I. 01. 317 "BAHASAN UTAMA - Kuliah wahidiyah
A.
Sunnah Rasulullah SAW
1.
Kesempurnaan Sunnah
Setiap nabi
atau rasul mendapat tugas dari Allah Swt, sesuai kondisi kaumnya. Sejak Nabi
Adam As sampai akhir zaman, tidak ada
nabi atau rasul yang mendapat tugas menuntaskan risalah Tuhan sesempurna tugas
Rasulullah Saw. Beliau Saw membawa ajaran keimanan dalam meng-Esa-kan Allah Swt
secara sempurna dan sebenar-sebenarnya, dengan disertai tuntunan hidup yang
lengkap dan sempurna. Didalamnya, tak sedikitpun terdapat kekurangan. Firman Allah
Swt, Qs, al-Maidah : 3
أَلْيَوْمَ أَكْمَلَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإَسْلاَمَ دِيْنًا
Pada hari ini, telah Aku sempurnakan bagi kamu semua agamamu, dan telah Aku lengkapi kenikmatan bagimu, dan telah Aku ridloi Islam sebagi agama bagi kamu semua.
Kesempurnaan
ajaran yang dibawa Rasulullah Saw meliputi bidang lahiriyah dan batiniyah, fisik
maupun metafisik, serta hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan maupun dengan makhluk.
Tuntunan hidup yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadis, berfungsi sebagai
pedoman pokok (qanun asasi). Sebagai pedoman pokok, al-Qur’an memerlukan
penjelasan dan penjabaran dari Rasulullah Saw (al-hadis). Demikian pula, sunnah
rasul, masih perlu adanya penjelasan dan jabaran dari para sahabat yang
membidanginya. Al-Qur’an dan hadis, selain sebagai ketentuan hokum, juga
sebagai tempat kembali atau rujukan seluruh hokum dalam Islam. Kedua pedoman
hokum tersebut, didalamnya terdapat perintah kepada para ulama yang ahli, agar
menjabarkan dan mengembangkan kaidah pokok dengan tanpa keluar dari tujuan/
jiwa (ruh)-nya. Sepeninggal Rasulullah Saw, pada priode awal para sahabat nabi
berusaha memberikan penjelasan terhadap kaidah pokok tersebut, yang terkenal
dengan atsar atau ijtimaus shahabah (amalan yang menjadi kesepakatan sahabat). Tidak
semua sahabat memiliki kemampuan menjelaskan/ menafsirkan al-Qur’a, dan hadis.
Hanya p[ara sahabat yang sering bergaul dan berkumpul dengan Nabi Saw saja yang
dapat menjabarkan pedoman pokok tersebut. Diantara mereka adalah, Aisyah, Abu
Bakar, Umar bin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abu Mas’ud
al-Anshari, Jabir bin Abdullah al-Anshari, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin
Ma’ud, Abdullah bin Abbas, Mu’adz bin Jabbal, Abu Dzar al-Ghifari Ra. Sedangkan
sahabat yang lain mengikuti penjelasan dan penjabaran dari sahabat yang ahli tersebut.
Dan
kemudian penjelasan dari para sahabat, diulas dan diwujudkan dalam berbagai
ilmu yang tertulis dalam beberapa buku yang ditulis oleh generasi penerus Islam
selanjutnya. Ilmu fiqh, dijabarkan dan dilanjutkan oleh para Imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali dan fuqaha lainnya, dalam keimanan (aqidah) dijabarkan
dan dilanjutkan oleh ulama ilmu kalam (seperti Imam Abul Hasan al-Asy’ari, Abu Mansur
al-Maturidi dan lainnya), dan dalam ilmu akhlak batin (tasawuf) dijabarkan
dilanjutkan oleh Imam Hasan Bashri, Said bin Musayyab, Imam Ja’far Shadiq,
Ibrahim bin Adham, Fudlail bin’Iyadl, Malik bin Dinar dan kaum sufi lainnya serta
para waliyullah. Demikian pula penjabaran dalam bidang ilmu-ilmu yang lain.
Pada priode
kedua inilah lahirnya ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu tasawuf, ilmu bahasa,
ilmu kalam, dan beberapa ilmu lainnya. Yang mana ilmu-ilmu tersebut pada zaman
Nabi Saw, baru wujud secara global, serta
belum memiliki nama dan ciri-ciri secara mendetail. Penjabaran dan ulasan
terhadap inti sunnah ini, dimungkinkan terjadinya penyimpangan makna,
pendangkalan arti atau pembelokan arah oleh orang-orang yang kurang ahli atau
dari orang yang sengaja akan menghancurkan Islam dari dalam. Dalam ini terdapat
keterangan dalam hadis riwayat Bukhari dari
Aisyah Ra yang perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh. Rasulullah Saw
bersabda :[1]
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ
فِيْهِ فَهُوَ رَادٌّ.
Barang siapa yang mengadakan sesuatu
dalam agama kita ini yang tidak dasar didalamnya, maka ia tertolak (batal).
Dan
sebagaimana fakta yang terjadi, diantara mukmin terjadi perbedaan yang sangat
tajam dalam mengartikan makna bid’ah, yang antara satu dengan mukmin lainnya hanya
menurut pemahaman sepihak, tanpa mengkompromikan dengan pendapat pihak lain.
Hingga terjadi, tuduhan pelaku bid’ah yang diarahkan kepada lawan pendapat. Sebagai
missal, ajaran yang mengajak memahami keberadaan serta keagungan Rasulullah Saw
secara ruhani dan al-Ghauts Ra, dianggap sebagai paham bid’ah oleh kelompok
yang memiliki paham berhubungan kepada Allah Swt dapat dilakukan secara
langsung (naudzu billah).
Setan/
iblis tidak rela bila ummat Islam bersatu. Ia membisikkan paham yang menyalahi
sunnah rasul. Dan Rasulullah Saw memang telah mensinyalir akan terjadinya
keondisi ummat Islam yang saling membid’ahkan antara kelompok satu dengan
lainnnya :
أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي ثَلاَثًا زِلَّةُ عَالِمٍ
وَجَدَالُ مُنَافِقٍ بِالْقُرْآنِ وَالتَكْذِيْبِ بِالقَدَرِ
Tiga perkara yang Aku takutkan
terhadap ummatku : hilangnya orang alim, perdebatan orang munafiq tentang
al-Qur’an dan pendustaan terhadap taqdir. [3]
أَفَةُ الدِيْنِ ثَلاَثَةٌ فَقِيْهٌ
فَاجِرٌ وَإِمَامٌ جَائِرٌ وَمُجْتَهِدٌ جَاهِلٌ
Afat agama ada tiga : ahli fiqh yang
durhaka, imam yang tidak adil dan mujtahid (orang menafsiri Qur’an dan hadis)
yang bodoh.
سَيَكُوْنُ فِي أُمَّتِي إِخْتِلاَفٌ وفِرْقَةٌ, قَوْمٌ يُحْسِنُهُمُ
القِيْلَ وَيَسِيْئُوْنَ الفِعْلَ يَقْرَؤُنَ القُرْأَنَ وَلاَ يُجَاوِزُ تَرَاقَبَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنَ الدِيْنِ مُرُوْقَ السَهْمِ مِنَ الرَمْيَةِ لاَ يَرْجِعُونَ
حَتَّى يَرْتَدَّ عَلى فُوقِهِ, هُمْ
شَرُّ الخَلْقِ وَالخَلِيْقَةِ
Akan datangsuatu masa pada ummat-Ku, perbedaan dan
perpecahan. Terdapat kaum yang kebaikannya terletak pada pembicaraannya, dan
kejelekannya terletak pada perbuatannya. Mereka membaca al-Qur’an, namun tidak
melebihi kerongkongannya. Mereka semua terlepas dari pedoman agama, bagaikan
mudahnya anak panah terlepas dari busurnya. Mereka tidak akan kembali (kepada
mukminin) kecuali meragukan prinsip agamanya. Mereka itulah sejelek-jelek
mahluk dan akhlaknya.
Meskipun
demikian, Allah wa Rasulihi Saw telah menjamin bahwa kemurnian dan kesucian
sunnah Islam tetap terjaga dari penyimpangan dan pembelokan tersebut. Allah Swt
dalam setiap waktu akan memberikan hidayah kepada mukmin yang terpilih dan yang
dicintai-Nya, serta memberikan kepampuan kepada mereka untuk berjuang ditengah-tengah
ummat masarakat dalam menjaga kemurnian sunnah Islam agar ruh Islam yang asli
tetap terjaga. Penerus dan penjabar sunnah yang lurus ini, dikenal dengan sebutan
para waliyullah dan al-Ghauts Ra, baik ia menjabat sebagai “mujaddid” atau
tidak. Sebagaimana keterangan dalam :
1.
Hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw bersabda :
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ
اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْخَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُاللهِ
وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Tidak sepi
dari ummat-Ku sekelompok orang yang menegakkan agama Allah. Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang
menghinanya dan membelakanginya. (Keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan
Allah (hari kiamat). Mereka senantiasa
berada di tengah tengah masarakat.
2.
Firman Allah Swt, Qs. al-Anbiya’ : 106 :
إِنَّ الأَرْضَ للهِ يَرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِه
Sesungguhnya bumi itu milik Allah,
yang diwariskannya kepada orang yang dikehendaki dari antara hambanya
3.
Firman Allah Swt, Qs. Fathir : 32 :
ثُمَّ أوْرَثْنَا الكِتَابَ الذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا
Kemudian Kami
(Allah) mewariskan kitab (al-Qur’an) kepada orang-orang yang kami pilih di
antara hamba-hamba Kami.
يَحْمِلُ هَذَا العِلْمَ مِنْ كلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ ,
يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المُبْطِلِيْنَ
وَتَأْوِيْلَ الجَاهِلِيْنَ
Ilmu ini (kebenaran) akan disandang oleh orang-orang
terbaik pada setiap generasi. Mereka menepis penyimpangan kaum ekstrim,
membongkar pemalsuan kaum ahli bathil dan mematahkan takwil (pemahaman) kaum
jahil.
Berkaitan
dengan hadis Imam Baihaqi ini, Imam Nawawi Ra menjelaskan, keberadaan manusia
terbaik pembawa ilmu dari Rasulullah Saw dalam waktu :
وَأَنَّ اللهَ يُوَافِقُ لَهُ فِي كُلِّ عَصْرٍ خَلْفًا مِنَ العُدُوْلِ
يَحْمِلُونَهُ وَيَنْفَوْنَ عَنْهُ التَحْرِيْفَ
Dan
sesungguhnya Allah memberi taufiq (pertolongan) untuk ilmu Rasulullah setiap
masa, generasi terbaik yang dapat mengembannya serta dapat menepis
penyimpangan.. [7]
Diantara ruh Islam yang pokok dan sangat esensial, adalah menyadari keberadaan Rasulullah Saw secara ruhani serta keberadaan al-Ghauts Ra. Pemahaman
ini merupakan keimanan yang sering dibelokkan oleh mereka yang kurang
bertanggung jawab. Mereka mendustakan keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw wa Ghauts Ra pada setiap
zaman, dengan mencari-cari dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis, yang
dipaksakannya.
Untuk melanjutkan sunnah para sahabat tersebut (tentang keberadaan dan
keagungan Rasulullah Saw
serta keberadaan al-Ghauts Ra pada setiap waktu), para
ulama dari kaum sufi, meskipun mendapat tantangan dan rintangan dari
orang-orang yang tidak memahaminya, mereka
terus mempertahankan prinsip keimanan tersebut dengan
sekuat tenaga. Diantara mereka, ada yang difitnah dan dijebloskan kedalam
penjara dengan alasan yang dicari-cari dan dibuat, padahal mereka tidak
melakukannya. Diantara mereka, ada yang
dituduh menciptakan paham ittihad, hulul dan wahdatul wujud,
padahal paham ini sangat jauh dari alam pikiran kaum sufi.[8] Mereka
(yang menfitnah) negartikan ketiga istilah tersebut hanya menurut paham mereka,
dan bukan menurut paham sufi. Dan para pemfitnah tersebut, tidak mau
mendengarkan ulasan dan penjelasan yang diberikan oleh para ulama kaum sufi.
Perjuangan Wahidiyah yang pusat pergerakannya di Pondok Pesantren
Kedunglo al-Munaddloroh Kota Kediri – Jawa Timur, bertujuan melanjutkan perjuangan
tentang kesadaran ummat manusia terhadap keberadaan dan keagungan Rasulullah
Saw dan al-Ghauts Ra, yang mana perjuangan ini telah diperjuangkan oleh para sahabat
nabi dan Waliyullah Ra sejak pada masa awal Islam sampai waktu kapanpun.
Perjuangan tersebut oleh Yayasan Perjuangan Wahidiyah Dan Ponpes Kedunglo dilaksanakan
secara lahir dan
batin. Secara lahir, bergerak dengan bentuk penyiaran dan pembinaan kepada ummat
masarakat tanpa pandang bulu, agar dapat memahami keberadaan dan kegungan
Rasulullah Saw serta memahami keberadaan al-Ghauts Ra (yang mana setiap Beliau
Ra almarhum, Allah Swt mengangkat waliyullah dibawahnya untuk menggantikan
kedudukannya). Sedangkan secara batin bergerak dalam bentuk berdoa memohon
hidayah Allah Swt, untuk mendapatkan fadlol dan hidayah-Nya, agar diri sendiri,
keluarga serta ummat dan masarakat dapat memahami keberadaan Rasulullah Saw dan
Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
Dita’lifnya
shalawat wahidiyah oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif Shalawat
Wahidiyah QS wa RA, dan dibentuknya lembaga Perjuangan Wahidiyah oleh Hadlratul
Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid Ra, bertujuan agar mukmin yang
mengamalkannya dan bernanung dalam Yayasan Perjuangan Wahidiyah dapat merasakan
manisnya iman musyhadah kepada Allah wa Rasulihi Saw wa Ghautsi Hadzaz Zaman Ra
(iman Wahidiyah dan iman Ahadiyah).
Sistem/ metode/
kurikulum (thariqah dalam istilah tasawuf) yang disusun Perjuangan
Wahidiyah sangat sistimatis, simple dan praktis. Disamping melalui penjelasan
dan dakwah (penyiaran dan pembinaan), juga memberikan alat atau cara
untuk membuktikan (secara musyahadah) terhadap keberadaan, kemulyaan dan
keagungan Rasulullah Saw wa Ghautsuz Zaman Ra.
2.
Pembagian Sunnah
Secara
bahasa as-sunnah memiliki
arti : aturan, tuntunan atau cara hidup. Sedangkan menurut pengertian syariat,
berarti keterangan Nabi Muhammad Saw terhadap kitabullah dalam bentuk ucapan,
perbuatan dan sikap, yang kemudian mejadi cara nabi dan para sahabatnya dalam
menjelaskan agama Islam. Setiap agama memiliki tuntunan/ sunnah yang baku yang
dijadikan pedoman oleh penganutnya.
Dalam kitab Tanwiirul Hawaalik ‘alaa Syarhi Muwattha’ Malik karya Syeh Jalaluddin Suytuthi,[9]
diterangkan bahwa Syeh Ibnu Muhdi (pembesar ulama Hijaz setelah Imam Malik)
mengatakan :
Syeh Sufyan Tsauri adalah imam dalam hadis tapi bukan
dalam sunnah. Syeh
al-Auzaiy adalah imam dalam sunnah, tapi bukan dalam hadis. Sedangkan Imam
Malik Ibn Anas adalah imam dalam hadis dan sunnah.
Dan
dalam kitab yang sama, Imam Ibnu Shalah juga mengatakan : Seorang ulama, kadang alim dalam bidang hadis,
namun tidak alim dalam biang sunnah.
Secara
garis pokok, dalam syariat Islam hanya ada sunnah Rasulullah Saw dan tidak ada
sunnah lainnya. Sedangkan secara rinci, terdapat 3 (tiga) sunnah :
1.
Sunnah
Rasulullah Saw.
Sunnah rasul
merupakan qanun asasi (pedoman pokok) kedua setelah al-Qur’an. Ia merupakan
ulasan dan jabaran terhadap al-Qur’an. Kebenaran sunnah rasul ini bersifat
mutlak serta pasti. Jabaran dari Beliau Saw terhadap al-Qur’an, hakikinya bukan
dari nafsu, melainkan datang dari wahyu.
2.
Sunnah
Sahabat Ra.
Sunnah sahabat tidak boleh dipahami sebagai tandingan
terhadap sunnah Rasulullah Saw. Karena ia sebagai ulasan atau jabaran terhadap
sunnah rasul. Dan Rasulullah Saw-pun memerintahkan ummat Islam untuk
mengikutinya. Sebagaimana yang tercermin dalam hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
:[10]
وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِدِ. وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ.
Sesungguhnya, barang siapa diantara
kamu semua yang hidup (pada masa nanti) akan melihat terjadinya banyak
perbedaan pendapat. Maka, wajib bagi kamu semua (berpegang teguh) dengan sunnah-ku
dan sunnah para khalifaur rasyidin yang mendapat hidayah. Gigit
(pegang)-lah sunnah tersebut dengan geraham (kuat-kuat). Dan hati-hatilah
dengan perkara yang baru. Sesungguhnya segala
yang bid’ah (perkara baru) adalah sesat.
Sari makna dari
hadis diatas dengan jelas menerangkan:
1.
Munculnya perbedaan penafsiran terhadap intisari
dari syariat Islam terjadi setelah kepulangan Rasulullah Saw ke alam baka.
2.
Rasulullah Saw telah menjelaskan; bahwa khulafaur
rasyidin adalah manusia pilihan yang paling paham tentang makna yang terkandung
dalam al-Qur’an dan al-Hadis, manusia yang paling mengetahui perbedaan antara
sunnah dan bid’ah, serta manusia paling mengerti tentang perbedaan antara perkara
yang hak dan yang batal.
3.
Berpegang teguh kepada sunnah/ amalan/
tafsiran para khulafaur rasyidin, merupakan perintah dari Rasulullah Saw, dan
berarti sebagai bagian dari sunnah Islam
yang pokok.
4.
Setelah Rasulullah Saw memerintahkan berpegang teguh
dengan sunnah khulafaur rasyidin, baru memberikan peringatan terhadap akan
adanya amalan bid’ah. Dengan demikian, tafsiran/ amalan para khulafaur rasyidin
tidak dapat dikelompokkan kedalam amalan bid’ah.
Seperti
jamaah tentang shalat tarawih. Sahabat Umar bin Khatthab Ra, menjelaskan : نِعْمَةُ البِدْعَةِ هَذِهِ : nikmatnya
bid’ah adalah ini. Para sahabatlah yang paling mengetahui tentang makna
sunnah bid’ah.
5.
Amalan bid’ah adalah amalan atau tafsiran yang tidak
sesuai dengan tafsiran/ amalan para khulafaur rasyidin Ra.
6.
Karena amalan/ tafsiran dari khulafur rasyidin tidak
golongkan oleh Rasulullah Saw sebagai amalan bid’ah, maka makna kata “كُلَّ بِدْعَةٍ : bukan setiap bid’ah”,
akan tetapi menjadi “sebagian bid’ah”. Hal semacam ini banyak kalimah
dalam al-Qur’an atau hadis yang sepadan. [11]
Misalnya;
pertama, memulyakan dan mengagungkan keberadaan serta kedudukan Rasulullah
Saw baik secara jasmani maupun secara ruhani (waktu masih hidup maupun setelah wafatnya),
merupakan sunnah rasul yang sering dianggap perbuatan bid’ah. Dan pada
akhir-akhir ini, sebagian besar ummat Islam, tidak (paling tidak, kurang)
mengenal keagungan dan kedudukan Rasulullah Saw secara ruhani.
Sebagai nabi terakhir, dan tidak ada nabi setelah Beliau Saw, makna syahadah
“rasul” (Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah), tidak boleh diartikan dengan; bahwa Nabi Muhammad adalah mantan rasul atau akan
menjadi rasul. Akan tetapi “Nabi Muhammad (manusia terbaik dan terpilih) adalah (tetap sebagai) Rasulullah”. Makna kalimah syahadah itu, mengisyaratkan; beliau adalah rasul pada waktu dahulu, sekarang maupun nanti. Dengan kata lain, saat sekarang ini, saat
kita membaca tulisan ini, Beliau Saw adalah Rasulullah, bukan mantan rasul. Memperjuangkan
agar mukmin senantiasa menyadari terhadap keagungan dan ketinggian derajat
Rasulullah Saw disisi Allah Swt, para sahabat, tabi’in, serta para ulama kaum
sufi, membuat metode/ system/ tarekat yang dapat membawa manusia kepada hal
tersebut. Diantara metode/ sunnah yang mereka buat, menyusun doa dalam bentuk
shalawat, yang didalamnya terdapat ajaran tentang kebesarannya, menulis sejarah
hidup Nabi Saw dengan disertai berita tentang karomah dan mu’jzatnya.
Kedua, semua
tarekat atau sunnah yang disusun oleh para al-Ghauts Ra, bertujuan agar sunnah
rasul yang telah dijabarkan oleh para sahabat dapat terealisasi. Seperti :
1.
Setiap muslim dapat memahami Rasulullah Saw masih hidup
secara ruhani, serta tetap sebagai rasul-Nya sampai akhir zaman.
HR. Imam Muslim dari Abu
Hurairah Ra :
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا
قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّو عَليَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تُبَلِّغُونِي حَيْثُمَا
كُنْتُمْ
Janganlah kamu jadikan
rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu jadikan kuburku seperti hari raya,
bershalawatlah kamu semua kepadaku. Sesungguhnya shalawatmu sampai kepadaku
dimanapun kamu semua berada.
وَإِنْ أَحَدٌ لَيُصَلِّيَ عَلَيَّ
إِلاَّ عُرِضَتْ عَلَيَّ صَلاَتُهُ حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. قُلْتُ : وَبَعْدَ
المَوتِ ؟. قَالَ : إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى
الأرْضِ أَنْ تَاْكُلَ أَجْسَادَ الأَنْبِيَاءَ, فَنَبِيُّ اللهِ حَيٌّ يُرْزَقُ
Dan
tidaklah seseorang yang bershalawat kepadaku, kecuali shalawatnya diperlihatkan
kepadaku sampai ia selesai bershalawat. Aku (Abu Darda’) berkata: dan setelah
mati ?. Jawab (Rasulullah Saw) : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada
bumi (masa) memakan (merusak) jasad (jiwa)
para nabi. Nabiyullah itu tetap hidup dan mendapat rizki.
Allah Swt berfirman, Qs.
al-Baqarah : 154 :
وَلاَ
تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu semua mengatakan kepada orang yang mati
dalam jalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, (mereka) tetap hidup.
Sedangkan (akal) kamu semua tidak dapat menjangkaunya.
Allah
Swt berfirman, Qs. Ali Imran : 169 :
وَلاَ
تَحْسَبَنَّ الذِيْنَ قُتِلُوا فِي سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ
عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu semua mengira kepada orang-orang
yang gugur dijalan Allah (mengalami) kematian. Akan tetapi, tetap hidup disisi
Tuhannya, dan mereka biberi rizki.
Keterangan
yang didapat dari hadis dan firman diatas, adalah tetap hidupnya Rasulullah Saw
secara ruhani. Paham ini merupakan paham yang harus dipegang oleh setiap mukmin
yang mengucapkan dua kalimah syahadah. Dan inilah sunnah sahabat para khulafaur
rasyidin Ra dan para al-Ghuts Ra.
2.
Mukmin dapat memahami bahwa alam seisinya
diwujudkan oleh Allah Swt untuk menghormat dan mengagungkan Rasulullah
Saw.
وَلَمَّا اقْتَرَفَ أدمُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: اللهُمَّ اِ
نّيِ أَسْألُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ اِلاََّ غَفَرْتَ لِي قَالَ اللهُ يَأدَمُ
كَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدا وَلَمْ أَخْلُقُهُ ؟ قَالَ: لَمَّا
خَلَقْتَنِي وَنَفَخُْت فِي مِنْ رُوْحِكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَ يْتُ عَلىَ قَوَائِمِ
العَرْشِ مَكْتُوبًا لاَالهَ الاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ
أنَّ اسْمَكَ لَمْ تَضِفْ اِلاّ عَلَى أَحَبَّ الخَلْقِ اِلَيْكَ, قَالَ: صَدَقْتَ
أَ نَّهُ لأحَبُّ الخَلْقِ وَاِذْ سَاَلْتَنِي بِحَقِّهِ فَأَجَبْتُ وَلَوْلاَهُ
مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam
terperosok kesalahan, Adam berkata : Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan hak
dan kenyataan Muhammad, ampunilah aku. Tuhan bersabda :
Wahai Adam darimana engkau mengetahui Muhammad sedang Aku (Allah) belum
menciptanya. Jawab Adam : Ketika Engkau menciptaku, dan meniupkan
kedalam jiwaku Ruh dari-Mu, kemudian aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat
pada penyangga arasy terdapat tulisan Lailaha Illallah Muhammad
Rasulullah. Oleh karenanya aku mengerti
bahwa sesungguhnya Asma-Mu tidak mungkin Engkau sandarkan kecuali kepada mahluk
yang paling Engkau cintai. Tuhan bersabda : Benar kamu (Adam). Ia
(Muhammad) adalah mahluk yang paling Aku cintai. Dan jika kamu memohon
kepada-Ku dengan melalui hak dan kenyataan Muhammad, maka Aku akan memberi
ijabah. Dan sekiranya bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptamu
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas Ra, Rasulullah Saw
bersabda : [13]
أَتَانِي جِبْرِيْلُ وَقَالَ: يَا
مُحَمَّدُ إِنَّ اللهَ يَقُولُ: لَوْلاَكَ مَا خَلَقْتُ الجَنَّةَ وَلَوْلاَكَ مَاخَلَقْتُ النَارَ
Datang kepada-Ku malaikat Jibril, lalu ia berkata : Wahai Muhammad,
Allah telah berfirman: Kalau
bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak menciptakan surga, dan kalau
bukan karena engkau (Muhammad), Aku (Allah) tidak mencipkan neraka.
Ketiga, Perjuangan Wahidiyah, yang
memperjuangkan agar mukmin dapat memahami, bahwa Rasulullah Saw, sebagai
saluran rahmat, fadlal, hidayah Allah kepada makhluk.
HR.
Muslim (Shahih Muslim "Kitab Imarah", bab "laa tazaalu").
Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ يُرِدْاللهُ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِي الدِيْنِ
أِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً
بِأَمْرِ اللهِ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ
أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُنَ عَلَى النَاسِ
Barang siapa yang Allah menghendakinya
menjadi baik, maka (Allah) memahamkannya dalam agama. Sesungguhnya Aku
(Rasulullah Saw) adalah Sang Pembagi dan Allah adalah Sang Pemberi. Tidak sepi dari ummat-Ku sekelompok orang
yang menegakkan agama Allah.
Mereka tidak dapat dirugikan oleh orang-orang yang menghinanya dan
membelakanginya. (keberadaan mereka) hingga datangnya keputusan Allah. Mereka
senantiasa berada di tengah tengah masarakat.
HR. Bukhari
dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah Saw bersabda :[14]
إِشْفَعُوْا فَلْتُؤْجَرُوا وَلْيَقْضِ اللهِ عَلَى لِسَانِ رَسُوْلِهِ
مَا شَاءَ.
Mohonlah
syafaat. Niscaya kamu mendapatkan pahala. Dan karena Allah menentukan
kehendak-Nya melalui lisan rasul-Nya.
Dalam
riwayat Abu Daud (dalam Sunan, nomer hadis 4466), redaksi hadis terdapat tambahan kata : إِلَيَّ : kepadaku,
setelah إِشْفَعُوْا. Artinya : mohonlah syafaat kepadaku.
Allah
Swt berfirman, Qs. an-Anfaal : 17 :
وَمَارَمَيْتَ
إِذْرَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى
Tidaklah engkau melempar (wahai
Mauhammad), ketika engkau melempar, akan tetapi Allah-lah yang melempar.
Dalam
kitab Syawahidul Haq-nya Syeh Yusuf an-Nabhani Ra pada pasal II,
dijelaskan :
وَأَمَّا كَونُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي
وَيَمْنَعُ وَيَقْضِي حَوَائِجَ السَّائِلِيْنَ وَيُفَرِّجُ كُرَبَاتِ
المَكْرُوْبِيْنَ, وَأَنَّهُ يَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ
يَشَاءُ. فَهُوَ لاَشَكَّ فِيْهِ وَلاَ يَتَرَدَّدُ بِصِحَّتِهِ وَوُقُوْعِهِ
إِلاَّ كُلُّ مَنْ تَرَاكَمَ عَلَى قَلْبِهِ الجَهْلُ وَالظَلاَمُ.
Keberadaan dan keagungan
Rasulullah Saw, dapat member, menolak, memberi keberhasilan kepada hajat para
peminta, menghilangkan kegundahan hatio orang-orang yang gundah menolong kepada
orang yang ia menghendakinya, memasukkan surge kepada orang yang ia
menghendakinya. (Pemahaman seperti ini) tidak meragukannya serta tidak akan
membimbangkan kebenarannya serta terjadinya,
kecuali orang yang hatinya tertutup dengan kebodohan dan kegelapan.
Bahkan seseorang
belum dikatakan mukmin selagi belum dapat memahami kedudukan Rasulullah Saw
sebagai saluran nikmat dan kehendak Allah Swt. Al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh
Al-Qasthalani (w. 758 H) dalam memberi
penjelasan terhadap hadits riwayat Imam
Bukahri dan Imam
Muslim (tentang pentingnya cinta kepada Rasulullah Saw, sebagai ukuran
iman seseorang) : [15]
حََقِيْقَةُ
الاِيْمَانِ لا َتَتِمُّ
وَلاَتَحْصُلُ إِلاَّ بِتَحْقِيْقِ أَعْلإَِ قَدْرِهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْزِلَتِهِ عَلَى كُلِّ
وَالِدٍ وََوَلَدٍ ومُحْسِنٍ فَمَنْ لَمْ يَعْتَقِدْ هَذَا فَلَيْسَ
بِمُؤْمِنٍ. يُبَيِّنُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
علَيْهِ وَسَلَّمَ مِقَدَارَ دَرَجَةِ المُؤْمِنِ علَى
حَسَبِ مَحَبَّتِهِ لَنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Hakikat iman tidak dapat dihasilkan dan tidak dapat
disempurnakan, kecuali dengan memahami tingginya kedudukan Rasulullah Saw
dengan nyata (musyahadah), diatas kedudukan orang tua, anak dan para pelaku
kebaikan.
Barang siapa tidak memiliki
kepercayaan seperti ini, maka ia tidak disebut mukmin. Rasulullah Saw
menjelaskan bahwa ukuran derajat mukmin,
tergantung seberapa rasa cintanya kepada Rasulullah Saw.
3.
Sunnah
ulama.
Banyak
manusia dalam memandang tuntunan agama terbatas ritual lahiriyah/ syari’ah
saja. Maka, agar Islam tetap berjalan diatas landasan Islam yang murni (syariat
dan hakikat), para ulama yang ahli
diperintahkan untuk menggali dan mancari cara (metode/ sunnah/ kurikulum/ thariqah)
agar sunnah rasul dan sunnah sahabat, mudah untuk dipahami dan diamalkan oleh
orang mukmin. HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda : [16]
مَنْ سَنَّ فِي
الاِسْلاَمِ سُنَّةَ حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الاِسْلاَمِ سُنَّةَ
سَيِّئَةً كَانَ َلَه وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُوزَارِهِمْ شَيْئٌ
Siapa
saja yang membuat sunnah dalam Islam, dengan sunnah yang baik, maka baginya
pahala dan pahala dari orang yang mengamalkan sunnah tersebut dengan tanpa
mengurangi pahala dari pengamalnya sedikitpun. Siapa saja yang membuat sunnah
dalam Islam, dengan sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa dari orang
yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya dengan tanpa mengurangi dosa dari
pengamalnya sedikitpun.
Dalam kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I/ 442 diterangkan; para ulama terdahulu (salafus
shalih) berpendapat : thariqah (system/ metode/ amalan) adalah jalan kebaikan
yang memiliki dasar (baik secara tersurat atau tersirat) dari
sunnah Rasullah Saw :
وَهِيَ
طَرِيْقَّةٌ مَرْضِيَةٌ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُسْنُهَا بِالنَصِّ بَلْ
بِالإِسْتِنْبَاطِ
Sunnah, adalah thariqah (jalan) yang diridlai Allah, walaupun kebaikannya
tidak terdapat dalam nash (tersurat), akan tetapi melalui istinbath (makna
tersirat).[17]
Bahkan
dalam hadis riwayat Imam Thabrani, dijelaskan didalam syariah Islam terdapat
360 macam thariqah/ sistem. Rasulullah Saw bersabda : [18]
إِنَّ
شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا سَلَكَ
أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya
syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak
seorang-pun mengambil dari salah
satunya, kecuali mendapat keselamatan.
Dan dalam catatan jam’iyah thariqah an-nahdliyah (jamaah thariqah
yang bernaung dibawah Nahdlatul Ulama), jumlah thariqah yang masyhur (mu’tabarah)
sebanyak 44 thariqah. Sedangkan thariqah selain yang tercatat dalam jam’iyah NU
tersebut hukumnya sah dan baik, selama berpedoman kepada aqidah ahlus sunnah
wal jama’ah dan merujuk kepada kitab-kitab sunny yang mu’tabar.[19]
Sebagaimana
lazimnya dalam kehidupan setiap agama, setelah ditinggal oleh pembawanya,
terjadi penyimpangan oleh sebagian pengikutnya. Namun, dalam Islam, Allah Swt
menolong ummatnya, dengan memberikan petunjuk kepada para ulama yang dikehendaki-Nya.
Ulama tersebut dengan sekuat tenaga berupaya membersihkan Islam dari tangan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Diantara
sunnah para ulama :
a.
Pembersihan
dari pemalsuan hadis.
Dicatat
dalam sejarah, pemalsuan hadis terjadi setelah khulafaur rasyidin (Abu Bakar,
Umar bin Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Ra). Hasil dari upaya
para ulama hadis tersebut telah dibukukan dalam berbagai macam kitab hadis yang
mu’tabar.[20]
b. Pembersihan dari usaha pendangkalan makna
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
Sebagian
mukmin dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadis serta syariat Islam, hanya secara
harfiah (verbalisme), tanpa mau mengambil makna dibalik teks. Diantara hasil
yang diupayakan para ulama, lahirlah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali
dan madzhab lainnya.
c.
Pembersihan
dari penyimpangan makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan
iman kepada Allah Swt, dan yang telah disepakati oleh para sahabat, tabi’in dan
tabi’ut tabi’in.
Para
ulama dari kaum sufi, waliyullah dan khususnya al-Ghauts Ra lebih memfokuskan
upaya mereka dalam bidang pelurusan iman, penyadaran tantang keberadaan dan
keagungan Rasulullah Saw, pembersihan jiwa dari penyakit hati yang buruk/
(syirik, ujub, riya’, takabbur dan lain sebagainya) dan kemudian menghiasi hati
dengan sifat-sifat yang terpuji (ihsan, sabar, syukur, ridla, dan sifat terpuji
lainnya).
d.
Pembersihan
dari paham yang mengutamakan tuntunan lahiriyah (syariat) saja tanpa
memperhatikan tuntunan batiniyah (hakikat), atau sebaliknya. Syariat dan
hakikat merupakan ajaran Islam yang tidak boleh dipilih salah satunya. Setiap
mukmin wajib memadukan keduanya. [21]
Mukmin dilarang mengamalkan syariat atau hakikat saja.
e.
Menta’lif
redaksi doa/ dzikir atau shalawat ghairu
maktsurah.
Rasulullah Saw telah memberikan tuntunan yang
mudah serta jelas dan dapat diamalkan oleh siapa saja. Yakni mengamalkan
shalawat nabi dan memahami maknanya. Para ulama dari kelompok ketiga tersebut,
dalam menyusun doa, senantiasa disertai dengan bershalawat, atau dalam menyusun
sebuah metode, system, kurikulum atau thariqah untuk mencapai iman dan Islam
yang ihsan. Dan pula redaksi tersebut sering disertai dengan penjelasan tentang keberadaan
dan kemulyaan Rasulullah Saw.
Bershalawat kepada Rasulullah Saw merupakan jalan (metode/ kurikulum/ tarekat) yang paling cepat untuk menuju sadar/ makrifat
kepada Allah Swt (iman, Islam dan ihsan). Sebagaimana
penjelasan al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Nabhani Ra (w. 1933 M) :
أَنَّ طَرِيْقَ الوصُولِ إِلَى حَضْرَةِ اللهِ مِنْ طَرِيْقِ الصَلاَةِ عَلَى
النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْرَبِ الطُرُقِ.
Sesungguhnya jalan wushul
kepada hadlratullah dengan shalawat kepada Nabi (Muhammad) Saw merupakan
sedekat-dekatnya jalan (thariqah). [22]
Dan
dalam kitab yang sama (Afdlalus Shalawat), Syeh an-Nabhani Ra
menjelaskan :
أَقْرَبُ
الطُرُقِ إِلَى اللهِ فِي أَخِرِ الزَمَانِ خُصُوصًا عَلَى المُسْرِفِ كَثْرَةُ
الإِسْتِغْفَارِ والصَلاَةِ عَلَى النَبي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Jalan
(thariqah) yang paling dekat kepada Allah pada akhir zaman khususnya bagi orang
yang berlumuran dosa, adalah memperbanyak istigfar dan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw.
Shalawat dapat dijadikan thariqah, juga dijelaskan oleh Syeh Ahmad Zawawi (murid al-Ghauts
fii Zamanihi Ra Syeh Zakaria al-Anshari {w. 915 H}) : [23]
طَرِيْقُنَا
أَنْ نُكَثِّرَ مِنَ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى يَصِيْرَ يُجَالِسُنَا وَنَصْحَبُهُ مِثْلَ الصَحَابَةِ وَيَسْأَلُهُ عَلَى
أُمُورِ دِيْنِنَا
Jalan/ thariqah kita
(untuk menuju Allah Swt) dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi (Muhammad)
Saw, hingga Nabi menjadi teman duduk kita secara jaga, dan kita bersahabat
dengannya sebagaimana persahabatan para sahabatnya, dan kita bertanya kepadanya
tentang urusan agama kita.
Memahami
keberadaan dan keagungan Rasulullah Saw, merupakan sarana yang paling tepat dan
cepat untuk memahami keagungan Allah Swt, dan merupakan realisasi dari keimanan
yang telah diterangkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadis. Tanpa melalui
Rasulullah Saw, sudah tentu salik akan dibimbing oleh setan.
f.
Menta’lif
redaksi doa yang pada umumnya didalamnya mengandung makna ajaran tentang
pentingnya bertawassul kepada Nabi Saw.
Al-Qur’an dan hadis telah memberikan
tuntunan dalam mencapai dan menyempurnakan iman dan ihsan, yakni bertawassul
kepada Rasulullah Saw :
a) Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 35 :
يَاأيُّهَا الذِيْنَ اَمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kalian kepada Allah. Dan carilah wasilah (media/ thariqah) untuk menuju
kepada-Nya. Dan sunguh-sungguhlah kamu semua didalam jalan (menuju kepada)-Nya
agar kamu semua memperoleh keberuntungan.
b) HR. Imam Ahmad Ibn Hanbal, Rasulullah Saw bersabda
: [24]
الوَسِيْلَةُ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ
لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَن يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةَ
Wasilah adalah derajat disisi Allah, yang tidak
ada derajat lagi. Maka mohonkan aku kepada Allah, agar Ia
memberiku derajat wasilah.
Asal
makna wasilah adalah perantara. Para ulama kaum sufi mengartikan kata wasilah
sepadan arti dengan makna kata thariqah dalam ayat 16 surat al-Jin. Penafsiran
kata wasilah dalam ayat ini secara tepat adalah sebagaimana dijelaskan oleh
hadis riwayat dari Ibnu Amr, Rasulullah Saw bersabda :[25]
إِذَا
سَمِعْتُمُ المُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ فَصَلُّوا عَلَيَّ
فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ بِهَا عَشْرًا. ثُمَّ سَلُّوا
اللهَ لِي الوَسِيْلَةَ. فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الجَنَّةِ لاَتَنْبَغِي إِلاَّ
لِعِبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ. وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ. فَمَنْ سَأَلَهَا لِيَ
الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ.
Ketika
kalian mendengar muaddzin, ucapkanlah sebagaimana ia mengucapkannya. Kemudian
bershalawatlah kalian kepadaku. Sesungguhnya, barangsiapa yang bershalawat
kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya dengan shalawatnya
tersebut sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah kamu semua untukku “WASILAH”.
Sesungguhnya wasilah adalah tempat yang mulya dalam surga, yang mana (tempat
itu) tidak patut kecuali diperuntukkan bagi satu hamba dari beberapa hamba-Nya.
Barang siapa memohonkan untukku wasilah, maka ia halal mendapat syafaat
(dariku).
Demikian
pula Syekh as-Sindi, dalam memberi penjelasan makna ‘wasilah” menjelaskan
:
لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِواَسِطَتِهِ
Tidak keluar (dari Allah) rizki
dan kedudukan, kecuali ditangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (dalam Sunan Nasa’i bi Hasyiyah
as-Sindi juz II, pada bab shalawat)
Hadis riwayat Imam Muslim (Shahih
Muslim, bab “adzan”), Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ الوَسِيْلَةَ أَعْلَى مَنْزِلَةٍ
فِي الجَنَّةِ وَلاَ يَنَالُهَا إِلاَّ رَحُلٌ وَأَنَا أَرْجُو مِنْ ذَالِكَ
الرَّجُلِ
Sesungguhnya wasilah itu setinggi-tinggi tempat dalam
surga, dan tidak dapat memperolehnya kecuali seorang lelaki. Dan Aku berharap
sebagai lelaki tersebut.
Sebagaimana
ketentuan Allah Swt (sunnatullah), semua pertolongan yang Dia berikan kepada
makhluk-Nya, disalurkan melalui makhluk lainnya. Misalnya, air dapat
menghilangkan haus, nasi (snack) dapat mengilangkan lapar, racun dapat
mematikan. Kekuatan menghilangkan haus dan lapar, atau mematikan tersebut pada
hakikinya adalah kekuatan Allah Swt yang dipancarkan kepada benda tersebut.
Mukmin mendekati air atau nasi, serta
menghindari racun, hakikinya yang didekati adalah kekuatan Allah Swt. Demikian
pula, mukmin mendekat waliyullah Ra atau Rasulullah Saw, hakikinya untuk
mencari karamah serta mukjizat Allah Swt semata yang dipancarkan melalui hamba-Nya tersebut. Dalam hail ini,
al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Yusuf bin Ismail an-Nabhani Ra (w. 1933 M),
menjelaskan : [26]
وَأَمَّا
النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ وَاسِطَةً بَينَهُ وَبَيْنَ
اللهُ. فَهُوَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُسْتَغَاثُ بِهِ حَقِيْقَةً.
Nabi Muhammad Saw, merupakan perantara antara hamba dan
Allah. Dan secara hakiki Dia
(Allah) Swt adalah merupakan tempat meminta
pertolongan.
HR. Imam Nasai (kitab Amalul
Yaum wal Lailah, nomer hadis : 663 – 665, dan yang di-shahih-kan
oleh al-Bahihaqi) dari Usman bin Hunaif. Dia berkata : Orang buta menghadap
kepada Rasulullah Saw dan meminta untuk didoakan agar Allah Swt memberikan
kesembuhan matanya, hingga dapat melihat kembali. Rasulullah Saw bersabda : Ucapkanlah
:
أَللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ بِكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَحْمَةِ. يَامُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ
بِكَ إِلَى رَبِّي فِي قَضَاءِ حَاجَتِي لِيْ, اللهُمَّ شَفِّعْهُ فِي.
Ya Allah, sungguh aku meminta kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad Saw,
Nabi pembawa rahmat.[27] Wahai Nabi Muhammad, sungguh aku menghadap
Allah melalui Paduka, agar hajatku ini terkabulkan. Ya Allah, berikanlah
syafaat kepadanya dalam hal ini.
Memahami pentingnya memiliki guru yang ahli
dalam bidang iman, Islam dan ihsan, yakni al-Ghauts Ra (wakil Rasulullah Saw
pada setiap zaman) merupakan asas dalam sunnah rasul. Sebagaimana keterangan
dalam hadis riwayat Thabrani dari Abdullah Ibn Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda : [28]
إِنَّ مِنَ
النَاسِ مَفَاتِيْحٌ لِذِكْرِ اللهِ إِذَا رَأَوْا ذُكِرَ الله ُ
Sesungguhnya diantara manusia, terdapat
seseorang yang menjadi pembuka kepada dzikrullah. Jika mereka (salik)
melihatnya, maka akan (mudah) ingat kepada Allah.
Hadis
yang sepadan arti, Rasulullah Saw bersabd : [29]
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟.
قَالُوا : بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : الَّذِيْنَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللهُ
Bersediakah
kamu, saya beritahu tentang sebaik-baik kamu ?. Mereka
menjawab : Ya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mereka adalah
orang-orang yang ketika dilihat, maka Allah dapat diingat.
Imam
Abul Aliyah dan Imam Hasan Bashri, berkata : makna shirathul mustaqim, dalam
surat al-Fatihah, adalah pribadi Rasulullah Saw :
الصِرَاطُ المُسْتَقِيْمُ هُوَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخِيَارُ أَهْلِ بِيْتِهِ وَأَصْحَابِهِ.
Jalan yang lurus
adalah pribadi Rasulullah Saw dan orang pilihan dari keluarganya dan sahabatnya.[30]
Wasilah merupakan kedudukan tertinggi disisi
Allah Swt yang diperoleh oleh satu orang dari beberapa hamba-Nya (Rasulullah
Saw). Dan adanya perintah agar mukmin mencari seseorang yang telah mencapai
maqam wasilah, bertujuan jika mereka melaksanakan tawajjuh kepada Allah Swt
melalui orang (Rasulullah Saw) tersebut. Dan barulah mukmin dapat meraih
derajat ihsan. Berwasilah kepada Rasulullah Saw atau wakilnya (al-Ghauts
Ra) dapat dinamakan pengamalan thariqah. Dan berkaitan dengan hal ini, Syeh
Abdul Qadir al-Jilani Ra menjelaskan; bahwa Syeh Mursyid Yang Kamil
itulah yang dinamakan thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah Swt.
فَالمَشَايِخُ
هُمْ طَرِيْقٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالأَدِلاَّءُ عَلَيْهِ وَالبَابُ الذِي
يَدْخُلُ مِنْهُ إِلَيْهِ.
Guru
Mursyid adalah jalan menuju kepada Allah Azza wa Jalla, dan sebagai bukti
keberadaan-Nya, dan sebagai pintu masuk untuk menuju kepada-Nya. [31]
قَلْبُ
العَارِفِ حَضْرَةُ اللهِ, وَحَوَاسُهُ اَبْوَابُهَا. فَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِالقُرْبِ
المُلاَ ئِمِ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ الحَضْرةِ
Hati
seorang yang Arif Billah itu pintu kehadiran Allah Swt, dan seluruh indranya
merupakanpintu hadrah-Nya. Barang siapa yang mendekat kepada Beliau dengan pendekatan
yang semestinya, maka akan terbuka
baginya pintu hadlrah Allah Swt. [32]
Demikian pentingnya peranan Guru
Ruhani Yang Kamil Mukammil dalam jiwa manusia. Manusia hanya memiliki dua
pilihan antara mencari Guru Kami Mukammil untuk membimbing jiwanya atau membiarkan
setan dan nafsu mencengkeram jiwanya dan kemudian membelokkan dari pemahaman
tauhid yang benar. Dan agar dapat mencengkeram jiwa manusia, setan/ nafsu
senantiasa membisikkan tidak perlunya mencari Guru yang kamil, serta
mencukupkan dengan pemahaman diri sendiri. Sebagai pengamal dan pejuang
Wahidiyah, perlu kiranya benar-benar melawan bisikan hati yang muncul dari
setan/ nafsu. Allah Swt berfirman Qs. an-Nisa’ : 38, dan al-Baqarah : 208:
وَلاَ تتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
Janganlah
kalian mengikuti garis-garis (panduan) setan. Sesungguhnya ia merupakan musuhmu
yang nyata.
Keempat ayat tersebut diatas,
mengisyaratkan adanya guru ruhani yang cara membimbing manusia menuju Tuhan
bukan berdasar dari sesuatu yang digariskan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi
melalui garis-garis yang dibisikan oleh iblis/ setan/ nafsu kedalam jiwanya. Guru
ruhani yang jiwanya dikuasai oleh nafsu/ setan, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh
Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra, dalam kitabnya, [33] menjelaskan :
وَقَدْ أَدْرَكْنَا جُمْلَةً مِنَ أَشْيَاخِ الطَرِيْقِ
أَوَّلَ هَذَا القُرُنِ, كَانُوا عَلَى قَدَمٍ عَظِيْمٍ فِي العِبَادَةِ
وَالنُسُكِ وَالوَرَعِ وَالخَشْيَةِ وَكَفِّ الجَوَارِحِ الظَاهِرَةِ
وَالبَاطِنَةِ عَنِ الأَثَامِ حَتَّى لاَيَجِدُ أَحَدُهُمْ قَطُّ يَعْمَلُ شَيْئًا
يَكْتُبُهُ كَاتِبُ الشِمَالِ. وَكَانَ لِلطَرِيْقِ حُرْمَةٌ وَهَيْبَةٌ وَكَانَ
الأُمَرَاءُ وَالمُلُوكُ يَتَبَرَّكُوْنَ بِأَهْلِهَا لَمَّا يُشْهِدُونَهُ مِنْ
صِفَاتِهِمْ الحَسَنَةِ. فَلَمَّا ذَهَبُوا زَالَتْ حُرْمَةُ الطَّرِيْقِ
وَأَهْلِهَا. وَصَار النَاسُ يَسْخَرُونَ بِأَحَدَهِمْ وَيَقُولُونَ لِبَعْضِهِمْ
: مَادَرَيْتُمْ مَاجَرَى, فُلاَنُ الأَخَرُ عَمِلَ شَيْخًا ؟. كَأَنَّهُمْ
لاَيُسَلِّمُونَ لَهُ مَا يَدْعِيْهِ لَمَّا هُوَ عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّةِ
الدُنْيَا وَالتَّلَذُّذِ بِمُطَاعِمِهَا وَمَلاَبِسِهَا وَمَنَاكِحِهَا
وَالسَعْيِ عَلَى تَحْصِيْلِهَا. حَتَّى إِنِّي قُلْتُ لِبَعْضِ التُجَّارِ لِمَ
لاَ تَجْتَمِعُ بِالشَيْخِ الفُلاَنِيْ. فَقَالَ : إِنْ كَانَ شَيْخًا فَأَنَا
الأَخَرُ شَيْخٌ, فَإِنَّهُ يُحِبُّ الدُّنْيَا كَمَا أُحِبُّهَا وَيَسْعَى فِيْ
تَحْصِيْلِهَا كَمَا أَسْعَى, بَلْ هُوَ أَشَدُّ مِنِّي سَعْيًا عَلَى الدُنْيَا.
Kami
mendapati beberapa Guru Mursyid [34] pada awal abad ini. Mereka diatas pondasi yang agung
dalam ibadah, amal baik, wara’ (sangat hati-hati dalam masalah halal haram),
khasy’yah (benar-benar takut kepada Allah), menjaga anggauta tubuh baik lahir
atau batin dari dosa sama sekali. Hingga malikat pencatat amal jelek (pencatat
bagian kiri) tidak mendapatkan catatan jelek. Didalam thariqah terdapat kehormatan dan kewibawaan. Dan
ketika mereka melihat kebaikan serta kemulyaan akhlak para guru sufi, para
pejabat dan para raja memohon berkah kepada para ahli thariqah. [35]
Namun,
setelah mereka tidak tiada, hilanglah kehormatan tarekat dan pengamalnya. Dan
manusia merendahkan para pengamal tarekat. Diantara masarakat ada yang berakat
kepada kawannya. Tahukah kamu apa yang terjadi, didalam lingkungan orang-orang
yang menjadi guru mursyid ?. Mereka sudah tidak mau memahami lagi terhadap apa
yang dida’wakan masarakat kepada mereka. Karena mereka (para guru mursyid)
sudah hanyut dalam cinta dunia (dan kehormatan) dan syahwat dunia, serta
kelezatan makanan, pakaian dan pernikahan dunia.Mereka lari cepat untuk
memperolehnya.
Hingga
aku – demikian keterangan Syeh Sya’rani – bertanya kepada salah satu pedagang:
“Mengapa saudara tidak berguru kepada Syeh yang bernama Fulan ?.
Jawab
pedagang : Jika ia guru mursyid, akupun guru mursyid. Dia
mencintai dunia seperti aku mencintainya. Dia lari untuk mengejarnya,
sebagaimana aku juga lari untuk mengejarnya, bahkan dia lebih kencang larinya.
Rasulullah Saw juga memberi peringatan
kepada mukmin, agar tidak berguru atau mengikuti pemimpin ruhani yang
menyesatkan. Guru semacam ini bukan membawa kedalam pencerahan
jiwa, tapi akan membawa dalam kebutaan hati serta bodoh tentang makna sunnah
dan bid’ah serta bodoh tentang penyakit hati yang melekat dalam jiwa setiap
manusia :[36]
إِنَّمَاأَخْوَفُ
مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الآَئِمَّةُ المُضِلِّوْنَ
Sesungguh
yang paling Aku takutkan kepada ummat-Ku, adalah pemimpinan yang menyesatkan.
Demi keselamatkan aqidah ummat
masarakat, Perjuangan Wahidiyah memberikan amalan berupa shalawat Wahidiyah,
yang didalamnya terdapat doa permohonan kepada Allah Swt, agar Dia
memperkenankan Rasulullah Saw menampakkan keagungannya, dan juga kepada Beliau
Ghauts Hadzaz Zaman Ra, agar siapapun yang dengan tekun dalam mengamalkannya,
akan mendapat hidayah-Nya Allah dapat memahami kebaradaan pribadi Rasulullah
Saw dan Ghauts Hadzaz Zaman Ra secara musyahadah.
B. Sifat Sifat
Manusia
Asal mula makna kata kufur (kata jadian dari kafara),
adalah “tidak dapat melihat sesuatu karena tertutup oleh sesuatu”, atau “tidak
dapat memahami sesuatu yang berada dibalik sesuatu” atau “tidak memahami asal
mula sesuatu/ hakikat sesuatu karena tertutup oleh kondisi keadaan sesuatu saat
sekarang”. Kemudian dalam Islam diartikan dengan “hati tidak dapat melihat
Tuhan dan kekuasann-Nya karena tertutup oleh makhluk”, atau “tidak dapat
memahami asal mula dan akhir alam karena terkungkung oleh keadaan alam
sekarang”. Karena tertutup oleh makhluk hati seseorang mengingkari keberadaan dan
kekuasaan Tuhan Pengatur semesta alam, dan ia disebut
orang kafir. Bagi orang kafir, Tuhan tidak tampak dalam hati, dan hanya mahluk yang
tampak dalam hati dan fikiran. Allah Swt berfirman Qs. al-‘Alaq : 6-7 :
إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغِى أَنْ رَأَهُ استَغْنَى
Sesungguh manusia itu suka melampaui batas. Ia berpikir cukup hanya dengan dirinya.
Dalam
jiwa setiap orang terdapat
potensi kekafiran/ keburukan. Hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi Saw. bersabda :
أَلاََ اِ نَّ فِي الجَسَدِ لَمُضْغَةً اِذَا صَلحَتْ
صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَد َتِ فَسَدالجَسَدُ كُلُّهُ اَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal darah, jika darah itu baik
maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek jeleklah seluruh jasad,
ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati.
Seseorang wajib
memahami sifat kafir, munafik dan mukmin. Karena hal ini merupakan garis
pembatas (garis demarkasi/ al-had al-fashil), dimana seseorang masih dikatakan
mukmin atau tidak. Manusia
memiliki watak angkuh dan sombong. Kapada Tuhan saja, ia sering tidak
membtutuhkan-Nya dan merasa cukup dengan dirinya sendiri atau sesama makhluk.
Dikala dalam keadaan senang, ia tidak membutuhkan-Nya bakhan melupakan-Nya. Dan
baru membutuhkan-Nya ketika ia dalam keadaan tidak senang. Padahal, jika mata
hati tidak tertutup oleh nafsu (keakuannya), pasti ia akan memahami segala
sesuatu bermula dan akan berakhir dari dan kepada-Nya. Agar mudah memahami sifat kekafiran, kemunafikan
dan kemukminan, dalam
tulisan ini mencoba
mengupasnya, kendati secara garis pokoknya saja.
Dan disini yang
perlu dipahami, ulasan
ini bertujuan agar kita para
pengamal dan khadimul Wahidiyah dapat
mengadakan
introspeksi diri dalam meningkatkan iman, islam
dan ihsan. Dan bukan untuk menilai atau menghakimi
iman, islam dan ihsan orang lain. Yang mengetahui keimanan seseorang, hanyalah Allah Swt dan orang
tersebut. Rasulullah Saw memerintahkan setiap mukmin, agar ikut menjaga
kehormatan dan keselamatan orang-orang yang berpegang kepada dua kalimah
syahadah (Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya).
Dan Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ
رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالكُفْرِ
إِلاَّ ارْتَدَتْ عَلَيْهِ, إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَالِكَ
Tidak ada seseorang yang menuduh kepada orang lain dengan
kefasikan, dan tidak ada menuduh dengan kekafiran, kecuali (sifat yang dj/ituduhkan itu)
akan kembali kepada dirinya, selama kawannya tersebut tidak seperti yang
diruduhkan.[38]
1. Sifat Sifat
Orang Kafir
Setiap
mukmin diperintahkan oleh Allah Swt untuk memahami pokok-pokok sifat
kekafiran,
yang antara lain :
a.
Dalam
melihat kebenaran, orang kafir tidak mau menggunakan akal sehat.
وَلَكِنَّ
الذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللهِ الكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ
لاَيَعْقِلُوْنَ. وََإِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَاأَنْزَلَ اللهُ
وَإِلَى الرَّسُوْلِ, قَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ مَاوَجَدْنَا عَلْيْهِ أَبَاؤُنَا.
Akan tetapi orang-orang kafir terperosok mendustakan
kepada Allah. Dan (memang) kebenyakan
manusia tidak (mau) menggunakan akal. Ketika
dikatakan kepada mereka : Marilah (mengikuti) tuntutan yang diturunkan oleh
Allah dan mengikuti rasul. Mereka menjawab :
“Kami mencukupka dengan sesuatu yang ada pada bapak-bapak (tokoh) kami. (al-Maidah
: 103 - 104).
إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد
اللهِ الصُمُّ البُكْمُ الذِيْنَ لاَيَعْقِلُونَ. إِنَّ شَرَّ الدَّوَوَبِّ عِنْد اللهِ الذِيْنَ
كَفَرُوا فَهُمْ لاَيُؤْمِنونَ
Sesungguhnya sejelek-jelek mahluk (diatas bumi) menurut Allah
adalah ketulian dan kebisuan (hati), merekalah orang-orang yang tidak berakal. (Qs. al-Anfal : 22). Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang berjalan diatas
bumi menurut Allah adalah orang kafir, dan mereka itu tidak beriman (Qs. al-Anfal : 55).
أَمْ تَحْسَبُ
أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إلاَّ كالآْنعامِ بَلْ
هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً
Apakah
engkau mengira, bahwa kebanyakan mereka mau mendengarkan atau menggunakan
akal?. Mereka sekali-kali tidak (dapat digambarkan), kecuali seperti binatang ternak,
bahkan lebih sesat lagi jalan hidupnya. (Qs. al-Furqan: 44).
Dalam
bertindak, hewan tidak berdasar akal sehat. Tindakannya hanya didorong
oleh naluri/ insting. Dan, jika jiwa
manusia dikuasai oleh nafsu [39]
bahimiyah (binatang ternak), maka akal sehatnya menjadi mati serta tidak
berfungsi untuk mengenal Tuhan dan kebaikan. Seseorang, bila dalam memandang
kehidupan dan bertindak hanya didasari rasa emosional, maka kerasionalan
menjadi hilang.
b.
Menganggap
bodoh kepada orang-orang yang beriman serta mentertawakannya.
وَإِذَا
قِيْلَ لَهُمْ أَمِنُوا كَمَا أَمَنَ النَاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا أَمَنَ
السُفَهَاءُ, أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka
: berimanlah kamu semua seperti manusia lain. Mereka menjawab : “Apakah kami beriman seperti
yang diimani oleh orang-orang yang bodoh”. Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu
bodoh, tetapi mereka tidak menyadari. (Qs.
al-Baqarah : 13).
Menurut
orang kafir, orang mukmin adalah manusia bodoh yang kehilangan ego dan harga
dirinya. Menurut orang kafir, mukmin rela menanggalkan kehormatan diri demi
mengikuti tuntunan dan taslim kepada Rasulullah Saw dan para ulama (penerus
risalah Islam, al-Ghauts Ra). Padahal, menurut Allah Swt, merekalah orang-orang
yang bodoh, karena yang mereka taati adalah nafsu (setan yang menyatu dengan
jiwa).
c.
Mengutamakan
kehormatan diri daripada mengamalkan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs.
al-An’am : 33 – 34 : [40]
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الذِي
يَقُوْلُوْنَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَ. وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِآيَاتِ
اللهِ يَجْحَدُوْنَ.
Sungguh
Kami (Allah) mengetahui. Sesungguhnya mereka (hanya) membuatmu susah disebabkan
oleh ucapan mereka. (Namun), sesungguhnya
mereka tidak mendustakan kepadamu (Muhammad). Hanya saja, orang-orang yang
dlalim terhadap ayat-ayat Allah itu, berjiwa angkuh.
d.
Tidak
ada artinya, mereka mendapat penjelasan tentang kebenaran.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
Sesungguhnya
orang-orang kafir, sama saja apakah engkau peringatkan atau tidak, tetap
tidak mau beriman. (Qs. al-Baqarah : 6).
Bagi orang kafir, kebenaran bukan terletak pada nilai ilmiyah dan etika. Tetapi terletak pada
keuntungan atau kerugian terhadap kehormatan diri. Jika membawa keuntungan itulah
kebenaran, dan jika membawa
kerugian itulah
kebatilan. Dan bahkan dalam
memandang keuntungan dan kerugian, mereka-pun tidak berdasar tinjauan rasional,
melainkan hanya berdasar tinjauan emosional.
e.
Jika
ditimpa kesusahan mereka mudah berkeluh kesah. Namun, ketika kenikmatan datang,
diakuinya dari hasil usaha sendiri.
وَإِذَا مَسَّ الإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ ثُمَّ
إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَاكَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ
وَجَعَلَ للهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ
قَلِيْلاً إِنَّكَ مِنْ أصْحَابِ النَّارِ.
Dan, ketika
manusia tertimpa kesusahan, ia berdoa kepada Tuhan-Nya seraya berinaabah (mengembalikan seluruh kejadian kepada Allah Swt).
Namun, ketika ia mendapat ganti kenikmatan dari-Nya, ia lupa kalau pernah
berdoa kepada-Nya. Serta (kemudian) mejnadikan (makhluk) sebagai tandingan
untuk-Nya, hingga ia tersesat dari jalan-Nya. Katakanlah (Muhammad), “(wahai
orang-orang yang kufur) bersenang-senanglah kamu dalam waktu sebantar
(didunia). Sesungguhnya kamu dari
golongan penghuni neraka”. (Qs. az-Zumar : 8). [41]
f.
Memisahkan
kekuatan (haul dan quwwah) Rasulullah Saw dari kekuatan Allah Swt.
إِنَّ الذِيْنَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ
وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ,
وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُونَ أَنْ
يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُولَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ حَقًّا
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا.
Sesungguhnya
orang yang mengkufuri Allah dan
rasul-Nya, dan mereka ingin memisahkan antara Allah dan rasul-Nya. Mereka
berkata : kami mempercayai sebagian dan mengkufuri yang sebagian. Dan mereka
ingin mengambil jalan tengah diantaranya. Merekalah orang-orang kafir yang semestinya. Dan Kami sediakan untuk orang kafir siksa yang
sangat menghinakan. (Qs. An-Nisa’: 150 – 151).
Dalam kitab
tafsir Shawi dalam member ulasan ayat diatas dijelaskan, kekafiran mereka disebabkan oleh paham yang memisahkan antara Allah
Swt dan Rasul-Nya, dan bukan oleh paham syirik : فَكُفْرُهُمْ
بِالتَفَرُّقَةِ لاَبِاعْتِقَادِ الشِرْكِ للهِ : Kekafiran mereka, disebabkan pemisahan (antara
kekuatan rasul dari kekuatan Allah), dan bukan karena syirik (menyekutukan
Allah dengan Rasul). [42]
2.
Sifat-Sifat Orang Munafiq
Setinggi
apapun akal manusia tidak mampu mengingkari keberadaan Tuhan, sebagaimana
ketidakmampuan akal untuk membuktikan keberadaannya secara musyahadah. Tidak
ada jalan untuk membuktikan keberadaan Allah Swt, kecuali melalui hidayah-Nya.
Kesimpulan ilmiyah bukan bukti terakhir, karena ia bersifat sementara dan tidak
tetap. Kesimpulan ilmiyah tempo dulu dimentahkan oleh
hasil kajian saat
sekarang, dan hasil kajian saat
sekarang akan dimentahkan oleh
kajian ilmiyah berikutnya, dan demikian pula seterusnya. Al-Qur’an dan hadis tidak pernah bertentangan dengan
kebenaran ilmiyah.[43] Dan yang bertentangan hanyalah persepsi atau kesimpulan
dari ilmuawan. Jadi seseorang
yang menganggap kesimpulan ilmiyah sebagai bukti akhir, apalagi bukti tertinggi,
berarti ia tidak mampu melihat kebaradaan ilmiyah yang disimpulkan oleh ilmuawan
bersifat sementara dan relatif. Dan karenanya, banyak orang menjadi kafir atau
munafiq disebabkan berpegang kepada kajian ilmiyah tersebut. Sebagaimana yang tercermin dalam :
a.
Firman Allah Swt, Qs. al-Maidah : 102 :
قَدْ سَأَلَهَا قََوْمٌ مِنْ
قَبْلِكُمْ ثُمَّ أَصْبَحُوْا بِهَا كَافِرِيْنَ.
Sungguh kaum sebelum kamu semua menanyakan tentang
seseuatu. (Namun, setelah dijawab oleh nabiyullah), mereka cepat-cepat mengkufurinya.
Diantara sesuatu yang wujud dalam alam ini, terdapat
sesuatu yang bersifat ghaib. Misalnya; jabatan kerasulan atau khalifah Allah
Swt, kehidupan dalam alam barzah atau alam akhirat. Pada zaman para nabi dan
rasul, banyak orang kafir menanyakan hal tersebut kepada mereka. Dan setelah
mendapat jawaban dari para nabi dan rasul, orang kafir dan munafiq-pun cepat-cepat
mengingkarinya. Mereka hanya melihat wujud sesuatu yang dapat ditangkap oleh
panca indra. Dan – menurut mereka -, inilah kebenaran ilmiyah.
b.
Sabda Rasulullah
Saw :
أَكْثَرُ مُنَافِقِي أُمَّتِي قُرَاؤُهَا
إِنَّ أَخْوَفَ مَاأَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ
عَلِيْمُ اللِسَانِ
Sungguh yang paling aku takuti dari
sesuatu yang aku takutkan pada ummatku, adalah orang munafiq yang pandai berbicara. [45]
Dalam memahami keberadaan Tuhan serta mengingkari perintah-perintah-Nya,
antara orang munafiq dan orang kafir terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya,
hati mereka sama-sama tertutup dari keberadaan Tuhan, dan akan dimasukkan ke
neraka jahanam secara bersamaan. Firman Allah Sw, Qs.
an-Nisa’: 140 :
إِنَّ اللهَ جَامِعَ المُنَافِقِيْنَ
والكَافِريْنَ فِيْ جَهَنَّمَ جَمِيْعًا
Sesungguhnya
Allah mengumpulkan orang munafiq dan
orang kafir dalam neraka jahannam secara bersama-sama.
Dan perbedaannya, orang kafir secara nyata menampakkan pengingkaran terhadap
keberadaan Tuhan dan ajaran Islam. Sedangkan orang munafiq, prilaku lahiriyahnya
menyerupai orang yang beriman. Munafiq dapat atau bersedia mengucapkan kalimah
thayyibah (Allah… Allah… atau lainnya), serta dapat malaksanakan ritual
ibadah Islam. Namun hanya sebatas lisan dan lahiriyah, tanpa adanya perasaan
dikuasai oleh Allah Saw apalagi perasaan malu dan takut kepada-Nya. Orang
munafiq bersikap mukmin ketika bertemu orang mukmin, dan bersikap kafir ketika
bertemu orang kafir. Ketika bertemu dengan makhluk, hatinya lupa kepada Allah
Swt, bahkan mengingkari kekuasaan-Nya. Hati mereka buta kepada-Nya, karena
tertutup oleh wujud makhluk (termasuk wujud dirinya sendiri). Tuhan dan
kekuasaan-Nya tidak tampak dalam hati, dan yang tampak hanyalah makhluk.
Ciri-ciri
kemunafiqan.
Diantara ciri-ciri kemunafikan yang telah
dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadis :
1.
Malas
mendirikan shalat, suka berbuat riya’ (pamer) dengan amal kebaikannya, dan
tidak ingat kepada Allah Swt kecuali sedikit sekali. :
إِنَّ المُنَافِقِينَ يُخَادُعُونَ
اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَلاَةِ قَامُوا كُسَالَى
يُرَاؤنَ النَاسَ وَلاَيَذْكُرُونَ اللهَ إلاَّ قَلْيلاً
Sesungguhnya
orang-orang munafiq (ingin) menipu Allah, (tapi) Allahlah yang akan (membalas) tipudaya mereka. Dan ketika
mendirikan shalat, mereka mendirikan dengan malas serta pamer kepada manusia, sera mereka tidak
ingat Allah kecuali sedikit (Qs.
an-Nisa’ : 142).
Ayat ini menjelaskan; seseorang masih dinilai sebagai munafiq[46]
(bahkan kafir), ketika melaksanakan shalat hatinya tertutup dari kebesaran dan
kebaradaan Allah Swt. Ketika berbuat ujub dan riya,[47]
mereka tidak memiliki perasaan malu dan tidak takut kepada-Nya, sangat sedikit mereka
ingat kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman, Qs. al-Anfaal : 35 :
وَمَاكَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ
البَيْتِ إِلاَّ مُكَاءًا وَتَصْدِيَةً فَذُوْقُوا العَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ
تَكْفُرُون
Dan
tidak ada shalat [48] yang mereka lakukan disekitar rumah Allah itu, kecuali hanyalah seperti
siulan dan tepuk tangan saja. Maka, rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu
sendiri.
Maksud ayat
diatas diperjelas oleh sabda Rasulullah Saw : [49]
مَنْ لَمْ تَنْتَهِ صَلاَتُهُ
عَنِ الفَخْشَاءِ وَالمُنْكَر لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka
ia tidak akan bertambah, kecuali jauh
dari Allah.
2.
Suka
berbicara bohong, mengkhianati kepercayaan dan mengingkari perjanjian.
HR, Bukhari,
Muslim, Tirmidzi dan Ahmad(,
Rasulullah Saw bersabda :
أَيَةُ
المُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ: إِذَا أَحْدَثَ كَذَبَ,
وَإِذَا أْؤتُمِنَ خَانَ, وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ
Tanda
orang munafiq ada tiga; ketika berbicara ia berdusta, ketika dipercaya ia
menghianati, dan ketika berjanji ia mengingkari
3.
Mencintai
mahluk sebagaimana mencintai Allah Swt, bahkan menjadikan mahluk sebagai tandingan/
sekutu bagi Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَمِنَ النَاسِ
مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ
Dan
diantara manusia terdapat orang yang mengambil (menjadikan) selain Allah
sebagai tandingan (bagi Allah), serta mencintainya seperti mencintai Allah.
4.
Tidak
bersedia diajak berjuang dijalan kebenaran. Dan hanya diri atau keluarga yang
diperjuangkan. Firman Allah Swt, Qs. Qs.Ali Imran: 167 :
وَلِيَعْلَمَ
الذِيْنَ نَاقَقُوا, وَقِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوافِي سَبِيْلِ اللهِ
أَوِادْفَعُوا قَالُوالَوْ نَعْلَمُ قِتَالاً لاًتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ
أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلإيْمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَالَيْسَ فِيْ
قُلُوبِهِمْ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كُنْتُمْ يَكْتُمُونَ.
Agar
Dia (Allah) mengetahui siapa orang yang munafiq. Jika dikatakan kepada mereka : Marilah berjuang dijalan Allah, atau hanya mempertahankan
dirimu”. Mereka menjawab : “Sekiranya kami mengetahui perjuangan itu
kebenaran, niscaya kami akan mengikuti kamu”.
Mereka
pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan
dengan mulutnya sesuatu yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah mengetahui
dengan sesuatu yang mereka sembunyikan.
5.
Menghalang-halangi
perjuangan kebenaran. Firman Allah Swt, Qs. an-Nisa’ : 61 :
وَإذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللهُ
وَإِلَى الرَسُولِ رَأَيْتَ المُنَافِقِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Dan
jika dikatakan kepada mereka : “kemarilah kalian, marilah kembali kepada
sesuatu yang diturunkan oleh Allah, dan (kembalilah) kepada rasul”. Niscaya engkau (Muhammad) akan melihat mereka menghalangi manusia,
(agar menjauh) dari kamu dengan sekuat tenaga.
3.
Sifat-Sifat
Orang Beriman
Mengetahui adalah perbuatan akal. Sedangkan beriman, merasa dekat dan takut
kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, mencintai dan mengagungkan-Nya adalah perbuatan
hati. Antara memiliki ilmu ketuhanan dengan beriman
kepada-Nya sangatlah berbeda. Seseorang yang memiliki berbagai macam ilmu agama
(ilmu tafsir, ilmu hadis dan lainnya, atau bahkan ilmu makrifat sekalipun), belum
tentu dapat merasa dilihat dan dikuasai oleh Allah, hingga ia tidak memiliki perasaan
malu apalagi takut kepada-Nya. Dan meskipun hanya memiliki ilmu agama yang
pokok-pokok saja, seseorang dapat merasa malu dan takut kepada Allah Swt. Iman merupakan “Nur Ilahiyah” yang diletakkan oleh
Allah Swt kedalam hati orang
yang dikehendaki-Nya.
فَمَنْ شَرَحَ
اللهُ صَدْرَهُ للإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ
Barang siapa yang Allah melapangkan
dadanya untuk Islam, maka ia dalam cahaya dari Tuhannya. (Qs, az-Zumar
: 22).
إِنَّ اللهَ
خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ ثُمَّ رَشَّ عَلَ قُلُوبِهِمْ مِنْ نُورِهِ فَمَنْ
أَصَابَهُ ذَالِكَ النُورُ إِهْتَدَى وَمَنْ أَخْطَاءَهُ ضَلَّ
Sesungguhnya
Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan. Kemudian Ia menyiramkan nur-Nya
kedalam hati mereka. Barang siapa yang terkena nur tersebut, maka ia mendapat
hidayah, dan barangsiapa yang terlewati, maka ia tersesat.
HR. al-Hakim
dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra, Rasulullah Saw bersabda :
إِنَّ النُوْرَ
إِذَا دَخَلَ القَلْبَ انْتَسَحَ وَانْشَرَحَ, فَقِيْلَ : يَارَ سُولَ اللهِ هَلْ
لِذَالِكَ مِنْ عَلاَمَاتِ يُعْرَفُ بِهَا ؟.
فَقَالَ : التَجَافَى عَنْ دَارِ الغُرُورِ وَالإِنَابَة إِلَى دَارِالخُلُودِ
وَالإَسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُولِ المَوْتِ
Sesungguhnya “nur (ilahiyah)” ketika masuk kedalam hati, maka Allah
melebarkan hatinya. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah untuk hal
tersebut, apakah ada tanda-tanda untuk mengetahuinya ?. Rasulullah menjawab :
berpaling dari kehidupan duniawi yang menipu dan kembali (inaabah) kepada rumah
abadi (Allah) serta mempersiapkan mati sebelum datangnya kematian. [51]
Ciri-ciri
orang mukmin, antara lain :
1.
Sangat
mencintai Allah Swt. Firman Allah Swt, Qs. al-Baqarah : 165 :
وَالذِيْنَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
للهِ
Dan orang-orang yang beriman
sangat mencintai Allah.
2. Hati mukmin mudah bergetar ketika nama
Allah disebut serta iman bertambah ketika dibacakan ayat-ayat-Nya. Firman Allah
Swt, Qs. al-Anfal : 2 – 4 :
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِذَا
ذُكِرَاللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَليْهِمْ أَيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ.
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman,ketika nama Allah disebut, bergetar hatinya, dan
ketika dibacakan ayat-ayat Tuhan bertambah imannya, serta kepada Tuhannya
mereka berserah diri.
3. Mencintai
Rasulullah Saw dengan mengalahkan cinta kepada yang lain.
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَنْ أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَحْمَعِيْنَ
Tidak
sempurna iman salah seorang dari kamu semua, hingga aku lebih dicintai dari
pada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia. (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah Swt, Qs, at-Taubah :
24 :
قُلْ
اِنْ
كَانَ أَباءُكُمْ وَأَبْنَاءُكُمْ وَاِخْوَانُكمْ وَأَزْوَاجُكُم
وَعَشِيْرَتُكُم
وَأَمْوَالٌ
اقتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْن كَسَادَهاَ وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهاَ أَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجهَادٍ فِي سَبِيْلِه
فَتَرَبّصُوا حَتَّى يَأْ تِيَ اللهُ بِأمْرهِ وَاللهُ لاَيَهْدِى القَوْمَ الفَا
سِقِيْنَ
Katakanlah (Muhammad): jika sekiranya
bapak, anak, saudara, suami atau istri dan keluarga kamu semua, serta harta
yang telah kalian kumpulkan, perniagaan yang kalian takut kebangkrutannya dan tempat
tinggal yang kalian rela
didalamnya, lebih kalian cintai dari pada Allah wa Rasul-Nya dan perjuangan dijalan-Nya,
maka tunggulah, sampai datangnya
keputusan Allah. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang fasik.
Imam
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, menjelaskan ayat ini dengan hadis riwayat
Imam Ahmad dan Imam Bukhari dari Umar bin Khatthab Ra :
وَاللهِ يَارَسُولَ اللهِ أَنْتَ
لآَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ رَسُولِ
اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : لاَ يُؤْمِن ُ أَحَدُ كُمْ حَتَى أَنْ اَ كُونَ
أَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِهِ ,
فَقَالَ عُمَرُ : فَأَنْتَ الآَنَ وَاللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ : الآَنَ يَا عُمَرُ
Demi Allah, wahai Rasulullah, Engaku
niscaya lebih aku cintai dari pada segala sesuatu, kecuali kepada diriku
sendiri. Rasulullah Saw menjawab : Tidak sempurna iman
seseorang, sehingga Aku, lebih dicintainya dari pada dirinya. Umar berkata
: Demi Allah sekarang Engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri. Rasulullah
Saw. menjawab : Sekarang wahai Umar telah sempurna imanmu.
Mahabbah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, merupakan hal yang
pokok dalam syariah Islam. Sebagaimana
ulasan para ulama
:
b.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Jala’al-Afham,
menjelaskan : Sahabat Mu’ad bin Jabbal Ra berkata :
قَلْبُ المُؤْمِن ِتَوحِيْدُ اللهِ وَذِ كْرُرَسُولِهِ مَكْتُوبَانِ
فِيْهِ لاَ يَتَطَرَقُ اِلَيْهِمَا مَحْوٌوَلاَ اِزَلَةٌ
Hatinya orang mukmin senantiasa
mengesakan Allah. Dan dzikir
kepada Rasulullah (keduanya) tertulis di
dalam hati orang mukmin. Maka tidak boleh ada jalan (usaha) untuk
menghapus dan menghilangkan keduanya.
c.
Al-Ghauts
fii Zamanihi Ra Syeh Ali al-Khawash (w. 951 H) guru dari al-Ghauts fii Zamanihi
Syeh Abdul Wahab as-Sya’rani Ra, menjelaskan :
نَحْنُ فِي
سَنَةِ إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وتِسْعِمِائَةٍ جَمِيْعُ أَبْوَابِ الآَوْلِيَاءِ
قَدْتَزَحْزَحَتْ
لِلْغَلْقِ وَمَا بَقِيَ
الانَ مَفْتُوحًا إِلاَّ بَابُ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kita
yang hidup pada tahun 941 H, semua pintu kewalian
telah tertutup. Dan dewasa ini tidak terbuka kembali, kecuali melalui pintu
Rasulullah Saw. [52]
Dan
dalam kitab Saadah
ad-Daraini dalam bab 10 “faidah shalawat Nabi
Saw”, (Beirut, “Dar-al-Fikri, tt.), pada halaman
: 506 – 507, dijelaskan
وَمَعْلُومٌ
أَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ
وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعالى, وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ, وَمِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ
بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dan telah
diketahui bersama (kaum ahli makrifat), bahwa sesungguhnya, barangsiapa
yang
dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw dan Al-Nya (wali
al-Ghauts- pen), maka ia akan merakan nikmatnya wushul kepada Tuhannya Allah
Swt. Dan barang siapa yang memisahkan yang memisahkan kedua wushul ini, maka ia
tidak akan merasakan makrifat.. Diantara agung-agungya jalan wushul adalah
ta’alluq (sadar birrasul) kepada Nabi Saw Kekash Allah Swt serta memperbanyak
bersholawat kepada-Nya Saw.
4. Mereka hanya takut Allah Swt. Firman
Allah Swt, Qs. At-Taubah : 13 :
أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللهُ أَحَقُّ
أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
Mengapa kamu takut kepada mereka ?. Padahal, Allah-lah yang berhak
kamu takuti, jika kamu benar-benar beriman.
6.
Ketika
dibacakan ayat-ayat Allah Swt, air mata mudah mengalir. Qs. Maryam : 58 :
وَمِمِّنْ
هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ ءَايَاتُ الرَحْمَنْ خَرُّوا
سُجَّدًا وَبُكِيًّا.
Diantara
orang yang Kami telah memberikan hidayah, dan telah Kami pilih, (adalah orang
yang) ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat Tuhan Yang Maha Kasih, mereka
tersungkur sujud dan menangis.
7.
Mudah
melihat dosa diri, serta mudah merasa takut kepada Allah Swt.
المُؤْمِنُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَقَاعِدٍ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَهُ وَالمُنَافِقُ
يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ يَقَعُ عَلَى أَنْفِهِ فَيَطِيْرُ
Orang
yang beriman itu dapat melihat dosa-dosanya bagaikan orang
yang duduk dibawah gunung yang takut akan longsor dan akan menimpanya. (HR. Imam Bukhari).
Merasa
malu dan takut kepada Allah Swt sangat berkaitan dengan kepekaan jiwa. Semakin
peka jiwa seseorang terhadap jenis-jenis kesalahan, maka semakin memiliki
perasaan malu dan takut kepada Allah Swt. Demikian pula sebaliknya, tidak
adanya perasaan malu dan takut kepada-Nya, akibat dari tipisnya kepekaan jiwa
terhadap jenis-jenis kesalahan/ kemaksiatan.
Rasulullah
Saw bersabda :
جُمُوْدُ العَيْنِ مِنْ قَسْوَةِ القُلُوبِ, وَقَسْوَةُ القُلُوْبِ مِنْ
كَثْرَةِ الذُنُوبِ
Kerasnya mata disebakan kerasnya hati. Dan kerasnya hati disebabkan
banyaknya dosa.
1.
Beberapa Pandangan.
Manusia
merupakan mahluk yang paling misteri. Penyelidikan dan pandangan tentang
keberadaannya, merupakan obyek yang sangat menarik dan paling rumit, hingga tak
kunjung selesai untuk dibicarakan. Kajian tentang manusia dan prilakunya telah
melahirkan berbagai disiplin ilmu. Ilmu sosial, budaya, politik, ekonomi, seni,
etika dan aneka ragam paham filsafat. Diantara penyelidikan yang sangat menarik
dan sangat rumit, adalah menjawab pertanyaan; Apakah ada manusia sempurna itu ?. Jika ada,
berapa jumlahnya?. Serta apa ukuran untuk menentukan dan mengetahuinya ?.
Berbagai
pandangan telah dimunculkan oleh para ahli. Pertama, ada yang
berpandangan kesempurnaan manusia ditinjau dari kekuasaannya. Semakin luas dan
besar kekuasaan seseorang, semakin sempurna jati dirinya. Manusia, dapat
dikatakan sempurna, jika telah menjadi raja perkasa diatas bumi yang tidak ada
yang mengalahkannya. Kedua, ada yang meninjau kesempurnaan manusia dari
sisi kepuasan dan kebebasannya. Semakin bebas ia berbuat tanpa ada yang
menghalangi, maka semakin puas hidupnya, dan berarti sempurna pula
kemanusiaannya. Kedua paham ini dimunculkan oleh kaum kafirin (atheis).
Ketiga, kaum humanis berpandangan bahwa kesempurnaan manusia, ditinjau dari sisi
etika, prilaku serta sikapnya terhadap sesama dan alam lingkungannya. Semakin
banyak darma yang dilakukan untuk pengembangan dan kemajuan lingkungan, maka
semakin sempurna kemanusiannya. Dan keempat, ada pula yang berpandangan
kesempurnan manusia ditinjau dari tingkat kesadarannya kepada Tuhan Pencipta
dan Penguasa Alam semesta. Seseorang, ketika berinteraksi dengan makhluk,
jiwanya dapat terbebas dari ketergantungan kepada makhluk yang ada
dilingkungannya maupun ego diri, dan hanya tergantung kepada Allah Swt. Semakin
tinggi pendakian ruhani yang dicapai, ia akan naik ketingkat pemahaman dan
kesaksian terhadap ketunggalan wujud Tuhan Yang Maha Esa (maqam Wahidiyah
dan Ahadiyah, atau dalam istilah lain disebut maqam wahdatus syuhud).
Dengan pencapaian ini seseorang akan mendapat anugrah paling agung dan
sempurna, berupa sinar Asma dan Akhlaq Allah Swt.[53] Anugrah inilah yang diperuntukkan kepada
para nabi dan rasul sejak Nabi Adam As sampai Rasulullah Saw.
Contoh-contoh dalam beberapa strata kehidupan berikut ini, akan lebih memperjelas
adanya makhluk terbaik dalam setiap kehidupan, misalnya :
2)
Dalam
sosial masarakat, ada yang manusia terbaik (karena kwalitas atau karena
keturunan) yang dijadikan pemimpin, yang mana ia sebagai pusat pengaturan dan
pembagian kekuasaan dalam lingkungannya.
3)
Dalam
setiap lingkungan masyarakat, terdapat markas/ kantor sebagai tempat pusat pengaturan
atau kekuasaan. Misalnya setiap negara, propinsi, atau daerah kabupaten
memiliki tempat pusat pemerintahan yang
disebut Ibu kota.
4)
Dalam
dunia olah raga juga terdapat pemain atau team yang tergolong ringking ter-bawah,
bawah, menengah, atas, dan ter-atas.
a.
Dalam
setiap kompetisi sepakbola dunia yang diselenggarakan 4 tahun sekali,
melahirkan tim serta pemain ter-baik.
b.
Dalam
setiap pergantian tahun, kita mengenal nama-nama olahragawan terbaik. Misalnya
dalam tahun 1980 – 1900, kita mengenal nama Andre Agassi, Steffi Graff, Martina
Navratilova, Gabrille Sabatini, Yayuk Basuki (tenis lapangan). Dalam sepak
bola, kita mengenal nama Pele, Ronaldo, Romario, Digo Amandow Maradona, Josh
Weach, Rutt Gullit, Fans Basten dll. Dalam dunia bulutangkis, kita mengenal
Rudi Hartono, Lim Swi King, Morthen Van Hanshen, dll.
5)
Bila
dibandingkan dengan planet lain, bumi merupakan planet paling lengkap komponen
kimiawinya, hingga dapat memberikan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh manusia
dan hewan.
6)
Bila
dibandingkan dengan mahluk lain, susunan kimiawi jasmani manusia merupakan susunan
yang paling lengkap dan sempurna.
7)
Dalam
organ tubuh manusia terdapat saraf sebagai pusat penggerak dan
pengendali organ lainnya. Gerakan tubuh, bukan muncul dari masing-masing organ,
tapi dikendalikan oleh saraf yang besarnya kurang lebih 4 cm. Organ yang sangat
kecil ini dapat mengendalikan organ lain yang besarnya beratus-ratus kali.
Bahkan syaraf manusia ini mampu mengendalikan sebuah organisasi atau Negara
yang besar.
8)
Jiwa
manusia merupakan jiwa paling sempurna bila dibandingkan dengan jiwa mahluk
lain (hewan, jin, setan, malaikat dan lainnya).
9)
Tingkatan
iman dan taqwa seseorang kepada Allah Swt wa Rasulihi Saw, ada yang rendah, menengah,
tinggi dan tertinggi.
Jadi,
kehidupan ini telah menunjukkan adanya satu mahluk yang tertbaik dan paling semurna organ
tubuh dan jiwanya, yang karenanya ia menjadi pusat dari seluruh
mahluk. Dan dalam konsep Islam, pusat mahluk tersebut terdapat pada manusia yang masih
hidup dalam alam fana, dan bukan pada mereka yang telah pulang kerahmatullah. Setiap manusia
organ tubuhnya mengandung komponen dari seluruh kimiawi yang ada didalam alam
semesta ini. Oleh Allah Swt, manusia ditempatkan pada planet bumi yang susunan kimiawinya
juga meliputi seluruh kimiawi yang
ada pada planet lain. Jika
manusia, dapat mengembangkan jiwa spiritualnya sampai kepada tingkat
kesempurnaan, maka ia akan menjadi pusat makhluk secara batiniyah.
D. Pembimbing
Ruhani.........................BERSAMBUNG........!!!.
[1]. Kitab Jawahirul
Bukhari, nomer hadis : 386.
[3]. Dalam kitabnya
Syarh Shahih Muslim-nya Imam Nawawi (kitab Zakat dalam bab Qismah)
dijelaskan pada Zaman Rasulullah Saw, terdapat orang-orang yang tidak puas
dengan keputusan Allah Swt, yang disampikan oleh rasul-Nya. Diantara mereka adalah Dzul Khuwaisirah yang berani
mangatakan Rasulullah Saw tidak adil. Dari keturunan Dzul Khuwaishirah ini terdapat
seseorang yang bernama Abdur Rahman bin
Muljam al-Ghafiqi yang membunuh Sayyidina Ali KW. Ibnu Muljam secara lahiriyah,
hapal al-Qur’an, dahinya tampak hitam karena setiap malam 300 rakaat shalat sunnah,
setiap hari hampir berpuasa, sarungnya diatas tumit dan dibawah lutut. (Lihat
juga dalam kata pengantar KH. Said Agil Siraj (ketua PB NU tahun 2012 M) dalam
buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syeh Idahram, terbitan
Pustaka Pesantren Yogyakarta).
[5]. Dari sahabat
Abu Said al-Khudri dan Anas Ibn Malik, Kitab Sunan Abu Daud juz IV
: a. nomer hadis : 4765.
b. nemer hadis : 4757.
c. nomer hadis : 4756
[6]. Kitab Jawahir
al-Bukhari wa Syahh al-Qusthalani-nya Syeh Ammarah, pada bab muqaddimah.
[7]. Ibid, pada bab “fadlilah ahlul hadits”.
[8]. Lebih jelasnya
tentang makna ittihadKitab Taqribul Ushul-nya Syeh Ahmad Zaini Dahlan.
[9]. Selain hal tersebut, Imam Suyuthi
juga menjelaskan; bahwa Imam Malik Ibn Anas (pendiri madzhab Maliki, w. 158 H)
setiap malam bertemu dengan Rasulullah Saw.
[11]. Dan untuk lebih jelasnya lihat dalam kitab Dalilul
Falihin pada juz I bab …….. dijelaskan : “Ketahuilah
bahwa sabda Nabi Saw : وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
: setiap yang bid’ah itu sesat, adalah kata umum yang dimaksudkan untuk
makna khusus. Dan karenanya, bid’ah terbagi kedalam 5 hukum dalam Islam.
Pertama, bid’ah yang wajib, seperti menulis ilmu yang membawa kemudahan dalam
memahami al-Qur’an dan hadis. Kedua, bid’ah yang haram, seperti madzhabnya
orang-orang yang tidak memahami difinisi bid’ah sebagaimana difinisi para
sahabat (ulama ahlus sunnah wal jama’ah). Diantara paham bid’ah yang haram
diikuti, antara lain paham yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw secara ruhani
sudah tidak berfungsi lagi dll). Ketiga, bid’ah yang sunnah, adalah segala
kebaikan meskipun tidak ada pada masa awal Islam, seperti mendirikan majlis
ta’lim/ pengajian/ dzikir dan tempat-tempat pendidikan/ madrasah serta
pembahasan dalam ilmu tasawuf “
Dan, yang aneh, mereka tidak setuju
dengan pembagian bid’ah kedalam 5 bagian, tetapi mereka juga membagi bid’ah
kedalam 2 bagian, yakini bid’ah dalam agama yang dilarang, dan bid’ah dalam
urusan dunia yang dibolehkan, padahal jika mengambil makna asli teks
sebagaimana yang mereka jadikan dasar kita menyerang paham 5 jenis bid’ah. Dan
ini menunjukkan ketidakadilan mereka dalam mengambil kaidah hokum Islam. Mereka
membenarkan hanya pendapat sendiri (meskipun secara bahasa keluar dari teks
hadis) dengan tanpa menghargai tafsiran orang lain. Dan jika mereka konsisten
makna yang dipeganginya, maka tidak mungkin memberikan makna : كُلَّ
بِدْعَةٍ : dengan arti setiap bid’ah adalah sesat.
Dan makna lahiriyah teks hadis ini, menerangkan : baik bid’ah tentang duniawiyah
maupun diniyah (agama), semuanya adalah sesat.
Dan, semoga Allah Swt melindungi serta menjauhkan kita dari sifat buruk
seperti yang mereka lakukan, menodai kaidah ilmu dan agama.
[12]. Imam Sakhawi berkata : sanad hadis ini tsiqqah.
Sedangkan al-‘Iraaqi berkata : sanadnya kurang shahih. (Lihat kitab Jalaul
Afham, dalam bahasan sanad hadis diatas).
dalam kitabnya al-Ausath, 4. Abu Nuaim al-Isfahani dalam kitabnya Hilyah
al-Auliya wa Thabaqah al-ashfiya’, 4. Ibnu
‘Asaakir dalam kitabnya Tarikh Damsyiq, 5. Imam Suyuthi dalam
kitabnya al-Lailil Masnunah, 6. An-Nabhani dalam kitab 5. Hadis
riwayat : 1. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, 2. Imam Baihaqi dalam Dalaa-ilun Nubuwwah, 3. Imam Thabrani Syawahid
Al Haq Fii al-Istighatsah Bisayyid al-Khalqi wal Basyar Saw, Syeh
Abul Fadlol ‘Iyad dalam kitab As Syifa’ Bita’rifi Huquq al-Musthafa.
[13]. Hadis riwayat
ad-Dailami dalam kitab Musnad al-Firdaus (Lihat juga dalam buku
“Keagungan Rasulullah Saw”)
[14]. Kitab Jawahirul
Bukhari-nya Mushthafa Muhammad Amarah, pada nomer hadis : 659.
[15]. Lihat
Rasulullah Saw bersabda : لاَيُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أنْ أَكُون أَحَبََّ اِلَيْهِ مِنْ وَالدِهِِ وَوَلَدِهِ وَالنَاسِ أَجْمَعِيْنَ Belum
sempurna iman kamu semua, sehingga AKU lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan
seluruh menusia.
Kitab
Jawaahir al-Bukhaari-nya Mushthafa Muhammad ‘Ammarah (penerbit Muhammad
Ahmad Nabhan, Surabaya, tt, hlm : 22 – 23, nomer hadis : 11. Keterangan yang
sama juga terdapat dalam kitab Fathul Bari-nya Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam ulasan hadis diatas.
[16]. Kitab Riyadlus Shalihin bab “Man Sanna
Sunnatan”. Hadis ini juga diriwatkan
oleh Imam Nasa’i, Ibnu Majah,dan Imam Tirmidzi dari Abu Amr dan Jarir Ibnu
Abdullah Ra.
[17] Kitab Dalil
al-Falihin Lithuruqqi Riyadl as-Shalihin juz I / 442.
[18]. Kitab Syawahid
al-Haq, Syeh Yusuf an-Nabhani pada bab muqaddimah.
[19]. Lihat buku Fuyudlat
ar-Rabbaniyah/ Permasalah Thariqah (buku ini berisi kumpulan keputusan
mu’tamar jam’iyah thariqah an-nahdliyah), terbitan “Khalista” Surabaya, dalam
item hasil keputusan mu’tamar ketujuh di ponpes “Futuhiyah” Mranggen Demak Jawa
tengah, pada bahasan ke 161 dan 162, terbitan “Khalista “Surabaya
Kitab
Sunny yang mu’tabar, antara lain yang ditulis oleh : Abu Thalib al-Makky, Imam
Qusyairi, al-Ghazali, Syeh Abdul Qadir al-Jailani, Syeh Ibnu Athaillah
as-Sakandari, Syeh Sya’rani dan para ulama yang telah masyhur dalam kalangan
kaum sufi.
[20]. Dalam menentukan
derajat hadis (shahih, hasan, dla’if atau munkar), telah tertulis dalam
kitab-kitab hadis yang mu’tabar (yang ditulis oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan lainnya). Hingga tidak perlu lagi mengadakan takhrij (penelitian kwalitas
hadis, selama ulama terdahulu telah menetapkannya). Berlainan sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum salafi wahabi yang sering mendla’ifkan bahkan memungkarkan
hadis yang telah dinilai shahih atau hasan oleh ulama dahulu.
[21]. Imam Syafii dalam kitab Diwan-nya yang diterbitkan “Dar al-Jil”
Bairut, tahun 1974,
menjelaskan :
فَقِيْهًا
صُوفِيًا فَكُنْ لَيْسَ وَاحِدًا فَإِنِّـي وَحَـقُّ اللهِ إِيَّاكَ
أَنْصَـحُ
فَذَاكَ قَاسَ قَلْبُهُ لَمْ
يَذُقْ تُقًى وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الجَهْلِ يَصْلُحُ
Jadilah
kamu ahli fiqh dan ahli tasawuf. Dan janganlah salah satunya. Sungguh aku
dengan kebenaran dari Allah, member nasehat kepadamu. Dia (yang hanya ahli
fiqh) saja, hatinya keras serta tidak merasakan taqwa. Dan dia (yang hanya ahli
tasawuf), seperti orang bodoh. Dan bagaimana orang bodoh, patut menjadi
pembimbing.
Disini yang perlu mendapat
perhatian, teks syair Imam Syafii tersebut diatas, anehnya tidak terdapat dalam
cetakan yang dikeluarkan dalam e-book, buku elektronik : http://www.almeshkat.net/books), atau buku “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama
Klasik”, tulisan Syeh Idahram, Penerbit “Pustaka Pesantren”, Jl.
Parangtriris KM 4.4 Yogyakarta.
Dalam buku ini, diterangkan juga
bahwa mereka sengaja melakukan sesuatu yang menodai ilmiyah. Diantaranya,
mereka menghapus teks-teks yang terdapat dalam kitab para ulama klasik yang
bertentangan dengan akdidahnya, serta memalsukan/ menyisipkan teks yang tidak
ditulis oleh para penulis kitab tersebut. Sampai-sampai teks hadis yang
terdapat dalam kitab as-Shahih Bukhari dan Muslim juga dihapus dan
dipalsukan.
[23]. Lihat kitab Afdlalus
Shalawat, Syeh Yusuf an-Nabhaani Ra (w. 1933 M), dalam pasal 4. Sejalan
dengan Syeh an-Nabhani Ra, Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra (w. 973 H) dalam
kitabnya al-Anwar al-Qudsiyah pada sanad talqin menjelaskan :
[24]. Hadis shahih
riwayat Ahmad dari Abu Sa’id al-Khudri, kitab Jami’ as-Shagir-nya Imam
jalaluddin Suyuthi pada juz II dalam bab
“wawu”.
[25]. HR. Ahmad,
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai, kitab Jami’ as-Shaghir fii
Ahaadiis al-Basyir an-Nadziir-nya Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pada juz I dalam bab “alif dan dzal”.
[26]. Kitab
Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalqi wal Basyar Saw-nya
Syeh Nabhani Ra, dalam pasal 3 pada ulasan “pendapat para ulama tentang
istighatsah kepada Nabi Saw”.
[27]. Hadis
ini dapat dipahami sebagai ulasan terhadap firman Allah Swt , Qs. al-Anbiya’ :
107 :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ
إِلاَّ رَحْمَةَ لِلْعَالَمِيْنَ : Dan Kami (Allah) tidak mengutus Engkau, kecuali
sebagai rahmat kepada alam.
[28]. . Kitab Jami’ as-Shahigir juz I bab
“alif”. Dan Imam Suyuthi menerangkan hadis ini hasan.
[29]. HR.
Ahmad (Musnad, nh : 3233)
[30]. Kitab
as-Syifa’-nya Syeh Abul Fadlal Iyadl al-Yahshubi Ra, dalam juz I bab I
pada pasal 1.
[31]. Kitab al-Ghunyah
dalam juz II pada bab “maa yajibu ‘ala al-mubtadi” pasal kesatu. Hadis yang sepadan diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih, nh : 4661, dalam kitab
“al-birr wa as-shlah” pada bab “fadl iyadah al-maridl”).
[32]. Kitab Thabaqaat
al-Kubra-nya Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani Ra juz II dalam kisah “Syeh Ibnu
Makhala”.
[33]. Kitab al-Anwarul
Qudsiyah fii Ma’rifati Qawaa’id as-Sufiyah dalam bab ‘muqaddimah”.
Yang mana kitab ini ditulis disebabkan oleh banyaknya penyimpangan yang terjadi
dalam lingkungan kaum sufi dan para guru tarekat. Demikian pula, ketika
al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Qusyairi Ra (w. 465 H) menulis kitab Risyalah
al-Qusyairiyah, dan al-Ghauts fii Zamanihi Ra Imam al-Ghazali Ra menulis
kitab Ihya’ Ulumuddin. Pada masa Beliau Ra berdua, terjadinya
penyimpangan dari para pembimbing tarekat sufi, sehingga kebanyakan kaum
fuqaha’ menganggap tasawuf sebagai amalan yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan dalam sunnah Islam.
Shalawat
Wahidiyah dan Perjuangan Wahidiyah, oleh Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Muallif
Shalawat Wahidiyah QS wa Ra dimaksudkan mengembalikan inti tasawuf sebagaimana
yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, yang tidak memisahkan antara aqidah
(sebagai jiwa), fiqih (sebagai pelaksanaan hukum lahiriyah) dan moral (sebagai
keluhuran budi).
[34]. Ibid.
Dalam bab “sanadul qaum”, Syeh Sya’rani menjelaskan bahwa para guru
mursyid waktu itu adalah orang yang keshalihan, kewara’an dan kezuhudannya
seperti yang dicontohkan oleh Rsulullah Saw. Dan pula – masih keterangan Syeh
Sya’rani -, Beliau Ra memiliki amalan yang sanadnya antara dirinya dengan
Rasulullah Saw hanya terhalang oleh 1 atau 2 orang GURU MURSYID, yang akhirnya
Beliau Ra mengambil langsung dari Rasulullah Saw setelah Guru Mursyid-nya
wafat. Beliau Ra mencari hidayah Allah Swt, syafaat Rasulullah Saw
melalui Syeh Ali al-Khawash. Dan Syeh Ali
al-Khawash melalui Syeh Ibrahim al-Matbuli Syeh Ibrahim al-Matbuli dari
Rasulullah Saw secara langsung. Kemudian setelah wafatnya Syeh Ibrahim
al-Matbuli, Syeh Ali al-Khawash mengambil langsung dari Rasulullah Saw.
[35]. Diantara tanda benar dan
sahnya suatu tarekat, antara dapat membawa pengamalnya dekat
dengan sedekat mungkin kepada Rasulullah Saw secara ruhani maupun mushafahah
dan musyfahah (dapat berdialog). Jika tidak, maka tarekat
tersebut dinilan batal. Lihat dalam kitab al-Anwarul Qudsiyah –nya
al-Ghauts fii Zamanihi Ra Syeh Abdul Wahhab as-Sya’rani, dalam bab “sanadul
qaum”
[36]. Kitab Jami’ as-Shagir –nya Imam Suyuthi,
juz I bab alif. Atau kitab Kasyful
Khifa’ juz I, bab alif.
[37]. HR. Bukhari,
Muslim, Ahmad, Thabrani dan Baihaqi.
[38]. HR. Bukhari,
Ahmad dan Baihaqi.
[39]. Dalam salah fatwa
amanatnya, Hadlratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif Majid Ra Pengasuh Perjuangan
Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, menjelaskan 4 (empat) nafsu manusia. Pertama,
BAHIMIYAH (binatang ternak). Manusia yang jiwanya
dikuasai nafsu ini, yang dicari dalam hidup hanya kepuasan perut dan kelamin.
Mereka tidak mau mengenal Tuhan dan perintahnya. Kedua, SABU’IYAH
(binatang buas). Jika jiwa manusia dikuasai nafsu ini, kepuasannya mengalahkan
orang lain. Ketiga, nafsu SYAITHANIYAH (setan/
iblis). Iri, ambisi, dengki, sombong dan ujub
muncul dari nafsu ini. Keempat,
RUBUBIYAH (ke-Tuhan-an). Rububiyah merupakan hak Tuhan.
Misalnya; merasa hidup, mendengar, melihat, alim, berkuasa dan lain sebagainya.
Padahal hanya Allah Swt Yang Maha Hidup, Mendengar, Melihat, Kuasa dan
sifat-sifat baik lainnya.
[40]. Dalam kitab as-Syifa’
bi Ta’rifil Huquuqil Mushthafa Saw-nya al-Hafidz (gelar tertinggi dalam
ilmu hadis) Syeh Iyadl al-Yahshubi (w. 544 H), jilid I, bab I pada pasal 1,
diterangkan :
قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : قَالَ
أَبُو جَهْلٍ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّا لاَنُكَذِّبُكَ,
وَلَكِنْ نُكَذِّبُ مِمَّا جِئْتَ بِهِ.
Sesungguhnya kami tidak mendustakan kamu (Muhammad). Akan
tetapi kami mendustakan itu, mengapa kamu yang mendatangkan hal itu.
[41]. Keterangan yang semakna terdapat
dalam : Qs. Az-Zumar : 49, al-Isra’: 67 + 83 dan
an-Nahl : 53-54.
[42]. Makna ayat diatas
lebih ditegaskan lagi oleh Qs. al-Anfal : 17, yang menerangkan bahwa kekuatan
Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt semata : وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَي : Tidaklah engkau (Muhammad) yang melempar ketika
engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dengan jelas ayat ini menerangkan kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt
semata.
Dengan demikian, meskipun tidak bertawassul atau
beristighatsah kepada Rasulullah Saw, seseorang tetap dikatakan MUSYRIK (menyekutukan
Allah Swt dengan Rasulullah Saw) selama tidak dapat memahami kekuatan Rasulullah
Saw merupakan kekuatan Allah Swt semata. Dan, meskipun bertawassul atau
beristighatsah kepada Rasulullah Saw, tetap dinamakan BERTAUHID selama memahami
kekuatan Rasulullah Saw adalah kekuatan Allah Swt. Rasulullah Saw hanyalah tempat
tajalli (penampakkan sifat) Allah Swt yang sempurna.
Jadi, hakikat bertawassul atau
beristighatsah, adalah untuk mendekati “Nur Ilahiyah”-nya Allah Swt yang ada pada pribadi Rasulullah Saw atau
pribadi al-Ghauts Ra.
[43]. Beliua Hadlratul
Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Makruf Muallif Shalawat Wahidiyah Qs wa Ra dalam
salah satu fatwa amanatnya menjelaskan : “Wahidiyah cocok dengan al-Qur’an
dan hadis serta sesuai dengan sain dan tehnologi”.
[44]. HR. Imam Ahmad
(dalam Musnad), Thabrani (dalam al-Ausath), Baihaqi (dalam Syu’bul Iman) dan Ibnu
Adi (dalam al-Kamil). Kitab
Jami’ as-Shagir juz I dalam bab “alif”.
[45]. HR. Imam Ahmad dari Umar
Ibn al-Khatthab dalam dalam Jami’ as-Shaghir, juz I, bab
“alif”. Imam Suythi mengatakan
hadis ini berderajat “shahih”.
[46]. Dalam Qs. at-Taubah : 54,
dijelaskan bahwa malas mendirikan shalat termasuk sifat orang kafir.
إِنَّهُمْ
كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ وَلاَيأْتُونَ الصَلاَةَ إِلاَّ وَهُمْ كُسَالَى
وَلاَ يُنْفقُونَ إِلاَّ وَهُمْ كَارِهُونَ
Sesungguhnya mereka
adalah orang kafir kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka tidak mengerjakan shalat kecuali dengan malas. Mereka tidak menginfaqkan hartanya kecuali dengan terpaksa.
[47]. Riya’ adalah berbuat kebaikan bukan karena Allah Swt, tetapi untuk mencari pujian dari manusia. Qs. al-Ma’uun : فَوَيلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. الذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. الذِيْنَ
هُمْ يُرَاءُونَ. وَيَمْنَعُونَ الماعُونَ : Neraka wail diperuntukkan bagi orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang
lalai dari shalatnya. Dan mereka yang berbuat riya’. Dan mereka yang enggan menolong dengan barang yang dibutuhkan masyarakat.
[48]. Para ulama mengatakan : menegakkan
shalat adalah melaksanakan shalat secara lahir (sebagaimana dalam ilmu fiqih)
dan secara batin (menghayati dan megamalkan makna ucapan dan perbuatan dalam
shalat). Menegakkan shalat secara semestinya
dapat menjauhkan dari prilaku mungkar.
إنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَامَسَّهُ الشَرُّ جَزُوعًا وَإِذَامَسَّهُ الخَيْرُ مَنُوعًا
إِلاَّالمُصَلِّيْنَ.
الذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُون.
Sungguh manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir. Ketika mendapat kesusahan ia berkeluh kesah. Dan ketika
mendapat kenikmatan ia amat kikir. Kecuali orang yang menegakkan shalat. Yaitu,
orang-orang yang melaksanakan shalat secara terus-terus (Qs. Al-Ma’arij : 19–27).
[49]. HR. Dailami (kitab ad-Durar
al-Muntatsirah-nya Imam Suyuthi Ra), kitab Muhtashar Ihya Ulumudin-nya
al-Ghauts fii Zamnihi Imam Ghazali Ra, bab IV pasal “keutamaan khusyu”.
[51]. Hadis riwayat Hakim dan Baihaqi dari sahabat Ibn Umar Ra. (Kitab Minhaj al-Abidiin-nya Imam al-Ghazali
dalam “muqaddimah”. Dan dapat dilihat dalam kitab tafsir Al-Qurthubi surat
Az-zumar : 22 dengan jalur dari sahabat Ibnu Mas’ud. Bahkan dalam tafsir ini,
juga diterangkan, bahwa yang menerima
“nur ilahiyah” secara sempurna hanyalah
Hamba Allah Kamilul Iman
(al-Ghauts- pen).
[52] Kitab Thabaqat al-Kubra-nya Syeh Abdul
Wahab Sya’rani. Atau kitab Tahrirud
Durar-nya KH.Mishbah Zain
Mushthafa Bangilan Tuban Jawa timur, dalam bab “Syeh Ali al-Khawash”. Atau kitab
Kimya’ as-Sa’dah-nya al-Ghazali (kitab ini telah diterjemah oleh Gus
Mus, Rembang Jawa Tengah. Tokoh NU ini semestinya telah menjelaskan : bahwa tanpa melalui Rasulullah
Saw, perjalanan menuju Allah Swt akan mengalami kegagalan.
Sedangkan
akhlak para waliyullah Ra didapatkan dari pancaran Rasulullah Saw. Seseorang,
setelah melalui latihan (mujahadah) serta menaiki beberapa tahapan jiwa,
barulah ia mendapatkan anugrah akh[53]. Kemuliaan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah Saw didapatkan secara
langsung dari Allah Swt. lak yang karimah. Diantara tahapan jiwa tersebut; pertama,
takhalli : pembersihan jiwa dari akhlak yang tercela (syirik,
ujub, riya’ dan linnya). Kedua, tahalli : pengisian jiwa
dengan akhlak yang terpuji (taqwa, ihsan, sabar, ridla, syukur dan lainnya). Baru kemudian memperoleh tajalli : Allah Swt
menampakkan diri serta menyinarkan akhlak-Nya.
No comments:
Post a Comment