Monday, February 3, 2014

017.01.317 - HAL GHAUTSIYAH - Pembimbing Ruhani

017.01.317 -  HAL   GHAUTSIYAH -  Pembimbing Ruhani

I. 01. 317 "BAHASAN UTAMA - Kuliah wahidiyah" 


Manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh. Ia mengenal alam dan lingkungannya setelah mendapat arahan dari orang tua, pengasuh atau orang lain. Tanpa mereka, seseorang sangat lamban dalam mengenal dirinya dan alam lingkungannya.
1.       Antara Insan Kamil atau Setan/ Nafsu.
Manusia akan lurus dan benar tindakan dan prilakuknya, bila ia memiliki ilmu yang benar. Dapat memiliki ilmu yang benar, bila manusia mendapatkan seorang pembimbing yang ilmunya benar pula. Demikian pula sebaliknya. Manusia akan terjerumus bila memiliki guru pembimbing yang ilmunya salah.
Tidak semua orang pandai dapat dijadikan guru. Setiap mukmin wajib selektif dalam memilih guru. Sebagaimana keterangan hadis riwayat Iam Muslim dan Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
Ilmu ini, adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.
Allah Swt telah menghendaki, manusia berwatak paternalistik, (membutuhkan/ mengikuti seorang tokoh sebagai panutan). Tujuan utama diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun umat dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam memahami ketuhanan Allah Swt. Semua orang sepakat, bahwa tidak seorangpun dalam memahami agama tanpa guru pembimbing. Namun, mereka berbeda dalam memahami tugas guru. Diantara mereka ada yang berpendapat, tugas guru hanyalah memperkenalkan dan menjelaskan ilmu atau ajaran agama, dan fungsi ilmu agama sebagaimana fungsi ilmu lainnya yang bersifat member informasi saja. Ada pula yang berpendapat, - disamping menjelaskan dan menginformasikan -, tugas guru yang paling adalah mengantar dan menemani manusia dalam pendekatan kepada Allah Swt.  Dan pula, yang berpendapat, guru adalah pancaran rahmat dan anugrah Tuhan untuk makhluk semesta. Jenis guru yang terakhir, adalah guru yang berpangkat ghautsiyah yang hanya satu orang dalam setiap saat. 
Rasulullah Saw merupakan nabi akhir zaman yang mana ulasan tentang ketuhanan yang dibawanya telah mencapai kesempurnan. Namun, sepeninggal Beliau Saw, diantara mukmin perbedaan terjadi penafsiran yang sangat tajam. Masing-masing saling mendakwa dirinya yang paling benar. Bahkan, kepada seseorang yang berseberangan dengan tafsirannya, dikatakan berseberangan dengan prinsip (sunnah) rasul, padahal baru bersebarangan dengan tafsirannya.
 Dalam memahami al-kalangan kaum sufi, berlaku sebuah prinsip yang sangat paten lagi teramat penting,  bahwa manusia berada antara dua penuntun, nafsu (setan yang telah menyatu dengan jiwa, ke-ego-an) atau mursyid yang kamil. Manusia, jika jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang kamil (menurut Allah Swt wa Rasulihi Saw), pasti dipandu oleh nafsu. Dan demikian sebaliknya. Tidak dua pemandu dalam jiwa dan fikiran manusia. Memiliki Guru ruhani yang Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang.
Berdasar beberapa hadis dan ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk meluruskan iman, Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[1] menjelaskan  :
  مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ 
Barang siapa tidak memiliki guru, [2] maka ia tidak ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka setanlah pembimbingnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra (dan penjelasan ini telah disepakati oleh pawa auliyaillah Ra) :
 مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ
            Barang siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
Dalam beragama, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar ahli. Firman Allah Swt, Qs an-Nahl :  43  :
  وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْن  
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau kecuali seorang lelaki yang Kami memberikan wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada para ahli dzikir, sekiranya kamu semua tidak  mengetahui.
Dan pada ayat lain dijelaskan, untuk memahami keberadaan Allah Swt, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar memahami-Nya. Qs. al-Furqan : 59 :
الذِي خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ الرَحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيْرًا
 Dia Dazt Yang menciptakan langit dan bumi beserta sesuatu yang ada didalmnya dalam enam masa. Kemudian Allah berberkuasa diatas arasy. (tentang) Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah kepada orang yang memahami-Nya (yakni Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Sangat sukar mencari guru yang dapat mengantarkan kepada iman, Islam dan ihsan, atau guru yang diridlai oleh Allah Swt. Karena sangat sukarnya, para waliyullah mengibaratkan, bagaikan mencari belerang merah. Mengapa demikian ?. jawaban yang tepat, karena kebanyakan manusia, dalam menuntut ilmu-ilmu agama, bukan untuk diamalkan, akan tetapi hanya untuk meningkatkan status sosial serta mencari simpati ditengah-tengah masarakat. Sebagaimana yang tersari dalam sabdaRasulullah Saw :  
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهَنمََ
            Barang siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. [3]
Rasulullah Saw menerangkan, diantara tanda-tanda orang diridlai oleh Allah Swt, ketika bertambah ilmunya, maka bertambah hidayahnya serta tidak tenggelam dalam tipuan, kehormatan dunia.
                   مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا.  مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
                        Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah kecuali jauh dari Allah. Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak bertambah zuhud-nya  maka tidak bertambah, kecuali semakin  jauh dari Allah.  [4]
Sebagai pengamal atau khadimul wahidiyah, untuk meningkatkan kemawasan diri, patut jika kita senantiasa mengingat-ingat peringatan kedua hadis diatas.
Orang yang dimurkai oleh Allah Swt tidak boleh dijadikan guru dalam agama. Yaitu orang yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan, tetapi hanya untuk mencari kehormatan  dihadapan manusia, bukan untuk memahami hakikat dunia, tetapi untuk meraihnya. Diantara tanda-tanda orang yang dimurkai-Nya,  ialah oaring yang kabaikannya hanya terdapat pada kepandaian berbicara, sedangkan prilakunya bertentangan dengan yang diucapakannya, ia membaca al-Qur,an, namun tidak menghayati maknanya.
Hadis riwayat Abu Daud, Rasulullah Saw bersabda  : [5]
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ حَتَّى يَرْتَدَّ  عَلى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu) kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an.  Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek mahluk  (a).   
قَامَ فِي النَاسِ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الدَجَّالُ فَقَالَ : إِنيِّ لآُنْذِرُكُمُوهُ مَامِنْ نَبِيٍّ إلآّ َقَدْ أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ وَلَكِنِّي سَأَقُولُ لَكُم فِيْهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِيُّ لِقَوْمِهِ إِنَّهُ أَعْوَرٌ.
Nabi Muhammad Saw berdiri ditengah-tengah manusia. Beliau menyebut nama dajjal. Beliau bersabda : Sesungguhnya Aku mengingatkan kamu semua tentang dajjal.  Tidak ada Nabi kecuali telah mengingatkan kaumnya tentang (dajjal). Sungguh Nabi Nuh telah mengingatkan kaumnya tentangnya.  Akan tetapi Aku akan menerangkan sesuatu kepadamu tentang dajjal yang belum pernah diterangkan oleh para nabi kepada kaumnya. “Ia (dajjal) itu matanya buta satu salah satu (b).
قَالَ : إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ بَعْدَ نُوحٍ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرّ الدَجَّالَ قَوْمَهُ وَإِنِّي أُنْذِرُكُمُوهُ , فَوَصَفَهُ لَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَقَالَ :  لَعَلَّهُ سَيُدْرِكُهُ مَنْ قَدْ رَأَنِي وَسَمِعَ كَلاَمِي
Sungguh tidak ada nabi setelah Nabi Nuh, kecuali ia telah mengingatkan (dengan sungguh-sungguh) tentang dajjal kepada  kaumnya.  Kemudian kepada kami Rasulullah Saw menjelaskan sifat-sifat dajjal. Kemudian Beliau bersabda  : “Semoga dapat mengetahui dajjal, orang-orang yang dapat melihat Aku dan memahami sabda (hadis)-ku” (c).
Allah Swt melarang umat Islam berguru kepada seseorang yang hatinya banyak lupa kepada-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28  :
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan memang dia melampaui batas.
Mengikuti orang yang hatinya lupa kepada Allah Swt (baik melupakan Allah Swt sebagai Penguasa makhluk atau lupa kepada ancaman dan siksaan-Nya), berarti mengikuti ajakan hawa nafsu. Setiap orang, disaat hatinya lupa kepada Allah Swt, pasti setan akan datang menghampirinya, dan kemudian membelokkan pemahaman orang tersebut dari kebenaran, dan mereka mengira masih berada dalam hidayah-Nya, padahal telah berada dalam genggaman setan. Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36 – 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119   :
  وَمَنْ يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِيْنًا 
Sesiapa saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong  dan   kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Seorang salik harus selektif dalam memilih guru. Al-Quran menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti adalah ulama yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah berinaabah kepada-Nya. Firman Allah Swt : [6]
 وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu kembali. (Qs. Luqman : 15).
          Kata ثُمَّ  = kemudian, dalam ayat diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu berinaabah, dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali kepada Allah Swt.
Dan iman, Islam dan ihsan itu hanya diberikan oleh Allah Swt kepada orang yang terbaik dalam setiap generasi. HR. Imam Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda : [7]
يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ يَنْفَوْنَ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
Ilmu ini akan dibawa (diwarisi) oleh orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim, membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan penafsiran kaum yang bodoh.


E.       Ulama Waratsatul Anbiya
Setiap orang (lebih-lebih yang telah dianggap masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai pengkhianat sunnah rasul. Mereka mendakwakan dirinyalah orang (ulama) yang paling sesuai dengan sunnah rasul. Eronis sekali, kenyataan yang terjadi dalam kehidupam ummat era dewasa ini. Namun, sebagai mukmin, kita tidak boleh berputus asa. Sebab Rasulullah Saw memberitahukan, bahwa Allah Swt senantiasa menurunkan seorang ulama sebagai pengganti dan penerus risalah Islam. Hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda   : [8]
وَإِنَّهُ لاَ نبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَائِي 
Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudah-Ku, dan yang akan ada para khalifah-Ku
Ulama yang yang ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifatur rasul senantiasa bertaqwa dan benar-benar takut kepada-Nya.
Firman Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
 إنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء  
 Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah para ulama.   
Tentang makna ulama yang dimaksud dalam  surat Fathir ini, al-Ghauts fi Zamanihi Imam al-Qusthalani Ra (w. 858 H) menjelaskan  :
الذِينَ عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ أَخْشَى اللهَ. وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
Orang-orang yang alim tentang kekuasaan dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah lebih takut. Dan karenanya Rasulullah Saw bersabda : Akulah orang  yang paling takut kepada Allah diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya. [9]
Malu dan takut merupakan sifat reflek dari manusia. Dan iman yang telah tertanam didalam hati, akan menumbuhkan rasa malu dan takut secara reflek pula. Ulama bukan malaikat. Dia adalah manusia, yang dapat terpeleset dalam kekeliruan. Diantara ukuran keulamaan seseorang terletak pada perasaan malu dan takut kepada Allah Swt ketika terperosok pada kemaksiatan. Seorang ulama yang hakiki, adalah seseorang yang didalam hatinya akan muncul perasaan malu dan takut kepada Allah Swt, ketika terpeleset kepada kemaksiatan.  Dan kemudian segera bertaubat dan membenahi diri. Ulama seperti inilah yang disifati oleh Rasulullah Saw sebagai pelita dunia.
HR. Abu Daud, Nasa'i dan Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda  :
العُلَمَاءُ سِرَاجُ الدُنْيَا.  العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ العَالَمِ
Ulama adalah pelita dunia.  Ulama adalah pelita alam.
Hadis ini dapat juga dipahami dengan makna lain. Yakni, ulama yang menjadi penerus risalah Islam, akan diberi karamah oleh Allah Swt sebagai pelita dunia. Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu untuk menjelaskan halal dan haram. Dengan ilmunya ulama ini, ummat tersinari dan kemudian dapat memahami hukum-hukum Allah Swt yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para waliyullah (al-Ghauts Ra) diberi karamah berupa radiasi batin yang bermanfaat untuk mengantar dan membimbing manusia sadar kembali serta makrifat kepada Allah wa Rasulihi Saw.
Pengertian ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (pendiri madzhab fiqih, ulama sufi dan ahli dalam bidang hadis) membaginya kedalam 3 (tiga) bagian  : [10]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ  بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ  يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ,  وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga kelompok;  Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka. [11]
Penjelasan Imam Sufyan Tsuary Ra  (guru Imam Syafi’i) tentang ukuran waratsatul anbiya’, ditentukan oleh tiga hal. Pertama; dari sifat khasy’yah (benar-benar takut) seseorang kepada Allah Swt. Kedua, dari kemampuan memahami dan mengetrapkan ilmu LILLAH dan BILLAH. Ketiga, dari penguasaan terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah maupun batinyah. Seorang ulama yang memiliki dan menguasai ketiga ilmu diatas, dialah ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
Sayyidina Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalaib Ra bersabda  : [12]
العِلْمُ عِلْمَانِ فَعِلْمٌ فِي القَلْبِ فَذَاكَ العِلْمُ الناَفِعُ وَعِلْمٌ عَلَى اللِسَانِ فَذَاكَ حُجَّةُ اللهِ عَلَى ابْنِ أَدَمَ
Ilmu itu ada dua : ilmu yang ada dalam hati dan itulah ilmu yang manfaat, serta ilmu yang ada diatas lisan dan itulah hujjah (bukti kebenaran) untuk anak Adam.
Para ulama waratsatul anbiya tersebut, membawa “Nur Ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah Saw. Mereka diberi kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagai sarana, tempat dan pintu untuk menghormat Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Hadis riwayat Abu Daud Rasulullah saw bersabda  :[13]
  مَنْ أَكْرَمَ عَالِمًا أَكْرَمَنِي وَمَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمَ الله
Barang siapa menghormat orang yang alim berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan barang siapa menghormat aku berarti ia telah menghormat Allah.
Hadis riwayat al-Khathib al-Bagdadi, Rasulullah Saw bersabda  : [14]
أَكْرِمُواالعُلَمَاءَ فَإِنَّهُم وَرَثَةُالأَنْبِيَاءِ فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقََدْ أَكْرَمَ اللهَ وَرَسُولَهُ
Mulyakanlah para ‘ulama, karena sesungguhnya mereka itu pewaris para nabi. Barang siapa yang memulyakan mereka berarti memulyakan Allah dan Rasul-Nya.


Dalam al-Qur'an dan hadis telah dijelaskan, bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan dari semua mahluk, dan sekaligus - dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya -, sebagai penjaga kelestarian alam semesta. Dan atas izin dan perintah Allah Swt semata, setelah kepulangan Rasulullah Saw kehadirat Allah Azza wa Jalla, nur ilahiyah tersebut diwariskan kepada para ulama penerus risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada ulama pewaris ilmu lahir, dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin. Sedangkan yang kita bahas dalam makalah ini, hanya berkaitan dengan ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin, yakni para auliyaillah, dan khsusnya al-Ghauts Ra.
Mereka Tanda-tanda ulama pewaris sirri (kemampuan batin) rasul, antara lain :
a.                 memiliki tugas – dengan doa dan karamahnya - sebagai penjaga kelestarian bumi dan isinya. Allah Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Anbiya’: 106 :
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
 Sesungguhnya bumi itu milik Allah, yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya (Qs. al-Anbiya’ : 106).
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ 
Dan sungguh telah Kami tulis dalam Zabur, setelah (tertulis) dalam lauh mahfudz, sesungguh-
nya bumi ini diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih.
Para pembesar ulama kaum sufi dan para auliyaillah, mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan dalam ayat ini, adalah pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah. Mereka dibekali oleh Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam (lahu sirrun yasri fil alam).
Dalam ayat al-Qur’an yang lain, diterangkan Nabi Zakaria As – dengan izin Allah Swt -, mewariskan jabatan kenabian kepada Nabi Yahya As. Allah Swt berfirman, Qs.Maryam : 5 – 6  :
 فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَاضِيًّا
 (Nabi Zakariya As berdoa) : [15] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku dan dari keluarga Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, orang yang ridlai (kepada-Mu).
b.            Mewarisi ilmu Rasulullah Saw. Hadis riwayat Imam Bukhari sabda Rasulullah Saw :
زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Rasulullah Saw  bersabda:
     اِنَّ مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ فَاِذَا نًطَقُوا بِهِ لَمْ يُنْكِرْهُ اِلاَّ اَهْلُ الاِغْتِرَارِ بِاللهِ
 Sesungguhnya  ada  sebagian  ilmu  yang  dirahasiakan, tidak dapat mengetahuinya kecuali oleh ‘Ulama Billah. Maka apabila mereka (ulama Billah) mengungkapkannya, tidak seorang-pun  yang membantahnya,  kecuali  orang-orang yang tidak paham tentang Allah.[16]
Sahabat Abdullah bin Masud Ra menjelasakan : [17]
      لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا العِلْمُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي القَلْبِ
Ilmu itu, bukan karena banyaknya bercerita. Sesungguhnya ilmu adalah “nur” (ilahiyah) yang diletakkan didalam hati.
c.             Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci sebelumnya.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami (Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami”.  (Qs, Fathir : 32).
Setelah Rasulullah Saw pulang kerahmatullah, kandungan al-Qur’an diwariskan kepada hamba yang dipilih oleh Allah Swt sendiri.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan tentang hamba yang terpilih adalah :
هُمْ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ كِتَابٍ أَنْزَلَهُ 
Mereka itu adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah mewariskan kepadanya seluruh kitab yang diturunkan.
Sedankan Imam Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan; [18] bahwa terjadinya pewarisan setelah kematian :
 وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ
 Pewarisan sebagaimana yang terjadi pada manusia, terjadinya setelah kematian.
Dan Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya menjelaskan makna “kitab” dalam ayat ini  :
 هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ وَأَحْكَامِهِ وَعَقَائِدِه
Disini, yang dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu, hukum dan aqidah yang terkandung didalamnya. Sedangkan untuk makna hamba-hamba Kami, adalah : [19]
تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ وقَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ دَاوُدَ, وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِيْنُ
Mereka mewariskan kitab suci. Artinya, Perpindahan warisan tersebut dari orang kepada orang  lain (secara estafet). Allah berfirman (Qs. an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud dan Sulaiman sebuah ilmu. Dan mereka berdua mengatakan :”segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.  Dan  Sulaiman mewarisi (ilmu, kerajaan dan kenabian) dari Daud.  Sulaiman berkata : Wahai manusia kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung, dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya semua ini suatu karunia yang nyata.
Dan dalam keterangan selanjutnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan :
فَإِذَا أَجَازَ النُبُوَّةُ لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ 
Jika (rahasia) kenabian saja dapat diwariskan, apalagi (kandungan) kitab al-Qur’an.   
Jadi, kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan beberapa hadis dan ayat al-Qur’an diatas, antara lain  :
1.            Sepeninggal Rasulullah Saw, kandungan dan sirri al-Qur’an diwariskan kepada salah satu hamba Allah Swt yang terbaik pada masanya, dan yang dipilih oleh Allah Swt sendiri (bukan pilihan manusia/ rakyat).
2.            Penerimaan warisan tersebut secara spontan antara pewaris (al-Ghauts Ra) dan pemberi warisan (Rasulullah Saw).
3.            Para pewaris kandungan al-Qur’an tidak perlu susah payah dalam memperolehnya. Atas kehendak Allah Swt, mereka dapat memahami al-Qur’an secara spontan, atau diinstal secara langsung,  dalam istilah computer. Meski demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan kemampuannya tersebut.
4.            Dan ulama pewaris al-Qur’an dan sirri Rasulullah Saw inilah yang dimaksud dengan ulama waratsatul anbiya’.
5.            Karena Rasulullah Saw hanyalah satu orang, maka penerima warisan seperti ini juga hanyalah satu orang. Yang mana setiap beliau Ra al-Marhum, Rasulullah Saw mencari satu ummatnya yang terbaik untuk menerima warisan tersebut.

Hadis riwayat Thabrani dari sahabat Rabi’ah Rasulullah Saw bersabda  : 10
   إِنَّ سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya diterima sholatmu, maka mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan Allah.
          Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w. 1070 H) dalam kitab Siraj al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir,  memberi penjelasan makna ulama dalam hadis ini, sebagai berikut  :
       هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah (para ulamapen) sebagai perantara antara kamu semua dan  Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu merupakan waris Rasulullah Saw.

F.      Awal   Pembahasan
Sebagian mukmin dalam berpendapat, ada yang menggunakan dasar kaidah Islam yang semestinya, merekalah orang-orang yang bertaqwa. Sedangkan sebagian lainnya, dalam berpendapat tanpa memiliki dasar dari syariat Islam secara semestinya. Mereka berpendapat hanya untuk menjaga dirinya, agar dinilai tidak bodoh oleh masarakat. Ketika mereka mengeluarkan pendapat atau kesimpulan, tidak memiliki rasa taqwa kepada Allah Swt yang memiliki Islam. Mereka berpendapat hanya demi kehormatan diri. Hingga berani mengeluarkan pendapat hanya berdasar asumsi atau selera. Mereka mengingkari keberadaan waliyullah dan al-Ghauts Ra, padahal banyak hadis shahih yang menjelaskannya.
Tentang mereka yang mengingkari waliyullah dan al-Ghaus Ra atau kurang memahaminya namun  sembrono dalam berpendapat, al-Ghauts fii Zamanihi Imam Jalaluddin Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi juz II pada bahasan 69, mengatakan  :
قَدْ بَلَغَنِي عَنْ بَعْضِ مَنْ لاَ عِلْمَ عِنْدَهُ إِنْكَارُ مَاشْتَهَرَ عَنِ السَادَةِ الأَوْلِيَاَءِ مِنْ أَنَّ مِنْهُمْ أَبْدَالاً وَنُقَبَاءً وَنُجَبَاءً وَأَوْتَادًا وَأَقْطَابَاً. وَقَدْ وَرَدَتْ الأَحَادِيْثُ وَالأَثَارُ بِإِثْبَاتِ ذَالِكَ.
Telah sampai kepadaku tentang orang yang tidak memiliki ilmu yang mengingkari sesuatu yang telah masyhur tentang adanya pimpinan para waliyullah. Diantara mereka ada yang menjadi abdal, nuqaba’, nujaba’, autab dan aqthab. Padahal telah banyak hadis dan atsar yang menetapkan adanya hal tersebut.
Firman Allah Swt QS. Yunus,  62 – 63}
        اَلاَ اِنَّ اّوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَقُوْنَ
            Ketahuilah bahwa sesungguhnya para auliyaillah itu tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.  Yaitu orang orang yang senantiasa beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah).
Dalam kitab Sunan Abu Daud,  juz  IV,  nomer hadis  : 4648, dari sahabar Sufyanah, Rasulullah Saw bersabda  :
خِلاَفَةُ النُبُوَّةِ ثَلاَثُونَ  ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ مَنْ يَشَاءُ أَوْ مَلَكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Khilafah kenabian itu tiga puluh tahun.  Kemudian Allah memberikan kerajaan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.  Atau menguasakan kerajaan itu kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Hadits riwayat Imam Ahmad,  Thabrani  dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shami, Rasulullah Saw bersabda    18  :
لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku (Rasulullah) tiga puluh hamba. Sebab mereka bumi (alam seisinya) tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan (oleh Allah), dan sebab mereka manusia ditolong oleh Allah”.

Diantara mereka, juga ada yang mengatakan (tanpa memiliki dasar, kecuali selera dan asumsi) : bahwa sulthanul auliya, hanyalah Syeh Abdul Qadir al-Jailani, tidak ada Raja waliy selai Syeh, baik sebelum atau sesudahnya. Diantara mereka ada yang mengatakan; saya hanya mempercayai adanya waliyullah yang hidup pada masa dahulu, sedangkan waliyullah pada masa sekarang, aku tidak mempercayai keberadaannya lagi. Demikainlah keadaan ummat akhir zaman yang telah diprediksi oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya : [20]
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ 
Sesungguh yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Keberadaan al-Ghauts Ra, semestinya al-Qur'an dan hadis telah menjelaskan secara gamblang. Sayang, kebanyakan manusia memahami al-Qur’an dan hadis dengan tanpa disertai permohonan hidayah kepada Allah Swt secara sungguh-sungguh, hingga terjebak dalam pemahaman yang dangkal, bahkan menyimpang. Hingga, selain mengingkari keberadaan al-Ghauts Ra, mereka terjerumus pada kesimpulan yang salah. Yakni menilai sebagia perbuatan syirik, kepada seseorang yang mendekati serta memohon berkah dan doa restu al-Ghauts Ra. Cara untuk memahami keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra secara musyahadah, sama dengan cara memahami keberadaan Rasulullah Saw. Pemahaman kepadanya termasuk bagian dari ilmu mukasyafah (ketersingkapan mata hati).[21]
Dan pembuktiannya hanya dapat dicapai melalui metode hidayah. Dan, memang tidak ada jalan bagi seseorang yang ingin memahami pribadi Beliau al-Ghaus Ra (baik pada saat ini atau masa lampau), kecuali melalui metode hidayah. Untuk mendapatkannya, seseorang harus melaksanakan mujahadah dengan sesuai petunjuk yang telah lazim. Tanpa melalui cara ini, seseorang akan mengalami kesukaran dalam memahami keberadaan Rasulullah Saw dan al-Ghauts Ra secara musyahadah.
Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal didalam kalangan ulama kaum sufi. Al-Qur’an telah mengisyarat keberadaan al-Ghauts Ra. Seperti yang tercermin dalam :
Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 30  :
 وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الارْضِ خَلِيْفَةً
 Dan Tuhanmu bersabda kepada malaikat : Sesunggunya Aku menciptakan khalifah diatas bumi. 
Al-Ghauts fii Zamanihi Qs wa Ra Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi dalam kitab tafsirnya, juz 1 halaman 20 dijelaskan, bahwa kholifah yang pertama, jika ditinjau dari sisi jasmani  diduduki oleh Nabi Adam As, sedangkan bila ditinjau dari sisi rohani kholifah itu pada hakikinya adalah Nabi Mhammad Saw.     
اَدَمُ فَهُوَاَبُوالبَشَرِوَاْلَخَلِيْفَةُ الاَوَّلُ بِاعْتِبَارِعاَلَمِ الاجْسَامِ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الارْوَاحِ فَهُوَ مُحَمّدٌ صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنّهُ قَا ئِمٌ بِالخِلافَةِ. وحِكْمَةُ جَعْلِهِ خَلِيْفَةُ الرَحْمَةِ بالعِبَاد. اِنَّ العِبَادَ لاَ طَا قَةَ لَهُمْ علَى تَلَقَّىِ االاوَامِرِ مِنَ اللهِ بِلاَ وَاسِطَةٍ.
Adam As adalah bapak manusia. Beliau sebagai khalifah pertama, jika dipandang dari sudut jasmani. Sedangkan bila dipandang dari sudut ruhani, khalifah Allah adalah Nabi Muhammad Saw. Dia (Adam As) memduduki maqam khilafah. Dan hikmah kekhalifahan (Nabi Muhammad Saw) untuk membawa rahmat kepada hamba-hamba (Allah). Karena sesungguhnya semua hamba Allah tidak memiliki kekuatan untuk menerima perintah Allah tanpa adanya perantara.
Banyak buku karya dari para ulama kaum sufi dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya, dan tidak ketinggalan pula para ulama sufi dari Indonesia dan Asia.  
Telah banyak para ulama Indonesia yang telah membahas keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra. Namun dalam tulisan ini kami sebutkan beberapa saja, yang antara lain :
1.                 Syeh Nuruddin ar-Raniri Aceh (w. 1773 M).
Beliau adalah penulis kitab:  Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war Rahman.13  yang ditulis menggunakan bahasa melayu kuna dengan hurup arab pegon (hurup jawi).
Sebagai pengamal tarekat Syathariyah, dalam kajian insan kamil, dalam kitabnya Asrar al-Insan, Beliau menerangkan secara luas, bahwa insan kamil adalah hamba Allah Swt yang dalam jiwanya memiliki Nur Muhammad. Dan karenanya, sebagai tempat tajalli Allah Swt yang sempurna dan terakhir. Manusia sempurna sebagai khalifah (wakil) Allah Swt dibumi. Beliau Ra ini memiliki beberapa gelar / pancaran, antara lain : Akal Pertama, Imam Mubin, Qalam al-A’la, Durrah al-Baidla’. Sesuai dengan judul nama kitab (Asrar al-Insan fi Makrifah ar-Ruh war Rahman) Syeh ar-Raniri, membahas nama Manusia Sempurna  (al-Ghauts Ra) dalam pasal pertama. dari folio 2b sampai folio 6a.
Dan pada folio 6b sampai folio 10a, Syeh menjelaskan kedekatan hamba kepada Tuhan terdapat maqam Wahidiyah, Ahadiyah dan Hakikah Muhmmadiyah. Sedangkan pembahasan tentang tugas dan kedudukan al-Ghauts, dijelaskan pada folio 10b samapai folio14a.
Diantara penjelasan Syeh ar-Raniri tentang keberadaaan al-Ghauts Ra  :
a.     Pada folio 1a, Syeh menerangkan :
كَاتَ ستعَهْ دَرِفَدَ مرِكَئِتُ بَهْوَاسَثَ رُوحُ القُدُّوسْ إِيْتُ يَائِتُ رُوحْ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kata setengah dari pada mereka itu (kaum sufi-pen), bahwasanya Ruhul Quddus itu Ruh Muhammad Saw.
b.       Pada folio 2b Syeh menerangkan :  
خَلْيْفَة إِيْتُ دِنَمَائِي رُوْحُ الاَعْظَمْ. كتَهُوِي أُولِهْمُوهَيْ عَارِفْ بَهْوَسَثَ رُوْحُ الاَعْظَمْ فَدَا حَقِيْقَةْ يَائِيْتُلَهْ رُوْحُ إِنْسَانْ يَعْ مَظْهَرْ ذَاتِ الاِلَهِي دَرِفَدَ فِيْهَقْ رُبُوبِيَتْثَ .بَهْوَسَثَ هِيْدُفْ سكَالَ عَالَمْ برْكرَاقْ دعَنْ دِيَ دَانْلاَكِ سبَبْ كَارنَ إِعْتِبَارْ رُبُوبِيَتْثَ كأَدَأنْثََ تمْفَتْ ترْبِتْ حَيَاتْ يَعْ حَيَةْ
Khalifah itu dinamai Ruhul A’dlam. Ketahui olehmu, hai arif, bahwasanya Ruhul A’dlam pada hakikat, yaitulah “ruh insan”, yang madhhar (menjadi tempat penampakan) Dzat (nur) Ilahi dari pihak rububiyatnya. Bahwasanya, hidup segala alam bergerak dengan Dia. Dan lagi sebab karena i’tibar rububiyat-Nya keadaannya tempat terbit hayat yang hayat.
4.       Pada folio 3b Syeh menerangkan :
دَنْ إِمَامْ مُبِيْنْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تَعَالَى (وَكُلُّ شَيْئٍ أَحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْن)  دَانْ تِيَفْ2 سكَالَ سسُوَاتُ تلَهْ كَامِ هِيمْفُنكَنْْ اِيَ دَلَمْ كِتَابْ. مَكَ  سبَبْ دِنَمَائِي اَكَنْ خَلِيْفَةْ اِيْتُ اِمَامْ مُبِيْنْ.  دَرِ كَارنَ بَهْوَاسَثَ سكَالَ عَالَمْ عُلْوِي دَنْ سُفْلِي دِيْهِمْفُنْ دِدَلَمثَ مَكَ بَارَعْيَعْ أَدَ إِيَ أَصَلْ سكَالَ سسُوَاتُ فَتُوتْلَهْ إِيَ أَكَنْ إِمَامْ دَنْ سكَالَ سسُوَاتُ إِتُ مَأْمُومْثَ.
  Dan Imam Mubin pun namanya, seperti firman Allah Swt : Dan tiap-tiap segala sesuatu telah Kami himpunkan ia dalam kitab mubin. Maka sebab dinamai akan khalifah itu, Imam Mubin. Dari karena bahwasanya segala alam (ringkasan-pen) ulwi (atas-pen) dan sufli (bawah-pen) dihimpun didalamnya. Maka barang yang ada, ia asal segala sesuatu. Patutlah ia  Imam dan segala sesuatu itu makmum.
5.       Pada folio 4a, Syeh menerangkan :
دَنْ نُورُ الاَنْوَارْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله تعالى (وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرَهُ) بَهْوَسَثَ الله جُوَا يَعْ مثمْفُرْنَاكَنْ نُورْثَ. دَنْ حَدِيثْ نَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أَنَا مِنْ نُور اللهِ وَالعَالَمُ مِنِّي) نُورْكُو دَرِقَدَ
نُورْ الله دنْ عَالَمْ إِيْتُ دَرِقَدَ نُورْكُو. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي أَكَنْ خَلِيْفَة إِتُ نُورُ الانْوَارْ
Dan Nurul Anwar  pun namanya, seperti firman Allah Swt :  Bahwasanya Allah jua yang menyempurnakan nur-Nya. Dan hadis Nabi Saw :  Nurku daripada Nur Allah, dan alam itu daripada Nurku. Maka sebab dinamai khalifah itu, Nurul Anwar.
2.                 Syeh Abus Shamad al-Falimbani  (w. 1785 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Siirus Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Sebagaimana umumnya kitab tasawuf, dalam menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra, buku ini mengulas secara sekilas saja. Kitab ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin” karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam juz III, beliau memaparkan adanya 2 (dua) kedudukan iman, wahidiyah dan ahadiyah.
Ketika mengulas bab “ajaib al-qalbi”, Syeh menjelaskan; pencapaian martabat insan kamil sangat berkaitan dengan keberhasilan sesorang dalam melawanan tujuh nafsu yang ada dalam jiwa; ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radliyah, mardlyah dan kamilah. Dalam melawan hawa nafsu, kekuatan dan persiapan seseorang tidak sama. Bagi orang yang memiliki kemauan keras, Allah Swt akan menolongnya. Namun, dalam perjuangan melawan nafsu, kebanyakan manusia berhenti pada nafsu yang keempat, nafsu mutmainnah. Sedangkan maqam nafsu mauthmainnah ini, sebagai tahapan awal kedekatan seseorang pada Allah Swt. Dan masih ada maqam diatasnya lagi, yakni maqam ahadiyah atau tamkin. Yang mana maqam ini merupakan tahap awal dalam memasuki maqam nafsu mutmainnah. Dan tahapan selanjutnya, seseorang akan memasuki maqam wahidiyah.
Memang - sebagaimana penjelasan Imam al-Ghazali dalam bab “dzammul ghurur” - banyak manusia yang tertipu oleh ke-aku-annya (ego/ diri rendah), hingga merasa sudah sampai ke puncak makrifat. Padahal masih ditengah jalan. Semestinya – demikian Syeh Palimbani -, menjelang tahapan maqam muthmainnah, setiap salik harus meningkatkan kesyauqan, kerinduan dan dapat melihat negatifnya nafsu tingkat tinggi dan kemudian menangis dengan segala kekurangan dan aibnya tersebut. Setelah nafsu muthmainnah –demikian Syeh Palimbani -, masih terdapat nafsu diatasnya, yaitu radliyah, mardliyah dan nafsu kamilah. Dan salik yang mencapai nafsu kamilah, hanya satu orang saja, dialah Insan Kamil lagi Mukammil atau dialah Manusia Khawas lagi Kawash al-Khawash (al-Ghauts Ra). Dalam penjelasan selanjutnya, Syeh Palimbani menerangkan, bahwa Syeh Muhammad Ibn Syeh Abdul Karim As-Samani, mampu mencapai derajat nafsu kamilah/ Manusia Sempurna/ Syeh al-Waliy al-Kamil al-Mukammil/ Quthb az-Zaman Ra.
3.                 Mohammad Nafis ibn Idris al-Banjari  (1735 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Durrun Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
 Dan mengulas keberadaan waliyullah, kitab ini mengulas keberadaan al-Ghauts secara sekilas saja. Dan ketika membahas ke-Esaan Allah Swt, beliau memaparkan iman wahidiyah dan ahadiyah.
4.                 KH. Mishbah Zain Al Mushthafa.
Beliau adalah penulis kitab Tahrir  ad Durar Fii Aqwal al Auliya’ al Abrar-nya Bangilan - Tuban- Jawa timur.  Buku  ini  menerangkan  keberadaan 9 orang al-Ghauts Ra dengan disertai beberapa fatwa dan amanat dari mereka.
5.                 Dr. Yunasril Ali.
Beliau adalah penulis buku yang berjudul Manusia Citra Ilahi. Didalam buku ini mengulas tentang perbedaan antara Syeh Ibnu Arabi Ra dan Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra dalam mengulas martabat wahidiyah, ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil (al-Ghauts). Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra – sebagaimana keterangan Yunasril - lebih condong kepada aqidah sunni (al-wujud minal ‘adam/ creasio ex nihilo), sedangkan Ibnu Arabi Ra lebih condong kepada ulasan para ahli filasaf Islam. Sebab ulasan para filusuf muslim – menurut Syeh Ibnu Arabi -, tidak keluar dari kaidah al-Qur’an dan hadis.
6.                 Prof. Dr. Dawam Raharja (Pakar ekonomi Islam Indonesia).
Dengan karyanya Insan Kamil Dalam Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para pakar muslim dan non muslim yang membahas tentang keberadaan manusia sempurna (al-Ghauts Ra), yang diantaranya membahas pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya manusia yang memiliki jiwa super ego.
7.                 Drs. Idrus Abdullah al-Kaaf dengan karya Bisikan Bisikan Ilahi.
Buku ini merupakan ulasan terhadap kitab ad-Durrul Mandzum li Dzawil Uquul wal Fuhuum-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra. Dalam buku ini - selain menerangkan derajat Ghauts yang dijabat oleh Imam Ghazali Ra, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dan Syeh Umar al-Ahdali -, Idrus al-Kaf juga menerangkan bahwa Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dapat mencapai derajat al-Ghauts fii Zamanihi Ra yang wafat pada tahun 1132 H.

Sedangkan kitab dan karya para ulama dari luar Indonesia yang telah membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain   :
1.                 Imam Abul Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
2.                 Syeh Umar Suhrawardi Ra, karya  Awarif al-M’arif.
3.                 Syeh Abdul Qadir al-Jilani, karya  al-Ghunyah li Thalib al-Haqqi.
4.                 Abdul Wahab As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
5.                 Syeh Abdul Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil. Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra, karya  Jami’ul ushul al Auliya’
6.                 Syeh Muhammad Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.                 Syeh Isma’il Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’ Karamah al-Auliya’
8.                 Syeh Jalaluddin Suyuthi Ra, karya  al-Hawiy lil Fatawiy
9.                 Abu Nuaim al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.            Syeh Ali al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.            Ibnu Arabi Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.            Imam Ghazali Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam. Dalam beberapa kitabnya, Imam Ghazali menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan istilah al-Kamil.
13.            Imam Ahmad bin al-Mubaarak dengan karya al-Ibriiz min Kalami Sayyidi Abdul Azziiz. Kitab ini merupakan catatan sejarah dan beberapa fatwa dan ajaran dari al-Ghauts Ra pada waktu itu. Yakni Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag. Syeh, yang menjabat al-Ghauts p[ada masanya , adalah seseorang yang tidak dapat membaca dan menulis (buta hurup). Namun, dalam menjawab pertanyaan tentang segala disiplin ilmu (hadis, tafsir, fiqih, nahwu/ balaghah, sejarah, maupun lainnya), jawaban Beliau Ra sangat melebihi dari jawaban para ahlinya yang tidak buta hurup.
14.            Syeh Ahmad bin Zaini Dahlan, dengan karya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushuul fii Ma’rifatilla wa ar-Rasuul.
15.            Kitab tafsir Siraj al-Munir  nya Syeh al-Khathib as-Syarbini.
Dalam kitab tafsir ini, Syeh al-Khathb memeperjelas ayat 251 surat al-Baqarah dengan hadis Nabi Saw dari Ibnu Mas’ud riwayat Abu Nuaim  dan Ibnu ‘Asakir (tentang keberadaan al-Ghauts Ra).
16.            Syeh Ibnu Abidin, dengan karya Ijaabah al-Ghauts. Kitab ini menerangkan, bahwa Syeh Ahmad Husaini at-Tijani (guru dari Ibnu Abidin) adalah al-Ghauts Ra pada zamannya. Kitab ini membahas tentang pangkat-pangkat serta etika atau ajaran dalam  kewaliyan, khususnya al-Ghauts Ra.
17.            Imam Ibnu Hajar al-Hatami dengan karya al-Fatawi al-Haditsiyah. Dalam buku ini, menerangkan nama nama dari beberapa al-Ghauts Ra. Antara lain : Ibnu Arabi, Syeh Zakariya al-Anshari dan beberapa al-Ghauts Ra yang dirahasiakan namanya, dan hanya disebut dengan seseorang yang berpangkat al-Ghauts Ra.  Dan pada ulasan tentang “rijalul ghaib”, Syeh menuliskan hadis ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani dan Imam Ibnu Asakirt Ra.
18.            Syeh Muhammad Usman al-Mirghani Ra (w. 1268 H), karya an-Nafahatul Makkiyah wa al-Lamhah al-Haqqiyah.[22]
Sebagai pengamal saydzalaiyah dan naqsyabandi serta mursyid thariqah naqsyabandiyah, Syeh menjelaskan beberapa nama sanad dan silsilah tarekat naqsyabandi dan syadzaliyah yang berpangkat al-Ghauts Ra. Diantaranya, Syeh Abdul Wahab at-Tazi Ra, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra, Syeh Muhammad bin Idris Ra, Syeh Abu Yazid al-Busthami Ra (w. 261 H), Sayid Imam Ja’far Shadiq (w 148 H), Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra, Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra
19.            Syeh Ismail al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas. Kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan tentang hasan, dha’if, munkar dan maudlu’nya oleh para ulama.
20.            Syeh Muhammad Amin al-Kurdi degan karyanya Tanwir al-Quluub. Dalam bahasan fadlul auliya’, Syeh mnejelaskan hadis tentang al-Ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir. Dan pula, pentahqiq kitab, dalam memberikan pengantar kitab, mengabarkan tentang karomah jabatan puncak waliyullah (al-Quthb al-Kabir, al-Ghauts) yang dicapai oleh Syeh Amin Ra.
21.           Kitab ad-Da’wah at-Tammah-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad al-Yamani Ra.


G.   Al-Ghauts Dalam al-Qur’an & al-Hadits.




[1].    Ibid. Diterangkan dalam juz II, bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah tampak karamahnya.
[2].    Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As), apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[3].     HR. Ibnu Abd Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[4].     Hadis riwayat Dailami dari sahabat Jabir Ra, kitab Siraj al-Munir Syarh al-jami’ as-Shaghir nya Syeh Ali Ibn Ahmad al-Azizi (Beriut “Dar al-fikri”, tt.)  juz III, hlm : 326, dinukil dari kitab “Musnad al-Firdaus” nya Imam ad-Dailami.  Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “afat ilmu”.
[5].     Dari sahabat Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud  juz IV  : a.   nomer hadis  : 4765.  b.   nemer hadis :  4757.   c.  nomer hadis  : 4756
[6].   Inabaah (sebagai kata jadian dari kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif).  Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti = perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
                إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ الإِنَابَةَ  
Sesungguhnya diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[7].     Kitab Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I dalam bab “man yaqbalu khabaruhu” pada pasal keempat. Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh al-Qusthalani dalam “muqaddimah”. Kitab Manhal al-Lathif-nya Syeh as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki pada ulasan “fadl-lu ulum al-hadits”
[8].     Kitab Jawahir al-Bukhari, nomer hadis : 464
[9].     HR. Imam.Bukhari dalam kitab Jawahir al-Bukhrai ala Syarhil Qusthalani”.
[10].    Dalam kitab Sunan ad-Darimi,  juz I  nomer hadis/ atsar :  359).
[11].    Dalam kitab Muhtashar Ihya’-nya Imam Ghazali, pada bab I, (tentang Ilmu) pasal ulasan “afat ilmu”, Imam Hasan al-Bashri berkata  :  عُُقُوبَةُ العُلمَاءِ مَوْتُ القَلْبِ وَمَوْتُ القَلْبِ طَلَبُ الدُنْيَا بِعَمَلِ الاخِرَةِ :  Siksaan bagi para ulama itu matinya hati. Matinya hati itu mencari dunia dengan amalan akhirat.
[12].    Sunan ad-Darimiy,  juz I/ 360.
[13].    Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74. kitab Lubb al-Lubab Fii Tahrir al-Insan-nya  imam Suyuthi).
[14].    Lihat kitab Siraj at-Thalibin nya Syeh Dahlan al-Kadiri, (penerbit “dar al-fifri” Beirut Libanon, tt. Kemudian disebut Siraj at-Thalibin), juz I, hlm  : 74 
[15].    Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka ia berdoa kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat melanjutkan dan mewarisi perjuangan. 
[16].    Untuk lebih jelasnya dalam memahami makna hadis ini lihat  buku : Tafsir  Ayat-Ayat  Cahaya  bagian kedua (penerbit Pustaka Progressif, tahun 1998) hlm 33. Atau kitab Misykatul Anwar-nya Imam al-Ghazaliy, dalam Majmu’ah Rasail lil-Ghazali. Atau buku Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf-nya Dr. Mir.Valiuddin – ilmuawan dan sufi dari Pakistan , terbitan Pustaka Hidayah, dalam bab I dan  bab II. Atau kitab ‘Awarif al-Ma’arif-nya Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra dalam bab 62. Iqadul  
[17].    Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal “adabul muta’allim”
[18].    Syeh Jalaluddun as-Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain, menjelaskan  kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti dengan kata  أَعْطَيْنَا = Kami berikan. Syeh Ahmad as-Shawi dalam b tafsir Shawi juz III, hlm 313, menjelaskan; وَوَجْهُ تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ نَصبٍ وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب حَاصِلٌ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ alasan penggunaan pewarisan disini adalah perolehannya tanpa susah payah. Begitu pula, pewarisan al-Qur’an kepada penerimanya, tanpa susah payah.
[19].    Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, pada surat an-Naml ayat 16, menjelaskan makna pewarisan, dengan sabda Rasulullah Saw  :  العُلمَاء وَرَثة الانْبيَاء   : ulama itu pewaris Nabi.
10 .   Hadis riwayat Thabrani dalm kitab nya Mu’jam al-Kabiir
18 Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm : 74
[20].    Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
[21].    Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi Ra dalam kitab Jami’al-Ushul, menjelaskan :
وَأَمَّا عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً لِلْهِدَايَةِ
 Ilmu mukasyafah (tersingkapnya hati hingga dapat sadar kepada Allah Swt) tidak dapat dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Da hanya dapat dihasilkan dengan bermujahadah (perjuangan batin sungguh-sungguh), yang mana Allah Swt telah menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
13.    Kitab dari tulisan asli dari Syeh Nuruddin terseimpan pada mosium kerajaan Belanda di Den Hak. Sedangkan yang ada di Indonesia merupakan disertasi yang ditulis oleh Tujimah untuk meraih gelar doctoral, dan yang diterbitkan oleh “Penerbitan Universitas Djakarta”  tahun 15 Maret 1960).
Syeh Nuruddin, merupakan satu dari beberapa ulama yang memberantas paham wahdatul wujud..  
[22].       Lihat Majmu’ah an-Nafahah ar-Rabbaniyah ala Rasail Mirghaniyah, penerbit “al-Haramain” Singapura.  

No comments:

Post a Comment