Sunday, February 2, 2014

017.03.3001 - ANDA BERTANYA DAN BERKOMENTAR ( Saudaraku Gus Thoifur - Kedua)

III. 03. 3001 "ANDA BERTANYA DAN BERKOMENTAR, KAMI MENJAWAB DAN MENANGGAPI"

TANGGAPAN DAN PENJELASAN atas
KEJANGGALAN GUS THOIFUR TERHADAP AJARAN WAHIDIYAH
----------------------------------------------------------------------------

 II. Kejanggalan Kedua Gus Thoifur :

Di dalam buku KULIAH WAHIDIYAH tepatnya pada halaman 127-128 terdapat ajaran ISTIGHROQ AHADIYAH / LAA MAUJUDA ILLALLOH (tiada yang wujud selain ALLOH) padahal mengucapkan LAA MAUJUDA ILLALLOH saja harom syar'an karna mengandung iham (salah faham bagi orang awam) apalagi mempraktekkan seperti ajaran wahidiyah :

وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ اِلهاً آخَرَ لآإِلهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ قف لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ .  28-القصص: 88    

"Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) ALLOH tuhan apapun yang lain. tidak ada tuhan( yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali ALLOH. Bagi-Nyalah segala penentuan,dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.(alqosos¬ 88).

Tanggapan dan Penjelasan atas Kejanggalan Kedua :

Gus Thoifur yang terhormat, sebelum kami menanggapi dan memberikan penjelasan atas kejanggalan sampean sebagaimana tertera diatas, kami akan menulis ulang teks bahasan mengenai istighroq Ahadiyah didalam buku Kuliah Wahidiyah, agar sampean tahu bahwa kejanggalan sampean yang sampean tuduhkan kepada pihak kami tidak mengenai sasaran. Teks yang kami maksudkan diatas terdapat didalam Buku Kuliah Wahidiyah pada halaman 127-129. Sedangkan redaksinya secara lengkap sebagai berikut :

 “ISTIGHROQ AHADIYAH”

Yaitu seperti yang kita praktekkan pada pengamalan Sholawat Wahidiyah dibagian akhir sebelum membaca doanya Fafirruu Ilalloh. Jadi tenggelam didalam ke-Esaan Tuhan.
Adapun cara prakteknya, diam lahir batin tidak membaca atau mewiridkan apa-apa. Segala konsentrasi pikiran, perhatian, perasaan, pendengaran dan sebagainya diarahkan tertuju hanya kepada Alloh. Tidak ada acara kepada selain Alloh. Hanya Alloh.Titik. Bukan kepada lafal Alloh, tetapi Alloh Tuhan !.

Ada yang menggunakan istilah “LAA MAUJUUDA ILLALLOH”  tiada yang wujud selain Alloh. Artinya, karena kuatnya konsentrasi hanya kepada SATU yakni ALLOH, maka yang lain atau makhluk tidak kelihatan. Tidak kelihatan pandangan mata hati. Bukan pandangan mata lahir. Yang kelihatan hanya Alloh. Dirinya sendiripun tidak kelihatan. Sehingga mudahnya dikatakan, selain ALLOH tidak wujud, yang wujud hanya Alloh. Hal tersebut adalah benar, sesuai dengan firman Alloh :

وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ اِلهاً آخَرَ لآإِلهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ قف لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ .  28-القصص: 88

Artinya kurang lebih :
“Jangan kamu sembah di samping (menyembah) Alloh, Tuhan apapun yang lain. Tiada Tuhan (yang harus disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap (segala) sesuatu itu rusak selain Alloh. Bagi-NYA-lah segala penentuan, dan hanya kepada-NYA-lah kamu semua dikembalikan” (28-Al-Qoshosh: 88).
Itulah dasar hukum yang dialami dan harus diusahakan ketika melaksanakan ISTIGHROQ AHADIYAH.

Dalam istilah bahasa Jawa ada yang menggambarkan sebagai “kami tenggengen kepada Alloh”. Ingat, gambaran pasti tidak persis seperti apa yang digambarkan. Foto tidak persis seperti yang punya foto. Dalam bahasa Indonesia, “kami tenggengen” artinya yang agak dekat adalah “terpesona yang sangat mendalam”. Bahasa Jakarta disebutnya “bengong”. Jadi bengong kepada Alloh. Orang yang lagi terpesona kepada sesuatu dengan terpesona yang mendalam, pada saat seperti itu ia tidak melihat apa-apa, selain sesuatu yang ia terpesonai itu. Dirinya sendiripun sudah tidak terlintas dalam jangkauan penglihatan batin atau perasaannya. Baginya pada saat bengong seperti itu “LAA MAUJUUDA ILLA SESUATU” yang ia bengongi itu. Dapat dimengerti bahwa keadaan seperti itu hanya dialami dalam beberapa saat, mungkin dalam beberapa detik, tetapi juga tidak mustahil bila terjadi dalam tempo lebih lama. Begitulah gambaran kira-kira dari ISTIGHROQ AHADIYAH. Jika hanya dialami oleh orang yang bersangkutan, orang lain selain dia tidak merasakannya.

Ada lagi yang memakai istilah “Manunggaling kawulo lan Gusti” = menyatunya hamba dengan Tuhan. Dalam ilmiyah Tasawuf ada yang memakai istilah “Ittihad”, “Ittihad bihulul” (kemanunggalan dalam bentuk penjelmaan Tuhan kedalam diri manusia), dan “Ittihad biwahdatil wujud” (kemanunggalan manusia dalam diri Tuhan). Akan tetapi kami berpendapat istilah-istilah tersebut sangat tidak tepat, terlalu jauh dari kenyataan yang haqiqi. Sebab didalam istilah “manunggal” atau istilah “Ittihad” masih ada dua unsur, yaitu kawulo dan gusti atau manusia/ hamba dan Tuhan. Padahal hakekatnya hanya SATU !. ALLOH TUHAN ! Titik.

Pengertian yang lebih tepat dan benar adalah harus diterapkan, dipraktekkan, dirasakan. Baru mengerti apa dan bagaimana itu Istighroq Ahadiyah. Seperti halnya kita tidak dapat mengutarakan manisnya gula yang persis seperti rasanya. Jika didalam mulut kita ada gula, itulah manisnya gula. Begitu juga Istighroq Ahadiyah, tidak dapat menguraikan dengan susunan kata, tetapi dapat dimengerti dengan Dzauqiyah dengan rasa. Maka perlu dicoba dan dipraktekkan.

Gus Thoifur yang terhormat, jika sampean mau membaca dan memperhatikan secara cermat  dan teliti kutipan redaksi diatas, tentu sampean akan memperoleh suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada keterangan di dalam buku kami yang mengajarkan kepada para pengamal Wahidiyah untuk mewiridkan atau mengucapkan lafal “LAA MAUJUUDA ILLALLOH”.
2. Tidak ada keterangan didalam buku kami yang mengajarkan tentang “LAA MAUJUUDA ILLALLOH”.
3. Tidak ada keterangan didalam buku kami yang mengajarkan tentang “MANUNGGALING KAWULO LAN GUSTI”, sebagaimana yang juga sampean sebut-sebut didalam ceramah sampean dalam CD. Bahkan sampean mengatakan bahwa itu seperti ajarannya Syekh Siti Jenar. Jelas, itu adalah bahasa propokatif.
4. Tidak ada keterangan dalam buku kami yang mengajarkan tentang “HULUL”.
5. Tidak ada keterangan didalam buku kami yang mengajarkan tentang “WIHDATUL WUJUD”.
6. Tidak ada keterangan didalam buku kami yang mengajarkan tentang “ITTIHAADUL WUJUD”.
7. Didalam buku kami diatas, hanya mengajarkan tentang “ISTIGHROQ”.

Jadi istilah “Laa maujuuda Illalloh, manunggaling kawulo lan Gusti, hulul, wihdatul wujud dan ittihaadul wujud”, adalah hanya sebuah analogi. Dan semua itu sesungguhnya tidak tepat.
Maka dengan demikian, apabila sampean masih tetap bersikukuh terhadap kejanggalan sampean, yaitu istilah-istilah itu sebagai ajaran Wahidiyah, berarti sampean benar-benar tidak mampu memahami redaksi dalam buku kami. Lalu bagaimana sampean bisa memahami maksudnya.
Adapun penerapan “Istighroq”, sebagaimana yang diuraikan dalam buku kami diatas, adalah masih dalam ranah dzikir, karena masih dalam satu rangkaian pengamalan Sholawat Wahidiyah. Jadi penerapannya adalah, memusatkan hati secara penuh/ konsentrasi hanya semata-mata tertuju kepada Alloh. Merasakan ketuhanan Alloh dalam hati, bahwa Alloh itu Esa, baik dalam sifat, af’al maupun dzatnya. Hal ini untuk melatih agar hati mencapai sebagaimana yang menjadi tujuan dari pengamalan Sholawat Wahidiyah itu sendiri. Yakni untuk ma’rifat kepada Alloh SWT atau untuk mencapai iman musyahadah. Maka sudah tepat, kalau seseorang sedang melakukan Istighroq, yang diingat hanya Alloh, yang lainnya tidak ada/ tidak kelihatan (tanpa hulul, tanpa ittihad dan bukan wihdatul wujud); itulah iman Musyahadah/ Ma’rifat. Sebagaimana yang diterangkan dalam kitab ar-Risalatul Qusyairiyyah :

 أَلْمَعْرِفَةُ هِيَ الْغَيْبَةُ عَنِ الْغَيْرِيَّةِ بِشُهُوْدِ اْلاَحَدِيَّةِ

“Ma’rifat itu ialah lenyap dari segala yang lain, pada ketika nampaknya Yang Maha Esa”.

Untuk memudahkan memahami penjelasan kami diatas, sampean kami bantu dengan penjelasan yang lain yang maksudnya  sama dengan keterangan kami diatas.

شيخ علاء الدين علي ابن محمحد البغدادي المعروف بالخازن قائلا : الخشوع في الصلاة هو جمع الهمة والإعراض عماسوى الله. (تفسير الخازن 5/32).

“Khusyu’ didalam sholat adalah menyatunya himmah/ kemauan yang kuat dan lenyapnya (menjadikan lenyapnya) segala sesuatu selain Alloh”.

Dengan demikian, maka dalil yang sampean anggap tidak pas untuk mendasari penerapan Istighroq Ahadiyah adalah tidak benar.
Kenapa kami katakan tidak benar, karena Istighroq masih dalam ranah dzikir (dzikir khofi), sedang dzikir adalah bagian daripada perbuatan ibadah, maka dalil diatas itu sudah sangat tepat sekali kalau digunakan sebagai dasar penerapan Istighroq Ahadiyah.  

Gus Thoifur yang terhormat, setelah kami membaca kejanggalan sampean diatas secara seksama, maka kami peroleh suatu kesimpulan, bahwa didalam kejanggalan sampean itu terdapat hal-hal yang kurang fair dan sangat menyinggung pihak  lain. Contohnya ;
1. Sampean mengutip dalam kitab Sirojut Tholibin, tetapi sampean SALAH mengartikan redaksi yang dimaksud dalam kitab tersebut.
Sebab makna dari redaksi (  وهذا اللفظ لا يجوز شرعا: kata itu haram syar’an ), bukan tertuju kepada makna / kata  “LAA MAUJUUDA ILLALLOH”. Tetapi kepada : أنا الله : “aku adalah Alloh”, atau مافي الجبة إلاّ الله : “tidak ada dalam jubahku kecuali Alloh”.
Kok begitu yaa cara sampean beragumentasi, apakah sampean tidak takut dengan apa yang sampean lakukan itu ? Mari kita lihat dalam kitab yang sama (halaman 51 & 52) :

فَمَنْ قَالَ   لا أَعْرِفُ إِلاَّ الله فإنَّهُ لَيْسَ فِي الوُجُود إِلاَّ اللهُ
وَالحَاصِلُ أَنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ وَجْهَيْنِ : وَجْهٌ إِلَى نَفْسِهِ وَوَجْهٌ إِلَى رَبِّهِ,  فَهُوَ بِاعْتِبَارِ وَجْهِ نَفْسِهِ عَدَمٌ,  وَبِاعِتِبَارِ وَجْهِ اللهِ مَوْجُوْدٌ,  فَإِذَنْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ
Dan Redaksi (لكن القوم تارة تغلبهم الاحوال فيؤل ما يقع منهم بما
يناسبه),
tidak sampean perhatikan. Padahal maknanya sangat esensial sekali.
Dan makna بما يناسبه : “sesuatu yang pantas”, adalah harus dikaitkan dengan amaliyah lahiriyah kaum yang mengucapkan kalimat tersebut. Yaitu mereka bersyari’at atau tidak. Kalau bersyari’at, harus ditakwilkan kepada sesuatu yang seseuai dengan agama. Dan kalau mereka tidak bersyari’at, harus dilihat kepada waktu mengucapkan kalimah tersebut. Yakni mereka dalam keadaan ghalabah atau ghaibubatul aqli.

Adapun cara penakwilan yang baik, adalah sebagaimana keterangan dalam buku Ahkamul Fuqaha, LTN PBNU, (Khalista Surabaya tahun April 2011) bahasan ke: 117  :

S. Apakah thariqah Tijaniyah itu termasuk thariqah yang benar dan mu’tabarah ? ...................
J. Thariqah Tijaniyah itu mempunyai urutan langsung (sanad muttashil). ...............  . Adapun yang tidak sesuai apabila dapat ditakwilkan, maka harus ditakwilkan pada arti yang sesuai dengan agama dan terserah kepada yang ahli. Bila tidak bisa dan ternyata bertentangan dengan agama dan tidak dapat ditakwilkan, maka hal itu salah, dan tidak boleh diajarkan kepada golongan awam supaya tidak tersesat dan menyesatkan.
2. Adapun hal yang menyinggung pihak lain dalam kejanggalan sampean, adalah kalimat yang berbunyi : “Padahal mengucapkan “LAA MAUJUUDA ILLALLOH” saja harom syar’an, karena mengandung iham (salah faham bagi orang awam)”.

Gus, apakah sampean dengan mengutarakan kalimat diatas tidak merasa, kalau pernyataan itu menyinggung orang/ pihak lain. Coba sampean perhatikan baik-baik, tidak usah jauh-jauh, masih di kota Jember ini saja, sampean tahu kan dengan jama’ah dzikrul ghofilin-nya al-Maghfurllah Gus Mik (K. Hamim Jazuli), Mbah Kiyai Abdul Hamid Pasuruan dan Mbah Kiyai Ahmad Siddiq Jember, didalam amalan dzikrul ghofilinnya terdapat redaksi :
لاَمَعْبُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَطْلُوْبَ إِلاَّ اللهُ, لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ

“Tidak ada yang disembah kecuali Alloh, Tidak ada yang dituju kecuali Alloh, Tidak ada yang dicari kecuali Alloh, Tidak ada yang maujud kecuali Alloh”. Dan bacaan itu selalu dibaca oleh jama’ah ketika mereka melakukan dzikir.
Demikian pula para ulama’ ahli Thoriqoh, sebagaimana dalam Kitab Jami’ul Ushul-nya Syekh Kamasykhanawi Ra bab “adz-dzikr”, menerangkan pemahaman kaum Shufi sebagai berikut :

(لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ) أَي لاَمَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ, لاَمَقْصُوْدَ إِلاَّ اللهُ, أَوْ لاَمَوْجُوْدَ إِلاَّ اللهُ

“Tiada yang hak untuk disembah kecuali Allah, tiada yang dituju kecuali Allah, dan tiada yang wujud kecuali Allah”.
Dan didalam sholawatnya Syekh Al-Masyisy Ra (yang diamalkan orang awam dan non awam), terdapat redaksi yang semakna ;

وَزُجَّ بِي فِي بِحَار الأَحَدِيَةِ وَانْشُلْنِي مِنْ أَوحَالِ التَّوْحِيْدِ وَأَغْرِقْنِي فِي عَيْنِ بَحْرِ الوَحْدَةِ حَتَّى لاَ أَرَى وَلاَ أَسْمَعَ وَلآَ أَجدَ وَلاَ أُحِسَّ إِلاَّ بِهَا.

“Dan doronglah kami kedalam lautan AHADIYAH, dan turun (keluar)-kanlah kami dari lumpur (kesesatan) tauhid. Dan tenggelamkanlah kami kedalam kenyataan lautan ke-Esa-an Mu. Hingga aku tidak melihat, tidak mendengar, tidak menemukan dan tidak merasa kecuali didalam samudra ke-Esa-an-Mu”.
Sedangkan didalam Sholawatul Kubronya Syekh Abdul Qodir al-Jailani Ra juga terdapat redaksi sebgai berikut :

 يَاهُوَ يَا أللهُ - يَاهُوَ يَا أللهُ - يَاهُوَ يَا أللهُ, لاَ اِلَهَ غَيْرَكَ اِسْقِنَا مِنْ شَرَابِ مَحَبَّتِكَ, وَاغْمِسْنَا فِيْ بِحَارِ أَحَدِيَّتِكَ .......

“Wahai dia wahai Alloh, Wahai dia wahai Alloh, Wahai dia wahai Alloh, tiada Tuhan selain Engkau, tuangilah kami dari minuman kecintaan-Mu dan benamkanlah kami dalam lautan ke-Esaan-Mu”.
Gus Thoifur yang terhormat, mempelajari Tasawuf itu memang tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan perjalanan yang berliku-liku, lebih-lebih mengamalkannya, yang tentunya membutuhkan seorang pemandu yang piawi, agar kita tidak terperosok dibelantara nafsu yang menguasai. Tasawuf berkaitan dengan soal rasa, jadi barang siapa yang tidak merasakannya berarti ia tidak tahu (مَنْ لَمْ يَذُقْ لَمْ يَعْرِفْ).

No comments:

Post a Comment