001.14.201
CERDAS RUHANIAH DENGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH
14.201 "ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI "
Sebagaian besar manusia modern mengalami rasa dahaga dan miskin spiritual. Mereka mengalami suasana kehampaan, bahkan menurut Erich Fromm sebagai orang yang merasakan kesepian ditengah keramaian. Orang-orang yang miskin di tengah limpahan kekayaan sebagaimana dialami oleh multimilioner Howard Hughes. Bagaikan ayam mati kelaparan di lumbung padi. Mereka terguncang. Bahkan mereka selebritis yang di tohok popularitas dan limpahan materi, melirik pada dunia spiritual. Dan tidak sedikit diantara mereka yang mengisi kekosongan ruhaninya itu dengan mengikuti kelompok atau aliran yang bersifat mistik, serta paham-paham baru yang mencoba menggali spiritual dari sudut pandang dan pemikiranya sendiri tanpa mau menerima ajaran agama yang sudah mapan. Sikap seperti ini pada akhirnya melahirkan sebuah aliran yang sudah lama dikenal di lingkungan kita dengan apa yang disebut aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, sebagaimana di Amerika tumbuh berbagai aliran spiritual, seperti New Age, New Thought, Iluminasi, Fremansonryy dan lain sebagainya.
Rasa dahaga dan kemiskinan sepiritual makna hidup, mereka salurkan memaknai dunia kearifan yang berasal dari dunia Timur. Mereka melihat nilai-nilai sepiritual tersebut dalam prespektif budaya, bukan agama. Mereka pun menyelami nilai-nilai spiritual tersebut dengan cara aktif ikut belajar yoga, meditasi dan menjadikan tokoh-tokoh dari Timur semacam Mahatma Ghandhi sebagai sosok yang paling pantas menjadi model atau tipe orang yang cerdas secara spiritual.
Sayangnya, dalam upaya pencerdasan spiritual tersebut mereka tidak menjadikan Al Qur’an dan Hadits sebagai rujukan, sehingga mereka memahami kecerdasan spiritual hanya sebagai potensi yang khas di dalam jasad, tanpa mengkaitkanya secara jelas dengan kekuasaan Tuhan. Alhasil, ruhaniah mereka tetap hampa dan rapuh. Hal ini diperarah dengan penafsiran salah mereka bahwa agama hanya dipandang sebagai penemuan orang-orang arif belaka. Bagi mereka, agama tidak memberikan kebebasan pencarian kebenaran ilmiah. Keyakinan mutlak terhadap ajaran agama melahirkan sikap yang otokratis yang bertentangan dengan nilai demokratik sehingga tidak memberdayakan daya imajinasi kreatifnya.
Padahal, ajaran Islam memberikan keleluasaan kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya melakukan eksplorasi, tetapi kata kuncinya tetap berawal dan berakhir kepada Tauhid, sebagaimana firman Allah:
”Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 19).
KECERDASAN RUHANIAH
Sebelum membahas secara luas apa itu kecerdasan ruhaniah yang biasa disebut dengan kecerdasan spiritual serta pendapat para ahli mengenai kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengetahui pendapat Sayyidina Ali RA dalam memaknai kecerdasan. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, kecerdasan adalah: karunia tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ia akan mencapai puncak aktualisasinya jika diperuntukkan sebagaimana visi dan misi penciptaan dan keberadaannya yang ditetapkan Tuhan baginya.
Dannah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachusetts Institute of Tehnology), dan menyelesaikan post graduate dibidang psikologi, agama dan filsafat di Harvard Univerity, dalam bukunya SQ (Spiritual Intelligence) mengatakan bahwa, ”kecerdasan spitirutal adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memcahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Sementara itu Jalaludin Rahmat dalam pengantarnya di buku SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berfikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan, menukil pendapat Khalil Khavari menjelaskan bahwa kecerdasan Spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi, kemampuanya untuk ditingkatkan tidak terbatas.
Toto Tasmara, penulis sekaligus dai yang sufistik dalam bukunya, Transcendental Intelligence (Kecerdasan Ruhaniah) memaknai kecerdasan ruhaniah dengan kemampuan seseorang untuk mendengarkan Hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan. Berempati, dan beradapsi. Lain lagi pendapat dalam bukunya ESQ (Emotional Spiritual Quation). Ari mengatakan, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip, “Hanya karena Allah (lillah).”
Dari bebagai pendapat diatas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah bersumber dari fitrah (God Spot) manusia itu sendiri. Kecerdasan ini tidak dibentuk melalui diskursus-diskursus atau memori-memori fenomenal, tetapi merupakan aktualisasi fitrah itu sendiri. Ia ‘memancar’ dari kedalaman diri manusia, jika dorongan-dorongan keingintahuan dilandasi kesucian, ketulusan dan tanpa pretense egoism. Dalam bahasa yang sangat tepat, kecerdasan spiritual ini akan aktual, jika manusia hidup berdasarkan visi dasar dan misi utamannya, yakni sebagai ’abid dan sekaligus khalifah Allah di muka bumi.
Sebagai Khalifah Allah atau Wakil Tuhan di bumi, manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini menjadi kehidupan yang baik dan benar serta diridhai Allah SWT. Namun didalam menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar pokok yang harus dituju oleh manusia, sebagaimana ketetapan Allah dalam Al Qur’an.
”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Manusia sebagai ‘abid, hamba Allah hendaknya orientasi hidupnya diarahkan untuk mengabdikan diri beribadah kepada Allah SWT, dan dijadikan sebagai pelaksanaan dari liya’buduun. Artinya, agar jin dan manusia mengenal (sadar) kepada Allah. Jadi, segala hidup dan kehidupan manusia maupun jin menurut penafsiran Ibnu Abbas RA harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai saran untuk makrifat, mengenal Allah SWT.
Istilah Wahidiyah, sebagaimana sering difatwakan Romo Yahi RA, orang yang senantiasa lillah billah adalah orang yang wushul (makrifat) kepada Allah. Dan orang yang senantiasa lillah billah adalah orang yang dapat beribadah setiap saat.
TAKWA INDIKATOR CERDAS RUHANIAH
Menurut Kyai Subhan Khotib, dai muda asal Sumenep Madura, indikator orang yang cerdas ruhaninya adalah dia yang memiliki sense of responbility atau takwa yang terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Takwa bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi merupakan sikap dan tindakan didalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikanya dalam bentuk amal-amal shaleh. Dalam arti dia harus merealisasikan pengetahuannya dalam wujud amal nyata sehari-hari dengan penuh tanggung jawab dan rasa cinta dengan semata-mata mengharap ridha Allah. Seorang santri sangat tahu hukum-hukum syariat agama. Bahkan dia dididik langsung untuk mengerathui dan mengamalkanya. Akan tetapi, dalam kenyataannya sikap dan perilakunya tetap saja tidak berubah sebagaimana ketika belum menjadi santri. Dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Karena dia tidak bertanggung jawab, tidak amanah atas pengetahuan yang telah diperolehnya dan tidak mewujudkannya dalam pencapaian amal nyata sehari-hari.
Takwa sebagai bentuk tanggung jawab hanya sinkron dengan kebaikan saja. Takwa hanya dapat bersanding dengan prinsip keimanan. Selain itu, tidak ada takwa atau tanggung jawab. Sehingga seseorang tidak diperkenankan untuk mengikuti apa saja di luar pengetahuanya, karena seluruh keputusanya akan dimintai pertanggung jawabannya. Sebagaimana firman Allah:
”Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabanya.” (QS. Al Isra: 36).
Karena rasa tanggung jawab itu pula maka seorang muslim tidak mungkin menghianati hati nuraninya dengan melakukan perbuatan dosa dan permusuhan. Karena prinsip keimananya lebih menekankan pada perdamaian dan penghargaan yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Allah berfirman:
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
Dengan demikian, takwa berkaitan dengan masalah nurani. Sehingga takwa merupakan hasil dari pencerahan qalbu yang senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatkan kebenaran dan kecintaan kepada Allah SWT. Karena itulah orang yang bertakwa akan selalu berbuat dan bertindak di atas kebenaran dan kebaikan saja. Dan akan selalu meminta nasihat kepada qalbunya.
”Mintalah nasehat pada dirimu, mintalah nasehat pada hati nuranimu wahai Habhishah (Nabi mengulang tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan membuat hati senang. Dosa adalah sesuatu jiwa tidak tentram dan dosa terasa bimbang di dalam hati.” (HR. Ahmad).
Itulah mengapa Rasulullah SAW (sambil menunjukkan jari tangan ke dadanya) bersabda: ”At takwa hahuna,” takwa itu ada disini (di qalbu).
Untuk memelihara prinsip tanggung jawab atau nilai tersebut, orang yang merindukan kecerdasan ruhani akan senantiasa berupaya membersihkan hatinya (tazkiyatun nafs) agar dinding qalbunya menerima cahaya nurani yang terus-menerus membisikkan kebenaran Ilahiah.
MEMILIKI VISI
Orang yang cerdas ruhaninya sangat menyadari bahwa hidup yang dilakoninya bukanlah ‘kebetulan’ melainkan sebuah kesengajaan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab terhadap masa depan.
”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18).
Menghayati makna ayat tersebut diatas seakan memperingatkann setiap orang akan visi atau tujuan hidupnya. Serta persiapan apa yang dilakukannya untuk mencapai harapan tersebut. Tentu saja orang yang ingin mempertajam kecerdasan ruhaninya, menetapkan visinya melampaui wilayah yang bersifat duniawi, dan menjadikan qalbunya sebagai suara hati yang selalu didengar. Karena itu visi atau tujuan hidup setiap muslim yang cerdas ruhaninya, akan menjadikan perjumpaan dengan Allah sebagai puncak dari pernyataann visi pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur dan terarah. Perjumpaan dengan Allah atau kerinduan untuk pulang ke kampung akhirat merupakan obsesi yang mendorong dirinya untuk menjadikan dunia hanya sekedar hamparan sajadah ibadah, sebuah perjalanan yang harus kembali pulang ke akhirat dengan membawa bekal serta memenuhi seluruh tanggung jawabnya untuk dapat berjumpa dengan sang kekasih sejati yaitu Allah SWT.
MERASAKAN KEHADIRAN ALLAH
Mereka yang cerdas secara ruhaniah, merasakan kehadiran Allah dimana saja dan kapan saja mereka berada. Mereka meyakini sepenuh hati ada kamera Ilahiah yang terus menyoroti gerak-geriknya. Mereka juga merasakan serta menyadari bahwa seluruh bisikan hatinya diketahui dan dicatat Allah tanpa ada satu pun yang tertinggal. Mereka merasakan pengawasan Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadinya.” (QS. Qaaf: 16).
Takwa tidak mungkin tumbuh kecuali ada kesadaran yang sangat mendalam, bahwa Allah senantiasa tampak dimanapun kita berada dan tampak dalam pandangan mata batinnya. Kesadaran bahwa Allah senantiasa bersamanya dan perasaan bahwa Allah menyaksikan dirinya, merupakan fitrah asasi manusia yang telah melekat pada saat manusia masih berada di dalam ruhani. Pesan ke-Ilahian yang berupa perjanjian moral dan pengakuan keberadaan Tuhan itu berbunyi:
”Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al A’raf: 172).
Dengan kesadaran inilah, maka nilai-nilai moral akan terpelihara. Karena seluruh tindakannya berasal dari pilihan hatinya yang tercerahkan Nur Ilahiyah, akan melahirkan kemampuan untuk terus berjalan ke depan di atas prinsip-prinsip iman yang sangat merindukan perjumpaan dengan-Nya.
Tentu saja, perasaan kehadiran Allah didalam hati tidak akan begitu saja, melainkan harus dilatih melalui keheningan batin dan menjalankan riyadhah-riyadhah qalbiyah. Menerapkan ajaran Wahidiyah lillah billah dan seterusnya secara terus-menerus serta dipupuk dengan Mujahadah Shalawat Wahidiyah.
AHLI DZIKIR DAN DOA
Dzikir atau mengingat Allah adalah amaliah yang tidak pernah ditinggalkan oleh mereka yang cerdas ruhaniyahnya. Dzikirnya da-iman (terus-menerus) berkesinambungan tanpa diselingi. Baik waktu berdiri, duduk maupun berbaring. Diwaktu sunyi maupun ramai. Diwaktu sibuk maupun santai. Di waktu senang maupun susah. Ingat Allah meskipun di waktu marah. Pendek kata, hatinya senantiasa tawajuh kepada Allah fi kulli lamhatin wa nafasin.
Dzikir merupakan tiang yang kuat dalam menuju whusul kepada Allah, juga sebagai langkah utama dalam menggapai cinta Ilahi jika tidak mengningat-Nya secara terus-menerus. Orang yang beriman dan cinta kepada Allah hatinya selalu dihiasi dengan dzikrullah, karena dzkir telah menjadi santapan qalbu mereka . hidup tanpa terus mengingat Allah, adalah hampa dan kering. Kalau kita mencintai seseorang misalnya, kita akan senantiasa mengenang dan menyebut-nyebut namanya. Oleh karena itu, siapapun yang dalam hatinya telah tertanam cinta akan Allah, disitulah dzikir akan terus terlantunkan. Jadi, sebenarnya kita bisa mencapai mahabbatullah dengan menempuh jalan dzikrullah.
Mereka yang cerdas secara ruhani juga menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa, mereka memiliki sikap optimis. Karena doa pada hakekatnya adalah rintihan seorang hamba yang memiliki harapan untuk memperoleh kemuliaan, pertolongan Allah SWT dan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan menuju Allah. Begitu dahsyatnya doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mengubah takdir.
Mengingat doa merupakan bagian dari dzikir, dan dzikir adalah keyakinan yang mendalam bahwa aku selalu dilihat oleh Tuhanku.” Maka dalam berdoa, mereka merasakan dirinya sedeng beraudensi dengan Tuhanya. Ia menghadapkan seluruh wajah batinya kepada Allah dengan bersungguh-sungguh penuh rasa rendah diri dan rasa cemas tetapi sekaligus penuh harap. Dia yakin bahwa Allah tidak akan pernah memalingkan wajah-Nya dari hamba-hamba yang memohon dengan penuh kesungguhan menyatakan suara batinya dengan optimis. Dia sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya yang berdoa. Allah tidak pernah mengenal kata jemu untuk mendengarkan hamba yang menjerit meminta petunjuk-Nya. Karl Jesper mengatakan bahwa, ”Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia.” Allah berfirman:
”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mukmin: 60).
Perihal doa ini, Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif RA dawuh,
”Kalau doa itu didalami dengan sungguh-sungguh, maka akses dari doa itu sendiri mutlak diatas semua ikhtiyar manusia.”
Beliau lantas mencontohkan kekuatan doa ini dengan kemenangan pasukan perang muslim di zaman Khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi pasukan Rumawi, Negara adidaya kala itu yang notabene bersenjata lengkap dan canggih. Sementara persenjataan kaum muslimin sangatlah terbatas dan amat sederhana. Namun dibalik itu semua, ada kekuatan dahsyat yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata super canggih sekalipun yakni doa.
Banyak orang yang kagum dan heran akan kebesaran Wahidiyah yang dalam waktu relative singkat sudah me-Nasional bahkan go Internasional. Ketika Romo Yahi RA ditanya apa rahasianya? Beliau menjawab, ”Hanya satu, Bid-du’a (dengan doa). Tentu saja doa bukan sembarang doa tapi doa yang berkualitas. Berdoa dengan nama Kebesaran Allah bijahi Sayyidima Muhammadin SAW. Para ulama sepakat, bahwa barangsiapa berdoa dengan nama kebesaran Allah juga malalui nama dan hak kebesaran Rasulullah SAW, ijabah doanya.
SHALAWAT WAHIDIYAH DAN KECERDASAN RUHANIAH
Kecerdasan Ruhaniah adalah kebeningan batin akibat pancaran nur-nur Ilahiah yang menyinari hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Pancaran Nur tersebut selanjutnya akan menuntun hatinya menggerakkan lahiriyah: untuk berbuat, berkreasi, beramal dan beribadah kepada Tuhanya dengan sebenar—benarnya.
Untuk meraih kebeningan batin (kejernihan hati) yang notabene syarat utama menghadap Allah, di akhir zaman ini, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi kalau tidak ada seorang guru kamil-mukamil yang menuntun. Sementara, untuk menemukan seseorang guru penuntun pun sangat sulit. Saking sulitnya, dalam sejarah para sufi, mereka kemudian melakukan uzlah, bertapa, riyadhah dan sebagainya. Ini menunjukkan, bahwa kecerdasan ruhaniah tidak bisa dicapai dengan main-main. Agar ruhani cerdas, batin menjadi bening sehingga bisa mencapai wushul kepada Allah di akhir zaman ini, khususnya bagi orang yang banyak dosa, bagi orang bodoh secara ruhaniah, menurut kalangan sufi, salah satunya adalah dengan membaca Shalawat.
Karena shalawat banyak sekali macamnya, maka sesuai dengan situasi dan tuntutan zaman, sudah seharusnya kita mengamalkan shalawat yang dapat memberikan faedah bagi kebeningan batin dan ketentraman jiwa. Atau shalawat yang mendatangkan kecerdasan ruhaniah, yang mendorong pada peningkatan iman dan takwa, peningkatann ingat dan sadar (wushul) kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Secara umum, membaca shalawat kepada Nabi SAW memang dapat mengantarkan whusul. Tetapi hal itu pada dasarnya tidak lepas dari niat awalnya. Bahwa kita membaca shalawat ini bertujuan sebagai tahriqah (jalan) menuju Allah. Sebab, jika membaca shalawat hanya niat untuk mendapatkan karomah, ingin diberi ilmu hikmah, ingin hutang-hutangnya terbayar, ekonominya lancar dan sebagainya, maka bacaan shalawat itu tidak akan menyampaikan kita kepada Allah. Shalawat yang kit abaca paling-paling hanya membuat kita diberi karomah, doa kita ijabah, apa yang diucapkan terjadi, kesulitan-kesulitan kita teratasi, dan sebagainya. Dan ini, menurut para sufi, adalah salah satu rintangan bagi seorang murid dalam menuju Allah. Mereka banyak tergiur oleh godaan itu, hingga perjalananya menuju Allah putus ditengah jalan.
Dan Alhamdulillah, Shalawat Wahidiyah dikaruniai faedah menjernihkan hati dan makrifat billah. Menjadikan hati bening, membuat ruhani cerdas dan mengantarkan wushul kepada Allah. Shalawat Wahidiyah, dimana setiap hurufnya mengandung nadrah, apabila diamalkan dengan sungguh-sungguh dan mengikuti tuntunan-tuntunan yang telah ditetapkan, baik cara membacanya, adab-adabnya, penerapan ajaranya, apalagi jika disertai dengan riyadhah qalbiyah, maka akan mampu membuka fadhal Allah serta mengekang pengaruh nafsu, sehingga hati selalu yuthufullaha daiman, atau thawaf bergerak sowan dan sadar ke hadirat Allah SWT.
Jika seseorang telah sadar kepada Allah, maka dalam hatinya akan timbul kesadaran-kesadaran yang lain. Kesadaran bermasyarakat, kesadaran berbangsa, kesadaran bernegara, dan kesadaran-kesadaran yang lain sesuai bidang masing-masing. Dan ini merupakan dari ruhani yang cerdas. Dengan kata lain, ruhani yang cerdas memiliki pengaruh yang besar bagi kecerdasan lahir. Sebaliknya, akal yang cerdas (lahir), belum tentu bisa membuat ruhani menjadi cerdas. Bahkan mungkin sebaliknya(?) Sebagaimana kata Nabi dalam haditsnya riwayat Ad Daylami RA,
”Barangsiapa yang hanya bertambah ilmunya (kecerdasannya) tetapi tidak bertambah hidayahnya (keimanan/ kecerdasan ruhaninya), maka ia bukan semakin bertambah dekat kepada Allah, melainkan justru semakin jauh dari Allah.”
Wallahu a’lam bisshawab
CERDAS RUHANIAH DENGAN SHOLAWAT WAHIDIYAH
14.201 "ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI "
Sebagaian besar manusia modern mengalami rasa dahaga dan miskin spiritual. Mereka mengalami suasana kehampaan, bahkan menurut Erich Fromm sebagai orang yang merasakan kesepian ditengah keramaian. Orang-orang yang miskin di tengah limpahan kekayaan sebagaimana dialami oleh multimilioner Howard Hughes. Bagaikan ayam mati kelaparan di lumbung padi. Mereka terguncang. Bahkan mereka selebritis yang di tohok popularitas dan limpahan materi, melirik pada dunia spiritual. Dan tidak sedikit diantara mereka yang mengisi kekosongan ruhaninya itu dengan mengikuti kelompok atau aliran yang bersifat mistik, serta paham-paham baru yang mencoba menggali spiritual dari sudut pandang dan pemikiranya sendiri tanpa mau menerima ajaran agama yang sudah mapan. Sikap seperti ini pada akhirnya melahirkan sebuah aliran yang sudah lama dikenal di lingkungan kita dengan apa yang disebut aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, sebagaimana di Amerika tumbuh berbagai aliran spiritual, seperti New Age, New Thought, Iluminasi, Fremansonryy dan lain sebagainya.
Rasa dahaga dan kemiskinan sepiritual makna hidup, mereka salurkan memaknai dunia kearifan yang berasal dari dunia Timur. Mereka melihat nilai-nilai sepiritual tersebut dalam prespektif budaya, bukan agama. Mereka pun menyelami nilai-nilai spiritual tersebut dengan cara aktif ikut belajar yoga, meditasi dan menjadikan tokoh-tokoh dari Timur semacam Mahatma Ghandhi sebagai sosok yang paling pantas menjadi model atau tipe orang yang cerdas secara spiritual.
Sayangnya, dalam upaya pencerdasan spiritual tersebut mereka tidak menjadikan Al Qur’an dan Hadits sebagai rujukan, sehingga mereka memahami kecerdasan spiritual hanya sebagai potensi yang khas di dalam jasad, tanpa mengkaitkanya secara jelas dengan kekuasaan Tuhan. Alhasil, ruhaniah mereka tetap hampa dan rapuh. Hal ini diperarah dengan penafsiran salah mereka bahwa agama hanya dipandang sebagai penemuan orang-orang arif belaka. Bagi mereka, agama tidak memberikan kebebasan pencarian kebenaran ilmiah. Keyakinan mutlak terhadap ajaran agama melahirkan sikap yang otokratis yang bertentangan dengan nilai demokratik sehingga tidak memberdayakan daya imajinasi kreatifnya.
Padahal, ajaran Islam memberikan keleluasaan kemerdekaan bagi pemeluknya untuk mempergunakan kecerdasan spiritualnya melakukan eksplorasi, tetapi kata kuncinya tetap berawal dan berakhir kepada Tauhid, sebagaimana firman Allah:
”Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 19).
KECERDASAN RUHANIAH
Sebelum membahas secara luas apa itu kecerdasan ruhaniah yang biasa disebut dengan kecerdasan spiritual serta pendapat para ahli mengenai kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengetahui pendapat Sayyidina Ali RA dalam memaknai kecerdasan. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, kecerdasan adalah: karunia tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ia akan mencapai puncak aktualisasinya jika diperuntukkan sebagaimana visi dan misi penciptaan dan keberadaannya yang ditetapkan Tuhan baginya.
Dannah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachusetts Institute of Tehnology), dan menyelesaikan post graduate dibidang psikologi, agama dan filsafat di Harvard Univerity, dalam bukunya SQ (Spiritual Intelligence) mengatakan bahwa, ”kecerdasan spitirutal adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memcahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Sementara itu Jalaludin Rahmat dalam pengantarnya di buku SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berfikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai Kehidupan, menukil pendapat Khalil Khavari menjelaskan bahwa kecerdasan Spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya sehingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Akan tetapi, kemampuanya untuk ditingkatkan tidak terbatas.
Toto Tasmara, penulis sekaligus dai yang sufistik dalam bukunya, Transcendental Intelligence (Kecerdasan Ruhaniah) memaknai kecerdasan ruhaniah dengan kemampuan seseorang untuk mendengarkan Hati nuraninya atau bisikan kebenaran yang meng-Ilahi dalam cara dirinya mengambil keputusan atau melakukan pilihan-pilihan. Berempati, dan beradapsi. Lain lagi pendapat dalam bukunya ESQ (Emotional Spiritual Quation). Ari mengatakan, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip, “Hanya karena Allah (lillah).”
Dari bebagai pendapat diatas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah bersumber dari fitrah (God Spot) manusia itu sendiri. Kecerdasan ini tidak dibentuk melalui diskursus-diskursus atau memori-memori fenomenal, tetapi merupakan aktualisasi fitrah itu sendiri. Ia ‘memancar’ dari kedalaman diri manusia, jika dorongan-dorongan keingintahuan dilandasi kesucian, ketulusan dan tanpa pretense egoism. Dalam bahasa yang sangat tepat, kecerdasan spiritual ini akan aktual, jika manusia hidup berdasarkan visi dasar dan misi utamannya, yakni sebagai ’abid dan sekaligus khalifah Allah di muka bumi.
Sebagai Khalifah Allah atau Wakil Tuhan di bumi, manusia diberi tugas mengatur kehidupan dunia ini menjadi kehidupan yang baik dan benar serta diridhai Allah SWT. Namun didalam menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah manusia tidak bebas begitu saja tanpa arah, melainkan harus mengikuti haluan garis besar pokok yang harus dituju oleh manusia, sebagaimana ketetapan Allah dalam Al Qur’an.
”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Manusia sebagai ‘abid, hamba Allah hendaknya orientasi hidupnya diarahkan untuk mengabdikan diri beribadah kepada Allah SWT, dan dijadikan sebagai pelaksanaan dari liya’buduun. Artinya, agar jin dan manusia mengenal (sadar) kepada Allah. Jadi, segala hidup dan kehidupan manusia maupun jin menurut penafsiran Ibnu Abbas RA harus sepenuhnya diarahkan atau sebagai saran untuk makrifat, mengenal Allah SWT.
Istilah Wahidiyah, sebagaimana sering difatwakan Romo Yahi RA, orang yang senantiasa lillah billah adalah orang yang wushul (makrifat) kepada Allah. Dan orang yang senantiasa lillah billah adalah orang yang dapat beribadah setiap saat.
TAKWA INDIKATOR CERDAS RUHANIAH
Menurut Kyai Subhan Khotib, dai muda asal Sumenep Madura, indikator orang yang cerdas ruhaninya adalah dia yang memiliki sense of responbility atau takwa yang terefleksi dalam kehidupan nyata sehari-hari. Takwa bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi merupakan sikap dan tindakan didalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikanya dalam bentuk amal-amal shaleh. Dalam arti dia harus merealisasikan pengetahuannya dalam wujud amal nyata sehari-hari dengan penuh tanggung jawab dan rasa cinta dengan semata-mata mengharap ridha Allah. Seorang santri sangat tahu hukum-hukum syariat agama. Bahkan dia dididik langsung untuk mengerathui dan mengamalkanya. Akan tetapi, dalam kenyataannya sikap dan perilakunya tetap saja tidak berubah sebagaimana ketika belum menjadi santri. Dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bertakwa. Karena dia tidak bertanggung jawab, tidak amanah atas pengetahuan yang telah diperolehnya dan tidak mewujudkannya dalam pencapaian amal nyata sehari-hari.
Takwa sebagai bentuk tanggung jawab hanya sinkron dengan kebaikan saja. Takwa hanya dapat bersanding dengan prinsip keimanan. Selain itu, tidak ada takwa atau tanggung jawab. Sehingga seseorang tidak diperkenankan untuk mengikuti apa saja di luar pengetahuanya, karena seluruh keputusanya akan dimintai pertanggung jawabannya. Sebagaimana firman Allah:
”Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut, karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabanya.” (QS. Al Isra: 36).
Karena rasa tanggung jawab itu pula maka seorang muslim tidak mungkin menghianati hati nuraninya dengan melakukan perbuatan dosa dan permusuhan. Karena prinsip keimananya lebih menekankan pada perdamaian dan penghargaan yang mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah Allah berfirman:
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
Dengan demikian, takwa berkaitan dengan masalah nurani. Sehingga takwa merupakan hasil dari pencerahan qalbu yang senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang bermuatkan kebenaran dan kecintaan kepada Allah SWT. Karena itulah orang yang bertakwa akan selalu berbuat dan bertindak di atas kebenaran dan kebaikan saja. Dan akan selalu meminta nasihat kepada qalbunya.
”Mintalah nasehat pada dirimu, mintalah nasehat pada hati nuranimu wahai Habhishah (Nabi mengulang tiga kali). Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa tenang dan membuat hati senang. Dosa adalah sesuatu jiwa tidak tentram dan dosa terasa bimbang di dalam hati.” (HR. Ahmad).
Itulah mengapa Rasulullah SAW (sambil menunjukkan jari tangan ke dadanya) bersabda: ”At takwa hahuna,” takwa itu ada disini (di qalbu).
Untuk memelihara prinsip tanggung jawab atau nilai tersebut, orang yang merindukan kecerdasan ruhani akan senantiasa berupaya membersihkan hatinya (tazkiyatun nafs) agar dinding qalbunya menerima cahaya nurani yang terus-menerus membisikkan kebenaran Ilahiah.
MEMILIKI VISI
Orang yang cerdas ruhaninya sangat menyadari bahwa hidup yang dilakoninya bukanlah ‘kebetulan’ melainkan sebuah kesengajaan yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab terhadap masa depan.
”Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkan untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18).
Menghayati makna ayat tersebut diatas seakan memperingatkann setiap orang akan visi atau tujuan hidupnya. Serta persiapan apa yang dilakukannya untuk mencapai harapan tersebut. Tentu saja orang yang ingin mempertajam kecerdasan ruhaninya, menetapkan visinya melampaui wilayah yang bersifat duniawi, dan menjadikan qalbunya sebagai suara hati yang selalu didengar. Karena itu visi atau tujuan hidup setiap muslim yang cerdas ruhaninya, akan menjadikan perjumpaan dengan Allah sebagai puncak dari pernyataann visi pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur dan terarah. Perjumpaan dengan Allah atau kerinduan untuk pulang ke kampung akhirat merupakan obsesi yang mendorong dirinya untuk menjadikan dunia hanya sekedar hamparan sajadah ibadah, sebuah perjalanan yang harus kembali pulang ke akhirat dengan membawa bekal serta memenuhi seluruh tanggung jawabnya untuk dapat berjumpa dengan sang kekasih sejati yaitu Allah SWT.
MERASAKAN KEHADIRAN ALLAH
Mereka yang cerdas secara ruhaniah, merasakan kehadiran Allah dimana saja dan kapan saja mereka berada. Mereka meyakini sepenuh hati ada kamera Ilahiah yang terus menyoroti gerak-geriknya. Mereka juga merasakan serta menyadari bahwa seluruh bisikan hatinya diketahui dan dicatat Allah tanpa ada satu pun yang tertinggal. Mereka merasakan pengawasan Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya. Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat nadinya.” (QS. Qaaf: 16).
Takwa tidak mungkin tumbuh kecuali ada kesadaran yang sangat mendalam, bahwa Allah senantiasa tampak dimanapun kita berada dan tampak dalam pandangan mata batinnya. Kesadaran bahwa Allah senantiasa bersamanya dan perasaan bahwa Allah menyaksikan dirinya, merupakan fitrah asasi manusia yang telah melekat pada saat manusia masih berada di dalam ruhani. Pesan ke-Ilahian yang berupa perjanjian moral dan pengakuan keberadaan Tuhan itu berbunyi:
”Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab: Benar (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi.” (QS. Al A’raf: 172).
Dengan kesadaran inilah, maka nilai-nilai moral akan terpelihara. Karena seluruh tindakannya berasal dari pilihan hatinya yang tercerahkan Nur Ilahiyah, akan melahirkan kemampuan untuk terus berjalan ke depan di atas prinsip-prinsip iman yang sangat merindukan perjumpaan dengan-Nya.
Tentu saja, perasaan kehadiran Allah didalam hati tidak akan begitu saja, melainkan harus dilatih melalui keheningan batin dan menjalankan riyadhah-riyadhah qalbiyah. Menerapkan ajaran Wahidiyah lillah billah dan seterusnya secara terus-menerus serta dipupuk dengan Mujahadah Shalawat Wahidiyah.
AHLI DZIKIR DAN DOA
Dzikir atau mengingat Allah adalah amaliah yang tidak pernah ditinggalkan oleh mereka yang cerdas ruhaniyahnya. Dzikirnya da-iman (terus-menerus) berkesinambungan tanpa diselingi. Baik waktu berdiri, duduk maupun berbaring. Diwaktu sunyi maupun ramai. Diwaktu sibuk maupun santai. Di waktu senang maupun susah. Ingat Allah meskipun di waktu marah. Pendek kata, hatinya senantiasa tawajuh kepada Allah fi kulli lamhatin wa nafasin.
Dzikir merupakan tiang yang kuat dalam menuju whusul kepada Allah, juga sebagai langkah utama dalam menggapai cinta Ilahi jika tidak mengningat-Nya secara terus-menerus. Orang yang beriman dan cinta kepada Allah hatinya selalu dihiasi dengan dzikrullah, karena dzkir telah menjadi santapan qalbu mereka . hidup tanpa terus mengingat Allah, adalah hampa dan kering. Kalau kita mencintai seseorang misalnya, kita akan senantiasa mengenang dan menyebut-nyebut namanya. Oleh karena itu, siapapun yang dalam hatinya telah tertanam cinta akan Allah, disitulah dzikir akan terus terlantunkan. Jadi, sebenarnya kita bisa mencapai mahabbatullah dengan menempuh jalan dzikrullah.
Mereka yang cerdas secara ruhani juga menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa, mereka memiliki sikap optimis. Karena doa pada hakekatnya adalah rintihan seorang hamba yang memiliki harapan untuk memperoleh kemuliaan, pertolongan Allah SWT dan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan menuju Allah. Begitu dahsyatnya doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga dapat mengubah takdir.
Mengingat doa merupakan bagian dari dzikir, dan dzikir adalah keyakinan yang mendalam bahwa aku selalu dilihat oleh Tuhanku.” Maka dalam berdoa, mereka merasakan dirinya sedeng beraudensi dengan Tuhanya. Ia menghadapkan seluruh wajah batinya kepada Allah dengan bersungguh-sungguh penuh rasa rendah diri dan rasa cemas tetapi sekaligus penuh harap. Dia yakin bahwa Allah tidak akan pernah memalingkan wajah-Nya dari hamba-hamba yang memohon dengan penuh kesungguhan menyatakan suara batinya dengan optimis. Dia sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya yang berdoa. Allah tidak pernah mengenal kata jemu untuk mendengarkan hamba yang menjerit meminta petunjuk-Nya. Karl Jesper mengatakan bahwa, ”Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia.” Allah berfirman:
”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mukmin: 60).
Perihal doa ini, Hadratul Mukarram Romo KH. Abdul Latif RA dawuh,
”Kalau doa itu didalami dengan sungguh-sungguh, maka akses dari doa itu sendiri mutlak diatas semua ikhtiyar manusia.”
Beliau lantas mencontohkan kekuatan doa ini dengan kemenangan pasukan perang muslim di zaman Khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi pasukan Rumawi, Negara adidaya kala itu yang notabene bersenjata lengkap dan canggih. Sementara persenjataan kaum muslimin sangatlah terbatas dan amat sederhana. Namun dibalik itu semua, ada kekuatan dahsyat yang tidak dapat dikalahkan dengan senjata super canggih sekalipun yakni doa.
Banyak orang yang kagum dan heran akan kebesaran Wahidiyah yang dalam waktu relative singkat sudah me-Nasional bahkan go Internasional. Ketika Romo Yahi RA ditanya apa rahasianya? Beliau menjawab, ”Hanya satu, Bid-du’a (dengan doa). Tentu saja doa bukan sembarang doa tapi doa yang berkualitas. Berdoa dengan nama Kebesaran Allah bijahi Sayyidima Muhammadin SAW. Para ulama sepakat, bahwa barangsiapa berdoa dengan nama kebesaran Allah juga malalui nama dan hak kebesaran Rasulullah SAW, ijabah doanya.
SHALAWAT WAHIDIYAH DAN KECERDASAN RUHANIAH
Kecerdasan Ruhaniah adalah kebeningan batin akibat pancaran nur-nur Ilahiah yang menyinari hati seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Pancaran Nur tersebut selanjutnya akan menuntun hatinya menggerakkan lahiriyah: untuk berbuat, berkreasi, beramal dan beribadah kepada Tuhanya dengan sebenar—benarnya.
Untuk meraih kebeningan batin (kejernihan hati) yang notabene syarat utama menghadap Allah, di akhir zaman ini, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Apalagi kalau tidak ada seorang guru kamil-mukamil yang menuntun. Sementara, untuk menemukan seseorang guru penuntun pun sangat sulit. Saking sulitnya, dalam sejarah para sufi, mereka kemudian melakukan uzlah, bertapa, riyadhah dan sebagainya. Ini menunjukkan, bahwa kecerdasan ruhaniah tidak bisa dicapai dengan main-main. Agar ruhani cerdas, batin menjadi bening sehingga bisa mencapai wushul kepada Allah di akhir zaman ini, khususnya bagi orang yang banyak dosa, bagi orang bodoh secara ruhaniah, menurut kalangan sufi, salah satunya adalah dengan membaca Shalawat.
Karena shalawat banyak sekali macamnya, maka sesuai dengan situasi dan tuntutan zaman, sudah seharusnya kita mengamalkan shalawat yang dapat memberikan faedah bagi kebeningan batin dan ketentraman jiwa. Atau shalawat yang mendatangkan kecerdasan ruhaniah, yang mendorong pada peningkatan iman dan takwa, peningkatann ingat dan sadar (wushul) kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Secara umum, membaca shalawat kepada Nabi SAW memang dapat mengantarkan whusul. Tetapi hal itu pada dasarnya tidak lepas dari niat awalnya. Bahwa kita membaca shalawat ini bertujuan sebagai tahriqah (jalan) menuju Allah. Sebab, jika membaca shalawat hanya niat untuk mendapatkan karomah, ingin diberi ilmu hikmah, ingin hutang-hutangnya terbayar, ekonominya lancar dan sebagainya, maka bacaan shalawat itu tidak akan menyampaikan kita kepada Allah. Shalawat yang kit abaca paling-paling hanya membuat kita diberi karomah, doa kita ijabah, apa yang diucapkan terjadi, kesulitan-kesulitan kita teratasi, dan sebagainya. Dan ini, menurut para sufi, adalah salah satu rintangan bagi seorang murid dalam menuju Allah. Mereka banyak tergiur oleh godaan itu, hingga perjalananya menuju Allah putus ditengah jalan.
Dan Alhamdulillah, Shalawat Wahidiyah dikaruniai faedah menjernihkan hati dan makrifat billah. Menjadikan hati bening, membuat ruhani cerdas dan mengantarkan wushul kepada Allah. Shalawat Wahidiyah, dimana setiap hurufnya mengandung nadrah, apabila diamalkan dengan sungguh-sungguh dan mengikuti tuntunan-tuntunan yang telah ditetapkan, baik cara membacanya, adab-adabnya, penerapan ajaranya, apalagi jika disertai dengan riyadhah qalbiyah, maka akan mampu membuka fadhal Allah serta mengekang pengaruh nafsu, sehingga hati selalu yuthufullaha daiman, atau thawaf bergerak sowan dan sadar ke hadirat Allah SWT.
Jika seseorang telah sadar kepada Allah, maka dalam hatinya akan timbul kesadaran-kesadaran yang lain. Kesadaran bermasyarakat, kesadaran berbangsa, kesadaran bernegara, dan kesadaran-kesadaran yang lain sesuai bidang masing-masing. Dan ini merupakan dari ruhani yang cerdas. Dengan kata lain, ruhani yang cerdas memiliki pengaruh yang besar bagi kecerdasan lahir. Sebaliknya, akal yang cerdas (lahir), belum tentu bisa membuat ruhani menjadi cerdas. Bahkan mungkin sebaliknya(?) Sebagaimana kata Nabi dalam haditsnya riwayat Ad Daylami RA,
”Barangsiapa yang hanya bertambah ilmunya (kecerdasannya) tetapi tidak bertambah hidayahnya (keimanan/ kecerdasan ruhaninya), maka ia bukan semakin bertambah dekat kepada Allah, melainkan justru semakin jauh dari Allah.”
Wallahu a’lam bisshawab
Artikel ini bagus sekali, khususnya pada bagian " SHALAWAT WAHIDIYAH DAN KECERDASAN RUHANIAH " oleh karena itu artikel ini perlu diketahui juga oleh mereka-mereka yang masih saja memperdebatkan dan mengartikan tentang Shalawat hanya sepintas saja, terima kasih....Salam Hangat
ReplyDelete