017.01.317 - HAL GHAUTSIYAH - Pembimbing Ruhani
I. 01. 317 "BAHASAN UTAMA - Kuliah wahidiyah"
Manusia
dilahirkan dalam keadaan bodoh. Ia mengenal alam dan lingkungannya setelah
mendapat arahan dari orang tua, pengasuh atau orang lain. Tanpa mereka, seseorang
sangat lamban dalam mengenal dirinya dan alam lingkungannya.
1. Antara
Insan Kamil atau Setan/ Nafsu.
Manusia akan lurus dan benar tindakan dan
prilakuknya, bila ia memiliki ilmu yang benar. Dapat memiliki ilmu yang benar, bila
manusia mendapatkan seorang pembimbing yang ilmunya benar pula. Demikian pula
sebaliknya. Manusia akan terjerumus bila memiliki guru pembimbing yang ilmunya
salah.
Tidak semua orang pandai dapat dijadikan guru. Setiap
mukmin wajib selektif dalam memilih guru. Sebagaimana keterangan hadis riwayat Iam
Muslim dan Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ هَذَا
العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
Ilmu ini,
adalah agama. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.
Allah Swt telah menghendaki, manusia berwatak paternalistik, (membutuhkan/
mengikuti seorang tokoh sebagai panutan). Tujuan
utama diturunkannya para Rasul dan waliyullah (al-Ghauts ra) untuk menuntun umat
dalam mencapai kebersihan hati serta kebenaran hakiki dalam memahami ketuhanan
Allah Swt. Semua orang sepakat, bahwa tidak seorangpun dalam memahami
agama tanpa guru pembimbing. Namun, mereka berbeda dalam memahami tugas guru.
Diantara mereka ada yang berpendapat, tugas guru hanyalah memperkenalkan dan
menjelaskan ilmu atau ajaran agama, dan fungsi ilmu agama sebagaimana fungsi
ilmu lainnya yang bersifat member informasi saja. Ada pula yang berpendapat, -
disamping menjelaskan dan menginformasikan -, tugas guru yang paling adalah mengantar
dan menemani manusia dalam pendekatan kepada Allah Swt. Dan pula, yang berpendapat, guru adalah
pancaran rahmat dan anugrah Tuhan untuk makhluk semesta. Jenis guru yang
terakhir, adalah guru yang berpangkat ghautsiyah yang hanya satu orang dalam
setiap saat.
Rasulullah Saw merupakan nabi akhir zaman yang mana
ulasan tentang ketuhanan yang dibawanya telah mencapai kesempurnan. Namun,
sepeninggal Beliau Saw, diantara mukmin perbedaan terjadi penafsiran yang sangat
tajam. Masing-masing saling mendakwa dirinya yang paling benar. Bahkan, kepada
seseorang yang berseberangan dengan tafsirannya, dikatakan berseberangan dengan
prinsip (sunnah) rasul, padahal baru bersebarangan dengan tafsirannya.
Dalam
memahami
al-kalangan kaum sufi, berlaku sebuah prinsip yang sangat
paten lagi teramat penting, bahwa manusia berada antara dua
penuntun, nafsu (setan yang telah
menyatu dengan jiwa, ke-ego-an) atau mursyid yang kamil. Manusia, jika
jiwanya tidak dipandu oleh guru ruhani yang kamil (menurut Allah Swt wa
Rasulihi Saw), pasti dipandu oleh nafsu. Dan demikian sebaliknya. Tidak dua
pemandu dalam jiwa dan fikiran manusia. Memiliki
Guru ruhani yang Kamil, merupakan keniscayaan (kewajiban) bagi setiap orang.
Berdasar beberapa hadis dan ayat
al-Qur’an yang menerangkan tentang pentingnya memiliki guru ruhani untuk
meluruskan iman, Islam serta ihsan, al-Ghauts fii Zamihi Syeh Muhammad Wafa (w. 801 H),[1] menjelaskan :
مَنْ لَيْسَ لَهُ أُسْتَاذٌ لَيْسَ لَهُ مَوْلَى وَمَنْ
لَيْسَ لَهُ مَوْلَى فَالشَيْطَانُ مَوْلَى لَهُ
Barang siapa tidak memiliki guru, [2] maka ia tidak
ada pembimbing bagi dirinya. Dan barang siapa tidak ada pembimbing maka
setanlah pembimbingnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abu Yazid al-Bustami Ra (dan penjelasan ini telah
disepakati oleh pawa auliyaillah Ra) :
مَنْ لاَ شَيْخَ فَالشَيْطَانُ شَيْخُهُ
Barang
siapa tidak memiliki GURU ruhani maka setanlah yang menjadi gurunya”.
Dalam beragama, mukmin
harus bertanya kepada ulama yang benar-benar ahli. Firman
Allah Swt, Qs an-Nahl : 43 :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
إِلاَّ رِجَالاً نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْئَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ
لاَتَعْلَمُوْن
Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau kecuali seorang lelaki yang
Kami memberikan wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada para ahli dzikir,
sekiranya kamu semua tidak mengetahui.
Dan pada ayat lain dijelaskan, untuk memahami
keberadaan Allah Swt, mukmin harus bertanya kepada ulama yang benar-benar
memahami-Nya. Qs. al-Furqan : 59 :
الذِي خَلَقَ السَمَوَاتِ وَالأَرْضَ
وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ الرَحْمَنُ
فَسْئَلْ بِهِ
خَبِيْرًا
Dia
Dazt Yang menciptakan langit dan bumi beserta sesuatu yang ada didalmnya dalam
enam masa. Kemudian Allah berberkuasa diatas arasy. (tentang) Allah Yang Maha Penyayang, bertanyalah kepada orang yang
memahami-Nya (yakni Rasulullah Saw/ al-Ghauts Ra, demikian pendapat kaum sufi- pen).
Sangat
sukar mencari guru yang dapat mengantarkan kepada iman, Islam dan ihsan, atau
guru yang diridlai oleh Allah Swt. Karena sangat sukarnya, para waliyullah mengibaratkan, bagaikan mencari
belerang merah. Mengapa demikian ?. jawaban yang tepat, karena kebanyakan
manusia, dalam menuntut ilmu-ilmu agama, bukan untuk diamalkan, akan tetapi
hanya untuk meningkatkan status sosial serta mencari simpati ditengah-tengah
masarakat. Sebagaimana yang
tersari dalam sabdaRasulullah Saw :
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهِي بِهِ
العُلَمَاءَ وَلِيُمَارِي بِهِ
السُفَهاَءَ أَوْ يُرِيْدُ أَنْ يَقْبَلَ بِوُجُوهِ النَاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ الجَهَنمََ
Barang
siapa mencari ilmu untuk bersaing dengan Ulama, dan untuk berdebat dengan orang
bodoh atau berharap agar manusia menghadap kepadanya, maka Allah akan
memasukkannya kedalam neraka jahannam. [3]
Rasulullah Saw menerangkan,
diantara tanda-tanda orang diridlai oleh Allah Swt, ketika bertambah ilmunya,
maka bertambah hidayahnya serta tidak tenggelam dalam tipuan, kehormatan dunia.
مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ
بُعْدًا. مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ
يَزْدَدْ زُهْدًى لَمْ يََزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang
bertambah ilmunya, namun tidak bertambah hidayahnya, maka ia tidak bertambah
kecuali jauh dari Allah. Barang siapa yang bertambah ilmunya, namun tidak
bertambah zuhud-nya maka tidak
bertambah, kecuali semakin jauh dari
Allah. [4]
Sebagai pengamal atau
khadimul wahidiyah, untuk meningkatkan kemawasan diri, patut jika kita
senantiasa mengingat-ingat peringatan kedua hadis diatas.
Orang
yang dimurkai oleh Allah Swt tidak boleh dijadikan guru dalam agama. Yaitu
orang yang mencari ilmu bukan untuk diamalkan, tetapi hanya untuk mencari kehormatan dihadapan manusia, bukan untuk memahami
hakikat dunia, tetapi untuk meraihnya. Diantara tanda-tanda orang yang
dimurkai-Nya, ialah oaring yang
kabaikannya hanya terdapat pada kepandaian berbicara, sedangkan prilakunya
bertentangan dengan yang diucapakannya, ia membaca al-Qur,an, namun tidak
menghayati maknanya.
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُهُمْ
القِيْلَ وَيَسِيْئُونَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُتَرَاقَبَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ
حَتَّى يَرْتَدَّ عَلى فُوقِهِ هُمْ شَرُّ
الخَلْقِ
Akan datang pada ummat-Ku, perbedaan dan perpecahan. (waktu itu)
kebaikannya terletak pada pembicaraan, dan kejelekannya terletak pada
perbuatan. Mereka membaca al-qur’an, namun perasaan saling curiga diantara
mereka sudah tidak mampu dilampaui oleh al-qur’an. Mereka terlepas dari pedoman agama, bagaikan
terlepasnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kedalam
kaumnya) kecuali telah meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek
mahluk (a).
قَامَ فِي النَاسِ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَذَكَرَ الدَجَّالُ فَقَالَ : إِنيِّ لآُنْذِرُكُمُوهُ مَامِنْ نَبِيٍّ إلآّ َقَدْ
أَنْذَرَهُ قَوْمَهُ لَقَدْ أَنْذَرَ نُوحٌ قَوْمَهُ وَلَكِنِّي سَأَقُولُ لَكُم
فِيْهِ قَوْلاً لَمْ يَقُلْهُ نَبِيُّ لِقَوْمِهِ إِنَّهُ أَعْوَرٌ.
Nabi Muhammad Saw berdiri ditengah-tengah manusia. Beliau menyebut nama
dajjal. Beliau
bersabda : Sesungguhnya Aku mengingatkan kamu semua tentang dajjal. Tidak ada Nabi kecuali telah mengingatkan
kaumnya tentang (dajjal). Sungguh Nabi Nuh telah mengingatkan kaumnya
tentangnya. Akan tetapi Aku akan
menerangkan sesuatu kepadamu tentang dajjal yang belum pernah diterangkan oleh
para nabi kepada kaumnya. “Ia (dajjal) itu matanya buta satu salah satu (b).
قَالَ : إِنَّهُ لَمْ
يَكُنْ نَبِيٌّ بَعْدَ نُوحٍ إِلاَّ وَقَدْ أَنْذَرّ الدَجَّالَ قَوْمَهُ وَإِنِّي
أُنْذِرُكُمُوهُ , فَوَصَفَهُ لَنَا رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ , وَقَالَ : لَعَلَّهُ
سَيُدْرِكُهُ مَنْ قَدْ رَأَنِي وَسَمِعَ كَلاَمِي
Sungguh tidak ada nabi setelah Nabi Nuh, kecuali ia telah mengingatkan
(dengan sungguh-sungguh) tentang dajjal kepada
kaumnya. Kemudian kepada kami
Rasulullah Saw menjelaskan sifat-sifat dajjal. Kemudian Beliau bersabda : “Semoga dapat mengetahui dajjal,
orang-orang yang dapat melihat Aku dan memahami sabda (hadis)-ku” (c).
Allah
Swt melarang umat Islam berguru kepada seseorang yang hatinya banyak lupa
kepada-Nya. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28
:
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَاهُ
قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ
فُرُطًا.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari
dzikir kepada-Ku, dan orang yang mengikuti hawa nafsunya, dan memang dia
melampaui batas.
Mengikuti orang yang hatinya lupa kepada
Allah Swt (baik melupakan Allah Swt sebagai Penguasa makhluk atau lupa kepada
ancaman dan siksaan-Nya), berarti mengikuti ajakan hawa nafsu. Setiap orang, disaat hatinya lupa
kepada Allah Swt, pasti setan akan datang menghampirinya, dan
kemudian membelokkan pemahaman orang tersebut dari kebenaran,
dan mereka mengira masih berada dalam hidayah-Nya, padahal telah berada dalam
genggaman setan. Firman Allah Swt (Qs. Az-Zukhruf : 36
– 37) :
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ
شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِيْنٌ وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَبِيْلِ
وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Dan
barang siapa yang berpaling dari mengigat Allah Yang Maha Kasih, maka Kami
adakan setan baginya. Dan setan menjadi teman baginya. Sesungguhnya setan akan
menghalangi mereka dari jalan kebenaran serta mereka (manusia) akan mengira
sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang mendapat hidayah .
Dalam
ayat lain, Allah Swt berfirman dalam Qs, an-Nisa’ : 119 :
وَمَنْ
يَتِّخْذ الشَيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُوْنِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا
مُبِيْنًا
Sesiapa
saja yang menjadikan syaithan sebagi wali (penguasa, pelindung, penolong dan
kekasih) selain Allah, maka ia telah merugi dengan kerugian yang nyata.
Seorang salik harus selektif dalam memilih
guru. Al-Qur’an menjelaskan; guru ruhani yang harus dicari dan diikuti
adalah ulama yang telah sadar kepada Allah Swt (ulama billah) dan yang telah
berinaabah kepada-Nya. Firman
Allah Swt : [6]
وَاتَبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ
إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
Dan ikutilah jalan orang yang kembali (inaabah) kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku tempat kamu
kembali. (Qs. Luqman : 15).
Kata ثُمَّ = kemudian, dalam ayat
diatas dapat dipahami bahwa manfaat mengikuti guru yang telah mampu berinaabah,
dapat mengantar atau membawa seseorang dekat, sadar dan kembali kepada Allah
Swt.
Dan iman, Islam dan ihsan itu hanya diberikan
oleh Allah Swt kepada orang yang terbaik dalam setiap generasi. HR. Imam
Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda : [7]
يَحْمِلُ هَذَا
العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُولُهُ يَنْفَوْنَ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ
وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ.
Ilmu ini akan dibawa (diwarisi) oleh
orang-orang terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim,
membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan penafsiran kaum yang
bodoh.
E.
Ulama Waratsatul Anbiya’
Setiap orang (lebih-lebih yang telah
dianggap masarakat sebagai ulama) tidak ada yang mendakwakan dirinya sebagai
pengkhianat sunnah rasul. Mereka mendakwakan dirinyalah orang
(ulama) yang paling sesuai dengan sunnah rasul. Eronis sekali, kenyataan yang
terjadi dalam kehidupam ummat era dewasa ini. Namun, sebagai mukmin, kita tidak
boleh berputus asa. Sebab Rasulullah Saw memberitahukan, bahwa Allah Swt
senantiasa menurunkan seorang ulama sebagai pengganti dan penerus risalah Islam. Hadis riwayat Imam
Bukhari dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda : [8]
وَإِنَّهُ لاَ نبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَائِي
Dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudah-Ku, dan yang akan ada para khalifah-Ku
Ulama
yang yang ditunjuk oleh Allah Swt sebagai khalifatur rasul senantiasa bertaqwa
dan benar-benar takut kepada-Nya.
Firman
Allah Swt, Qs. Fathir : 11 :
إنَّمَا يَخْشَى
اللهَ مِنْ عِبَادِهِ العُلَمَاء
Sesungguhnya orang yang takut kepada
Allah diantara para hamba-Nya, hanyalah para ulama.
Tentang makna ulama yang dimaksud dalam surat
Fathir ini, al-Ghauts fi Zamanihi Imam al-Qusthalani Ra (w. 858 H) menjelaskan :
الذِينَ عَلِمُوا قُدْرَتَهُ وَسُلْطَانَهُ فَمَنْ كَانَ أَعْلَمُ كَانَ
أَخْشَى اللهَ. وَلِذَا قَالَ عَلَيْهِ السَلاَمُ : أَنَا أَخْشَاكُمُ اللهَ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
Orang-orang yang
alim tentang kekuasaan dan kerajaan Allah. Barang siapa lebih alim, dialah
lebih takut. Dan karenanya Rasulullah Saw bersabda : Akulah orang yang
paling takut kepada Allah diantara kalian, serta paling takwa kepada-Nya. [9]
Malu dan takut merupakan sifat reflek
dari manusia. Dan iman yang telah tertanam didalam hati, akan menumbuhkan rasa
malu dan takut secara reflek pula. Ulama bukan malaikat. Dia adalah manusia,
yang dapat terpeleset dalam kekeliruan. Diantara ukuran keulamaan seseorang
terletak pada perasaan malu dan takut kepada Allah Swt ketika terperosok pada
kemaksiatan. Seorang ulama yang hakiki, adalah seseorang yang didalam hatinya akan
muncul perasaan malu dan takut kepada Allah Swt, ketika terpeleset kepada
kemaksiatan. Dan kemudian segera
bertaubat dan membenahi diri. Ulama seperti inilah yang disifati oleh
Rasulullah Saw sebagai pelita dunia.
HR. Abu Daud,
Nasa'i dan Baihaqi, Rasulullah Saw bersabda :
العُلَمَاءُ سِرَاجُ الدُنْيَا. العُلَمَاءُ مِصْبَاحُ العَالَمِ
Ulama
adalah pelita dunia. Ulama adalah pelita
alam.
Hadis
ini dapat juga dipahami dengan makna lain. Yakni, ulama yang menjadi penerus
risalah Islam, akan diberi karamah oleh Allah Swt sebagai pelita dunia.
Artinya, para ulama ahli syari’ah memiliki ilmu untuk menjelaskan halal dan
haram. Dengan ilmunya ulama ini, ummat tersinari dan kemudian dapat memahami
hukum-hukum Allah Swt yang berkaitan dengan prilaku lahiriyah. Sedangkan para
waliyullah (al-Ghauts Ra) diberi karamah berupa radiasi batin yang bermanfaat
untuk mengantar dan membimbing manusia sadar kembali serta makrifat kepada
Allah wa Rasulihi Saw.
Pengertian
ulama pewaris nabi, Imam Sofyan Tsaury Ra (pendiri madzhab fiqih, ulama sufi dan
ahli dalam bidang hadis) membaginya kedalam 3 (tiga) bagian : [10]
العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ
بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ
وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ
فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ بِأَمْرِ
اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ
Ulama ada tiga
kelompok;
Ulama yang memahami tentang ilmu
BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum
Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta
alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang
alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi
tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka. [11]
Penjelasan
Imam Sufyan Tsuary Ra (guru Imam
Syafi’i) tentang ukuran waratsatul anbiya’, ditentukan oleh tiga hal. Pertama;
dari sifat khasy’yah (benar-benar takut) seseorang kepada Allah Swt. Kedua,
dari kemampuan memahami dan mengetrapkan ilmu LILLAH dan BILLAH. Ketiga,
dari penguasaan terhadap ilmu agama yang membahas ibadah lahiriyah maupun
batinyah. Seorang ulama yang memiliki dan menguasai ketiga ilmu diatas, dialah
ulama yang Kamil Mukammil (al-Ghauts Ra).
العِلْمُ
عِلْمَانِ فَعِلْمٌ فِي القَلْبِ فَذَاكَ العِلْمُ الناَفِعُ وَعِلْمٌ عَلَى
اللِسَانِ فَذَاكَ حُجَّةُ اللهِ عَلَى ابْنِ أَدَمَ
Ilmu itu ada dua :
ilmu yang ada dalam hati dan itulah ilmu yang manfaat, serta ilmu yang ada
diatas lisan dan itulah hujjah (bukti kebenaran) untuk anak Adam.
Para ulama waratsatul
anbiya tersebut, membawa “Nur Ilahiyah” yang diwarisi dari Rasulullah
Saw. Mereka diberi kedudukan yang tinggi oleh Allah Swt sebagai sarana, tempat dan
pintu untuk menghormat Allah Swt wa Rasulihi Saw.
Hadis riwayat
Abu Daud Rasulullah saw bersabda :[13]
مَنْ أَكْرَمَ
عَالِمًا أَكْرَمَنِي وَمَنْ أَكْرَمَنِي أَكْرَمَ الله
Barang siapa
menghormat orang yang alim berarti ia telah menghormat aku (Rasulullah). Dan
barang siapa menghormat aku berarti ia telah menghormat Allah.
أَكْرِمُواالعُلَمَاءَ فَإِنَّهُم وَرَثَةُالأَنْبِيَاءِ
فَمَنْ أَكْرَمَهُمْ فَقََدْ أَكْرَمَ اللهَ وَرَسُولَهُ
Mulyakanlah para ‘ulama, karena sesungguhnya
mereka itu pewaris para nabi. Barang siapa yang memulyakan mereka berarti
memulyakan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam
al-Qur'an dan hadis telah dijelaskan, bahwa Rasululah Saw adalah pimpinan dari
semua mahluk, dan sekaligus - dengan Nur Ilahiyah yang ada padanya -, sebagai
penjaga kelestarian alam semesta. Dan atas izin dan perintah Allah Swt semata, setelah
kepulangan Rasulullah Saw kehadirat Allah Azza wa Jalla, nur ilahiyah tersebut diwariskan
kepada para ulama penerus risalah Islam. Diantara para pewaris tersebut, ada
ulama pewaris ilmu lahir, dan ada pula ulama pewaris ilmu dan kekuatan batin. Sedangkan
yang kita bahas dalam makalah ini, hanya berkaitan dengan ulama pewaris ilmu
dan kekuatan batin, yakni para auliyaillah, dan khsusnya al-Ghauts Ra.
Mereka
Tanda-tanda ulama pewaris sirri (kemampuan batin) rasul, antara lain :
a.
memiliki tugas – dengan doa dan karamahnya - sebagai
penjaga kelestarian bumi dan isinya. Allah Swt mewariskan bumi dan seluruh isinya kepada
hamba yang dikehendaki-Nya. Firman
Allah Swt, Qs.
al-Anbiya’: 106 :
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
Sesungguhnya bumi itu milik Allah,
yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya (Qs. al-Anbiya’
: 106).
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِكْرِ
أَنَّ الأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَالِحُونَ
Dan sungguh telah Kami tulis dalam
Zabur, setelah (tertulis) dalam lauh mahfudz, sesungguh-
nya bumi ini
diwarisi oleh hamba-Ku yang shalih.
Para pembesar ulama kaum sufi dan para auliyaillah,
mengatakan bahwa yang dimaksud pewarisan dalam ayat ini, adalah
pewarisan tentang penguasaan secara batiniyah. Mereka dibekali oleh
Allah Swt kekuatan sirri yang menembus kepenjuru alam (lahu sirrun yasri fil alam).
Dalam ayat
al-Qur’an yang lain, diterangkan Nabi Zakaria As – dengan izin Allah Swt -, mewariskan
jabatan kenabian kepada Nabi Yahya As. Allah Swt berfirman, Qs.Maryam : 5 – 6 :
فهَبْ ِليْ مِنْ لدُنْكَ وَلِيًّا يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ
أَلِ يَعْقُوب وَاجْعَلْه رَبِّ رَاضِيًّا
(Nabi
Zakariya As berdoa) : [15] Anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang putra. Yang mewarisi aku
dan dari keluarga Ya’qub. Jadikanlah ia, wahai Tuhanku, orang yang ridlai
(kepada-Mu).
b.
Mewarisi ilmu Rasulullah Saw. Hadis riwayat Imam Bukhari sabda Rasulullah Saw :
زُوِيَتْ لِيَ
الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ
أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي
Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung
timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan
sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.
Rasulullah Saw bersabda:
اِنَّ
مِنَ العِلْمِ كَهَيْئَةِ المَكْنُوْنِ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ العُلَمَاءُ بِاللهِ
فَاِذَا نًطَقُوا بِهِ لَمْ يُنْكِرْهُ اِلاَّ اَهْلُ الاِغْتِرَارِ بِاللهِ
Sesungguhnya ada
sebagian ilmu yang
dirahasiakan, tidak dapat mengetahuinya kecuali oleh ‘Ulama Billah. Maka
apabila mereka (ulama Billah) mengungkapkannya, tidak seorang-pun yang membantahnya, kecuali
orang-orang yang tidak paham tentang Allah.[16]
لَيْسَ العِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا العِلْمُ
نُورٌ يُقْذَفُ فِي القَلْبِ
Ilmu itu, bukan
karena banyaknya bercerita. Sesungguhnya ilmu adalah “nur” (ilahiyah) yang
diletakkan didalam hati.
c.
Mewarisi kandungan isi al-Qur'an dan kitab-kitab suci
sebelumnya.
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami (Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an)
kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami”. (Qs, Fathir : 32).
Setelah Rasulullah Saw pulang
kerahmatullah, kandungan al-Qur’an diwariskan kepada hamba yang dipilih oleh
Allah Swt sendiri.
Imam
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya menjelaskan tentang hamba yang terpilih adalah :
هُمْ أُمَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَرَثَهَمُ اللهُ كُلَّ كِتَابٍ أَنْزَلَهُ
Mereka itu adalah ummat Nabi Muhammad Saw, yang Allah telah
mewariskan kepadanya seluruh kitab yang diturunkan.
Sedankan
Imam Suyuthi dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan; [18] bahwa terjadinya pewarisan setelah kematian :
وَالمِيْرَاثُ فِيْمَا صَارَ لِلإِنْسَانِ بَعْدَ مَوْتٍ
Pewarisan sebagaimana yang terjadi
pada manusia, terjadinya setelah kematian.
Dan Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya
menjelaskan makna “kitab” dalam ayat
ini :
هَاهُنَا يُرِيْدُ بِهِ مَعَانِي الكِتَابِ وَعِلْمِهِ وَأَحْكَامِهِ
وَعَقَائِدِه
Disini, yang dimaksud dengan makna kitab, adalah ilmu,
hukum dan aqidah yang terkandung didalamnya. Sedangkan untuk makna hamba-hamba
Kami, adalah
: [19]
تُوَارَثُوا الكِتَابَ بِمَعْنَى أَنَّهُ إِنْتَقَلَ عَنْ
بَعْضِهِمْ إِلَى أخَرَ وقَالَ اللهُ وَلَقَدْ أَتَيْنَا دَوُودَ وَسُلَيْمَانَ
عِلْمًا وَقَالاَ الحَمْدُ للهِ الذِي فَضَّلَنَا عَلَي كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ
المُؤْمِنِيْنَ وَوَارَث سُلَيْمَانُ دَاوُدَ, وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَيْرِ
وَأُوتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْئٍ, إنَّ هَذَا لَهُوَ الفَضْلُ المُبِيْنُ
Mereka mewariskan kitab suci. Artinya,
Perpindahan warisan tersebut dari orang kepada orang lain (secara estafet). Allah
berfirman (Qs. an-Naml : 15 - 16) : Dan sungguh Kami memberi Dawud
dan Sulaiman sebuah ilmu. Dan mereka berdua mengatakan :”segala puji bagi Allah
yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan
Sulaiman mewarisi (ilmu, kerajaan dan kenabian) dari Daud. Sulaiman berkata : Wahai manusia
kami telah diberi pengertian tentang ucapan burung, dan kami diberi segala
sesuatu. Sesungguhnya semua ini suatu karunia yang nyata.
Dan dalam keterangan selanjutnya,
Imam al-Qurthubi menjelaskan :
فَإِذَا أَجَازَ النُبُوَّةُ
لِلْوِرَاثَةِ فَكَذَالِكَ الكِتَابُ
Jika (rahasia) kenabian saja dapat
diwariskan, apalagi (kandungan) kitab al-Qur’an.
Jadi,
kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan beberapa hadis dan ayat al-Qur’an
diatas, antara lain :
1.
Sepeninggal
Rasulullah Saw, kandungan dan sirri al-Qur’an diwariskan kepada salah satu
hamba Allah Swt yang terbaik pada masanya, dan yang dipilih oleh Allah Swt
sendiri (bukan pilihan manusia/ rakyat).
2.
Penerimaan
warisan tersebut secara spontan antara pewaris (al-Ghauts Ra) dan pemberi
warisan (Rasulullah Saw).
3.
Para
pewaris kandungan al-Qur’an tidak perlu susah payah dalam memperolehnya. Atas
kehendak Allah Swt, mereka dapat memahami al-Qur’an secara spontan, atau diinstal
secara langsung, dalam istilah computer.
Meski demikian, karena akhlaknya yang mulia, mereka sering menyembunyikan
kemampuannya tersebut.
4.
Dan
ulama pewaris al-Qur’an dan sirri Rasulullah Saw inilah yang dimaksud dengan ulama
waratsatul anbiya’.
5.
Karena
Rasulullah Saw hanyalah satu orang, maka penerima warisan seperti ini juga
hanyalah satu orang. Yang mana setiap beliau Ra al-Marhum, Rasulullah Saw
mencari satu ummatnya yang terbaik untuk menerima warisan tersebut.
إِنَّ
سِرَّكُمْ أَنْ تَقْبَلَ صَلاَتَكُمْ فَلْيَؤُمُكُمْ عُلَمَاءُكُمْ فَإِنَّهُمْ
وَفْدُ كُمْ فِيْمَا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ اللهِِ
Sesungguhnya rahasiamu, sekiranya
diterima sholatmu, maka mengimami kamu semua ulama’ kamu semua. Karena sesungguhnya
ulama tersebut sebagai perantaramu antara kamu dan Allah.
Syeh Ali Ibn Muhammad al-‘Azizi (w.
1070 H) dalam kitab Siraj al-Munir Ala al-Jami’ as-Shaghir, memberi penjelasan makna ulama dalam hadis
ini, sebagai berikut :
هُمْ الوَاسِطَةُ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ
رَبِّكُمْ لآَنَّ الوَاسِطَ الآَصْلِيَ هُوَالنَّبِي صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ وَرَثَتُهُ
Merekalah
(para ulama – pen) sebagai perantara antara kamu semua dan
Tuhanmu. Sesungguhnya perantara yang asli adalah Nabi Saw, mereka itu
merupakan waris Rasulullah Saw.
F. Awal Pembahasan
Firman Allah Swt QS. Yunus, 62 – 63}
اَلاَ اِنَّ اّوْلِيَاءَ اللهِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ الذِيْنَ اَمَنُوا وَكَانُوا يَتَقُوْنَ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para auliyaillah itu
tidak ada rasa khawatir terhadap mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati. Yaitu orang orang yang senantiasa
beriman dan mereka senantiasa bertaqwa (kepada Allah).
Dalam
kitab Sunan Abu Daud, juz IV,
nomer hadis : 4648, dari sahabar
Sufyanah, Rasulullah Saw bersabda :
خِلاَفَةُ النُبُوَّةِ ثَلاَثُونَ ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ مَنْ يَشَاءُ
أَوْ مَلَكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Khilafah kenabian itu tiga puluh
tahun. Kemudian Allah memberikan
kerajaan kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Atau menguasakan kerajaan itu kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Hadits
riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As
Shami, Rasulullah Saw bersabda 18
:
لاَ يَزَالُ فِي
أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ
تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ
Tidak sepi didalam ummat-Ku (Rasulullah) tiga
puluh hamba. Sebab mereka bumi (alam seisinya) tetap tegak, dan sebab mereka
manusia diberi hujan (oleh Allah), dan sebab mereka manusia ditolong oleh
Allah”.
إِنَّمَاأَخْوَفُ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh
yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Manusia Sempurna (al-Ghauts
Ra) merupakaan istilah yang sangat terkenal didalam kalangan ulama kaum sufi. Al-Qur’an telah mengisyarat keberadaan al-Ghauts Ra. Seperti yang tercermin dalam :
Firman Allah
Swt, Qs.
al-Baqarah : 30 :
وَاِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ اِنِّي جَاعِلٌ فِي الارْضِ خَلِيْفَةً
Dan Tuhanmu
bersabda kepada malaikat : Sesunggunya Aku menciptakan khalifah diatas bumi.
Al-Ghauts
fii Zamanihi Qs wa Ra Imam Ahmad Ibn Muhammad as-Shawi dalam kitab tafsirnya, juz
1 halaman 20 dijelaskan, bahwa kholifah yang pertama, jika ditinjau dari sisi
jasmani diduduki oleh Nabi Adam As,
sedangkan bila ditinjau dari sisi rohani kholifah itu pada hakikinya adalah
Nabi Mhammad Saw.
اَدَمُ فَهُوَاَبُوالبَشَرِوَاْلَخَلِيْفَةُ الاَوَّلُ بِاعْتِبَارِعاَلَمِ
الاجْسَامِ وَاَمَّا بِاعْتِبَارِعَالَمِ الارْوَاحِ فَهُوَ مُحَمّدٌ
صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, اِنّهُ قَا
ئِمٌ بِالخِلافَةِ. وحِكْمَةُ جَعْلِهِ خَلِيْفَةُ الرَحْمَةِ بالعِبَاد. اِنَّ
العِبَادَ لاَ طَا قَةَ لَهُمْ علَى تَلَقَّىِ االاوَامِرِ مِنَ اللهِ بِلاَ وَاسِطَةٍ.
Banyak buku karya dari para ulama kaum sufi
dari berbagai negara Islam yang telah menjelaskannya, dan tidak ketinggalan
pula para ulama sufi dari Indonesia dan Asia.
Telah banyak para ulama Indonesia yang
telah membahas keberadaan dan tugas al-Ghauts Ra. Namun dalam tulisan ini kami
sebutkan beberapa saja, yang antara lain :
1.
Syeh Nuruddin
ar-Raniri Aceh (w. 1773 M).
Beliau adalah penulis kitab: Asrar aI-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh war
Rahman.13 yang ditulis menggunakan bahasa melayu kuna dengan hurup arab pegon (hurup jawi).
Sebagai pengamal tarekat Syathariyah,
dalam kajian insan kamil, dalam kitabnya Asrar al-Insan, Beliau
menerangkan secara luas, bahwa insan kamil adalah hamba Allah Swt yang dalam
jiwanya memiliki Nur Muhammad. Dan karenanya, sebagai tempat tajalli Allah Swt
yang sempurna dan terakhir. Manusia sempurna sebagai khalifah (wakil) Allah Swt
dibumi. Beliau Ra ini memiliki beberapa gelar / pancaran, antara lain : Akal
Pertama, Imam Mubin, Qalam al-A’la, Durrah al-Baidla’. Sesuai dengan judul
nama kitab (Asrar al-Insan fi Makrifah ar-Ruh war Rahman) Syeh
ar-Raniri, membahas nama Manusia Sempurna (al-Ghauts Ra) dalam pasal pertama. dari folio 2b sampai folio 6a.
Dan pada folio 6b sampai folio 10a, Syeh menjelaskan kedekatan hamba kepada Tuhan terdapat maqam Wahidiyah, Ahadiyah dan Hakikah Muhmmadiyah. Sedangkan
pembahasan tentang tugas dan kedudukan al-Ghauts, dijelaskan pada folio 10b
samapai folio14a.
Diantara penjelasan Syeh ar-Raniri
tentang keberadaaan al-Ghauts Ra :
a. Pada folio 1a, Syeh menerangkan :
كَاتَ ستعَهْ دَرِفَدَ مرِكَئِتُ
بَهْوَاسَثَ رُوحُ القُدُّوسْ إِيْتُ يَائِتُ رُوحْ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kata setengah dari pada mereka itu (kaum
sufi-pen), bahwasanya Ruhul Quddus itu Ruh
Muhammad Saw.
b. Pada folio 2b Syeh
menerangkan :
خَلْيْفَة إِيْتُ دِنَمَائِي رُوْحُ
الاَعْظَمْ. كتَهُوِي أُولِهْمُوهَيْ عَارِفْ بَهْوَسَثَ رُوْحُ الاَعْظَمْ فَدَا حَقِيْقَةْ
يَائِيْتُلَهْ رُوْحُ إِنْسَانْ يَعْ مَظْهَرْ ذَاتِ الاِلَهِي دَرِفَدَ فِيْهَقْ
رُبُوبِيَتْثَ .بَهْوَسَثَ هِيْدُفْ سكَالَ عَالَمْ برْكرَاقْ دعَنْ دِيَ
دَانْلاَكِ سبَبْ كَارنَ إِعْتِبَارْ رُبُوبِيَتْثَ كأَدَأنْثََ تمْفَتْ ترْبِتْ
حَيَاتْ يَعْ حَيَةْ
Khalifah itu dinamai Ruhul A’dlam.
Ketahui olehmu, hai arif, bahwasanya Ruhul A’dlam pada hakikat, yaitulah “ruh
insan”, yang madhhar (menjadi tempat penampakan) Dzat (nur) Ilahi dari pihak
rububiyatnya. Bahwasanya, hidup segala alam bergerak dengan Dia. Dan lagi sebab
karena i’tibar rububiyat-Nya keadaannya tempat terbit hayat yang hayat.
4. Pada folio 3b
Syeh menerangkan :
دَنْ إِمَامْ مُبِيْنْ فُونْ نَامَثَ سفرْةِ فِرْمَانْ الله
تَعَالَى (وَكُلُّ شَيْئٍ أَحْصَيْنَاهُ فِيْ إِمَامٍ مُبِيْن) دَانْ تِيَفْ2 سكَالَ سسُوَاتُ تلَهْ كَامِ
هِيمْفُنكَنْْ اِيَ دَلَمْ كِتَابْ. مَكَ
سبَبْ دِنَمَائِي اَكَنْ خَلِيْفَةْ اِيْتُ اِمَامْ مُبِيْنْ. دَرِ كَارنَ بَهْوَاسَثَ سكَالَ عَالَمْ
عُلْوِي دَنْ سُفْلِي دِيْهِمْفُنْ دِدَلَمثَ مَكَ بَارَعْيَعْ أَدَ إِيَ أَصَلْ
سكَالَ سسُوَاتُ فَتُوتْلَهْ إِيَ أَكَنْ إِمَامْ دَنْ سكَالَ سسُوَاتُ إِتُ
مَأْمُومْثَ.
Dan Imam
Mubin pun namanya, seperti firman Allah Swt : Dan tiap-tiap segala sesuatu
telah Kami himpunkan ia dalam kitab mubin. Maka sebab dinamai akan khalifah
itu, Imam Mubin. Dari karena bahwasanya segala alam
(ringkasan-pen) ulwi (atas-pen) dan sufli (bawah-pen) dihimpun
didalamnya. Maka barang yang ada, ia asal segala sesuatu. Patutlah ia Imam dan segala sesuatu
itu makmum.
5. Pada
folio 4a, Syeh menerangkan :
دَنْ نُورُ الاَنْوَارْ فُونْ نَامَثَ
سفرْةِ فِرْمَانْ الله تعالى (وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرَهُ) بَهْوَسَثَ الله جُوَا
يَعْ مثمْفُرْنَاكَنْ نُورْثَ. دَنْ حَدِيثْ نَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ (أَنَا مِنْ نُور اللهِ وَالعَالَمُ مِنِّي) نُورْكُو دَرِقَدَ
نُورْ
الله دنْ عَالَمْ إِيْتُ دَرِقَدَ نُورْكُو. مَكَ سبَبْ دِنَمَائِي أَكَنْ
خَلِيْفَة إِتُ نُورُ الانْوَارْ
Dan Nurul Anwar pun namanya, seperti firman Allah Swt : Bahwasanya Allah
jua yang menyempurnakan nur-Nya. Dan hadis Nabi Saw : Nurku daripada Nur Allah, dan alam itu
daripada Nurku. Maka sebab dinamai khalifah itu, Nurul Anwar.
2.
Syeh Abus Shamad
al-Falimbani (w. 1785 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Siirus
Saalikin”, (berbahasa melayu kuno). Beliau Ra adalah murid dari al-Ghauts
fi Zamanihi Syeh Abdullah as-Samani al-Madani Ra (w.1758 M). Sebagaimana umumnya
kitab tasawuf, dalam menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra, buku ini mengulas
secara sekilas saja. Kitab ini merupakan syarah kitab “minhajul ‘abidin”
karya Imam Ghazali Ra. Ketika membahas bab nafsu dalam juz III, beliau
memaparkan adanya 2 (dua) kedudukan iman, wahidiyah dan ahadiyah.
Ketika mengulas
bab “ajaib al-qalbi”, Syeh menjelaskan; pencapaian martabat insan kamil sangat berkaitan dengan keberhasilan sesorang dalam melawanan tujuh nafsu yang ada dalam
jiwa; ammarah, lawwamah,
mulhamah, muthmainnah, radliyah, mardlyah dan kamilah. Dalam
melawan hawa nafsu, kekuatan dan persiapan seseorang tidak sama. Bagi orang yang memiliki kemauan
keras, Allah Swt akan menolongnya. Namun, dalam perjuangan melawan
nafsu, kebanyakan manusia berhenti pada nafsu yang keempat, nafsu mutmainnah. Sedangkan
maqam nafsu mauthmainnah ini, sebagai tahapan awal kedekatan seseorang pada Allah Swt. Dan masih ada maqam
diatasnya lagi, yakni maqam ahadiyah atau tamkin.
Yang mana maqam ini merupakan tahap awal
dalam memasuki maqam nafsu mutmainnah. Dan tahapan selanjutnya, seseorang
akan memasuki maqam wahidiyah.
Memang - sebagaimana penjelasan Imam
al-Ghazali dalam bab “dzammul ghurur” - banyak manusia yang tertipu oleh
ke-aku-annya (ego/ diri rendah), hingga merasa sudah sampai ke puncak makrifat.
Padahal masih ditengah jalan. Semestinya – demikian Syeh Palimbani -, menjelang
tahapan maqam muthmainnah, setiap salik harus meningkatkan kesyauqan, kerinduan
dan dapat melihat negatifnya nafsu tingkat tinggi dan kemudian menangis dengan
segala kekurangan dan aibnya tersebut. Setelah nafsu muthmainnah –demikian Syeh
Palimbani -, masih terdapat nafsu diatasnya, yaitu radliyah, mardliyah
dan nafsu kamilah. Dan salik yang mencapai nafsu kamilah, hanya satu orang
saja, dialah Insan Kamil lagi Mukammil atau dialah Manusia Khawas lagi Kawash
al-Khawash (al-Ghauts Ra). Dalam penjelasan
selanjutnya, Syeh Palimbani menerangkan, bahwa Syeh Muhammad Ibn Syeh Abdul
Karim As-Samani, mampu mencapai derajat nafsu kamilah/ Manusia Sempurna/
Syeh al-Waliy al-Kamil al-Mukammil/ Quthb az-Zaman Ra.
3.
Mohammad
Nafis ibn Idris al-Banjari (1735 M).
Beliau sebagai penulis kitab “Durrun
Nafis”. Kitab ini juga berbahasa melayu kuno.
Dan mengulas keberadaan
waliyullah, kitab ini mengulas keberadaan al-Ghauts secara sekilas saja. Dan ketika
membahas ke-Esaan Allah Swt, beliau memaparkan iman wahidiyah dan ahadiyah.
4.
KH. Mishbah Zain Al Mushthafa.
Beliau adalah penulis kitab Tahrir ad Durar Fii Aqwal al
Auliya’ al Abrar-nya Bangilan - Tuban- Jawa timur. Buku ini menerangkan keberadaan 9 orang al-Ghauts Ra dengan disertai beberapa fatwa dan amanat
dari mereka.
5.
Dr. Yunasril Ali.
Beliau adalah penulis buku yang berjudul Manusia
Citra Ilahi. Didalam buku ini mengulas tentang perbedaan antara Syeh Ibnu
Arabi Ra dan Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra dalam mengulas martabat wahidiyah,
ahadiyah, hakikatul Muhammadiyah dan Insan Kamil
(al-Ghauts). Al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Abdul Karim al-Jilli Ra – sebagaimana
keterangan Yunasril - lebih condong kepada aqidah sunni (al-wujud minal ‘adam/
creasio ex nihilo), sedangkan Ibnu Arabi Ra lebih condong kepada ulasan para
ahli filasaf Islam. Sebab ulasan para filusuf muslim – menurut Syeh Ibnu Arabi
-, tidak keluar dari kaidah al-Qur’an dan hadis.
6.
Prof. Dr.
Dawam Raharja (Pakar ekonomi Islam Indonesia).
Dengan karyanya Insan Kamil Dalam
Konsepsi Islam. Buku ini bersifat kumpulan dari berbagai pendapat para
pakar muslim dan non muslim yang membahas tentang keberadaan manusia sempurna (al-Ghauts
Ra), yang diantaranya membahas pendapat Muhammad Iqbal tentang adanya manusia
yang memiliki jiwa super ego.
7.
Drs. Idrus
Abdullah al-Kaaf dengan karya Bisikan Bisikan Ilahi.
Buku ini merupakan ulasan terhadap kitab ad-Durrul Mandzum
li Dzawil Uquul wal Fuhuum-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi
al-Haddad Ra. Dalam buku ini - selain menerangkan derajat Ghauts yang dijabat
oleh Imam Ghazali Ra, Syeh Abdul Qadir al-Jailani Ra dan Syeh Umar al-Ahdali -,
Idrus al-Kaf juga menerangkan bahwa Syeh Abdullah Alwi al-Haddad Ra dapat
mencapai derajat al-Ghauts fii Zamanihi Ra yang wafat pada tahun 1132 H.
Sedangkan kitab dan karya para ulama dari
luar Indonesia yang telah membahas keberadaan al-Ghauts Ra, antara lain :
1.
Imam Abul
Qasim Hawazin al-Qusyairi Ra, karya Risalah al-Qusyairiyah.
2.
Syeh Umar
Suhrawardi Ra, karya Awarif
al-M’arif.
3.
Syeh Abdul
Qadir al-Jilani, karya al-Ghunyah li
Thalib al-Haqqi.
4.
Abdul Wahab
As Sya’rani Ra al-Yawaqit wal Jawahir dan Tabaqatul Kubro
5.
Syeh Abdul
Karim Al Jilliy Ra, karya al-Insan al-Kamil. Syeh Ahmad Kamsykhanawi Ra,
karya Jami’ul ushul al Auliya’
6.
Syeh Muhammad
Amin Al Kurdi Ra, karya Tanwir al-Qulub
7.
Syeh Isma’il
Nabhani Ra, karya Sa’adah ad-Daraini, Syawahid al-Haq, Jami’
Karamah al-Auliya’
8.
Syeh Jalaluddin
Suyuthi Ra, karya al-Hawiy lil
Fatawiy
9.
Abu Nuaim
al-Ishbahani Ra, karya Hilyah al-Auliya wa Thabaqah as-Shufiyah
10.
Syeh Ali
al-Jurjani Ra, karya Kitab at-Ta’rifat.
11.
Ibnu Arabi
Ra, karya Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
12.
Imam Ghazali
Ra, dengan karya Misykat al-Anwar, al-Imla’ fi Isykalah al-Ihya, al-Madlnun
Bih, dan al-Maqshad al-Asna dan Iljam al-‘Awam. Dalam beberapa
kitabnya, Imam Ghazali menerangkan keberadaan al-Ghauts Ra dengan istilah
al-Kamil.
13.
Imam Ahmad
bin al-Mubaarak dengan karya al-Ibriiz min Kalami Sayyidi Abdul Azziiz.
Kitab ini merupakan catatan sejarah dan beberapa fatwa dan ajaran dari
al-Ghauts Ra pada waktu itu. Yakni Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag. Syeh, yang
menjabat al-Ghauts p[ada masanya , adalah seseorang yang tidak dapat membaca
dan menulis (buta hurup). Namun, dalam menjawab pertanyaan tentang segala
disiplin ilmu (hadis, tafsir, fiqih, nahwu/ balaghah, sejarah, maupun lainnya),
jawaban Beliau Ra sangat melebihi dari jawaban para ahlinya yang tidak buta
hurup.
14.
Syeh Ahmad
bin Zaini Dahlan, dengan karya Taqriib al-Ushul li Tashiil al-Wushuul fii
Ma’rifatilla wa ar-Rasuul.
15.
Kitab tafsir
Siraj al-Munir nya Syeh al-Khathib
as-Syarbini.
Dalam kitab tafsir ini, Syeh al-Khathb
memeperjelas ayat 251 surat al-Baqarah dengan hadis Nabi Saw dari Ibnu Mas’ud
riwayat Abu Nuaim dan Ibnu ‘Asakir
(tentang keberadaan
al-Ghauts Ra).
16.
Syeh Ibnu
Abidin, dengan karya Ijaabah al-Ghauts. Kitab ini menerangkan, bahwa
Syeh Ahmad Husaini at-Tijani (guru dari Ibnu Abidin) adalah al-Ghauts Ra pada
zamannya. Kitab ini membahas tentang pangkat-pangkat serta etika atau ajaran
dalam kewaliyan, khususnya al-Ghauts Ra.
17.
Imam Ibnu
Hajar al-Hatami dengan karya al-Fatawi al-Haditsiyah. Dalam buku ini,
menerangkan nama nama dari beberapa al-Ghauts Ra. Antara lain : Ibnu Arabi,
Syeh Zakariya al-Anshari dan beberapa al-Ghauts Ra yang dirahasiakan namanya,
dan hanya disebut dengan seseorang yang berpangkat al-Ghauts Ra. Dan pada ulasan tentang “rijalul ghaib”, Syeh
menuliskan hadis ghauts yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Isfahani dan Imam
Ibnu Asakirt Ra.
18.
Syeh Muhammad
Usman al-Mirghani Ra (w. 1268 H), karya an-Nafahatul Makkiyah wa al-Lamhah
al-Haqqiyah.[22]
Sebagai pengamal saydzalaiyah dan naqsyabandi serta mursyid
thariqah naqsyabandiyah, Syeh menjelaskan beberapa nama sanad dan silsilah
tarekat naqsyabandi dan syadzaliyah yang berpangkat al-Ghauts Ra. Diantaranya,
Syeh Abdul Wahab at-Tazi Ra, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag Ra, Syeh Muhammad bin
Idris Ra, Syeh Abu Yazid al-Busthami Ra (w. 261 H), Sayid Imam Ja’far Shadiq (w
148 H), Syeh Abu Abbas al-Mursi Ra, Syeh Abdus Salam bin Masyisy Ra
19.
Syeh Ismail
al-‘Ajuluuni Ra karya Kasyful Khifa’ wa Muzilul Ilbas. Kitab ini
merupakan kitab yang menjelaskan hadis-hadis yang diperdebatan tentang hasan,
dha’if, munkar dan maudlu’nya oleh para ulama.
20.
Syeh Muhammad
Amin al-Kurdi degan karyanya Tanwir al-Quluub. Dalam bahasan fadlul
auliya’, Syeh mnejelaskan hadis tentang al-Ghauts yang diriwayatkan oleh
Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir. Dan pula, pentahqiq kitab, dalam memberikan
pengantar kitab, mengabarkan tentang karomah jabatan puncak waliyullah (al-Quthb al-Kabir, al-Ghauts)
yang dicapai oleh Syeh Amin
Ra.
21.
Kitab ad-Da’wah
at-Tammah-nya al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Abdullah Alwi al-Haddad al-Yamani
Ra.
G. Al-Ghauts
Dalam al-Qur’an & al-Hadits.
[1]. Ibid. Diterangkan dalam juz II,
bab “Syeh Wafa”, Syeh Wafa adalah al-Ghauts yang tidak bisa membaca dan menulis
karena buta sejak umur 4 tahun. Namun sejak umur enam tahun Beliau Ra sudah
tampak karamahnya.
[2]. Malaikat yang tidak memiliki dosa serta termasuk golongan arifin dan
muqarrabin saja, masih harus bermakmum dan berguru kepada Guru (Nabi Adam As),
apalagi kita, manusia adalah mahluk yang penuh dosa
[3]. HR. Ibnu Abd
Rahman ad-Darimi, dalam Sunan juz I, nomer hadis 368
[4]. Hadis riwayat
Dailami dari sahabat Jabir Ra, kitab Siraj al-Munir Syarh al-jami’
as-Shaghir nya Syeh Ali Ibn Ahmad al-Azizi (Beriut “Dar al-fikri”,
tt.) juz III, hlm : 326, dinukil dari
kitab “Musnad al-Firdaus” nya Imam ad-Dailami. Kitab Muhtashar Ihya’ bab I dalam pasal
“afat ilmu”.
[5]. Dari sahabat
Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud juz IV
: a. nomer hadis : 4765.
b. nemer hadis : 4757.
c. nomer hadis : 4756
[6]. Inabaah (sebagai kata jadian dari
kata anaaba yang berarti kesadaran tentang kembalinya segala sesuatu
kepada Allah Swt. (kitab “at-Ta’rifat”-nya Syeh Ali al-Jurjani, bab alif). Dan dalam kesimpulan dari Prof. Dr. Abu Bakar
Atjeh; bertasawuf sama dengan berinabah yang berarti =
perpindahan dari satu keadaan menuju kepada keadaan lain yang lebih tinggi dan
mulia (lihat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Sufi &
Tasawuf” dalam bab I). Dapat berinaabah kepada Allah Swt merupakan tanda
kebahagiaan seseorang dihari kemudian. Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ المَرْءِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُهُ وَرَزَقَهُ اللهُ
الإِنَابَةَ
Sesungguhnya
diantara kebahagiaan seseorang, sekiranya ia diberi usia panjang dan diberi
rizki inaabah. Kitab Jami’ as-Shagir Imam
Jalaluddin Suyuthi, juz I bab alif.
[7]. Kitab
Dalail an-Nubuwwah-nya Imam Baihaqi, juz I dalam bab “man yaqbalu
khabaruhu” pada pasal keempat. Kitab Jawahir al-Bukhari wa Syarh
al-Qusthalani dalam “muqaddimah”. Kitab Manhal al-Lathif-nya Syeh
as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki pada ulasan “fadl-lu ulum al-hadits”
[11]. Dalam kitab Muhtashar
Ihya’-nya Imam Ghazali, pada bab I, (tentang Ilmu) pasal ulasan “afat
ilmu”, Imam Hasan al-Bashri
berkata : عُُقُوبَةُ العُلمَاءِ مَوْتُ القَلْبِ وَمَوْتُ
القَلْبِ طَلَبُ الدُنْيَا بِعَمَلِ الاخِرَةِ : Siksaan bagi para ulama itu matinya
hati. Matinya hati itu mencari dunia dengan amalan akhirat.
[12]. Sunan
ad-Darimiy, juz I/ 360.
[13]. Kitab Siraj
at-Thalibiin juz II, hlm : 74. kitab Lubb al-Lubab Fii Tahrir al-Insan-nya
imam Suyuthi).
[14]. Lihat kitab Siraj
at-Thalibin nya Syeh Dahlan al-Kadiri, (penerbit “dar al-fifri” Beirut
Libanon, tt. Kemudian disebut Siraj at-Thalibin), juz I, hlm : 74
[15]. Ketika Nabi Zakaria As merasa dirinya sudah
tua, sedangkan belum ada orang yang dapat melanjutkan perjuangannya, maka ia berdoa
kepada Tuhan untuk memohon anak yang diridlai-Nya agar dapat melanjutkan dan
mewarisi perjuangan.
[16]. Untuk
lebih jelasnya dalam memahami makna hadis ini lihat buku : Tafsir Ayat-Ayat
Cahaya bagian kedua (penerbit
Pustaka Progressif, tahun 1998) hlm 33. Atau kitab Misykatul Anwar-nya Imam
al-Ghazaliy, dalam Majmu’ah Rasail lil-Ghazali. Atau buku Zikir dan
Kontemplasi dalam Tasawuf-nya Dr. Mir.Valiuddin – ilmuawan dan sufi dari
Pakistan , terbitan Pustaka Hidayah, dalam bab I dan bab II. Atau kitab ‘Awarif al-Ma’arif-nya
Syeh Syihabuddin Suhrawardi Ra dalam bab 62. Iqadul
[17]. Kitab Muhtashar
Ihya’ bab I dalam pasal “adabul muta’allim”
[18]. Syeh Jalaluddun as-Suyuthi dalam
kitab tafsir Jalalain, menjelaskan
kata ثُمَّ أَورَثْنَا , sama arti
dengan kata أَعْطَيْنَا = Kami
berikan. Syeh Ahmad as-Shawi dalam b tafsir Shawi juz
III, hlm 313, menjelaskan; وَوَجْهُ
تَسْمِيَتُهُ مِيْرَاثًا أَنَّ المِيْرَاثْ يَحْصُلُ لِلْوَارِثِ بِلاَ تَعَبٍ
وَلاَ نَصبٍ وَكَذَالِك َإِعْطَاءُ الكِتَاب
حَاصِلٌ بِلاَ تَعَبٍ وَلاَ َصَبٍ alasan penggunaan pewarisan
disini adalah perolehannya tanpa susah payah. Begitu pula,
pewarisan al-Qur’an kepada penerimanya, tanpa susah payah.
[19]. Imam
al-Qurthubi dalam tafsir al-Qurthubi, pada surat an-Naml ayat 16,
menjelaskan makna pewarisan, dengan sabda Rasulullah Saw : العُلمَاء
وَرَثة الانْبيَاء : ulama itu pewaris Nabi.
10 . Hadis riwayat
Thabrani dalm kitab nya Mu’jam al-Kabiir
18 Kitab Siraj at-Thalibiin juz II, hlm
: 74
[20]. Jami’ as-Shagir Imam Jalaluddin
Suyuthi, juz I bab alif. Dan kitab Kasyful Khifa’ juz I, bab alif.
وَأَمَّا
عِلْمُ المُكَاشَفَةِ فَلاَ يَحْصُلُ بِالتَعْلِيْمِ وَالتَعَلُّمِ وَإِنَّمَا
يَحْصُلُ بِالْمُجَاهَدَةِ التِي جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى مُقَدِّمَةً
لِلْهِدَايَةِ
Ilmu
mukasyafah (tersingkapnya hati hingga dapat sadar kepada Allah Swt) tidak dapat
dihasilkan dengan pembelajaran ilmu. Da hanya dapat dihasilkan dengan
bermujahadah (perjuangan batin sungguh-sungguh), yang mana Allah Swt telah
menjadikan mujahadah sebagai pendahuluan dari hidayah.
13. Kitab dari tulisan asli dari Syeh Nuruddin
terseimpan pada mosium kerajaan Belanda di Den Hak. Sedangkan yang ada di
Indonesia merupakan disertasi yang ditulis oleh Tujimah untuk meraih gelar
doctoral, dan yang diterbitkan oleh “Penerbitan Universitas Djakarta” tahun 15 Maret 1960).
Syeh
Nuruddin, merupakan satu dari beberapa ulama yang memberantas paham wahdatul
wujud..
[22]. Lihat Majmu’ah
an-Nafahah ar-Rabbaniyah ala Rasail Mirghaniyah, penerbit “al-Haramain”
Singapura.
No comments:
Post a Comment