Monday, February 3, 2014

010.01.317 - SHALAWAT WAHIDIYAH

I. 01. 317 "BAHASAN UTAMA - Kuliah wahidiyah"


Cara Pengamalan Shalawat Wahidiyah.

A.           Pengertian Shalawat Wahidiyah.[1]
a.        Shalawat Wahidiyah adalah seluruh rangkaian doa-doa shalawat yang tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyahsegala kandungan yang terdapat didalamnya dan cara  pengamalannya termasuk bacaan surat al-fatihah.
b.        Shalawat Wahidiyah adalah rangkaian redaksi shalawat Nabi Saw, yang alhamdulillah oleh Allah Swt dikaruniai berbagai faedah antara lain dan terutama berupa kejernihan hati ketenangan batin dan ketentraman jiwa serta peningkatan daya ingat sadar/ ma’rifat kepada Allah Swt Yang Maha Esa wa Rasulihi Saw.
c.        Shalawat Wahidiyah mempunyai kandungan makna berupa suatu sistem bimbingan praktis untuk meraih iman, Islam dan ihsan yang kemudian disebut “AJARAN WAHIDIYAH”
d.        Shalawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah telah diijazahkan secara mutlak oleh Muallifnya yaitu Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Pengasuh Pondok Pesantren Kadunglo kelurahan Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Propinsi Jawa Timur Indonesia, untuk diamalkan oleh siapa saja dan agar disiarkan kepada masarakat luas tanpa pandang bulu dengan ikhlas tanpa pamrih dan dengan cara bijaksana.
e.        Pengamalan shalawat Wahidiyah termasuk bagian dari amal sunnah dalam Islam.
f.         Shalawat Wahidiyah mulai disiarkan pada awal tahun 1963 M. 

B.      Thariqah Dalam al-Qur’an Dan Hadis.

Asal makna “thariqah” adalah jalan jalan untuk meraih atau menuju kepada sesuatu baik duniawi maupun ukhrawi. Kadang kata thariqah diartikan dengan kaifiyah atau manhaj (cara, system atau metode). Kemudian dalam kaidah tasawuf diartikan; jalan untuk menuju sadar (makrifat) kepada Allah Swt. Dengan makna seperti ini, setiap jalan kebaikan - lebih-lebih bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw - dapat dijadikan thariqahDengan demikian, Shalawat Wahidiyah dapat juga dikatakan sebagai “THARIQAH”/ jalan (cara, sistem, metode atau kurikulum) untuk menuju hadratullah Yang Maha Esa. Hanya saja yang berkaitan dengan sanad dan silsilah (tthariqah pada umumnya), bukan sebagaimana makna sanad/ silsilah thariqah/ tarekat yang terdefinisikan dalam tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Tijaniyah dan sebagainya yang memerlukan baiat langsung (antara murid dan guru) serta adanya rantaian sanad atau silsilah secara lahiriyah. Sedangkan pemaknaan shalawat sebagai thariqah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ulama sufi yang menjadikannya sebagai amalan sunnah yang utama dan dapat digunakan untuk mendekat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Makna kata THARIQAH - sebegaimana penjelasan dari Syeh Abdullah bin Alwi al-Haddad Ra dalam kitab Da’wah at-Tammah -, terbagi kedalam dua bagian; umum dan khusus.
1.                  Thariqah umum, adalah segala amal shalih yang diizinkan oleh syariah Islam serta diamalkan secara sungguh-sungguh dan istiqamah (kontinyu) dengan menghayati makna yang terkandung didalamnya secara seksama. Ta’rif seperti ini pada umumnya diperuntukkan bagi ummat awam agar memahami makna yang terkandung didalam setiap ritual rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji).
Para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih) mengatakan : tahriqah (amalan yang baik) adalah jalan kebaikan yang diridlai dan memiliki dasar dari sunnah Rasullah Saw baik secara tersurat atau tersirat.
 وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ  
Thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (secara langsung/ tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat yang digali dari dari nash tersurat.[2]
2.                  Thariqah khusus adalah jalan kebaikan yang berkaitan dengan akhlak hati (sabar, ridla, tawakkal, mahabbah, taqwa, khusyu’, khudlu’ makrifat dan sifat keutamaan lainnya) yang disusun urutan cara pengamalannya oleh para ulama yang ahli. Pada umunya tarekat khusus ini memiliki persyaratan yang berat, dan hanya mampu dilakukan oleh para ulama kelas berat.
Pada umumnya pembedaan kedua difinisi tersebut, terletak dalam urutan tatacara pengamalan akhlak saja (taubat, syukur, ridla, qana’ah dan seterusnya). Atau pensimpelan beberapa jenis akhlak yang sepadan menjadi satu akhlak (ridla dan qana’ah, yang dijadikan satu dalam ridla atau dalam qana’ah). Artinya, kemampuan perjuangan orang awam dalam mencapai akhlak hati, tidak setinggi kemampuan para arifin. Jika para ulama Arif billah dapat merealisasikan anjuran akhlak secara keseluruhan dari macam-macam jenis akhlak yang dituntunkan oleh sunnah rasul. Sedangkan orang awam hanya mampu mencapai beberapa jenis akhlak saja, dan itupun secara global. Meski demikian, hasil antara kedua jenis tarekat tersebut adalah sama. Mengapa demikian ?. Hasil dari tarekat tergantung pada kebijakan metode/ kurikulum dan doa Mursyid Kamil Mukammil Ra, serta fadlal dari  Allah Swt.
Secara global, pengertian tarekat, adalah jalan untuk meraih akhlakul karimah, yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Kemudian, para ulama sufi menyusun rinciannya. Rincian dan ulasan tersebut dapat dianggap benar, bila memiliki dasar yang kuat dari al-Qur’an dan hadis, dapat mengantarkan pengamalnya bertemu Rasulullah Saw, serta kedalam kehidupan yang bersyariat dan berhakikat.
a.                 Qs. al-Ankabut : 69  : وَالذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَ اللهِ لَمَعَ المُحْسِنَينَ.Dan orang-orang yang senantiasa  bermujahadah (berjuang bersungguh-sungguh) dijalan-Ku, sungguh niscaya Kami akan menunjukkan (lagi) kepada jalan-Ku. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan (dapat mencapai derajat iman yang ihsan). 
Para ulama kaum sufi, mengartikan kata subul dalam ayat 69 surat al-Ankabuut, sepadan dengan makna tarekat untuk menuju iman dan ihsan. Sedangkan makna mujahadah, adalah memerangi akhlak hati yang buruk (nafsu) secara sungguh-sungguh, dan menggantinya dengan akhlak yang baik.[3] Sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya (tafsir al-Qurthubi) : وَمِنْهُ مُجَاهَدَةُ النُفُوسِ وَهُوَ جِهَادُ الأكْبَر  Dan diantara berjuang dengan sungguh-sungguh adalah memerangi nafsu. Dan itulah perang terbesar.
b.                 Firman Allah Swt Qs. al-Jin : 16 : وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَرِيْقَةِ لأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا   Dan jika sekiranya mereka beristiqamah (terus menerus) diatas thariqah, niscaya Kami akan memberikan minum air (rizki yang banyak) yang segar. [4]
            Ayat 16 surat al-Jin ini, menjelaskan bahwa beristiqamah dalam melaksanakan suatu amalan yang baik, akan menyebabkan turunnya fadlal dari Allah Swt yang digambarkan dengan air yang segar. 
Diantara kesimpulan yang dapat diambil dari :
1.      Tanda-tanda subul/ thariqah yang memperoleh hidayah Allah Swt adalah jika amalan tersebut dapat mengantarkan pengamalnya kepada derajat ihsan [5] (sadar dan makrifat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw). Dengan kata lain, membawa mukmin kepada praktek trhadap sunnah rasul secara syariat dan hakikat.
2.      Dengan beristiqamah dalam bermujahadah, hati mukmin akan terpancari oleh hidayah-Nya (nur ilahiyah), hingga dapat menghayati makna yang terkandung didalam ritual ibadah (yang diwajibkan atau disunnahkan) baik ucapan atau perbuatan.

1.            Sunnah ulama.
Banyak manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat dan hakikat),  para ulama yang ahli diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah) agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [6]
مَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ  وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersiratdari sunnah Rasullah Saw  :
 وَهِيَ طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ بِالإِسْتِنْبَاطِ 
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna tersirat).[7]
Bahkan dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat 360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [8]
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun  mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (bernaung dibawah Nahdlatul Ulama),
 jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah) sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU tersebut hukumnya SAH dan BAIK, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[9]
Sebagaimana lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya, terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya. Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara sunnah para ulama :
a.         Pembersihan dari pemalsuan hadis.
Dicatat dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya para ulama tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang mu’tabar.[10]
b.        Pembersihan dari usaha pendangkalan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks (tafsir isyari).
c.                  Pembersihan dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat.
Para ulama kaum sufi, khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk (syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan menghiasi hati dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, dan sifat terpuji lainnya).
d.             Pembersihan dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. keduanya merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap mukmin wajib memadukan keduanya. [11]
e.         Menta’lif  redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang mudah serta jelas. Yakni mengamalkan shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut, dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam yang ihsan. 
            Memahami keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f.               Menta’lif redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang pentingnya bertawassul  kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul kepada Rasulullah Saw :
         1.         Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
         2.         HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [12]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak ada derajat lagiMaka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia memberiku derajat wasilah.
Asal makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh hadis riwayat dari Ibnu AmrRasulullah Saw bersabda  :[13]
إِذَا سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ  أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”. Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya. Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat (dariku).
Syekh as-Sindi, dalam memberikan penjelasan makna ‘wasilah” dengan  :

لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ Tidak keluar (dari Allah) rizki dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya.  (Sunan Nasa’i  bi Hasyiyah as-Sindi  juz II, bab shalawat)

Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda  : 
  إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ الرَّجُلِ 
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap sebagai lelaki tersebut.  
Sebagaimana ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut. Mukmin mendekati air atau  nasi, serta menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan  melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M), menjelaskan  : [14]
وَأَمَّا النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan Allah. Dan secara hakiki Dia
 (Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah :
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw,  Nabi pembawa rahmat.[15]  Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda  : [16]   إِنَّ مِنَ النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ : Sesungguhnya diantara manusia, terdapat seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik) melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [17]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟. قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[18]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau al-Ghauts Ra dapat dinamakan pengamalan thariqah. Syeh Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid yang kamil itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.    
          فَالمَشَايِخُ هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
   Guru Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [19]
Demikian pula, Syeh Daud Ibnu Makhala Ra dapat menjelaskan :
      قَلْبُ العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
                Hati seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan yang semestinya, maka akan  terbuka baginya pintu hadlrah Allah Swt. [20]
Demikian pentingnya peranan Guru Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs.  an-Nisa’ : 38,  dan al-Baqarah : 208: وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ  Janganlah kalian mengikuti panduan setan. Sungguh ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.
Keempat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [21] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ : مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami mendapati beberapa Guru Mursyid [22] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram), khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah  terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [23]
Namun, setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid) sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk memperolehnya.
Hingga aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang: “Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?. Jawab pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya, sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap manusia  :[24]
 إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ 
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah, yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya, akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.

B.           Shalawat Sebagai Thariqah.

Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai THARIQAH. Hal ini sejalan dengan keterangan dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, terbitan Khalista Surabaya, tahun April 2011, pada bahasan ke: 116 (menekuni membaca al-Qur’an dan lain-lain termasuk thariqah mu’tabarah) dan ke: 117 (derajat antara thariqah) :
S.   Apakah menetapi membaca al-Qur’an, membaca Dalailul Khairat dan mempelajari kitab Fathul Qariib atau kitab Kifayatul Awam itu termasuk thariqah Mu’tabarah ?.

J.   Ya. Demikian itu termasuk thariqah mu’tabarah.

Keterangan, dari kitab:
Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ Muhammad Nawawi al-Jawi, Salalim Fudhala’ Syarh Hidayatul Adzkiya’ Kifayah al-Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’  

S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan mu’tabarah ? Manakah yang lebih utama ? Tharriqah Naqsyabandiyah, Syattariyah, Qadiriyah atau lainnya ?. Apakah perbedaannya thariqah dan syariah ?.
JThariqah Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil)  sampai kepada Rasulullah Saw dan merupakan thariqah yang sah dalam agama Islam dan semua thariqah mu’tabarah  itu tidak ada perbedaannya satu sama lain. Semua wiridan dari tahriqah Tijaniyah itu sah (benar) seperti dzikirnya, shalawatnya dan istighfarnya, begitu juga pernyataannya dan syarat-syaratnya yang sesuai dengan agama (syara’). Adapun yang tidak sesuai apabila dapat ditakwilkan, maka harus ditakwilkan pada arti yang sesuai dengan agama dan terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan agama dan tidak dapat ditakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan. 
Keterangan, dari kitab:
1.       al-Fatawa al-Haditsiyah {Ibnu Hajar al-Haitami, Mushthafa al-Halabi, 1971 M), h. 331.}.  ........
2.       Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah { Muhammad Nawawi al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah Syarh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya : al-Hidayah, t.th), h.4.}. ....
Syaikh al-Shawi berkata : syariat adalah hukum-hukum yang Rasulullah Saw bebankan kepada kita dari Allah Azza wa Jalla berupa hal-hal yang wajib, sunnah, haram dan mubah. Sedangkan thariqah adalah adalah pengamalan kewajiban-kewajiban dan kesunahan-kesunahan, meninggalkan larangan-larangan, dan menghindari dari hal mubah yang tidak dibutuhkan, bersikap sangat hati-hati seperti dengan wira’i dan riyadhah  antara lain ibadah tengah malam, berlapar-lapar dan membisu.
Lain itu pula terdapat hadis riwayat Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda : [25]
مَنْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبُهُمْ مِنِّي مَنْزِلَةً. : Barang siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, maka dialah yang memiliki kedudukan paling dekat dengan aku.
a.                  Rasulullah Saw bersabda :
أَوْحَى اللهُ تَعَالَى مُوسَى : يَامُوسَى أَتُرِيْدُ أَنْ أَكُونَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كَلاَمِكَ إِلَى لِسَانِكَ وَمِنْ وَاسْوَاسِ قَلْبِكَ إِلَى قَلْبِكَ وَمِنْ رُوحِكَ إِلَى بَدَنِكَ وَمِنْ نُورِ بَصَرِكَ إِلَى عَيْنِكَ ؟. قَالَ : نَعَمْ يَارَبِّ.  قَالَ : فَأَكْثِرِ الصَلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ نَبِيِّي.
Allah Swt memberikan wahyu kepada Musa : “Wahai Musa apakah kamu ingin AKU lebih dekat kepadamu daripada pembicaraanmu dengan lisanmu, daripada bisikan hatimu dengan hatimu, daripada ruhmu dengan badanmu dan dari pada cahaya matamu dengan matamu ?”. Jawab Musa : Ya. Allah Saw bersabda : Perbanyaklah bershalawat kepada Muhammad Saw”. [26]
Sejalan dengan hadis wasilah riwayat Ahmad, hadis shalawat Nabi Musa ini menjelaskan : bershalawat kepada Rasulullah Saw merupakan jalan paling dekat untuk makrifatullah. Dalam hal ini, Syeh Nabhani Ra menjelaskan pandangan mayoritas ulama sufi,;bahwa shalawat nabi dapat dijadikan thariqah untuk menuju wushul/ makrifat kepada Allah Swt yang sempurna.
وَبِالجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ. لِأَنَّ السَنَدَ وَالشَيْخَ صَاحِبُهَا لِأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ وَيُصَلِّي اللهُ عَلَى المُصَلِّي. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ فَلاَ بُدَّ فِيْهَا مِنَ الشَيْخِ العَارِفِ وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهَا صَاحِبُهَا.
Dan pada intinya, sesungguhnya shalawat kepada Nabi Muhammad Saw dapat mewushulkan (menyampaikan/ mengantarkan) sampai kepada Dzat Yang Maha Gaib tanpa guru. Karena sanad dan Syeh (dalam shalawat) adalah pemilik shalawat (Rasulullah Saw). Sesungguhnya shalawat diperlihatkan kepadanya serta Allah bershalawat kepada mushalli (orang yang bershalawat). Berlainan dengan (wirid) yang lain dari beberapa dzikir,  yang didalamnya harus harus ada Mursyid yang Arif (Billah). Jika tidak, maka setan masuk didalam wirid/ dzikir tersebut, dan tidak memberikan manfaat kepada pengamalnya. (Kitab Sa’adah ad-Daraini ).[27]

Semakin banyak bershalawat, semakin dekat kepada Rasulullah Saw (hadis). Sedangkan dekat kepada Rasulullah Saw akan membawa dekat/ makrifat kepada Allah Swt. Karenanya, para ulama tasawuf banyak yang menggunakan shalawat sebagai thariqah atau bagian dari wirid thariqah.
Syeh Nabhani juga menjelaskan bahwa shalawat kepada Rasulullah Saw merupakan jalan (tarekat) yang paling cepat untuk menuju sadar/ makrifat kepada Allah Swt.
        إِعْلَمْ يَا أَخِي أَنَّ طَرِيْقَ الوصُولِ إِلَى حَضْرَةِ اللهِ مِنْ طَرِيْقِ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْرَبِ الطُرُقِ
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya jalan wushul kepada hadlratullah dari shalawat kepada Nabi
(Muhammad) Saw termasuk sedekat-dekatnya jalan (thariqah). [28]
Kitab Saadah ad-Daraini  bab 10 “faidah shalawat”,  halaman : 506 – 507, dijelaskan  :
وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعالى, وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ, وَمِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan telah diketahui bersama (kaum ahli makrifat), bahwa sesungguhnya, barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw dan Al-Nya (wali al-Ghauts- pen), maka ia akan merakan nikmatnya wushul kepada Tuhannya Allah Swt. Dan barang siapa yang memisahkan   yang memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat.. Diantara agung-agungya jalan wushul adalah ta’alluq (sadar birrasul) kepada Nabi Saw Kekash Allah Swt serta memperbanyak bersholawat kepada-Nya Saw.
Syeh an-Nabhani Ra dalam kitabnya Afdlalus Shalawat, menjelaskan :
أَقْرَبُ الطُرُقِ إِلَى اللهِ فِي أَخِرِ الزَمَانِ خُصُوصًا عَلَى المُسْرِفِ كَثْرَةُ الإِسْتِغْفَارِ والصَلاَةِ عَلَى النَبي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
            Jalan (thariqah) yang paling dekat kepada Allah pada akhir zaman khususnya bagi orang yang berlumuran dosa, adalah memperbanyak istigfar dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Shalawat sebagai tarekat, juga dijelaskan oleh Syeh Ahmad Zawawi (murid dari al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Zakaria al-Anshari {w. 915 H}), yang mengatakan : [29]
 طَرِيْقُنَا أَنْ نُكَثِّرَ مِنَ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يَصِيْرَ يُجَالِسُنَا وَنَصْحَبُهُ مِثْلَ الصَحَابَةِ وَيَسْأَلُهُ عَلَى أُمُورِ دِيْنِنَا
Jalan/ thariqah kita (untuk menuju Allah Swt) dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi (Muhammad) Saw, hingga Nabi menjadi teman duduk kita secara jaga, dan kita bersahabat dengannya sebagaimana persahabatan para sahabatnya, dan kita bertanya kepadanya tentang urusan agama kita.

D.          Cara Pengamalan Shalawat Wahidiyah.
c.1.  Istilah “Mujahadah”.
            Shalawat Wahidiyah yang dita’lif oleh Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, merupakan salah satu amalan sunnah. Maziyah (sirri dan faedah) Shalawat Wahidiyah, sebagaimana yang telah dirasakan oleh para pengamal Wahidiyah, dapat mententramkan hati, menenangkan jiwa, mudah ingat kepada Allah Swt Tuhan semesta alam, menjernihkan hati dari penyakit munafiq dan musyrik, meningkatkan kemampuan dan kepekaan jiwa untuk melihat dosa diri, meningkatkan rasa cinta (mahabbah) kepada Rasulullah Saw, meningkatkan kesadaran dalam berakhlak karimah, serta dapat mempermudah serta mempercepat tercapainya maksud dan cita-cita, baik duniawi maupun ukhrawi. Bahkan – yang laing utama - banyak diantara pengamal Wahidiyah mendapatkan fadlal dari Allah Swt dapat bertemu Rasulullah Saw, secara mimpi atau dalam keadaan sadar.
Agar dapat memetik maziyah, manfaat dan sirri shalawat Wahidiyah, Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah dan juga oleh Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, telah memberikan tuntunan dan cara pengamalan shalawat Wahidiyah beserta ajarannya, yang kemudian dinamakan dengan MUJAHADAH.

c.2.  Cara Pengamalan
1)       Boleh diamalkan oleh siapa saja laki-laki, perempuan, tua, muda, dari golongan dan bangsa manapun juga. Tidak panadang bulu.
2)       Diamalkan selama 40 hari (bagi pengamal baru, atau setiap pengamal Wahidiyah menjelang pelaksanaan mujahadah kubra) secara berturut-turut dan dilaksanakan setiap hari paling sedikit sesuai bilangan yang tertulis dalam lembaran Shalawat Wahidiyah serta dalam satu kali duduk.
Ketentuan pengamalan shalawat Wahidiyah selama waktu 40 hari ini, sebagai tabarukan dan mengikuti terhadap cara atau sistem yang telah dilakukan oleh para Nabi dan Rasul As serta para auliyaillah Ra.
a.         Sebelum diangkat sebagai rasul, Nabi Muhammad Saw melaksanakan riyadlah selama 40 hari/ malam dalam gua hira’.
b.        Nabi Musa As - untuk mendapatkan makrifat kepada Allah Swt - melaksanakan riyadlah selama 40 hari. Firman Allah Swt. Qs. al-A’raf : 142 – 144 :
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاَثِيْنَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً. وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أُنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دُكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ المُؤْمِنِيْنَ.
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) setelah 30 malam dan yang Kami sempurnakan dengan sepuluh malam.[30]Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.  Dan ketika Musa datang untuk (kepada Kami) pada waktu yang telah kami tentukan, dan Dia bersabda kepadanya. Musa berkata : Ya Tuhanku tampakkanlah Diri Engkau agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan bersabda : Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke bukit itu, ketika ia tetap pada tempatnya niscaya kamu akan melihat-Ku. Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajalli) [31] pada gunung, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa-pun jatuh pingsan. Dan ketika Musa sadar kembali, berkatalah ia : Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu, dan aku orang pertama yang beriman.
c.        Hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ أَخْلَصَ للهِ أَرْبَعِيْنَ يَومًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الحِكْمَةِ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ
Barang siapa yang mengikhlaskan (amal) karena Allah selama 40 hari, [32] maka akan lahir beberapa hikmah dari hatinya kepada lisannya. [33]

Tentang makna hadis diatas al-Ghauts fii Zamnihi Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra (w. 672 H, kitab Awarif al-Ma’arif) menjelaskan : Syeh Sahal at-Tustari mengatakan :
مَنْ طَوَى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ لَهُ القُدْرَةُ مِنَ المَلَكُوتِ
Barang siapa melipat nafsunya (riyadlah) selama 40 hari, maka akan muncul baginya kekuatan (kemampuan) dari alam malakut
d.        Sebanyak 40 orang yang dapat menduduki jabatan wali Abdal (waliyullah kelas berat). Rasulullah Saw bersabda  : [34]
خِيَارُ أُمَّتِي فِى كُلِّ قَرْنٍ خَمْسُمِائَةٍ وَالأَبْدَالُ أَربَعُونَ فَلاَالخَمْسُمِائَةِ يَنْقُصُونَ وَلاَ الأرْبًعُونَ. كُلَّمَا مَاتَ َرَجُلٌ أَبْدَالَ اللهُ مِنَ الخَمْسُمِائَةِ مَكَانَهُ وَأَدْخَلَ فِي الأَرْبَعِيْنَ مَكَانَهُ يَعْفُونَ عَمَّنْ ظَلَمَهُمْ وَيُحْسِنُونَ مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِمْ.
Ummat-Ku yang pilihan dalam setiap qurun (waktu) sebanyak 500 orang, dan wali abdal juga 40 orang. Tidak ada pengurangan dari yang limaratus dan tidak ada pengurangan dari empat puluh. Setiap meninggal satu orang dari mereka (baik yang berjumlah 500 orang atau yang 40 orang), Allah akan menggantikan kedudukannya dengan orang lain. Mereka memberikan maaf kepada orang yang mendlaliminya serta berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepadanya. (HR. Abu Nuaim, Hilyah al-Auliya’).
Dan banyak kitab hadis yang menerangkan keutamaan jumlah 40 :
1.             Rasulullah Saw diangkat sebagai Nabi dan Rasul oleh Allah Swt ketika telah berusia 40 tahun. Demikian pula para Nabi dan Rasul lainnya, kecuali Nabi Isa As yang diangkat menjadi Rasulullah As pada umur 33 tahun.[35]
2.             Doa 40 orang dapat memberi syafaat kepada mayit, Rasulullah Saw bersabda:
  مَامِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَيُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَعَهُمُ اللهُ فِيهِ
Tidaklah ada dari sesorang muslim yang mati, dan mendirikan shalat janazah 40 lelaki yang sedikitpun tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka Allah akan memberikan hak pertolongan untuk meraka kepada mayit. [36]
3.             Diantara para ulama, yang menuliskan 40 hadis pilihan  :[37]
3.1.           40 hadis pilihan Imam Nawawi (kitab al-Arba’in an-Nawawiyah).
3.2.           40 hadis keutamaan shalawat Nabi Saw (kitab Jam’ul Ahaadis al-Arba’iina fii as-Shalaati’alaa an-Nabi al-Amin, Syeh Muhammad Syakur al-Mayardini).
3.3.           40 hadis pilihan keagungan Rasulullah Saw (kitab al-Ahadits al-Arba’iin fii Fadlaaili Sayyidi al-Mursaliin Saw) keduanya ditulis  oleh Syeh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani Ra.
3)                Boleh diamalkan secara sendirian, akan tetapi dengan berjamaah bersama dengan satu keluarga, satu kampung sangat dianjurkan.
4)                Bagi perempuan yang yang sedang bulanan, cukup membaca shalawatnya saja, tidak usah membaca surat al-Fatihah. Adapun bacaan “Fafirruu Ilallah” dan Waqul Jaa al-Haqqu ….. “ boleh dibaca. Sebab disini tidak dimaksudkan ayat al-Qur’an, melainkan sebagai doa.
5)                Bagi yang belum bisa membaca shalawat Wahidiyah secara keseluruhan, boleh membaca bagian mana yang sudah dapat dihafalkannya dahulu. Atau paling tidak mengamalkan kalimat nida’ “Yaa Sayyidii Yaa Rasulallah” diulang-ulang selama kira-kira dalam waktu yang diperlukan bila mengamalkan secara keseluruhan. Atau kira-kira selama 30 menit.
6)                Dan kalaupun belum memungkinkan mengamalkan sebagaimana pada nomer 5,  boleh berdiam saja selama waktu 30 menit dengan memusatkan segenap perhatian, mengkonsentrasikan diri kepada Allah Swt, dan merasa benar-benar dihadapan Junjungan kita Rasulullah Saw dengan adab lahir batin, dengan ta’dzim (memulyakan) dan mahabbah (mencintai) setulus hati.
Dan untuk lebih mendapatkan manfaat yang lebih banyak dari Shalawat Wahidiyah baik untuk diri sendiri, keluarga dan ummat masyarakat, Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah dan Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, telah memberikan bimbingan dan tuntunan macam-macam mujahadah, antara lain : [38]
1.             Mujahadah Yaumiyah (harian) adalah mujahadah yang dilaksanakan setiap hari oleh setiap pengamal Wahidiyah sesudah mengamalkan mujahadah 40 hari.
2.             Mujahadah Usbuiyah (mingguan) adalah mujahadah berjamaah yang dilaksanakan seminggu sekali oleh pengamal Wahidiyah satu desa/ satu kelurahan, satu kelompok/ satu kampung yang diatur oleh PW Desa/ Kecamatan.
3.             Mujahadah Syahriyah (bulanan) adalah mujahadah berjamaah yang dilaksanakan sebulan sekali oleh pengamal Wahidiyah satu kecamatan yang diatur oleh PW kecamatan.
4.             Mujahadah Rub’us Sanah/ triwulan adalah mujahadah berjamaah yang dilaksanakan 3 bulan sekali oleh pengamal Wahidiyah dalam satu kabupaten/ kota yang diatur oleh PW kabupaten/ kota.
5.             Mujahadah Nisfus Sanah (setengah tahun) adalah mujahadah secara berjamaah yang dilaksanakan setengah tahun sekali oleh pengamal Wahidiyah satu propinsi yang diatur oleh PW propinsi.
6.             Mujahadah Kubra, adalah mujahadah yang dilaksanakan setahun dua kali (muharram dan rajab) yang diatur oleh PW Pusat, dan bertempat dipondok Pesantren Kadunglo al-Munadzdzarah Bandar Lor Kecamatan Mojoroto Kota Kediri Jawa Timur Indonesia.
7.             Mujahadah Khusus, adalah mujahadah yang dilaksanakan oleh pengamal Wahidiyah secara khusus, misalnya :
*.    Mujahadah yang dilaksanakan sebelum melaksanakan tugas.
*.    Mujahadah yang dilaksanakan untuk menyongsong pelaksanaan mujahadah syahriyah, rub’ussanah, nisfussanah, kubra dan sebagainya.
*.    Mujahadah lainnya yang dilaksanakan secara khusus oleh khadimul Wahidiyah. Misalnya; menjelang Pemilu, hari besar Islam/ Nasional, atau karena ada hal yang dianggap penting dan sebagainya.
8.             Mujahadah Nonstop yang dilaksanakan secara terus-menerus dalam waktu yang ditentukan secara estafet (berkesinambungan), dalam mujahadah rub’us sanah, nisfussanah, kubra atau karena ada perintah dari Beliau Hadlaratul Mukarram Pengasuh Perjuangan Wahidiyah.
9.             Mujadah Muqaddimah adalah mujahadah yang dilaksanakan dalam resepsi acara Wahidiyah sebagai rangkaian mata acara kedua atau yang ketiga (jika ada acara pembacaan ayat suci al-Qur’an), atau dalam musyawarah-musyawarah Wahidiyah/ pengajian Wahidiyah. Mujahadah tersebut dikenal dengan istilah “Muqadimah Shalawat Wahidiyah”.

E.          Adab Pengamalan Shalawat.

Para ulama dan kaum sufi sangat memperhatikan adab dan akhlak ketika bershalawat kepada Rasulullah Saw. Memang diantara makna dan tujuan yang terkandung dalam bershalawat,[39] adalah untuk menghormat dan mengagungkan Beliau Rasulullah Saw disisi Allah Swt yang mengalahkan seluruh makhluk, serta untuk menunjukkan rasa sangat membutuhkan dari orang yang bershalawat terhadap syafaat dan doa restunya.
Setiap bacaan shalawat akan sampai kepada Rasulullah Saw. HR. Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah dari Aus Ibn Aus, Rasulullah Saw bersabda :
          فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالُوا : يَارَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ يَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ
     Sesungguhnya shalawat kamu semua disampaikan kepadaku. Sahabat bertanya : Wahai Rasulallah bagaimana shalawat kita disampaikan kepadamu, sedangkan engkau telah rusak (tulang dan daging). Rasul bersabda : Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi. [40]
Setiap shalawat sampai kepada Rasulullah Saw. Karenanya, seseorang yang bershalawat harus diserati cara dan akhlak yang baik yang sesuai dengan kedudukan Rasulullah Saw. Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra berkata  :[41]
       إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى رسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَحْسِنُو الصَلاَةَ عَلَيْهِ.  فَاِنَّكمْ لاَ تَدْرُوْنَ لَعَلَّ ذَالِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ
Ketika kalian bershalawat kepada Rasulullah Saw, bagus-baguskanlah shalawat kepadanya. Sesungguhnya kalian belum memahaminya, kalau-kalau shalawat kalian diperlihatkan kepada rasul.
Seluruh bacaan shalawat sampai kepada Rasulullah Saw. Karenanya, demi kesempurnaan bershalawat, sangat dianjurkan bagi para pangamal shalawat senantiasa menjaga akhlak kepada Rasulullah Saw. Melaksanakan nida’ kepada Rasulullah Saw tidak boleh dengan cara yang sama ketika memanggil kepada sesama manusia.
Firman Allah Swt, Qs. an-Nuur : 61 :: لاَتَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا Janganlah kamu semua menjadikan panggilan kepada rasul sebagaimana panggilan antara kamu semua kepada yang lain. Dalam menjelaskan makna ayat ini Syeh Abul Fadlal al-Yahshubi dalam kitabnya as-Syifa’, mengatakan : [42]    فَكَذَالِكَ يَجِبُ الدُعَاءُ لَهُ مُخَالِفًا لِدُعَاءِ النَاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ : Dengan demikian wajib panggilan kepada (Rasulullah Saw) berbeda dengan panggilan kepada manusia antara yang satu kepada lainnya.
Diantara adab bershalawat atau dzikrurrasul :
1.             Memahami bahwa shalawat yang disanjungkan, bersamaan dengan shalawatnya Allah Swt kepada Rasulullah Saw, yang mana shalawat Allah Swt kepada Nabi Saw tidak mengenal waktu (dulu, sekarang dan nanti). Artinya, diwaktu mukmin bershalawat nabi) wajib meyakini bahwa Allah Swt sedang bershalawat kepada Rasulullah Saw.
2.             Memahami ketinggian kedudukan dan keagungan Rasulullah Saw.
Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Al-Qasthalani (w.758 H) dalam menjelasan hadits riwayat Imam Bukahri (ukuran cinta kepada Rasulullah Saw) mengatakan   :
 حَقِيْقَةُ الاِيْمَانِ لاتَتِمُّ وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقيْقِ أَعْلإَ قَدْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ وَالِدٍ وَوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ بِمُؤْمِنٍ يُبَيِّنُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ عَلَى حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat sempurna kecuali dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw dengan nyata (musyahadah qalbu) yang mengalahkan setiap orang tua, anak dan para pelaku kebaikan. Barang siapa yang tidak memiliki i’tiqad (kepercayaan) seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Hadits ini, artinya Rasulullah Saw menjelaskan tentang ukuran derajat iman mukmin, tergantung dari seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw. [43]
3.             Menghormat serta mengagungkan kepada Rasulullah Saw serta merasa rindu dan ingin berjumpa dengannya.
وَاعْلَمْ أَنَّ حُرْمَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوْقِيْرَهُ وَتَعْظِيْمَهُ لاَزِمٌ كَما كَانَ حَالَ حَيَاتِهِ. وَذَالِكَ عِنْدَ ذِكْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذِكْرِ حَدِيْثِهِ وَسَمَاعِ اسْمِهِ وَمُعَامَلَةِ عِتْرَتِهِ.
Ketahuilah, sesungguhnya mengagungkan Rasulullah Saw setelah kematiannya adalah hal yang wajib seperti ketika Beliau masih hidup. Penghormatan tersebut dilakukan ketika menyebut atau mendengar asmanya, menyebutkan hadis, sunnahnya serta sejarah hidupnya, serta sejarah kehidupan keturunannya.
وَقَالَ إِسْحَاقُ التَجِيْبِي: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَهُ لاَيَذْكُرُونَهُ إِلاَّ خَشَعُوا وَاقْشَعَرَّتْ جُلُودُهُمْ وَبَكَوْا. وَذَالِكَ كَثِيرٌ منَ التَّابِعِيْنَ. مِنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَالِكَ مَحَبَّةً لَهُ وَشَوْقًا إِلَيْهِ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُهُ تَهَيَّأً وَتَوْ قِيْرًا.
Imam Ishaq at-Tajibi berkata : Setelah kepulangan Rasulullah Saw kehadirat Tuhan, para sahabat tidak mengingat atau menyebutnya, kecuali mereka dengan khusyu’ dan menggigil tubuhnya serta menangis. Hal yang demikian juga merupakan kebiasaan para tabi’in. Diantara mereka ada yang melakukannya karena cinta dan rindu kepadanya, dan ada yang melakukannya karena menghormat dan terbayang kepadanya.
Demikian pula Imam al-Qurthubi, tentang rindu bertemu rasul, menjelaskan :[44]
    كُلُّ مَنْ أَمَنَ بِالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْمَانًا صَحِيْحًالاَ يَخْلُو عَنْ وِجْدَانِ شَيْئٍ مِنْ تِلْكَ المَحَبَّةِ الرَاجِحَةِ غَيْرِ أَنَّهُمْ مُتَفَاوَتُوْنَ. فَمِنْهُم ْمَنْ أَخَذَ مِنْ تِلْكَ المَرَتَّبَةِ بِالحَطِّ الأَوْفَى. وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَ بِالحَطِّ الأَدْنَى كَمَنْ كَانَ مُستَغْرِقًا فِي الشَهَوَاتِ مَحْجُوبًا فِي الغَفْلاَتِ. وَلَكِنّ الكَثِيْرَ مِنْهُمْ إِذَا ذُكِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِشْتِقَاقُ إِلَى رُؤْيَتِهِ
Setiap orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Saw dengan iman yang sebenarnya, (hatinya) tidak pernah kosong dari rasa cinta kepada rasul. Hanya saja kecintaan mereka berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang cintanya telah mencapai tingkat yang tinggi. Dan sebagian mereka hanya mencapai tingkat rendah, karena masih tenggelam dengan hawa nafsunya, serta tertutup dengan kealpaan. Tapi, sebagian besar mereka ketika disebut nama Rasulullah Saw, hasrat dan rindu mereka untuk bertemu dengan Beliau Saw sangat besar.
4.             Merasa berada dihadapan Rasulullah Saw. Syeh Abu Ibrahim at-Tajibi berfatwa:  [45]
قَالَ أَبُو إِبْرَاهِيْم التَجِيْبِي :  وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُؤْمِنٍ ذَكَرَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ ذُكِرَ عِنْدَهُ أَنْ يَخْضَعَ وَيَخْشَعَ وَيَتَوَقَّرَ وَيَسْكُنَ مِنْ حَرَكَتِهِ وَيَأْخُذَ مِنْ هَيْبَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِجْلاَلِهِ.وَقَالَ القَاضِي أَبُو الفَضَل : وَهَذِهِ كَانَتْ سِيْرَةُ سَلَفِنَا الصَالِحِ وَأَئِمَّتِنَا المَاضِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ.
Syeh Abu Ibrahim at-Tajibi berkata : Wajib, bagi setiap mukmin yang ingat kepada Rasulullah Saw atau namanya disebut disisinya, menundukkan jiwa dengan khusyu’, mengagungkan, diam dari berbagai gerakan serta menempatkan diri sesuai kewibawaan dan keagungan Rasulullah Saw. Dan Qadli Abul Fadlal berkata : Hal demikian ini merupakan kebiasaan para ulama salafus shalih (ulama terdahulu yang shalih).

5.             Menyadari dan merasa diri hina serta berlumuran dosa dihadapan Rasulullah Saw, kemudian mohon ampun kepada Allah Swt, serta sangat membutuhkan doa restu dan syafaatnya. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 64 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ, وَلَو أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَسُولَ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيْمًا.
Dan Kami tidak mengutus dari seorang rasul keculi untuk ditaati dengan izin Allah. Dan jika sekiranya, sesungguhnya mereka mendlalilmi diri mereka sendiri, mereka datang menghadapmu, kemudian mereka mohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, maka niscaya mereka mendapatkan Allah Dzat Yang menerima taubat serta Dzat Yang Maha Kasih.
Ayat ini menjelaskan, bahwa bagi orang yang menyadari dirinya dlalim dan berlumuran dosa, dan ingin bertaubat, maka wajib baginya mohon ampun kepada Allah Saw, dan merasa berada dihadapan Rasulullah Saw sangat mengharapkan doa restu dan syafaatnya. Al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Yusuf an-Nabhani Ra mengatakan : [46]
وَبِالجُمْلَةِ وَالتَفْصِيْلِ فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْدٌ بَيْنَ أَظْهَرِنَاحِسًّا وَمَعْنًى جِسْمًا وَرُوْحًا سِرًّا وَبُرْهَانًا
Dengan melalui dasar yang mujmal dan rinci (pasti benarnya), wujud Beliau Rasulullah Saw berada diantara jasmani dan ruhani kita, baik secara hissy (indrawi) atau maknawi (metafisik), secara jasmani maupun rohani, atau secara rahasia atau nyata.
6.             Merasa mendapat syafaat Rasulullah Saw, serta tidak menjadikan Beliau Saw seperti gelas minuman milik para pengendara (habis manis sepah dibuang). Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَاكِبِ. فَإِنَّ الرَاكِبَ يَمْلَأُ قَدَحَهُ ثُمَّ يَضَعُهُ وَيَرْفَعُ مَتَاعَهُ. فَإِنِ احْتَاجَ إِلَى شَرَابٍ شَرِبَهُ أَوِ الوُضُوْءِ تَوَضَّأَ وَإِلاَّ هَرَقَهُ. وَلَكِنْ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُعَاءِ وَأَوْسَطِهِ وَأَخِرِهِ.
Janganlah kalian menjadikan Aku bagaikan gelasnya pengendara. Sesungguhnya pengendara memenuhi (dengan air) gelasnya, kemudian meletakkannya dan kemudian mengangkatnya lagi. Jika ia membutuhkannya untuk minum diminumlah, atau untuk wudlu, maka dipakainya berwudlu. Dan jika ia tidak membutuhkannya, maka ia melemparkannya. Dan, akan tetapi jadikanlah aku dalam awal, pertengahan dan akhir doa (mu). [47]
Adab merupakan hal sangat penting kepada Allah Swt, Rasulullah Saw maupun kepada sesama manusia, bahkan kepada makhluk jamial alamin. Nilai ibadah tergantung kepada pelaksanaan adab. Jika pelaksanaan ibadah disertai dengan adab yang baik, itulah makna ibadah yang semestinya. Dan jika disertai adab yang buruk, nilai ibadah akan menjadi rusak. Demikian pula dalam hubungan antara sesama manusia, misalnya berdarma (baik moril atau materiil), jika pelaksanaanya tanpa disertai dengan adab dalam memberikannya, bisa-bisa bernilai sebaliknya, penghinaan atau perendahan terhadap orang yang menerima darma.
Dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifah Qawa’id as-Shufiyah, dijelaskan, orang yang berdzikir kepada Allah Swt tanpa disertai adab yang sempurna, hanya sedikit manfaat yang diperolehnya, dan bahkan tidak akan sampai keharibaan-Nya. [48]
أَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ خَلَتْ عَنِ الأَدَبِ فَهُوَ قَلِيْلَةُ الجَدْوَى. وَأَجْمَعَ الأَشْيَاخُ أَنّ العَبْدَ يَصِلُ بِعِبَادَتِهِ إِلَى حُصُولِ الثَوَابِ وَدُخُولِ الجَنَّةِ. وَلاَ يَصِلُ إِلَى حَضْرَةِ رَبِّهِ إِلاَّ إِنْ صَحِبَهُ الأَدَبُ فِي تِلْكَ العِبَادَةِ.
Sesungguhnya setiap ibadah yang sepi (kosong) dari adab, maka sedikit manfaatnya. Ijma’ (kesepakatan) para Guru Ruhani : Sesungguhnya seseorang dengan ibadahnya akan memperoleh pahala dan masuk surga. Dan tidak dapat sampai (wushul) keharibaan Tuhannya, kecuali yang disertai adab.
Menjaga adab yang sebaik ketika mengamalkan shalawat Wahidiyah, antara lain  :
a.        Hudlur : hati sowan/ menghadap/ ingat kepada Allah Swt.
b.        Memulyakan dan mengagungkan (ikraman), menghormat  (ta’dzim) dan mencintai (mahabbah) Rasulullah Saw. Karena bacaan shalawat dari mukmin (berada dimanapun) akan sampai kepada Rasulullah Saw.
Tidak menempatkan Rasulullah Saw sebagaimana ketentuan-Nya, merupakan perbuatan merendahkan derajatnya.
1.   Hadis riwayat Imam Muslim, dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:[49]
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Janganlah kamu jadikan rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburku seperti hariraya, kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawatmu samapi kepadaku dimanapun kamu semua berada.
          Dalam penglihatan Allah Swt dan malaikat, rumah akan tampak seperti kuburan, jika tidak digunakan untuk bershalawat  nabi. berlama diatas kubur rasul juga merupakan suatu perbuatan yang kurang diizinkan oleh Islam. Karena bershalawat dari tempat manapun akan sampai kepada Rasulullah Saw.
2.   Hadis riwayat Imam Thabrani dan Imam Ibnu Majah dari Abu Darda’. Ia berkata : Rasulullah Saw bersabda  : [50]
وَإِن أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ وَبَعْدَ المَوتِ؟. قَالَ :  إِنَّ اللهَّ حَرَّمَ عَلَى الأرْضِ أَنْ تَاْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Dan tidaklah seseorang yang bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan kepadaku sampai ia selesai bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah mati?. Jawab (Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada bumi (masa) memakan (merusak)  jasad para nabi. Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.

c.        Merasa rendah dan hina (TADZALLUL), sangat membutuhkan pertolongan (IFTIQAR) dan merasa berlarut-larut penuh dengan dosa (TADZALLUM) dihadapan Allah Swt, dihadapan Rasulullah Saw dan dihadapan Ghauts Hadzaz Zaman Ra. Berdosa kepada para waliyullah, kepada kedua orang tua, kepada keluarga, kepada guru, kepada murid, kepada pemimpin, kepada yang dipimpin, kepada ummat dan masyarakat bahkan kepada sesama mahluk pada umumnya. Dan merasa diri sangat lemah, sangat membutuhkan ampunan, taufiq dan hidayah-Nya, serta sangat membutuhkan syafaat dan tarbiyah Rasulullah Saw, dan membutuhkan, dukungan barakah dari Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
Kalau mata hati telah terbuka, semestinya, setiap manusia memiliki dosa. Hanya disebabkan oleh ego, serta ujub (banggak dengan amal), mereka tidak menyadarinya. Dalam hadis diterangkan; sebaik-baik manusia adalah mereka yang menyadari kelaliman dirikemudian bertaubat.
1.        Dalam hadis qudsi Allah Swt berfirman : كُلُّ بَنِي أدَمَ خَطَّاؤونَ وَخَيْرُ الخَطائِيْنَ التَوَّابُونَ :   Seluruh anak cucu Adam itu penuh kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik pendosa adalah mereka yang bertaubat.[51]
2.        Qs. al-An’am : 122 : أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَاسِ :
Adalah (mereka) orang-orang yang mati hatinya. Kemudian Kami menghidupkannya. Dan Kami jadikan untuknya cahaya yang terang(Dan) yang dengan nur itu, ia berjalan ditengah-tengah manusia.
3.        Hadits riwayat Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda : [52]
إِنَّ اللهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena nur, maka ia mendapat hidayah, dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.  
d.        Merasa makmum kepada Rasulullah Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra.
e.        Berkeyakinan kalau mujahadahnya diterima oleh Allah Swt (jangan sampai ragu).
f.         Berniat semata-mata beribadah  kepada Allah Swt  dengan  ikhlas  tanpa  pamrih suatu apapun, baik duniawi maupun ukhrawi, misal supaya begini supaya begitu, ingin pahala, ingin surga dan sebagainya. Sungguh-sungguh tulus ikhlas karena Allah (LILLAH). Disamping niat LILLAH, supaya niat mengikuti Rasulullah Saw (LIRRASUL) dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra (LILGHAUTS). Jadi ketiga niat tersebut dilaksanakan bersama-sama.
g.        Disamping niat LILLAH, LIRRASUL dan LIL-GHAUTS seperti diatas, supaya merasa bahwa dapat melakukan ini semua, karena pertolongan dari Allah dan karena digerakkan oleh Allah Swt, sebagai penerapan BILLAH.
h.        Disamping sadar merasa BILLAH, supaya juga merasa BIRRASUL. Artinya merasa menerima atau mendapat jasa dari Rasulullah Saw.
Diriwayatkan dari Umar Ibn Khatthab ra. Dia berkata : Ketika aku berangkat Umrah, aku minta izin kepada Rasulullah Saw. [53] Dan Beliau memberikan izin kepadaku serta bersabda  :  لاَ تَنْسَنَا يَاأَخِي مِنْ دُعَائِكَ  : Janganlah engkau melupakanku wahai saudaraku didalam doamu.  melupakan Kami (Rasulullahwahai saudaraku dalam do’amu.
Dalam redaksi lain [54] riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi ra, kepada Umar, Rasulullah Saw bersabda : أَشْرِكْنَايَاأَخِي فِي دُعَاءِكَ : Saudaraku, jadikanlah Aku sebagai kawan, didalam do’amuHadis inidiperjelas oleh Qs, al Fatah, ayat 8 & 9 : 
اِنَّا أَرْسَلْنَا كَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذ ِيْرًا  لِتُؤْ مِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ
Sesungguhnya Kami (Allah) mengutus Engkau menjadi saksi, dan sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan. Agar mereka semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
     Tentang arti “sebagai saksi” dalam ayat diatas, Syeh Nabhani, menjelaskan fatwa para ulama kaum sufi dan waliyullah yang mengatakan [55]
وَالشَاهِدُ لاَ بُدَّ أَنْ يَكُوْنَ حَاضِرًا لِلمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَنَاظِرًا لِلمَشْهُودِ بِهِ فَعُلِمَ أَ نَّهُ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَالِئُ كُلِّ العَالَمِ وَحَا ضِرٌ فِي كُل زَمَانٍ
     Sebagai saksi, artinya sudah pasti (Rasulullah Saw) senantiasa menghadiri kepada orang yang disaksikan. Maka, telah pahami (oleh para ulama) bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw itu memenuhi alam semasta dan hadir disetiap zaman.
i.          Setelah bermujahadah, meyakini Allah Swt mengijabahi doanya,   فَإِذَا دَعَيْتُمْ فَأَيْقِنُوا بِالإِجَابَةِ Jika kamu selasai berdoa, maka percayalah dengan terijabahnya.
Dan, untuk mengakhiri pembahasan ini, mari bersama-sama mengadakan penghormatan kepangkuan Rasulullah Muhammad Saw dan Hadlratul Mukarram Ghauts Hadzaz Zaman Ra dengan setepat-tepatnya. Penghormatan yang tidak sesuai dengan kedudukan yang ada pada Rasulullah Saw dan Ghauts Ra, bisa-bisa akan menjadi penghinaan kepadanya.  

Al-Fatihah .....



[1].   Kutipan dari buku Bahan Upgrading Dai Wahidiyah (cetakan YPW Pusat).
[2]      Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin-nya Ibnu Allan al-Azizi, juz  I/ 442.
[3].     Istilah yang masyhur dalam memerangi nafsu : takhalli (membersihkan hati dari sifat tercela, tahalli (mengisi hati dengan sifat terpuji) dan tajalli (Allah Swt membuka hati mukmin, hingga dapat melihat kebesaran-Nya_.
[4].     Terlepas setuju atau tidak, ayat diatas dijadikan oleh kaum sufi sebagai pendorong dalam mengamalkan amalan sunnah (amal shalih/ THARIQAH) secara istiqamah. Dan alhamdulillah setelah mereka mengamalkan amalan sunnah (thariqah) yang didapatkan dari Guru Mursyidnya, mereka mendapatkan fadlal dan rahmat dari Allah Swt, berupa ketenangan dan kedamaian batin, mudah ingat kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mudah melihat dosa dan aib diri sendiri, serta tercapainya kelancaran, dan barakah dalam kehidupan keluarga.
[5].     Kata “MUHSIN” sebagai  akar dari kata “ihsaan” yang memiliki arti : orang yang imannya telah mencapai derajat “IHSAN” yang dapat diartikan  sebagaimana keterangan dalam sabda Rasulullah Saw:  الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ Ihsan adalah sekiranya engkau beribadah kepada Allah, merasa seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu (HR. Bukhari)  . 
[6].     Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna Sunnatan”.  Hadis ini juga diriwatkan oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu Abdullah Ra.  
[7]      Kitab Dalil al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz  I / 442.
[8].     Kitab Syawahid al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[9].     Kitab Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama masyhur dikalangan kaum sufi (buku Fuyudlat ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (kumpulan keputusan mu’tamar jam’iyah thariqah Indonesia), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam item keputusan  ketujuh, pada bahasan ke 161 dan 162.
[10].    Dalam menentukan derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah terbukukan dalam kitab Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lainnya. Hingga generasi berikunya, tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian) kwalitas hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya. Berlainan yang dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan danmemungkarkan hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[11].    Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil” Bairut, tahun 1974, menjelaskan :
فَقِيْهًا صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا                  فَإِنِّـي  وَحَـقُّ اللهِ  إِيَّاكَ  أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ يَذُقْ    تُقًى                 وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi pembimbing.
            Disini perlu diperhatikan, teks syair Imam Syafii tersebut, anehnya tidak terdapat dalam cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl. Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
            Dalam buku ini, diterangkan juga bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya, mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan dipalsukan.
[12].    Hadis shahih riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam jalaluddin Suyuthi pada  juz II dalam bab “wawu”.
[13].      HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada  juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[14].    Kitab Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang istighatsah kepada Nabi Saw”.
[15].    Hadis ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ : 107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali sebagai rahmat kepada alam.
[16].    . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab “alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[17].    HR. Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[18].    Kitab as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I pada pasal 1.
[19].    Kitab al-Ghunyah dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab “al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[20].    Kitab Thabaqaat al-Kubra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II, kisah Syeh Ibnu Makhala.
[21].    Kitab al-Anwarul Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”. Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan dalam Islam.
Shalawat Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah (sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai keluhuran budi).
[22].    Ibid. Dalam  bab “sanadul qaum”,  Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya (sambungan jiwa) dengan Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[23].    Diantara tanda benar dan sahnya suatu tarekatantara dapat membawa pengamalnya dekat dengan sedekat mungkin  kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat tersebut dinilan batal. Lihat kitab al-Anwarul Qudsiyah al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul qaum”
[24].    Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi, juz I bab alif. Atau  kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[25].    Kitab Kasyful Khifa’, juz I, nomer hadis : 501.
Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra (w. 973 H), menerangkan  :
أَنَّ جَمَاعَةً بِبِلاَدِ اليَمَنِ لَهُمْ سَنَدٌ بِتَلْقِيْنِ الصَلاَةِ  وَالسَلاَمِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ فَيُلَقِّنُونَ المُرِيْدَ ذَالِكَ, وَيَشْغِلُونَ بِالصَلاَةِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ, فَلاَ يَزَالُ مِنْهَا حَتَّى يَصِيْرَ  يَجْتَمِعَ بِالنَبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً. وَيَسْاَلُهُ عَنْ وَقَائِعِهِ كَمَا يَسْاَلُ المُرِيْدُ شَيْخَهُ فِي الصُوفِيَةِ. وَأَنَّ مُرِيْدَهُمْ يَتَرَقَّي بِذَالِكَ فِي أَيَّامٍ قَلاَئِلَ. وَيُسْتَغْنَى عَنْ جَمِيْعِ الأَشْيَاخِ بِتَرْبِيَتِهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ.
Sesungguhnya terdapat sekelompok orang dinegeri Yaman. Mereka memiliki sanad thariqah dengan talqin (ijazah) shalawat kepada Rasululillah Saw. Mereka (GURU MURSYID) mentalqin murid dengan talqin shalawat. Para murid menyibukkan diri dengan shalawat kepada Rasulillah Saw. Mereka tidak henti-hentinya dengan shalawat tersebut hingga dapat berkumpul bersama dengan Nabi Saw secara jaga dan tatap muka. Mereka menanyakan kepada (Nabi Saw), tentang keadaan mereka sebagaimana murid bertanya kepada Gurunya dalam ilmu tasawuf. Dan murid tersebut dapat naik (keimanannya) dalam waktu sebentar. Dan para murid tidak membutuhkan Guru Ruhani lagi, disebabkan mendapat pendidikan Rasulullah Saw. (kitab al-Anwarul Qudsiyah, bab Sanadul Qaum). 
[26].    HR. Abu Nuaim al-Isfahani (kitab Sa’adah, Syeh Nabhani bab III, dan Afdlalus Shalawat pasal 4.
[27].    Kitab Sa’adah ad-Daraini-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra dalam bab III. Dan dalam kitab Tafsir Shawi pada penjelasan ayat 56 surat al-Ahzab juga dijelaskan :
    فَقَدْ وُسِعَتْ رَحْمَةُ النَبِيِّ كُلَّ شَيْئٍ تَبْعًا لِرَحْمَةِ اللهِ فَصَارَ بِذَالِكَ مَهْبَطَ الرَحْمَاتِ وَمَنْبَعَ التَجَلِّيَاتِ.
          Telah diluaskan rahmat Nabi (Saw) kepada segala sesuatu, karena mengikuti rahmat Allah. Maka, (Beliau Saw) sebagai tempat turunnya rahmat dan tempat memancarnya tajalli (Nya).
[28].    Kitab Afdlalus Shalawat-nya Syeh an-Nabhani dalam pasal.
[29].    Lihat kitab Afdlalus Shalawat, Syeh Yusuf an-Nabhaani Ra (w. 1933 M), dalam pasal 4. Sejalan dengan Syeh an-Nabhani Ra, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) dalam kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah pada sanad talqin menjelaskan :
[30].   Keterangan yang sepadan (tentang riyadlah 40 hari/ malam), juga dijelaskan dalam Qs. Al-Baqarah :  51 :    وَإِذْ وَعَدْنَا مُوْسَى أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً  : Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (setelah) empat puluh malam. Namun, pada keterangan firman selanjutnya, Allah Swt murka kepada kaum Bani Israil, karena mereka menjadikan berhala sebagai sarana pendekatan kepada-Nya, padahal sudah ada penjelasan dari nabi Musa As.  (: ثُمًّ اتَّخَذْتُمُ العِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُوْنَ Kemudian kalian mengambil (menjadikan) patung emas (sebagai sarana pendekatan kepada-Nya) setelahnya. Dan kalian memang orang-orang yang berbuat dlalim.
Dalam tafsir Shawi juz I, diterangkan ;  bahwa janji Allah Swt kepada Nabi Musa As setelah melaksanakan riyadlah selama 40 hari/ malam, Allah Swt memberikan fadlal-Nya berupa kitab Tuarat untuk dijadikan pegangan hidup oleh ummatnya.
[31]  Dalam ayat 142 – 144 surat al-A’raf ini dijelaskan; Allah Swt ber-tajalli (menampakkan Diri-Nya) pada gunung. Sedangkan dalam hadis riwayat Imam Muslim (Shahih bab “menjenguk orang sakit”),  Allah Swt ber-tajalli pada mukmin yang terbaik pada setiap waktu.
[32].   Pengamalan sunnah (THARIQAH) selama waktu 40 hari, juga merupakan sunnah Nabi Daud As (kitab al-Ghunyah Syeh Abdul Qadir Jailani juz I bab “al-itti’adz bi mawa’idzil Qur’an” pasal ke 22 :
      فَبَكَى (دَاود) أَرْبَعِيْنَ يَومًا وَهُوَ سَاجِدٌ حَتَّى نَبَتَ العَشَبُ مِنْ دُمُوعِهِ فَرَحِمَهُ اللهُ
        Menangislah (Nabi Daud) selama 40 hari serta ia dalam keadaan sujud, hingga tumbuhlah rumput dari air matanya, kemudian Allah Menyayanginya.
[33].   Lihat kitab Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas, juz II nomer hadis : 2359, dan kitab Awariful Ma’arif-nya al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra (w. 672 H) dalam bab “kekhususan amalan 40 hari dalam kalangan kaum sufi”.
[34].   Kitab Jami’ as-Shagir dalam juz II pada bab “harful kha’)
[35].   Kitab Kasyful Khifa’ wa Munziilul Ilbaas, juz II, nomer hadis 2246.
[36].   HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas Ra. Kitab Jami’ as-Shagir juz II/ “miim”, dan HR. Muslim dari Abdullah Ibn Abas, kitab Riyaadl as-Shalihin, bab “raja”, nh : 19.
[37].  HR.  Ibnun  Najjar dari Abu Said Rasulullah  Saw bersabda (kitab Jami’ as-Shaghir, juz II/ “mim”) :
      مَنْ حَفِظَ عَلَى أُمَّتِي أَرْبَعِيْنَ حَدِيْثًا مِنَ سنَّتِي أَدْخَلْتُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ فِي شَفَاعَتِي
        Barang siapa yang menghapal untuk ummatku 40 hadis dari sunnahku, maka aku memasukkannya kedalam syafaatku dihari kiamat.
[38].   Buku Risalah Tanya Jawab Shalawat Wahidiyah Dan Ajarannya (cetakan PW Pusat), dengan sedikit penyempurnaan.
[39].    Lihat penjelasan tujuan shalawat dalam ”jilid I pada bab redaksi shalawat”.
[40].    Dalam kitab al-Adzkar-nya Imam Nawawi Ra pada nomer hadis : 342.
[41].    HR. Ibnu Majah (Sunan, nh : 906). Dan Imam Thabrani (9 : 8594), lihat kitab Jala’al-Afham, nh: 25. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mardawiah, Abd Ibn Humaid.
[42].    Kitab as-Syifa, juz II, dalam fasal “shalawat kepada selain Rasulullah Saw “.
[43].    Rasulullah Saw brsabda (kitab Jawaahir al-Bukhaari-nya Mushthafa Muhammad Amarah, nh : 11) :  لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْن:  Belum sempurna iman kamu semua, sehingga AKU (Rasulullah) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh menusia. Kitab as-Syifa’ juz II bab “Mhabbaturasulul”.
[44].    Kitab Jawaahir  al-Bukhari, hlm : 22 – 23. Dan kitab Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari oleh Imam Ibnul Hajar al-‘Asqalani, terbitan” Pustaka Azzam” Jakarta, cetakan ke 3,  tahun Juli 2003 pada  buku I,  hlm : 98/ 99.
[45].    Kitab as-Syifa’, juz II dalam bab 2.
Dalam kamus Islam, masa ulama terbagi kedalam dua masa. Pertama, masa salafus shalih , yakni para ulama dari abad pertama sampai akhir abad ketiga hijriyah (masa sahabat, tabi’in atau tabi’ut tabi’in). Kedua, masa khalaf, yakni para ulama setelah abad ketiga hijriyah.
[46].    Kitab Sa’adah ad-Daraini halaman 462.
[47].    Hadis yang diriwayatkan dari sahabat Jabir Ibn Abdullah ra. Kitab as-Syifa’ juz II dalam bab II, pada pasal kedua. Dan dalam kitab Jala’ al-Afham-nya Ibnul Qayyim pada nomer hadis : 69 dan 70, hadis yang sepadan juga diriwayatkan oleh Thabrani  dari Abdur Razaq, dan Imam Sakhawi berkata : hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan al-Bazzar (dalam al-Musnad) serta Abdur Razaq dalam al-Jami’, Ibnu Ashim dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah, yang semuanya dari Ibnu Ubaidillah, hanya saja ia (Ibnu Ubaidillah dinilai dlaif).
[48].    Kitab al-Anwarul Qudsiyah-nya Syeh Sya’rani, dalam bab “adab dzikir”.           
[49].       Hadis diatas juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan sanad yang shahih, juga dari jalur Abu Hurairah ra, lihat kitab al-Adzkar an-Nawawi, nh : 344.
[50].    Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah (shahih). Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (kitab Jalaul Afham, bahasan sanad hadis diatas). Meski demikian, makna hadis Abu Darda’ diatas shahih. Karena didukung oleh beberapa hadis lain. Dalam kitab al-Adzkar, Imam Nawawi Ra, nh : 342), Rasulullah Saw bersabda (HR.  Abu Daud, Ibnu Majah) :
          فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ. فَقَالُوا : يَارَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى الأَرْضِ أَنْ يَأْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءِ
      Sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku. Sahabat bertanya : bagaimana shalawat kita sampaik kepadamu, sedangkan engkau telah rusak (tulang dan daging). Rasul bersabda : Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi.
[51].   HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim (kitab Jami’as-Shagir, Ima Suyuthi juz II/ “kaaf”. Atau kitab Kasyful Khifa’  juz II/ nomer hadis : 1967. 
[52].      Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam ayat  122  pada  surat   al-An’am.
[53].   Dalam kitab Dalilul-Falihin-nya Syeh Muhammad Ibn ‘Allan dalam jilid II, bab “Ziyarah Ahlil Khair”, nh : 14, dalam menjelaskan ASYRIKNAA, : mengatakan bahwa kebanyakan para ulama memberikan arti dengan : إجْعَلْنَا شُرَكَاءًا مَعَكَ jadikanlah Aku sebagai kawan  bersamamu(Sunan Timidzi dalam “ad-Da’awaat”, atau dalam Sunan Abu Dawud dalam “as-Shalat” bab “ad-du’a”).
[54].  Ibid (Dalilul Falihin).
[55].   Kitab Sa’adah ad Daraini halaman 461–462.

No comments:

Post a Comment