Sunday, January 26, 2014

001.02.373
JANGAN DIREMEHKAN  -
(Pengajian Kitab Al- Hikam dan Kuliah Wahidiyah Ahad Pagi - oleh Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef - Mu'allif Sholawat Wahidiyah QS wa RA, Alghouts Fii Zamanihi).

02.373 - PENGAJIAN ALHIKAM DAN KULIAH WAHIDIYAH AHAD PAGI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

( اِذَا رَأَيْتَ عَبْدًا أَقَامَهُ اللهُ تَعَالَى بِوُجُوْدِ اْلأَوْرَادِ وَأَدَامَهُ عَلَيْهَا مَعَ طُوْلِ اْلاِمْدَادِ فَلاَ تَسْتَحْقِرَنَّ مَامَنَحَهُ مَوْلاَهُ ِلأَنَّكَ لَمْ تَرَ عَلَيْهِ سِيَمَا اْلعَارِفِيْنَ وَلاَ بَهْجَةَ الْمُحِبِّيْنَ )

BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIM.
IDZAA ROAITA ‘ABDAN  AQOOMAHULLOHU TA’ALA BIWUJUUDIL AUROODI WA ADAA MAHU ‘ALAIHAA MAATHUULILIMDAADI, FALAATASTAHQIRONNA MAA MANAHAHU MAULAAHU LIANNAKA LAM TARO ‘ALAIHI SIIMAL ‘AARIFIIN WALAA BAHJATAL MUHIBBIIN FALAULAA WAARIDUN MAA KAANA WIRDUN”.

Orang yang giat beribadah, giat bermujahadah dan tekun dengan istiqomah, itu tidak boleh dianggap sepi, tidak boleh diremehkan lebih-lebih dihina, oleh karena dia belum sadar dengan sadar yang khusus, masih belum wusul kepada Alloh, ini perlu diperhatikan oleh mereka yang sudah mempunyai kesadaran kepada Alloh SWT. Sebab orang yang sudah sadar kepada Alloh SWT itu memang, sedikit banyak diberi mengerti kepada kawannya yang belum sadar, akan tetapi tekun didalam beribadah, didalam mujahadah-mujahadah, jangan sampai diremehkan, lebih-lebih diejek dengan ejekan-ejekan yang menjadikan kendornya dia beribadah !. Sekalipun ada kawan yang masih belum ikhlas, belum LILLAH BILLAH belum LIRROSUL BIRROSUL yang sungguh-sungguh masih ada pamrih, jangan sampai diremehkan lebih-lebih dihina!. Malah supaya kita bantu dengan lahiriyah dan batiniyah !. Batiniyah, senantiasa dimohonkan, dimujahadahi, lahiriyah senantiasa dibantu dengan kebijaksanaan, ditepatkan atau diberi petunjuk !. “FALAULAA WAARIDUN MAA KAANA WIRDUN”. Sebab, sekalipun belum ikhlas betul-betul orang yang bermujahadah atau ibadah apa saja, adanya dia mau beribadah itu adalah suatu pertolongan dari Alloh SWT.  Jika tidak ada pertolongan dari Alloh SWT, Tentulah dia tidak mau ibadah atau mujahadah !. Sekalipun ibadahnya atau mujahadahnya itu belum tepat. Masih ada pamrih misalnya.

Jadi siapa yang meremehkan lebih-lebih menghina kepada orang sudah giat mujahadah atau ibadah lainnya, itu berarti suuul adab kepadanya. Dan berarti juga menghina kepada Alloh SWT, adanya orang tadi giat beribadah atau mujahadah adalah mendapat pertolongan dari Alloh SWT. Sekalipun belum lengkap belum sempurna, tapi toh itu suatu pertolongan dari Alloh SWT !. Atau pada umumnya terhadap siapa saja, bagaimanapun keadaannya, kita tidak boleh sekali-sekali meremehkan atau lebih-lebih mengejek !. Sebab istilah “Mengejek” atau meremehkan” itu tidak ada campuran niat baik untuk memperbaiki. Hanya bersifat menjatuhkan begitu saja !. Jangankan terhadap orang yang masih belum tepat, sedang terhadap umum saja mengejek atau meremehkan saja adalah dilarang !. Terkecam !. Lebih-lebih terhadap orang yang beribadah atau orang yang berbuat baik !. Yang diperintah adalah memperbaiki!. Bukan mengejek atau meremehkan, tetapi memperbaiki!. Memperbaiki keadaan yang belum baik. Amar makruf nahi munkar !. Jadi mencegah perbuatan yang terkecam, merobah atau memperbaiki dengan lahiriyah dan batiniyah, secara langsung dan tidak langsung !. Dengan kemampuan yang ada padanya. Ini yang diperintah !.

Dan selain dari pada itu, dalam istilah kesadaran, semua itu makhluq Alloh SWT !. Mengejek kepada salah satu Makhluqnya berarti mengejek kepada Kholiqnya !. Mengejek kepada suatu perbuatan, berarti menghina kepada yang berbuat!.

Terkecuali terhadap hal-hal yang terkecam !. Jika perlu ya harus dihina, tapi sifatnya, pertama harus atas dasar diperintah, sifatnya melaksanakan LILLAH !. Dan kedua yaitu harus didasari BILLAH !. Dan dengan maksud memperbaiki. Dan memperbaiki adalah juga perintah Tuhan. Memperbaiki keadaan yang bejad, dengan diberi nasehat, dengan didoakan dan lain-lain.

Para hadirin hadirot, setiap pengajian, setiap kata dari pengajian harus dapat memanfaatkan yang sebanyak-banyaknya !. Demi untuk FAFIRRUU ILALLOHI WA ROSUULIHI SAW. Jika kita tidak memanfaatkan berarti kita tidak mensyukuri kemampuan yang diberikan Alloh Ta'ala kepada kita !. Kita dikaruniai dapat memanfaatkan tapi tidak mau memanfaatkan !. Otomatis jika tidak memanfaatkan, menyalahgunakan !. Mari para hadirin hadirot, terus kita manfaatkan !.

Para hadirin hadirot, mari kita tinjau pengalaman-pengalaman yang telah
kita alami terutama yang secara langsung ada hubungannya dengan pengajian
yang kita bahas sekarang ini.  Kesatu yaitu seperti diutarakan tadi, jika kita melihat
seseorang yang tekun didalam ibadah atau mujahadah, sama sekali kita tidak
boleh menghina !. Soal tekun, adalah diperintah supaya kita senantiasa tekun
mengabdikan diri kepada Alloh SWT !. Menurut kemampuan yang ada pada
kita !. Ini sudah kita laksanakan atau belum, perlu adanya penelitian !. Tekun
beribadah mengabdikan diri FAFIRRUU ILALLOHI WA ROSUULIHI SAW!. Bukan
berarti terus-menerus Mujahadah atau sembahyang didalam masjid saja yang
dimaksudkan tekun, akan tetapi mengisi bidang, mengisi segala bidang dengan
yang semestinya yaitu merupakan sebagian pelaksanaan FAFIRRUU ILALLOHI
WA ROSUULIHI SAW!.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ
 “WAMAA KHOLAQTUL JINNA WAL INSA ILLA LIYA’UDUUNI”
(Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka mengabdikan diri kepada-KU). Atau mudahnya secara ringkas apakah sudah senantiasa LILLAH BILLAH atau belum dan TAQDIIMUL AHAM - mendahulukan yang lebih penting!. Jika belum, berarti belum tekun kita beribadah mengabdikan diri kepada Tuhan!. Apakah berupa Mujahadah, apakah berupa sembahyang, ataukah berupa bekerja dan sebagainya, apakah kita sudah betul-betul tekun didalam melaksanakan semua itu sebagai ibadah kepada Alloh SWT Tuhan kita!. Perlu adanya koreksi!. Sebab ini adalah suatu perintah !. Firman Alloh :

.. وَتَبَتَّلْ اِلَيْهِ تَبْتِيْلاً ( المزيل :٨  )

“WATABATTAL ILAIHI TABTIILAN” (73-AI Muzammil 8)
(Dan beribadahlah kepada-NYA dengan penuh ketekunan !.) Tekunlah kepada Alloh SWT !. Tekun beribadah !. Apakah sembahyang, apakah mujahadah, apakah mencangkul ataukah kepasar, mengayun menggendong putranya, dan sebagainya, pokoknya segala gerak dan laku yang tidak terlarang!. Dan harus TAQDIMUL AHAM !. Mendahulukan yang lebih penting !. Apakah semua itu sudah kita lakukan, perlu adanya koreksi dan peningkatan !.

Kembali soal “menghina”. Menghina khususnya seperti yang diutarakan diatas. Menghina kepada orang yang tekun ibadahnya sekalipun belum tepat ibadahnya, itu terkecam !. Dan umumnya menghina kepada siapa saja dan apa saja, itu terlarang !. Yah, kita sudah maklum tidak asing lagi, apa arti menghina itu. Suatu perbuatan yang dilarang oleh Tuhan !. Dan juga akal, pendapat akal juga mengecam kepada perbuatan menghina !. Dan seperti saya utarakan tadi, menghina kepada suatu perbuatan, ini berarti menghina kepada yang berbuat!. Saya mengecam terhadap suatu potongan baju misalnya, wah ini baju jelek potongannya. Ini otomatis saya mengecam kepada yang membuat.

Mari kita lihat diri kita masing-masing, apakah kita sudah benar-benar selamat dari perbuatan menghina, ini perlu sekali adanya koreksi dengan cermat!. Yah, kalau menghina secara terang-terangan atau secara lisan, itu mudah diketahui. Tapi ada suatu perbuatan yang tidak merasa menghina, tapi berakibat menghina, itu mungkin terjadi. Maka perlu adanya koreksi yang makin lembut makin halus dan teliti !. Dalam istilah “syirik” ada syirik jali syirik yang terang-terangan dan ada “syirik khofi” - syirik yang samar-samar. Begitu juga menghina !. Ada penghinaan yang terang-terangan dan ada penghinaan yang halus !. Sehingga kadang-kadang yang dihina, dan kadang-kadang yang menghina sendiri tidak merasa bahwa dia menghina. Itu mungkin saja terjadi. Oleh karena itu perlu adanya koreksi yang makin halus !. Sekalipun tidak merasa menghina atau sekalipun yang dihina tidak merasa dihina, akan tetapi perbuatan menghina itu tetap dikecam oleh Alloh SWT Dan harus memikul resikonya lebih-lebih besok diakhirot!. وَالْحَاصِلُ اِنَّ عِبَادَاللهِ الْمَخْصُوْصِيْنَ يَنْقَسِمُوْنَ قِسْمَيْنِ مُقَرَّبِيْنَ وَاَبْرَارٍ فَالْمُقَرَّبُوْنَ هُمُ الَّذِيْنَ اُخِدُوْا عَنْ خُظُوْظِهِمْ وَإِرَادَتِهِمْ وَقَامُوْا بِحُقُوْقِ رَبِّهِمْ عُبُوْدِيَةً لَهُ وَطَلَبًا لِمَرْضَاتِهِ وَهَؤُلاَءِ هُمُ الْعَارِفُوْنَ وَالْمُحِبُّوْنَ وَاْلاَبْرَارُ هُمُ اْلبَاقُوْنَ مَعَ حُظُوْظِهِمْ وَإِرَادَاتِهِمْ وَقَامُوْا بِعِبَادَةِ رَبِّهِمْ طَمَعًا فِىْ جَنَّتِهِ وَهَرَبًا مِنْ نَارِهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ...

“WAL HAASIL ANNA ‘IBAADALLOHIL MAKHSHUUSIIN YANQOSIMUUNA QISMAINI MUQORROBIINAWA ABROORIN. FAL-MUQORROBUUNA HUMUL-LADZIINA UKHIZHUU ‘AN HUZHUUZHIHIM WAIROODAATIHIM WAQOOMUU BIHUQUUQI ROBBIHIM ‘UBUUDIYYATAN LAHU WATHOLABAN LIMARDLOOTIHI, WAHAULAAI HUMUL-‘AARIFUUNA WAL MUHIBBUUNA. WAL ABROORU HUMUL-BAAQUUNA MA’A HUZHUUZHIHIM WA IROODAATIHIM WA QOOMUU BI’IBAADATI ROBBIHIM THOMAAN FII JANNATIHI WAHAROBAN MIN NAARIHI. WA KULLU WAAHIDIN MINHUM MAMDUUDUN FII MAQOOMIHIL-LADZII HUWA FIIHI BIMADATIN ILAHIYYIN IQTADLO MINHUL-QIYAAMU BIHUQUUQI DZAALIKAL-MAQOOMI”

Jadi orang yang mengabdikan diri, orang ibadah kepada Alloh SWT ibadah apa saja, secara ringkas dibagi menjadi dua bagian atau golongan. “MUQORROBUUN” dan “ABROOR” ”Muqorrobuun” asal maknanya orang-orang yang didekat Alloh SWT.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah “dekat”. Misalnya pak Lurah dekat dengan Pak Camat, dekat dengan Pak Bupati, dekat dengan Pak Presiden, dan sebagainya.

“Abroor”, terambil dari kata “al birru” = kebagusan. “Baarrun” = orang yang berbuat baik berbuat kebagusan. Abroor = orang-orang yang berbuat baik. Adapun yang dimaksud disini, “MUQORROBIIN” yang berkedudukan tinggi, dan “ABROR” sebawahnya. Jadi ada dua tingkatan. “Muqorrobiin” tingkatan yang nomor satu. Kalau hanya seorang disebut “Muqorrob”. Jika wanita “Muqorrobah” dan jamaknya “Muqorrobaat”. Tingkatan nomor dua yaitu “Abroor”.
“FAL MUQORROBUUNA”.
Yang disebut “Muqorrobiin” yaitu orang-orang yang sudah dihilangkan, sudah dimusnahkan kehendaknya, nafsunya, pamrihnya. Sudah sama sekali tidak mempunyai pamrih, atau keinginan. Baik pamrih moril lebih-lebih pamrih materiil. Baik pamrih dunia atau pamrih Akhirot. Sama sekali tidak mempunyai pamrih atau keinginan. Mereka beribadah hanya semata-mata mengabdikan diri kepada Alloh, hanya melulu mulus ‘ubudiyah kepada Alloh Ta’ala. FAFIRRUU ILALLOHI WA ROSUULIHI SAW Semata-mata karena mengharap ridlo dari Alloh SWT. Mereka itu disebut “AL ‘AARIFUUN” wal “MUHIBBUUN” kalau hanya seorang “Al ‘Aarif. Wanita “Al ‘Arifaaf. Orang yang tahu. Tahu pada pribadinya. Mereka itu ialah “Muhibbuun”, Muhibbah Muhibbaat” = orang-orang yang cinta kepada Alloh. Itu golongan atau tingkatan kesatu. Muqorrobbun - orang yang tidak ada pamrih. Mereka beribadah atau berbuat tidak ada pamrih, baik pamrih dunia maupun pamrih akhirot, pamrih moril lebih-lebih pamrih materiil. Pamrihnya hanya satu yaitu mengabdikan diri kepada Alloh SWT dan keridloan dari Alloh SWT.

Para hadirin hadirot, mari kita koreksi diri kita masing-masing, sudah tidak punya pamrihkah atau bahkan lebih banyak pamrih ini dan itu ?. Ini perlu adanya peninjauan !. Baik pamrih dunia, pamrih akhirot, pamrih materiil maupun pamrih moril, mari kita selidiki diri kita masing-masing !. Orang-orang Muqorrobiin betul-betul tidak punya pamrih. Dalam istilah WAHIDIYAH LILLAH !. Semata-mata karena Alloh disamping BILLAH, yaitu bidang TAUHID. Inilah orang yang disebut sadar kepada Alloh Ta’ala.

Sabda Sayyidinaa 'Ali Karromallohu wajhah, setengahnya ada yang mengatakan Hadist tapi yang betul insya Alloh adalah sabda Sayyidina 'Ali :

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
 “MAN  ‘AROFA NAFSAH FAQOD  ‘AROFA  ROBBAH”.
Barang siapa tahu akan dirinya maka sungguh dia tahu kepada Tuhannya. Barang siapa yang tahu kedudukan dirinya sebagai hamba, tentulah tahu Tuhan sebagai Tuhannya. Atau juga bisa dibalik :
مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ عَرَفَ نَفْسَهُ
“MAN ‘AROFA ROBBAHU  ‘AROFA  NAFASHU”
Barang siapa yang mengetahui Tuhannya, artinya menyadari Tuhan sebagai Tuhannya, otomatis dia tahu dirinya sebagai hamba dari Tuhannya.

“Wal Muhibbuuna”-orang yang cinta, cinta kepada Alloh SWT. Jika orang tahu, sadar kepada Alloh SWT otomatis dia cinta kepada-NYA. Otomatis, tidak bisa tidak !. Dan orang yang tidak tahu, otomatis tidak bisa cinta. Jika kita tahu kepada barang atau orang lain, tentu tidak mungkin kita bisa cinta kepada barang atau orang lain yang tidak kita ketahui itu. Adanya cinta, karena tahu lebih dahulu !. “Mengetahui” itu jalannya tidak hanya lewat mata saja. Lebih banyak dari itu, jalannya “mengetahui” itu dari lahiriyah dan bathiniah. Lewat pendengaran telinga, lewat rasa, lewat hidung, lewat pengertian fikiran, lewat perasaan hati dan sebagainya. Sesudah mengetahui atau mengenal barulah timbul senang atau cinta. Tidak mungkin cinta jika tidak mengenal terlebih dahulu.
Itu tadi jalannya tahu lewat bermacam-macam saluran, lewat mata karena bentuk dan rupanya, lewat telinga karena merdu suaranya dan sebagainya. Lebih-lebih keindahan di surga. Dikatakan seandainya benda di surga baik rupa, suara atau rasa dirasakan atau didengar atau dilihat oleh orang dunia, otomatis dia mati seketika itu juga. Saking lezatnya.
Jadi mudahnya, timbul rasa senang itu karena tahu atau ada hubungan. Maka jika orang sadar kepada Alloh SWT, pasti cinta kepada Alloh SWT. Dan  cinta itu makin mendalam jika makin tinggi sadarnya kepada Alloh SWT. Jika orang !ebih banyak sadarnya kepada Alloh SWT, otomatis semakin mendalam cintanya kepada Alloh SWT, dan otomatis semakin banyak ibadahnya kepada Alloh. Lebih banyak cintanya, lebih besar takzimnya menghormat kepada Alloh SWT !. Para hadirin hadirot, diantara kita sudah sampai dimana, kesadaran dan cinta kita kepada Alloh SWT ?. Mari kita koreksi keadaan kita masing-masing !. Seberapakah sadar kita kepada Alloh SWT ?. Sampai dimana tahu kita terhadap kedudukan diri kita sebagai hamba ?. Seberapa besar cinta kita kepada Alloh wa Rosuulihi saw ?. Mari senantiasa kita adakan penelitian, demi untuk peningkatan!.

Jika kita menganggap sepi soal ini, kita lenggang-lenggang kangkung saja.awas nanti jika sudah ganti alam, akan merasakan akibatnya. Akan terkejut yang tidak dapat digambarkan betapa hebatnya !.

Jadi orang yang-yang sudah tidak ada pamrih, disebut “muqorrobuun” atau “Arifuun”. Orang-orang yang didekat dan dikasihi Alloh SWT, atau orang-orang yang sadar kepada Alloh. Al ‘Aarifuuna Billah” atau “Al ‘Aalimuuna Billah”, itu sama pengertiannya. Dalam istilah bahasa ada perbedaan arti antara ilmu dan ma’arif. AL ‘Aalim, itu baru teori. Orang yang mengetahui menurut teori atau menurut ilmiah. Tapi “Al ‘Aarif Billah”, disamping mengetahui teori, dia juga praktek apa yang diketahui itu. Sebagai gambaran, orang yang hanya mengerti bahwa garam itu asin rasanya, gula itu manis, dalam pada itu dia sambil mencicipi garam atau gula dimulutnya, itulah istilah “Al-Aarif”. Jadi ada perbedaan. Yang satu hanya berhenti sampai pada pengertian atau keyakinan, dia mengetrapkan atau menjalankan apa yang di ngerteni apa yang diyakini. Jadi teori dan praktek sekaligus dalam waktu seketika itu juga.

Kita yakin bahwa Alloh SWT Maha Kuasa, Maha Murah,.......... Maha............Maha..........Maha............!. Tetapi kita lupa bahwa Alloh SWT senantiasa mengincar kepada kita !. Kita mengerti dan yakin bahwa Alloh SWT Maha Mengetahui, tetapi kita lupa atau tidak menyadari bahwa Alloh SWT senantiasa melihat, senantiasa mengawasi segala gerak-gerik laku kita !. Inilah kelemahannya keyakinan yang hanya teori !. Teori mahir, tapi prakteknya justru berlawanan dengan teori yang diketahui bahkan diyakininya !. Ini bukan ma’rifat!.

Kita tahu, kita yakin bahwa Alloh SWT Maha Kasih Sayang, Maha Memberi. Tapi kita tidak merasa bahwa kita senantiasa diberi oleh Alloh SWT !. Itulah kalau hanya teori !. Yah, sekalipun sudah baik, tapi, tapi masih sangat terkecam. Mari para hadirin hadirot, perlu sekali adanya peningkatan dalam segala bidang !. Terutama bidang keyakinan dan kesadaran kita kepada Alloh SWT wa Rosuulihi saw!.

“Wai Abroor”     ..........
Yang kedua, yaitu “Abroor” - orang-orang yang baik. Tapi mereka masih melekat pamrihnya. Ingin selamat, ibadah agar bahagia dunia akhirot, ingin untung dsbnya. Biar mudah jembar rizki atau mau baca Sholawat Nariyah. Saya mempeng baca Surat Waqi’ah biar menjadi kaya. Baca Ayat Kursi biar begini dsbnya. Ibadah biar selamat dunia khirot, biar mudah usaha, biar......biar................Begini begitu. Ini pamrih namanya. Kalau begini, namanya dia belum bebas dari imprialis nafsu !. Masih dikuasai oleh nafsu!. Nafsu kesukaannya senantiasa enak dan kepenak, senantiasa selamat, senantiasa bahagia lahir batin dsb . Ini kesenangan nafsu !. Ciri-cirinya nafsu !. Ibadahnya karena didorong oleh keinginan masuk sorga, biar selamat dari neraka !.
رَبَّنَا اَتِنَا فِىْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِىْ اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 “ROBBANAA AATINAA FID-DUNYA HASANAH WAFIL AAKHIROTI HASANAH WAQINAA ‘ADZAABAN-NAARI”.
Ingin baik didunia, baik diakhirot dan terjauh dari siksa neraka. Inilah orang yang masih penuh dengan pamrih !. Diantara kita menempati yang mana, mari kita masing-masing koreksi diri !.

Sekalipun para Abroor tersebut masih banyak pamrih dalam ibadah mereka, tapi kita tidak mengecam !. Kita harus menghormat, kepada orang-orang yang giat ibadah, sekalipun masih ada pamrih !. Dan disamping kita harus menghormat, kita supaya usaha bagaimana agar ibadah mereka menjadi lebih baik, lebih sempurna, lebih mulus !. Usaha secara lahir dan batin !. Antara lain agar supaya ibadahnya yang didasari pamrih itu ditingkatkan didasari LILLAH BILLAH !. Ini kita berkewajiban mengusahakan !. Berkewajiban memperbaiki !. Disamping memperbaiki orang lain !. Lahiriyah dan batiniyah !. Sudah kita laksanakan ataukah belum, para hadirin hadirot?.

Jadi ringkasnya pengajian orang yang beribadah kepada Alloh itu dapat digolongkan kedalam dua golongan atau tingkatan. Satu yang disebut “MUQORROBUUN” atau “AARIFUUN atau MUHIBBUUN. Dan yang kedua yaitu tadi, orang yang sudah dapat melaksanakan LILLAH BILLAH LIRROSUL BIRROSUL. Jika belum dapat melaksanakan ini, namanya masih “ABROOR”. Ibadahnya didorong oleh keinginan agar supaya selamat dunia akhirot, agar supaya jembar rizkinya dsbnya.

Saya teringat sejarahnya Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah. Ini terutama buat perhatian kaum ibu, baik !.
Suatu ketika Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah dalam suatu munajatnya berbicara kepada Tuhan antara lain :
يَارَبِّ مَا عَبَدْ تُكَ طَلَبًا لِجَنَّتِكَ وَهَرَبًا مِنْ نَارِكَ
“YAA ROBBI, MAA ‘ABADTUKA THOLABAN LIJANNATIKA WAHAROBAN MIN NAARIKA”
(Ya Tuhan, aku beribadah kepada-MU bukan karena mengharap sorga-MU dan bukan karena takut neraka-MU). Tapi semata-mata hanya kepada-MU yaa Tuhan !. Itu Siti Robi’ah!. Pada waktu itu betul-betul mulus mengabdikan diri ibadah kepada Alloh, tidak ada pamrihnya. Tapi sayangnya belum tepat BILLAH-nya. LILLAH sudah tepat, tapi BILLAH belum !. Pada waktu itu. Tetapi setelah itu ya terus ada peningkatan.

Jadi, sudah tepat LILLAH-nya, tidak ada pamrih, tetapi BILLAH-nya belum, masih mengaku bisa ibadah, itu mungkin saja terjadi. “Aku beribadah”. Ini berarti mengaku !. Mengaku bisa beribadah. Lupa dan tidak menyadari bahwa yang menggerakkan dia beribadah itu Tuhan !. Ini gerak-gerik hatinya. Adapun dalam ucapan, itu tidak menjadi soal. Yang penting hatinya. Biar lisannya mengatakan “aku beribadah”, tapi hatinya betul-betul BILLAH, tidak apa-apa. Tapi kalau belum merasa BILLAH, inilah yang berbahaya !.
Jadi bidang LILLAH mungkin saja sudah sempurna betul seperti LILLAH-nya ABROOR tadi, sebab sudah tidak ada pamrih. Sedangkan tingkatan MUHIBBUUN atau ‘AARIFUUN otomatis sudah LILLAH BILLAH !.

Mari kita usaha terus untuk meningkatkan !. Dan untuk yang lebih sempurna lagi !. Apakah kita sudah LILLAH BILLAH betul-betul, mari teruus kita koreksi !.
Keterangan diatas tidak berarti melarang orang cinta kepada selain
Tuhan, tidak berarti tidak boleh takut kepada selain Tuhan, tidak berarti begitu !.
Akan tetapi didalam cinta kepada selainnya Tuhan, didalam takut kepada selain
Tuhan, itu justru harus kita dasari cinta atau dasar takut kepada Tuhan !. Didasari
karena diperintah oleh Tuhan !. Maksudnya begitu, silahkan……………..
         
رَبَّنَا اَتِنَا فِىْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِىْ اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“ROBBANAA AATINAA FID-DUNYA HASANAH WAFIL AAKHIROTI HASANAH WA QINAA ‘ADZAABAN-NAARI”.
(Yaa Tuhan kami, datangkanlah kepada kami kebaikan hidup didunia dan kebaikan hidup diakhirot, dan jauhkanlah kami dari siksa neraka) Silahkan !. Bahkan kita diperintah usaha dan memohon “hasanah” - kebaikan didunia dan diakhirot!. Kita diperintah menjauhkan diri dari neraka, diperintah menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk yang merugikan !. Kita boleh, dan bahkan diperintah :

اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا مَالاً كَثِيْرًا اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا رِزْقًا وَاسِعَةً

“ALLOHUMMAR-ZUQNAA MAALAN KATSIIRO, ALLOHUMMAR-ZUQNAA ARZAAQOW-WAASI'A”. dan sebagainya. Tetapi didalam kita memohon dan usaha kearah itu harus dasar diperintah ? LILLAH !. Menurut atau menjalankan perintah Alloh !. Beribadah, mengabdikan diri kepada Alloh !. Jangan didasari keinginan nafsu !. Ini yang tidak boleh !. Terkecam !. Jika sudah didasari LILLAH, cinta kepada selain Alloh itu sesungguhnya tidak cinta, sebab dasarnya cinta itu dasar diperintah. Diperintah cinta !.
وَالتَّقُوْا النَّارَ الَّتِىْ اُعِدَّتْ لِلْكَفِرِيْنَ ( الى عمران : ١٣١ )

Banyak didalam Al Qur’an perintah-perintah Alloh supaya takut kepada hal-hal yang tidak baik. Antara lain :
وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْكَفِرِيْنَ ( الى عمران : ١٣٣ )
“WATTAQUN-NAAROLLATII U’IDDAT LIL KAAFIRIINA” (3 Ali Imron 131)
(Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir)

“WASAARI’UU ILA MAGHFIROTIN-MIN ROBBIKUM WAJANNATIN ‘ARDLUHAS-SAMAAWAATU WAL ARDLU U’IDDAT LIL MUTTAQIINA” (3 Ali ‘Imron 133)
(Dan cepat-cepatlah kamu menuju ampunan Tuhanmu dan menuju sorga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa).

Begitu antara lain, tapi yang dimaksud, takutlah karena KU perintah takut!. Jangan takut karena perasaanmu sendiri !.

Jadi jika dasarnya takut itu perasaan sendiri, itu pamrih namanya!. Tetapi jika dasarnya LILLAH, itu bukan pamrih !. Melainkan menjalankan perintah !. Perintah supaya takut.

Tentunya apa yang saya utarakan itu sudah difahami oleh masyarakat pada umumnya, tapi disamping faham, yang penting dan pokok yaitu pelaksanaan !. Tentu saja pelaksanaan tanpa faham, tidak mungkin. Dapat melaksanakan otomatis setelah faham. Ya mungkin ada yang sudah melaksanakan tetapi belum faham. Itu mungkin saja. Tetapi jarang sekali dan secara kebetulan.

Kembali sedikit mengenai Siti Robi’ah Al ‘Adawiyah. Beliau seorang wanita yang luar biasa ibadahnya. Banyak cerita didalam kitab-kitab Tasawuf mengenai Robi’ah. Ini penting terutama untuk perhatian kaum ibu, disamping bapak juga. Siti Robi’ah pada suatu waktu pernah dipinang oleh gubernur Basrah. Jika dia mau menjadi istri gubernur, tiap bulannya akan diberi belanja 10 ribu dinar. Dan disamping tiap bulan 10 ribu dinar, dia diberi uang kontan 100 ribu dinar. Siti Robi’ah memberi jawaban dengan surat, katanya : saya tidak ingin bantuan gubernur menjadi budak saya. Tuan Gubernur dan seluruh hartanya yang akan diberikan kepada saya, saya tidak mau menerima, sebab menjadi penghalang kesadaran kepada Alloh SWT”!. Begitu kekuatan himmah Siti Robi’ah didalam menuju kesadaran Alloh !. Aku tidak ingin seluruh hartamu engkau berikan kepadaku sedang engkau menjadi lupa kepada Alloh SWT!. Walau hanya sekejap mata!.

Begitu para hadirin hadirot, Siti Robi’ah !. Maaf kaum ibu, bagaimana seandainya kaum ibu menerima penawaran seperti dialami Siti Robi’ah itu ?. Beliau Siti Robi’ah lupa sekejap mata saja kepada Alloh SWT tidak mau ditukar dengan harta kekayaan yang berapapun banyaknya. Itu hanya lupa sekejap !. Lebih-lebih sejam, Lebih-lebih sehari, Lebih-lebih terus-terusan.

Diantara kita bagaimana para hadirin hadirot ?. Mari kita koreksi diri kita
masing-masing !. Tidak hanya kaum ibu saja, kaum bapak juga harus adakan
koreksi !. Bagaimana kita ?. Dengan uang 100 rupiah saja, kita sudah lupa
daratan !. Bahkan berani menjual agama ditukar dengan uang atau pangkat
kedudukan, para hadirin hadirot!. Bahkan tidak yang mau membelipun ditawar-
tawarkan !. Mari para hadirin hadirot!. Mari kita akui kelemahan-kelemahan dan
kekurangan-kekurangan kita !. Jangan kita mungkir dihadapan Alloh SWT wa Rosuulihi saw !.
AL FAATIHAH
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM…….
يَارَبَّنَا اَللَّهُمَّ صَــلِّ سَــلِّــْم
*
عَـلَى مُحَمَّدٍ شَـفِـيْعِ اْلاُمَـــمِ
وَاْلاَلِ وَاجْعَلِ اْلأَنَامَ مُسْرِعِيْنَ
*
بِالْـوَحِــدِيَّةِ لِرَبِّ اْلعَالَمِـيْـنَ
يَارَبَّنَا اغْفِرْ يَسِّرِ افْتَحْ وَاهْـدِنَا
*
قَرِّبْ وَأَلِّـفْ بَـيْـنَـنَا يَارَبــَّنَا

YAA ROBBANALLOHUMMA SHOLLI SALLIMI, ‘ALAA MOHAMMADIN SYAFII’IL UMAMI. WALALI WAJ’ALILANAAMAMUSRI’IIN, ILWAAHIDIYYATI LIROBBIL ‘ALAMIIN. YAA ROBBANAGHFIR YASSIRI-IFTAH WAHDINAA, QORRIB WA ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA.   (3 Kali)
AL FAATIHAH !.
قَوْمٌ أَقَامَهُمُ الْحَقُّ لِخِدْمَتِهِ وَقَوْمٌ إِخْتَصَّهُمْ بِمَحَبَّتِهِ , كُلاًّ نُمِدُّ هَؤُلاَءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ , وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُوْرًا
 (QOUMUN AQOOMAHUMULLOHU LIKHIDMATIH WAQOUMUN IKHTASHSHOHUM BIMAHABBATIH KULLAN-NUMIDDU HAA-ULAAI WA HAA-ULAAI MIN ‘ATHOOI ROBBIKA WA MAA KAANA ‘ATHOOU ROBBIKA MAHZHUURON)

Ada sebahagian kaum atau manusia yang oleh Alloh dititahkan untuk khidmah mengabdikan diri kepada Alloh Ta’ala. "”Bi thoo’atihizhzhohiriyyah”-dengan ibadah-ibadahlah lahiriyah sehingga mereka kelak diperizinkan menjadi penghuni sorga. Maksudnya yaitu yang nomer dua tadi, golongan “Abroor”, atau mereka mereka yang disebut “Zaahiduun” orang-orang yang bertapa mengasingkan diri (hatinya) dari kesenangan duniawi, dan mereka-mereka yang disebut “Aabiduun”-orang yang tekun dengan ibadah-ibadah lahiriyah.
Dan ada lagi orang-orang yang dipilih oleh Alloh SWT, diistimewakan menjadi orang-orang yang cinta kepada dan dicintai Alloh SWT. “Hatta sholahuu liqurbihi wad-dhukuul fii hadlrotihi ....”. Sehingga kemudian mereka-mereka itu dijadikan orang-orang yang diperkenankan dekat kepada Alloh SWT. Diperkenankan beroudensi sowan menghadap dihadirot Alloh SWT. “Wahumal ‘Aaarifuun wal Muhibbuun”. Mereka itu disebut ‘Aarifuun-orang-orang yang sadar kepada Alloh dan “Muhibbuun”-orang-orang yang cinta dan dicintai Alloh SWT. dan golongan ini lebih tinggi kedudukannya, martabatnya dari yang pertama tadi.
وَالْكُلُّ مُشْتَرِكُوْنَ فِىْ اْلاِنْتِسَابِ إِلَيْهِ وَخِدْمَتِهِ , لَكِنْ خِدْمَةُ اْلأَوَّلِيْنَ أَكْثَرُهَا بِالْجَوَارِحِ وَاْلاَخِرِيْنَ أَكْثَرُهَا بِاْلقَلْبِ ...
Kedua-duanya, yang pertama dan kedua tadi, sama-sama khidmah mengabdikan diri kepada Alloh SWT. yang pertama, yakni Abroor atau Zaahiduun atau ‘Aabiduun kebanyakan ibadahnya dengan anggauta lahiriyah. Boleh jadi membaca Qur’an, membaca sholawat, membaca zikir, mujahadah-mujahadah, berpuasa sunnah, sembayang-sembayang sunnah dan sebagainya. dan golongan kedua yaitu ‘Aarifuun atau Muhibbuun sebagian besar ibadahnya dengan hati. Dengan rasa dalam hati, kesadaran hati. Ini sebahagian besar. Jadi tidak berarti keseluruhannya begitu.

Jadi ringkasnya, hamba Alloh SWT tergolong-golong manjadi dua. Yaitu golongan nomer satu dan nomer dua tadi. Menyebutnya nomer satu yakni “Abroor” di dahulukan disini. Akan tetapi mengenai martabatnya, yang disebut nomer dua yakni “Muhibbuun” atau Aarifuun itulah yang nomer satu. Jadi belum tentu bahwa yang disebut pertama itu mesti nomor satu dalam nilainya. Kebanyakan dalam menyebut beberapa martabat yang berbeda-beda, yang nomer satu atau paling tinggi atau paling pertama, itulah yang didahulukan. Tetapi ya tidak mesti begitu. Suatu contoh yang mendahulukan yaitu hadiah-hadiah dalam Tahlil misalnya. Ilaa hadroti.... Ilaa hadroti……yang didahulukan yang paling tinggi kedudukannya. Yaitu junjungan kita Rosuululloh saw dan seterusnya. Dalam menyebutkan “Mukminiin” dan “Muslimiin” seperti dalam istiqhfar:
وَلِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
Jika ada kata “Mukminiin” dan “Muslimiin” beruntun , yang harus didahulukan adalah “Mukminiin” dari pada “Muslimiin”. Sebab “Mukminiin” nilainya lebih tinggi dari pada “Muslimiin”. Tetapi jika tidak beruntun, maka yang dimaksud “Mukminiin” juga “Muslimiin”. Jadi sama kedudukannya. Ini peraturan. Peraturan adab dan peraturan tata bahasa. Dibalik menyebutnya boleh saja, akan tetapi menyalahi peraturan adab dan peraturan tata bahasa.

“Kullan-numiddu haaulaai……. kedua-duanya tersebut, baik Abroor maupun Aarifiin atau Muhibbiin kedua-duanya sama-sama mendapat fadlol dari Alloh SWT. Otomatis yang nomor satu “Aarifuun” mendapat fadlol lebih banyak dari yang nomer dua “Abroor”. Kepada kedua-dua golongan kita harus sama-sama menghormat!. Sekalipun kepada “Abroor” kita tidak boleh meremehkan !. Harus tetap menghormat!. Sebab kedua-duanya sama-sama mendapat fadlol dari Alloh SWT. Tentu saja menghormat kepada yang lebih tinggi martabatnya harus lebih baik dari pada kepada yang sebawahnya.

Ini saya mengutip dari kitab “Taqriibul-Wushuul”

مَنْ خَرَجَ عَنْ مَحَبَّةِ الدُّنْيَا سُمِّىَ عَابِدًا اَوْ زَاهِدًا

“MAN KHOROJA ‘AN MAHABBATID-DUNIA SUMMIYA ‘AABIDAN AU ZAAHIDAN”
Barang siapa yang keluar dari kesenangan duniawi dinamakan “Aabid” atau “Zaahid” -orang yang bertapa. Baju compang camping, makan seadanya tidak pernah enak-enak, sebab jika makan didunia enak-enak besok disurga berkurang enaknya, katanya. Dan sebagainya, dan sebagainya. Itu disebut “Zaahiduun” atau “Aabiduun”.
مَنْ خَرَجَ عَنْ نَفْسِهِ وَهَوَاهَا سُمِّيَ عَارِفًا

 “MAN KHOROJA ‘AN NAFSIHI WA HAWAAHA SUMMIYA ‘AARIFAN”
Barang siapa yang keluar dari pengaruh kekuasaan nafsunya, yang sudah bebas dari imperialis nafsunya, disebut “Aarifuun” atau “Muhibbuun” atau “Muqorrobuun” tadi. Ma’rifat kepada Alloh itu dengan pandangan mahabbah. Cinta dan takzim kepada Alloh SWT . Terhadap nafsunya, orang yang ma’rifat kepada Alloh memandangnya sebagai lawan, sebagai musuhnya. Seperti yang dinyatakan oleh nabi Yusuf  ‘alaihissalam dalam Qur’an :
وَمَا أُبْرِئُ نَفْسِى اِنَّ النَّفْسَ َلاَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ....

“WAMAA UBARRIU NAFSII INNAN-NAFSA LA AMMAAROTUN BISSUKI”. Tidak henti-hentinya aku selalu curiga kepada nafsu. Oleh karena nafsu senantiasa mengajak kepada hal-hal yang buruk.

Kita bagaimana para hadirin hadirot ?. Itu seperti anak-anak bermain jumpritan. Selama tidak jumprit dengan tempat yang dijadikan jumpritan, terus dikejar oleh yang menjadi pemburunya.

Wassalaam

No comments:

Post a Comment