنـَا مِمَّا نـَخـَافُ، اللهُمَّ قـِنـَا شـَرَّ الأسْواءِ ولا تـَجْعـَلنـَا مَحـَلاً للبـَلـْواءِ، اللهُمَّ أعْطِنـَا أمَلَ الرَّجَاءِ وَفـَوْقَ الأمَلِ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا هُوَ يَا مَنْ بـِفـَضْـلِهِ لِفـَضْلِهِ نـَسْألْ – نـَسْألـُكَ العَجـَلَ العَجَلَ إلهي الإجَابَة الإجَابَة يَا مَنْ أجَابَ نـُوحاً في قـَوْمِهِ يَا مَنْ نـَصَرَ إبْراهِيمَ عَلى أعْدائِهِ يَا مَنْ رَدَّ يُوسُفَ على يَعْـقوب يَا مَنْ كـَشـَفَ ضـُرَّ أيُّوبَ يَا مَنْ أجَابَ دَعْوَةَ زكـَرِيَّا يَا مَنْ قـَبـِلَ تـَسـْبيحَ يُونـُسَ بـِنْ مَتـَّى نـَسْـألـُكَ بـِأسْرارِ أصْحـَابِ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ أنْ تـَقـْبـَلَ مَا بـِهِ دَعَوْنـَاكَ وأنْ تـُعْطِينـَا مَا سَألناكَ أنـْجـِزْ لنـَا وَعْدَكَ الذي وَعَدْتـَهُ لِعِـبَادِكَ المُؤمِنين لا إلهَ الا أنـْتَ سُبْحَانـَكَ إني كـُنـْتُ مِنَ الظـَّالِمِينَ إنـْـقـَطـَعـَتْ آمَالـُنـَا وَعِزَّتِكَ الا مِنـْكَ وَخـَابَ رَجَاؤُنـَا وَحَـقِـكَ الا فيكَ.
    إنْ أبْطـَأتْ غـَارَةُ الأرْحَامِ وإبْـتـَعـَدَتْ فـَأقـْرَبُ السَّيْرِ مِنـَّا غـَارَةُ اللهِ
    يا غـَارَةَ اللهِ جـِدِي السـَّيـْرَ مُسْرِعَة في حَلِّ عُـقـْدَتـِنـَا يَا غـَارَةَ اللهِ
    عَدَتْ العَادونَ وَجَارُوا وَرَجَوْنـَا اللهَ مُجـيراً
    وَكـَفـَى باللهِ وَلـِيـَّا وَكـَفـَى باللهِ نـَصِيراً
    حَسْبـُنـَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيلُ – ثلاثا
    ولا حَوْلَ ولا قـُوَةَ الا باللهِ العَليِّ العَظِيمِ إسْـتـَجـِبْ لـَنـَا آمين – ثلاثا
    فـَقـُطِعَ دَابـِرُ القـَوْمِ الذينَ ظـَلـَمُوا والحَمْدُ لِلهِ رَبَّ العَالـَمينَ ولا حَوْلَ ولا قـُوَّةَ الا باللهِ العَلِيّ العَظِيمِ
    وَصَـلـَّى اللهُ عَـلـَى سَيـِّدِنـَا مُحَمَّدٍ النـَّبـِيّ الأمِيِّ وَعَلى آلِهِ وَصَحْبـِهِ وَسَـلـَّمَ


    Shalawat Asy-Syadzily
    Shalawat ini bersumber dari Sayyid Abû Al-Hasan Asy-Syadzili Beliau membuka hizb-nya, Al-Luthf dengan sha-lawat ini.

    Artinya: “Ya Allah limpahkanlah shalawat kepada Zat Muhammad yang halus dan tunggal; matahari, langit, rahasia tempat pemunculan cahaya; pusat peredaran kebesaran; dan kutub falak keindahan.
    Ya Allah dengan rahasianya di sisi-Mu dan dengan perjalanannya kepada-Mu amankanlah rasa takutku; kurangilah kesalahanku; lenyapkanlah kesedihan dan ke-tamakanku; dan jadilah penolongku. Bawalah aku kepada-Mu, karunialah aku fana terhadapku, dan janganlah Engkau jadikan diriku mendapat cobaan dari nafsuku. Singkapkanlah bagiku semua rahasia yang tersembunyi, duhai Tuhan Yang Maha hidup dan Maha mandiri.”

    Shalawat Nur Dzati

    اللهم صل وسلم و بارك علي سيدنا معمد النور الذات و السر الساري في سائر الاسماء و الصفات و علي اله وصعبه و سلم

    ” ALLAHUMMA SHOLLI WA SALLIM WA BAARIK ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN NUURIDZAATI WASSIRRIS SAARIY FII SAA’IRIL ASMAA’I WASH-SHIFAATI WAA’ALA ALIHII WASHOHBIHI WASALLIM.”

    Sebelum membaca Shalawat terlebih dahulu di buka dengan membaca :

    “Allahamdulillaahilladzii Arsala Ilaina Faatihut Dauratil Kulliyyatir Rabba Niyyatil Qudziyyati”

    Dan ditutup dengan kalimat :“Al Anbariyyatin Nadiyyatil Maskayatil Khaash-shatil Muhammadiyyatil Kaamlati Makmalati Ahadyyati”

    Abdul Wahab As Sya’rani berkata : Syeikh Abul Hasan Asy Syadzili adalah termasuk diantara mereka (para wali) Beliau banyak menerima dan menyimpan petuah-petuah yang disampaikan oleh Abul Wafa’.

    Diantara karyanya adalah kitab “Af Faiqah Liddiniyah”. Kitab ini berisi tatacara untuk memperoleh bermacam-macam ilmu. Kitab ini amat gamblang (jelas) isinya, bahkan karena kehebatannya, tidak ada karya satupun yang dapat menandinginya.

    Dijelaskan, Abul Hasan Asy-syadzili termasuk orang yang paling sering berjumpa dengan Rasulullah s.a.w.

    pada suatu ketika beliau bertemu dengan Rasulullah s.w.a. beliau mengatakan kepada Rasulullah s.a.w. sesusungguhnya banyak orang mendustakan aku, jika aku menjelaskan kebenaran pertemuanku denganMu. Jawab Rasulullah : demi kemuliaan Allah dan keagungan-Nya, orang yang tidak mempercayaimu, atau mendustakanmu, ia tidak akan mati kecuali dengan cara Yahudi atau nasrani atau majusi.

    Lalu beliau berkata : Wahai Rasulullah, allah melipat gandakan 10 shalawat bagi orang yang membaca shalawat atasmu hanya sekali, apakah hal itu terbatas terhadap orang yang menghadirkan hatinya saja?.

    Jawab Rasulullah : Bahkan hal itu juga diperuntukkan juga bagi orang yang membaca shalawat atasku meskipun ia melupakan aku, dan Allah memberikan semaksimal gunung, dan para Malaikat ikut mendoakannya dan memohonkan ampunan baginya. Adapun yang menghadirkan hatinya, maka balasannya tidak diketahui kecuali Allah sendiri.
    Beliau berkata, Suatu ketika aku membaca : “Muhammadun Basyarun Laa Kalbasyari, Bal Huwa Yaquut Bainal Hajari”

    ” Muhammad Adalah Manusia tetapi tidak seperti manusia, tetapi dia adalah permata diantara kedua batu”

    Malamnya aku bertemu Rasulullah dan berkata padaku ” sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu beserta orang yang mengucapkan kalimat ini bersamamu”. Maka beliau dalam suatu majelis membaca kalimat itu, dan ini terjadi sampai beliau wafat.

    Beliau berkata : ” akan sampai kepada kita seseorang yang bernama Muhammad pada hari kiamat. Maka Allah berkata padanya : ‘ mengapa kamu tidak malu jika bermaksiat kepada-Ku, sedang namamu menggunakan nama kekasihku (Muhammad), tetapi (meskipun begitu) Aku malu menyiksamau karena namamu menggunakan nama kekasih-ku. Pergilah, masuklah ke surga”.

    اللَّهُمَّ بِحَقِ هَذِهِ الأسْرَار قِني الشَرَ وَالأشْرَار وَكُلَّ مَا أنتَ خَالِقَهُ مِن الأكدَار، يَا مَن يَكْلَؤُكُنا بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِبِحَقِ كِلاَءَةِ رَحْمَّانِيتَكَ إكْلأنِيَ وَلاَتَكِلني إلِى غَيرِ إحَاطَتِكَ رَبِّى هَذا ذُلَ سْؤَالي بِبَابِكَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَبِكَ.



    YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
  6. YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
    Gerbang Cinta Para Wali Alloh

    Yaa Ayyuhal Ghouts......., Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

    Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghouts......., Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji :

    “Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

    Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat Billah wa Rosuulihi SAW yg paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui sholawat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

    Yaa Ayyuhal Ghouts....., Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk mengaku menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak muthlak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Termasuk mengangkat para Al-Ghouts, para Aqthob adalah atas kehendak-Nya.

    Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

    Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghouts...., Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan berkah dan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

    Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“
    Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.
    Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.
    Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

    Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

    Al-Ghouts Fii Zamanihi Asy-syeh Abul Abbas al-Mursi Ra, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari,

    “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi hiasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

    “Dasar utama perkara Wali itu,” kata Syeh Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).

    Syekh Agung Abdul Halim Mahmud Ra dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili Ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi.

    Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah:

    “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)

    Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda:
    Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

    Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

    Yaa Sayyidii Yaa Ayyuhal Ghouts !
    Ragam Para Wali

    Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan:

    “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

    Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain :

    1) Ibadah yang banyak,
    2) Melakukan zuhud hakiki,
    3) Menekan hasrat diri,
    4) Mujahadah dengan maksimal.

    Sedangkan lelaku batinnya:
    1) Taubat,
    2) Inabat,
    3) Muhasabah,
    4) Tafakkur,
    5) Merakit dalam Allah,
    6) Riyadlah.

    Di antara 300 Wali ini ada seorang imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya, jumlahnya hanya seorang.

    Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah:

    Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

    Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin.

    Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula:
    Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:

    Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua.
    Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

    Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

    Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) — dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri –, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

    Wali lain disebut dengan al-Ghauts, setiap zaman hanya seorang, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

    Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.

    Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.
    Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf.
    Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Auliya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily Ra – semoga Allah senantiasa meridhoi-Nya .
    1Suka ·  · Promosikan · 

No comments:

Post a Comment