004.02.373 - ALLOH MENGUJI KITA DENGAN MENUTUPI SIRRI-SIRRI WALI-NYA
(Pengajian Kitab Al- Hikam dan Kuliah Wahidiyah Ahad Pagi - oleh Hadrotul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Madjid RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al-Munadhoroh).
II. 02. 373 "PENGAJIAN ALHIKAM DAN KULIAH WAHIDIYAH AHAD PAGI"
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM
سبحا ن من ستر سر الخصو صية بظهور البثرية
“Maha Suci Allah yang telah menutupi rahasia-rahasia keistimewaan seorang wali dengan sifat-sifat yang ada pada manusia umumnya”
(Al-Hikam 118)
Maha Suci Allah, Dzat yang telah menutupi sirri atau rahasia khusus para auliya’. Sirri khususiyah yang bentuknya apa? Al ilmu, al ma’arif wall asror. Ilmu. Para auliya banyak diberi ilmu ketuhanan atau ilmu-ilmu yang tidak sama dengan umumnya mansuia. Mereka diberi kepahaman seperti kepahamannya para nabi dan rasul. Sehingga kepahaman seorang auliya ini melebihi kepahaman manusia yang lain. Memang, kalau kepahaman yang diberikan kepada seorang wali sama saja dengan kepahaman yang diberikan kepada kebanyakan manusia, ya berarti bukan khususiyah, tapi umumiyah namanya.
Jadi, para auliya itu banyak diberi ilmu-ilmu, kepahaman-kepahaman tentang rahasia alam, baik alam yang belum tersusun, secara ilmiah, maupun alam yang telah tersusun, secara ilmiah. Dan, ia mendapat kepahaman-kepahaman itu bukan dari hasil baca di buku-buku, tetapi ia dapatkan dari tajali sifat alim-Nya Allah SWT.
Wall ma’arif dan makrifat. Makrifat ini khususiyahnya (keistimewaannya) para wali. Wall asror Ilahiyah, dan diberi sirri Ilahiyah. Artinya, sirri-sirri-Nya Allah yang ditajallikan kepada orang itu. Bukan orang itu punya sirri-sirri, tapi semua sirri-sirri itu milik Allah yang ditajalli ke hati hatinya para wali.
التي يعطيها الله لأوليا ئه ويفيضهاعلى قلو بهم
Allah memberikan (tajali dalam bahasa tasawuf), yakni Allah memancarkan Nur Ilmu-Nya, Nur Makrifat-Nya dan Nur Asror-Nya, ala qulubihim kepada hatinya para wali. Lha,nur-nur atau rahasia itu tadi kemudian ditutupi oleh Allah dengan sifat basyariyah (kemanusian) wali itu, sehingga tidak tampak di oleh orang umum.
أي الأحوالتي تعرض للبشر والأمورالد نيوية
Yaitu aktifitas lahiriyahnya sama saja seperti manusia pada umumnya. Yakni sibuk dengan urusan dunia.
Di antara sifat basyariyahnya itu adalah: ada kalanya walinya Allah secara lahiriyah tidak tajridin. Karena, kalau tajridin itu lahiriyah tidak ikhtiyar, sementara rizknya hanya mengharap kemurahan dari Allah semata. Ikhtiyarnya hanya batin, tjrid ilallah, nyepi dari makhluk, baik hati atau aktifitas dunia. Semuanya sudah ditinggalkan. Yang ia harap hanya Allah semata. Orang menamakannya ini keramat, nggak kerja keramat.
Tapi ada juga walinya Allah yang lahiriyah seperti orang biasa. Di antara mereka ada yang jadi tukang dokar, tukang kuda, tukang nganyam tikar, tukang batu, ada juga yang tukang pandai besi. Lahiriyah mereka tampak seperti orang hina indannas (menurut pandangan manusia). Kalau istilah sekarang mereka bukan pejabat, bukan bupati, seperti bukan orang keramat.
Semua keadaan basyariyah mereka itu tidak lain semata untuk menutupi sirrinya Allah yang dipasang pada para arifin. Hingga orang lain tidak mengetahui kalau dia itu sesungguhnya adalah seorang wali. Maka bagi orang umum, tidak bisa mengetahui apakah ia seorang wali atau bukan. Karena pada umumnya, manusia beranggapan kalau seorang wali itu adalah orang yang keramat, kyai gede, dan sebagainya. Mereka akan tidak percaya, wali kok tukang pandai besi, tukang dokar, tukang batu. Apa ada? Lha, itu sirrinya Allah menutup wali-walinya dengan sifat-sifat basyariyah pada umumnya. Tapi kalau suatu saat Allah membuka rahasia yang terdapat pada diri wali itu, maka manusia akan kaget. Ken pancaran Nur Ilahiyah dari jiwa sang wali itu, ibarat sinar matahari yang memancar ke seluruh jagat raya.
Juga seorang walinya Allah kadang-kadang ditutupi dengan ucapan-ucapannya. Dalam pembicaraannya, yang ia bicarakan bukan tentang makrifat, bukan tentang iman, hingga orang lain tidak mengetahui bahwa ia adalah seorang wali. Yang dibicarakannya sama saja seperti orang umum kebanyakan. Itulah…, sekali lagi, khususiyahnya wali itu ditutupi oleh Allah dengan keadaan-keadaannya tadi.
Karena itu, kita harus terus husnudzdzon, kata Mbah Yahi QS wa RA. Husnudzdzon dengan siapa saja. Jangan-jangan orang yang kita anggap hina, ternyata ia adalah seorang auliya-Nya Allah SWT. Jangan-jangan orang yang kita anggap rendah, ternyata derajatnya tinggi indallah wa Rasulihi SAW.
وظهر بعظمة الربوبية أي بربوبيته العظيمة
Keagungan Allah itu tampak bagi hamba-Nya karena keagungan sifat ke-Tuhanannya Allah. Artinya, Allah itu akan tampak Agung jika kita telah dapat melihat (bil aqli, bil ilmi), dan merasakan bidz-dzuqil qalbi sifat-sifat Agungnya Allah itu sendiri.
Bil ilmi misalnya. Seseorang tahu dengan sebenar-benarnya, bahwa Allah Dzat yang Maha Kuasa. Kemudian bi dhahirah ay bi rububiyatihi bi idh-hari atsari liubudiyati, setelah tahu keagungan Allah dengan sifat ke-Tuhanannya Allah, maka hal demikian itu akan memberikan atsar yang besar dalam ibadahnya. Bagian dari atsarnya ibadah, anatra lain mendapat ganjaran dan ijabah-ijabah yang lain.
وهي الأحوال التي تطرأعلى البعد فتقتضي افتقا ره للرب كالمرض والفقر
Yaitu dengan adanya sakit, fakir misalnya, dan sebagainya. Kalau sakit ia mau memohon kepada Allah. Nah permohonan ini namanya ibadah (ngawulanya hamba kepada Tuhan). Yakni melakukan ibadah qalban aw jawarih. Hatinya senantiasa lillah dan billah. Lahiriyahnya berdo’a memperbanyak membaca istighfar memohon kepada Allah dengan penuh rasa rendah diri dan menyesali dosa, bi syidz-dzatidz dzulli wan kisaarin.
Rasa sangat membutuhkan kepada Allah itu merupakan pangkal segala kebaikan dunia dan akhirat. Karena itu, Allah mencoba seorang hamba, dengan sakit, dengan kemiskinan, dengan kesusahan, adalah supaya ia menangis kepada Allah (iltija, mengharap pertolongan Allah). Kalau sudah demikian, permohonan dan doanya itu namanya ibadah kepada Allah. Sedangkan atsarnya iltija (mengharap pertolongan Allah) atau atsarnya ubudiyah adalah ia permohonannya itu diberi ijabah, dan dihilangkan rasa sakitnya dan kemelaratannya. Sehingga kemudian ia mengetahui bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Agung yang mampu menguasai dirinya dan mampu menghilangkan segala kesulitan yang menimpa dirinya. Kalau sudah demikian, maka Allah semakin Agung bagi dirinya.
Kalau kita tidak diberi masalah-masalah, seperti sakit dan fakir misalnya, maka biasanya tidak ada iltija, tidak mau memuji Allah, hingga kita tidak tahu betapa Allah Maha Besar, yang mampu menghilangkan segala kesulitan kita.
Karena itulah keagungan Allah, keagungan ke-Tuhanan itu akan tampak bagi seorang hamba justru dari balik ‘hijab’ ubudiyah. Meski kadang-kadang kita terhijab dengan ubudiyah itu sendiri. Padahal setelah kita melakukan ubudiyah, atsarnya, tampaklah keagungan Allah.
Dengan demikian, kalau tidak masalah-masalah seperti tadi, Keagungan Allah tidak tampak. Meskipun secara batin kita yakin tentang Keagungan Allah, bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Agung, Dzat Yang Maha Memberi, tap, bukti secara nyata tidak ada. Hanya yakin saja. Seperti kita yakin adanya akhirat, tapi belum tampak akhirat itu dihadapan kita, karena kita belum mati. Kalau kita sudah mati, kita baru tahu, oh… benar, bahwa akhirat itu ada. Karena, ketika kita mentalqin mayit, dikatakan, “Ketahuilah bahwa siksa kubur itu hak, alam kubur itu ada, Munkar Nakir itu ada….” Itu karena orang yang kita talqin sudah mati.
Kalau sebelum itu, ya masih sebatas percaya saja. Keimanan yang belum sampai merasakan, karena belum ketemu dengan apa yang diimani. Demikian juga orang yang iman kepada Allah dan belun dzauq lillah dan billah. Ia masih sebatas percaya, iman, tetapi belum sampai berjumpa Allah.
Begitu juga ketika kita dicoba sakit, fakir, dan sebagainya, atsarnya adalah agar kita cepat iltija (mengharap) kepada Allah, menangis memohon pertolongan-Nya. Sedangkan atsarnya berdepe-depe memohon itu, adalah Allah menghilangkan semua kesulitan kahanan tadi. Setelah itu, barulah kita tahu, sadar bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Agung yang mampu mendatangkan dan menghilangkan segala kesulitan dan musibah.
ولداقال الثدالى قدس سره العبدية جوهرة أظهرتهاالربوبية
Imam Syadzali mengatakan, bahwa ubudiyah itu adalah mutiara yang menjadikan sifat Rububiyah Allah menampakkan mutiaranya.
Kembali pada pembahasan. Jadi, keagungan Allah itu tampak bagi hamba yang belum yakin betul, setelah ada ubudiyh yang dilakukannya. Dan atsarnya ubudiyah itulah yang menampakkan keagungan Allah. Ia menjadi tahu bahwa Allah adalah Dzat yang mampu menghilangkan segala kesulitan. Ini berarti ia melihat keagungan Allah berangkat dari jalan ubudiyah.
Ubudiyah itu sendiri ternyata merupakan mutiara yang menampakkan kemutiaraan Rububiyah, yaitu keagungan Allah. Jadi,orang ibadah dan orang iltija kepada Allah itu hasilnya luar biasa. Yakni, tampaklah sifat ke-Tuhanan dan kemurahan Allah, hingga ketika seorang hamba ibadah, berdoa, kemudian Allah member atsar pada doanya itu, yakni dengan mengijabahnya.
Karena itu, ubudiyah dan doa dianggap mutiara. Misalnya seseorang berdoa minta bisa terbang, “Yaa Allah, berilah saya bisa terbang dan bisa berdiri di atas air.” Terus sifat ke-Tuhanan Allah member ijabah hingga orang itu bisa berdiri diatas air. Akhirnya dia memandang doa itu mutiara. Lha, sebenarnya yang memperlihatkan mutiaranya doa itu adalah Rububiyahnya Allah SWT. Kalau Rububiyah Allah tidak member, dia berdoa sekalipun sampai pingsan, maka tidak aka nada atsarnya. Dengan demikian, sebenarnya yang menampakkan ilmu bisa berdiri di atas air itu bukan doanya, tapi sifat-Nya Allah SWT.
Maka sekali lagi, bagi orang yang belum yakin betul merasakan keagungan Allah, ia bru bisa melihat keagungan Allah dengan atsar ubudiyah. Dengan adanya sakit, dengan adanya kesulitan dan sebagainya, lalu ia iltija, terus berdoa menangis kepada Allah yang akhirnya doanya itu membuahkan atsar berupa ijabah Allah. Dari atsar doa inilah ia baru tahu keagungan Allah. “Wah benar, bahwa Allah adalah Dzat Maha Agung.”
Ibaratnya, akal sudah tidak bisa mikir, buntu, tahu-tahu hidupnya sukses, sakit yang dokternya tidak bisa menyembuhkan, kemudian ia diberi sembuh. Maka tumbuhlah rasa betapa Agungnya Allah. Inilah atsarnya ubudiyah berupa doa. Maka jadilah ubudiyah dikatakan mutiara. Meski sesungguhnya kalau sifat Rububiyah-Nya Allah tidak menampakkan, maka ubudiyah itu pun tidak ada apa-apanya.
Adhharotha ar-Rububiyah, maka Rububiyah Allah menampakkan kepada nilai mutiara dalam ibdah orang itu. Akhirnya orang tersebut mempeng, sungguh-sungguh dalam ibadahnya karena ada mutiara ygluar biasa tadi. Ini bagi orang yang belum sempurna lillahnya. Kalau sudah sempurna, maka tidak perlu memandang itu, langsung bidzdzauq lillah dan billah, maka tampaklah keagungan Allah. Tapi untuk mengisi bidang basyariyah, memang harus seperti itu tadi.
فسبحان اللطيف الخبير
Maka, Maha Sucilah Allah Dzat Yang Maha Welas dan Maha Bijaksana.
Mari, hubungan yang pertama tadi, yakni Allah menutupi wali-wali-Nya dengan sirri-sirri-Nya kita harus waspada kepada siapa saja, yang kadang-kadang kita anggap orang itu rendah di mata manusia, ternyata justru maqamnya disisi Allah jauh lebih tinggi di atas kita. Karena itulah Mbah Yahi sering mendawuhkan: “Husnudhdhon, husnudhdhon, husnudhdhon, jangan sampai su’udhdhon.”
Seperti pernah terjadi pada seorang yang juga kekasih Allah saat ada pengemis dating minta-minta kepadanya. Dalam hati orang itu mengatakan, “masih muda kok ngemis.” Kalau masih ada perasaan itu sekalipun dalam hati, berarti ini belum yukti, ia hanya menuruti anggapan nafsunya saja. Kemudian sang wali tadi pada malam harinya mimpi bahwa si pengemis tadi meninggal. Lalu bangkainya diserahkan kepadanya. “ini makan! bangkai orang yang kamu su’udhdhoni td siang.” Barulah sang wali tadi sadar bahwa tadi siang dalam hatinya telah tumbuh perasaan iri dan dengki kepada pengemis itu. Ini ditampakkan Allah kepada orang yang su’udhdhon. Maka, kita juga harus introspeksi dan selalu husnudhdhon dan waspada. Bahwa seorang pengemis sekalipun, ternyata ia adalah auliya-Nya Allah yang mencoba orang itu.
Dan masih banyak auliya-Nya Allah yang lahiriyahnya tampak seorang pengemis. Karena itu di Mekah misalnya, ada larangan jangan sampai kita ngerasani, dan su’udhdhon. Sebab banyak sekali hal-hal yang bersifat sirri di sana. Ada orang yang lidahnya melet, kakinya pincang, tangannya Cuma satu, dan sebagainya, masya Allah….. mereka mengemis semua. Mereka ini kadang-kadang auliya-Nya Allah yang sedang menguji kita. Ini di Mekah. Dan memang, pemerintah Saudi Arabia, untuk lingkungan Mekah pengemis tidak dibuang. Sebab, kalau pengemis dibuang, maka tidak ada fakir miskin. Kalau dibuang, kepada siapa orang yang akan bayar dam, yang akan shodaqoh, tidak bisa. Kalau dibuang, orang mau bayar fidyah sulit, karena semua orang sama-sama kaya. Maka, khusus di Mekah, banyaknya pengemis luar biasa. Tapi kalau sudah diluar Mekah, di Madinah misalnya, pengemis tidak ada dan memang dilarang oleh pemerintah. Di Jeddah dan di Riyadh juga tidak ada pengemis. Tapi kalau di Mekah, memang dibiarkan oleh Allah, untuk ‘menolong’ para hujjaj. Kalau tidak ada pengemis dan fakir miskin, bagaimana para hujjaj membayar fidyah dan dam-nya? Kesulitan. Karena itu, di Mekkah banyaknya pengemis sangat luar biasa, mereka dating dari berbgai penjuru dunia.
Lha, di antara pengemis-pengemis itu tadi, kadang-kadang ada yang wali-Nya Allah atau Malaikat-Nya Allah yang menguji kita. Maka kalau kita naik haji, hati-hati! Husnudhdhon, husnudhdhon, husnudhdhon ini yang paling penting. Kata Mbah Yahi, husnudhdhon itu bagian dari thoriqoh ilallah. Ingin dekat kepada Allah, husnudhdhon bahwa semua yang menciptakan adalah Allah. Jangan sampai su’udhdhon kepada orang lain. Mislanya, “Kok yang dibicarakan, yang dia kerjakan hal-hal yang kelihatannya hina..! Kok nggak tajrid, kok nggak riyadhoh, dan sebagaimnya.” Jangan sampai! Maka dalam sejarah, seorang wali-Nya Allah itu ada yang seorang tukang pandai besi, seorang petani, dan sebagainya.
Kedua, bahwa ke-Tuhanannya Allah itu tampak dengan atsarnya ubudiyah. Maka adanya sakit, kemiskinan dan sebagainya itu, di smaping Allah welas asih supaya kita iltija hanya kepada-Nya, juga dengan kesulitan-kesulitan itu Allah akan menampakkan keagungan-Nya kepada kita melalui ubudiyah-ubudiyah yang kita lakukan. Dan suatu saat, Allah menampakkan ubudiyah ibadah itu sebagai mutiara. Karena itu kerjakan ibadahnya, jangan sampai kita memandang bahwa ibadah itu hanyalah kewajiban, tapi pandanglah bahwa itu mutiara. Mutiara ibadah itu akan kelihatan kalau sudah mendapat atsarnya. Atsarnya itu yang member adalah siifat Rububiyah (ke-Tuhanan Allah)
Para bapak ibu yang kami hormati. Mari ini disikapi dalam hati kita, bahwa kita ibadah semata-mata iltija’ kepada Allah, Lillah dan Billah.
Al-Fatihah. Yaa Ayyuhal Ghouts salamullah…….
Pengajian Kitab Al-Hikam Ahad Pagi
Oleh Hadrotul Mukarrom Romo KH. Abdul Latif Madjid RA
Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Ponpes Kedunglo Kediri
Diedit tanpa merubah maksu
Aham Edisi 71 / Th. IX / JUMADAL ULA 1428 H — bersama Yun Fa Yonk.
No comments:
Post a Comment